• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori

Teori ekolinguistik pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen pada tahun 1972 dengan sebutan ―ekologi bahasa‖. Menurut Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa.

Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang lain (Subiyanto, 2013; lih Fill. dan Muhlhausler, 2001:3).

Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi (Fill dan Muhlhausler, 2001:226) yakni suatu pendekatan yang mempelajari bahasa dan menghubungkannya dengan lingkungan.

Menurut Fill dan Muhlhausler (2001:1) ada tiga parameter ekolinguistik yakni:

1. Parameter kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan (interdepensi)

Parameter kesalingterhubungan merupakan hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya yang dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Keberadaan

spesies dan kondisi kehidupan mereka tidak dapat dipandang sebagai dua bagian yang terpisah, tetapi sebagai satu bagian yang utuh.

2. Parameter lingkungan tertentu (environment)

Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan berinterdepedensi dengan pelbagai entitas yang memang tidak dapat tidak membutuhkan segala yang ada demi hidupnya secara biologis, baik hewan maupun tumbuhan secara nyata merupakan refleksi dari lingkungan dengan keanekaragaman hayati tempat tinggal masyarakat tersebut.

3. Parameter keberagaman (diversity)

Fill dan Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman (diversity) perbendaharaan kosa kata bahasa memancarkan lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat bahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi yang menyangkut topografi seperti iklim, biota, curah hujan, sedangkan lingkungan kebudayaan berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni, budaya, dan lain sebagainya.

Para pakar yang membicarakan tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Ekolinguistik menekankan tujuan kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa dan ekologi dari persfektif yang lebih luas.

19

Haugen (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:65) menyatakan, ada sepuluh ruang kajian ekologi bahasa, antara lain:

1. Linguistik historis komparatif, menjadikan bahasa-bahasa kerabat di suatu lingkungan geografis sebagai fokus kajian untuk menemukan relasi historis genetisnya.

2. Linguistik demografi, mengkaji komunitas bahasa tertentu di suatu kawasan untuk memerikan kuantitas sumber daya (dan kualitas) penggunaan bahasa-bahasa beserta ranah-ranah dan ragam serta registrasinya (sosiolek dan fungsiolek).

3. Sosiolinguistik, yang fokus utama kajiannya atas variasi sistematik antara struktur bahasa dan stuktur masyarakat penuturnya.

4. Dialinguistik, yang memokuskan kajiannya pada jangkauan dialek-dialek dan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat bahasa, termasuk di habitat baru, atau kantong migrasi dengan dinamika ekologinya.

5. Dialektologi, mengkaji dan memetakan variasi-variasi internal sistem bahasa.

6. Filologi, mengkaji dan menjejaki potensi budaya dan tradisi tulisan, prospeknya, kaitan maknawi dengan kajian dan atau kepudaran budaya, dan tradisi tulisan lokal.

7. Linguistik preskriptif, mengkaji daya hidup bahasa di kawasan tertentu, pembakuan bahasa tulisan dan bahasa lisan, pembakuan tata bahasa (sebagai muatan lokal yang memang memerlukan kepastian bahasa baku yang normatif dan pedagogis).

8. Glotopolitik, mengkaji dan memberdayakan pula wadah, atau lembaga penanganan masalah-masalah bahasa (secara khusus pada era otonomi daerah, otonomi khusus, serta pendampingan kantor dan atau balai bahasa).

9. Etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics) yang membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya, pola pikir, dan imajeri dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual, kreasi wacana iklan yang berbasiskan bahasa lokal.

10. Tipologi, membedah derajat keuniversalan dan keunikan bahasa-bahasa.

Berdasarkan cakupan ekolinguistik di atas, penelitian ini berhubungan erat dengan ekologi yang membahas filologi dari segi naskah Poda ni Alimunan yang merupakan tradisi lokal, linguistik preskriptif dari segi daya hidup bahasa di kawasan Mandailing Natal, dan etnolinguistik dari segi penggunaan bahasa serta bahasa-bahasa ritualnya, khususnya bahasa yang terkandung di dalam mantra.

Ekolingustik, secara tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu: ecocritical discourse analysis dan linguistics ecology. Pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedangkan yang kedua, linguistik ekologi yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik.

Kajian leksikal lingkungan yang dibahas dalam penelitian ini berhubungan dengan ekolinguistik. Linguistik ekologi pada tataran leksikal misalnya menggambarkan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya dalam bentuk kode-kode lingual. Seiring dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat bahasa tentang

21

lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya yang berarti adanya interaksi dan interelasi masyarakat itu.

Selanjutnya, Sapir mengemukakan bahwa kosa kata suatu bahasa paling jelas menggambarkan lingkungan fisik dan sosial para penuturnya (Fill dan Muhlhausler, 2001:2). Kosa kata yang lengkap dari suatu bahasa sesungguhnya bisa dilihat sebagai temuan yang kompleks terhadap keseluruhan ide, minat, dan kedudukan yang dapat menjadi perhatian komunitas itu dan mungkin kita bisa memperluasnya pada karakter lingkungan fisik dan karakteristik dan budaya orang-orang yang menggunakan kosa kata itu.

Halliday pada tahun 1990 dalam konferensi Association Internationale de Linguistique Appliquée (AILA) memaparkan elemen-elemen sistem bahasa yang dianggap ekologis (’holistic’ system) dan tidak ekologis (’fragmented’ system).

Berbeda dengan Haugen, Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian nonmetaforis, yakni ekologi sebagai lingkungan biologis. Halliday mengkritisi bagaimana sistem bahasa berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul ―New Ways of Meaning‖, Halliday (2001) menjelaskan bahwa bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatika, tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan alam dan sosial (kultural) masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan. Dalam hal ini, kajian ekolinguistik sebagai ilmu interdisipliner menghubungkan sebuah teori

linguistik dengan teori dialektikal praksis sosial yang dikenal sebagai the three dimensionality of praxis (tiga dimensi praksis sosial).

Teori tiga dimensi praksis sosial merupakan teori yang diaplikasikan dalam mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan untuk menjelaskan tentang norma-norma bahasa lingkungan yang dipresentasikan dalam bentuk kerangka teori. Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10) teori tiga dimensi tersebut adalah:

1) Dimensi ideologis, yaitu hubungan individual dan mental kolektif, kognitif, dan sistem psikis seseorang yang terefleksi pada bahasa, khasanah kebahasaan dengan kandungan maknanya/perilakunya dan adanya idelogi atau adicita masyarakat.

2) Dimensi sosiologis, yaitu tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan antara sesama untuk membangun, menjalin, dan memelihara keharmonisan hubungan individual secara kolektif.

3) Dimensi biologis, yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup berdampingan dengan alam serta seluruh isinya, termasuk ke dalamnya spesies flora, fauna, tanah, lautan, mikro, dan makro organisme.

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori dimensi praksis sosial.

Alasan penggunaan teori ini karena dengan memperhatikan dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis masyarakat pengguna bahasa Mandailing, khususnya di Kecamatan Lembah Sorik Marapi akan tergambar hubungan antara bahasa lingkungan yang terdapat di dalam naskah Poda ni Alimunan dan masyarakat pengguna bahasa tersebut.

23

Dokumen terkait