• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

4.2.1.2 Poda ni Pagar

Setelah terlindung dari bahaya, penulis memberi nasihat agar dapat menjaga diri. Dalam naskah, nasihat ini diberi nama poda ni pagar ‘nasihat penjaga diri‘.

Berikut tata cara pengobatan tradisional yang disebut sebagai nasihat penjaga diri.

Data 3

1. Ngu buatan mu lada pina ma inon

‗untuk ambilan mu lada putar lah ini‘

‗untuk diambil olehmu lada putar‘

2. asa da buwat ma hasaya ni ...pitu hibul dongan

‗supaya di ambil lah ramuan nya…. tujuh bulat kawan‘

‗supaya diambillah ramuannya…. tujuh bulat kawan‘

3. asa sa horon mu pitung hongot ulang tos

‗supaya se kelompok mu tujuh iris jangan habis‘

‗supaya sekelompokmu tujuh iris jangan habis‘

4. solot i ma si sipilit sisanghil dongan

‗dekat i lah si sipilit sihanghil kawan‘

‗dekatilah si sipilit sihanghil kawan‘

5. hunik pitu ngiris

‗kunyit tujuh iris‘

‗kunyit tujuh iris‘

6. lasuna pitu ngiris

55

‗bawang putih tujuh iris‘

‗bawang putih tujuh iris‘

7. pege pitu ngiris

‗jahe tujuh iris‘

‗jahe tujuh iris‘

8. salimbatuk pitu ngiris

‗jerango tujuh iris‘

‗jerango tujuh iris‘

9. hasior pitu ngiris

‗kencur tujuh iris‘

‗kencur tujuh iris‘

10. asa da mintora i ma pitu hali

‗supaya di mantra i lah tujuh kali‘

‗supaya dimantrailah tujuh kali‘

11. asa di sasar di ho

‗supaya di serak di kamu‘

‗supaya diserak untuk kamu‘

12. asa pangir hon ma ana di ba datu na mangaji olo guru nami

‗supaya keramas kan lah itu di ber dukun nya mengaji iya guru kami‘

‗supaya keramaskanlah itu diberdukun kami mengaji iya guru kami‘

(Harahap dkk, 2020:10-12)

Penulis naskah memberi nasihat agar kita dapat menjaga diri. Adapun leksikon yang terkandung dalam poda ni pagar bersarkan data 3 adalah:

a. Lada Pina ‗Kayu Ules/Putaren‘ (Helicteres isora)

Secara morfologi, lada pina merupakan frasa nomina. Lada pina adalah tanaman perdu berbentuk semak dan banyak ditemukan di dataran tinggi, berbukit dengan memiliki kemiringan lahan yang tajam dan daerah kering dengan musim kemarau yang panjang (Prameswari, 2021). Namun, leksikon lada pina merupakan bagian kata arkais karena sudah tidak lagi dikenal oleh masyarakat Mandailing. Saat wawancara dengan datu, datu mengatakan masyarakat Mandailing mengenal leksikon ini dengan sebutan lada putar ‗kayu ules‘. Secara biologis, hampir semua bagian kayu ules bermanfaat, yaitu akarnya dimanfaatkan untuk obat batuk dan asma, daunnya diolah untuk melawan eksim dan pengobati penyakit kulit, kulit dan akarnya dijadikan suplemen untuk menambah nafsu

makan, kulit kayunya merupakan antydisentric dan dapat diolah menjadi obat demam, rematik, dan diare.

Berdasarkan hasil wawancara dengan datu, secara ideologis lada putar berada dalam kognitif datu karena saat diwawancara datu menyebutkan bahwa lada putar berfungsi untuk memutar hati orang yang ingin berbuat jahat. Tanaman ini dekat dengan datu karena sangat berguna dalam pengobatan, tetapi tidak banyak masyarakat Mandailing yang memanfaatkannya dalam hidupan sehari-hari. Secara sosiologis, tanaman ini sudah tidak akrab lagi dengan masyarakat Mandailing. Hal ini terbukti karena untuk mengobati beberapa penyakit umum, seperti demam, rematik, dan diare, masyarakat menggunakan tanaman yang ada di sekitar dan yang lebih mudah didapatkan, seperti air kelapa untuk mengobati demam, kunyit untuk mengobati rematik, dan daun jambu biji untuk mengobati diare.

b. Sipilit ‗Gandarusa‘ (Justicia gendarussa)

Ditinjau dari morfologinya sipilit termasuk kategori nomina. Sipilit

‗gandarusa‘ adalah tumbuhan obat yang sangat terkenal dalam pengobatan tradisional. Tidak hanya di daerah Mandailing, tanaman ini juga terkenal pada pengobatan masyarakat Batak Toba dan Batak Karo. Dalam pengobatan, tumbuhan ini biasanya diramu bersama tumbuhan lain yang dikenal denga nama sisanghil ‗pletekan‘. Berdasarkan ideologis masyarakat Mandailing, tanaman ini disebut sebagai tanaman pamborgoi maksudnya adalah tanaman ini berguna untuk menyejukkan lingkungan di sekitar tumbuhnya tanaman tersebut. Pemahaman tersebut menjadikan masyarakat Mandailing menanam tanaman ini di halaman rumah dengan harapan agar rumah tersebut terhindar dari berbagai penyakit dan

57

niat jahat orang lain. Karena masih ditanam di halaman rumah, ini menunjukkan bahwa secara sosiologis masyarakat Mandailing akrab dengan tanaman sisanghil dan masih memanfaatkannya hingga saat ini.

Berdasarkan dimensi biologis, tumbuhan ini merupakan perdu yang tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 2 m, percabangan banyak, dimulai dari dekat pangkal batang. Cabang yang masih muda berwarna ungu gelap dan bila sudah tua menjadi coklat mengkilap. Letak daun berhadapan, daun tunggal berbentuk lanset, warna hijau gelap. Bunganya kecil berwarna putih. Bagian yang dimanfaatkan untuk pengobatan adalah seluruh bagian. Mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, minyak asiri. Sipilit juga dimanfaatkan untuk mengobati sakit kepala, rematik, dan terkilir dan asam urat (Hidayat & Rodame, 2015:127).

c. Sisanghil ‗Pletekan‘ (Ruellia tuberosa L)

Sisanghil merupakan kelas kata nomina. Berdasarkan dimensi biologis sisanghil yang bernama Latin Ruellia tuberosa L. adalah herba tegak yang sering dijumpai tumbuh liar di berbagai tempat. Bagian daun dan akar sisanghil mengandung saponin. Selain itu, daunnya juga mengandung polifenol dan akarnya mengandung terpenoid atau steroid (Handayani et al., 2020:66). Tanaman ini berkhasiat sebagai obat alami untuk membantu mengurangi peradangan, panas, demam, nyeri, asma, impotensi pria, diabetes, dan juga dapat membantu mengurangi gas dalam sistem pencernaan dan meredakan sakit perut. Berdasarkan ideologis masyarakat, sisanghil sama halnya seperti tanaman sipilit yang dikenal sebagai tumbuhan pamborgoi. Dalam naskah Poda ni Alimunan kedua tumbuhan ini bersama ramuan lain digunakan sebagai penjaga diri karena secara umum kedua tanaman ini dikenal juga sebagai benda pengusir begu ‗setan‘. Beberapa

orang masyarakat Mandailing menanam tanaman ini di sekitar pekarangan rumah dan secara sosiologis masih akrab dan mengetahui manfaatnya sebagai tanaman penjaga diri.

d. Hunik ‗Kunyit‘ (Curcuma longa)

Leksikon hunik ‗kunyit‘ memiliki kedekatan yang sangat erat dengan masyarakat Mandailing. Dalam dimensi biologis hal tersebut dapat diamati pada ciri-ciri hunik yang memiliki batang tidak bercabang, bentuknya memanjang dan merupakan batang semu yang tertutup rapat oleh pelepah daun, berwarna hijau agak keunguan. Tanaman hunik memiliki daun 3 sampai 8 helai dengan panjang daun beserta pelepahnya sampai 70 cm. Kulit luar rimpang hunik berwarna jingga kecoklatan (Hidayat & Rodame, 2015:239). Dalam dimensi sosiologis masyarakat Mandailing sering menggunakan hunik sebagai obat, yaitu untuk menyembuhkan mual-mual, luka setelah melahirkan, diare, maag, demam berdarah, sakit perut dan menambah nafsu makan. Selain itu, hunik juga digunakan sebagai bumbu dalam masakan masyarakat Mandailing, khususnya masakan gulai. Ditinjau dari bentuk dan kategorinya hunik tergolong leksikon dasar dan termasuk kategori nomina atau kata benda. Tanaman ini memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan yang terekam secara verbal di dalam kognitif masyarakat Mandailing secara ideologis, sehingga di belakang rumah atau pekarangan masyarakat Mandailing masih kita temui hunik ini. Dalam kepercayaan masyarakat Mandailing, hunik juga dimanfaatkan untuk mengobati seseorang yang tarsapo ‗meriang karena ditegur oleh makhluk halus‘. Tata cara pengobatan tarsapo adalah:

a) Buwat ma aek i galas.

‗Ambil lah air di gelas.‘

‗Ambillah air di gelas.‘

b) Masuk kon ma sa golom danon.

59

‗Masuk kan lah se genggam beras‘

‗Masukkanlah segenggam beras‘

c) Horot ma hunik, masuk kon ma tu galas i.

‗Potong lah kunyit, masuk kan lah ke gelas itu.‘

‗Potonglah kunyit, masukkanlah ke gelas itu.‘

d) I painum tu halak na tarsapo i.

‗Di minumkan kepada orang yang tarsapo itu.‘

‗Diminumkan kepada orang yang tarsapo itu.‘

e) Aek na lobi i di apus kon tu pamatang ni halak na tarsapo i.

‗Air yang sisa itu di usap kan ke badan nya orang yang tersapo itu‘.

‗Air sisanya diusapkan ke badannya orang yang tersapo itu‘.

Selain itu, dalam naskah Poda ni Alimunan, hunik dimanfaatkan untuk pembuatan ramuan poda ni pagar yang berguna untuk menjaga diri kita dari bahaya dan gangguan makhluk halus yang tidak terlihat. Hal ini karena dari hasil belajar dengan gurunya penulis naskah memperoleh ilmu bahwa hunik bisa menjadi salah satu pagar untuk diri sendiri.

e. Lasuna ‗Bawang Putih‘ (Allium sativum)

Leksikon lasuna merupakan kelas kata nomina yang dikenal dengan julukan umbi seribu khasiat karena berguna dalam pengobatan. Lasuna sudah digunakan sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno untuk dikonsumsi sebagai pegobatan dan bumbu masakan. Bagian yang dimanfaatkan adalah umbi karena mengandung allilin dan sulfur. Penyakit yang dapat diobati menggunakan lasuna adalah:

kanker, hipertensi, jantung kolestrol, dan berbagai penyakit kulit.

Secara biologis, lasuna merupakan herba annual, tumbuh tegak, tingginya 30-60 cm. Batang kecil 0,5-1 cm. daun membentuk batang semu. Bunga majemuk membentuk payung sederhana, muncul di setiap anak umbi. Umbi lapis berupa umbi majemuk berbentuk hampir bundar garis tengah nya 4-6 cm terdiri atas 8-20 siung seluruhnya diliputi 3-5 selaput tipis serupa kertas berwarna agak putih tiap siung diselubungi oleh dua selaput serupa kertas, selaput luar warna agak putih

dan agak longgar selaput dalam warna merah muda dan melekat pada bagian padat (Hidayat & Rodame, 2015:51).

Secara sosiologis, masyarakat Mandailing menggukan lasuna sebagai bumbu yang menambah cita rasa makanan. Penggunaannya bisa dengan cara mengiris dan mencampurnya dalam bumbu sambal atau gulai serta menggilingnya untuk memberi wangi sedap pada masakan. Selain itu, lasuna juga dipercayai memiliki kekuatan magis, yaitu untuk melindungi diri dari makhluk halus. Secara ideologis, lasuna terekam di dalam kognitif masyarakat Mandailing dan sangat dekat dengan masyarakat Mandailing. Hal ini terlihat dari masyarakat yang masih mempercayai penggunaan lasuna pada pakaian bayi yang baru lahir agar tidak diganggu oleh makhluk halus. Dalam pengobatan, di Mandailing rebusan air lasuna bermanfaat untuk menurunkan kolestrol dan menyehatkan jantung.

f. Pege ‗Jahe‘ (Zingiber officinale)

Berdasarkan dimensi biologis, leksikon pege merupakan herba berbatang semu yang sangat mudah dijumpai dan banyak dijual di pasar tradisional. Tinggi tanaman ini mencapai 1 m dan akarnya berbentuk rimpang dengan daging akar berwarna kuning hingga kemerahan dan bau menyengat. Bagian pege yang digunakan sebagai ramuan obat adalah rimpang karena mengandung minyak asiri yang terdiri alpa pinen, beta fellandren, borneol, camfen, limonen, linanlool, citral, nonilaldehid, desilaldehid, metilheptenon, sineol, bisabolen, 1 beta kurkumen, farnesen, humulen, dan zingiberen (Hidayat & Rodame, 2015:147).

Berdasarkan dimensi sosiologis, pege merupakan kelas kata nomina dimanfaatkan untuk mengobati penyakit sakit kepala, rematik, sakit perut, pusing, kolera, penawar racun ular, masuk angin, keseleo, dan bengkak. Berdasarkan hasil

61

wawancara dengan datu dan kepercayaan masyarakat Mandailing, pege khususnya yang berwarna merah dimanfaatkan untuk mengobati batuk, memperindah suara, dan keracunan. Berdasarkan dimensi ideologis, pege terekam di dalam kognitif masyarakat Mandailing dan sampai saat ini masih sering digunakan. Hal ini terbukti dari penggunaan pege na rara sebagai salah satu pulungan ‗ramuan‘ untuk mengobati keracunan atau yang sering disebut juga tarpangan dalam bahasa Mandailing. Selain itu, pege na rara juga dimanfaatkan pembuatan ramuan obat batuk bersama gulo bargot. Adapun tata cara mengobati batuk menggunakan pege na rara ‗jahe merah‘ yang terekam dalam kognitif masyarakat dan juga digunakan oleh datu dalam mengobati orang sakit adalah:

a. Buwat ma pege na rara.

‗Ambil lah jahe yang merah‘.

‗Ambillah jahe merah‘.

b. Robus ma dohot gulo bargot.

‗Rebus lah dengan gula aren‘.

‗Rebus lah bersama gula merah‘.

c. I ma di painum tu halak na batuk i.

‗Itu lah di minumkan kepada orang yang batuk itu‘.

‗Itulah diminumkan kepada orang yang batuk tersebut‘.

Selain itu, dari hasil wawancara bersama datu, pege na rara juga digunakan untuk memperindah suara. Tata cara untuk memperindah suara adalah:

a. Da buwat ma pege na rara.

‗Di ambil lah jahe yang merah‘.

‗Diambillah jahe merah‘.

b. Iris ma tipis-tipis.

‗Iris lah tipis-tipis‘.

‗Irislah tipis-tipis‘.

c. I ma di ulum-ulum tai inda tola di kilkil an.

‗Itu lah di kunyah-kunyah tapi tidak boleh di gigit an‘.

‗Itulah dikunyah-kunyag tapi tidak boleh digigit‘.

g. Salimbatuk ‗Jeringo‘ (A. calamus)

Secara biologis, leksikon salimbatuk yang bernama Latin A. calamus merupakan tumbuhan obat yang berimpang. berwarna putih dengan kulit rimpang berwarna merah muda. Bagian daun tebal dan keras seperti pedang dan apabila dikoyak mampu memberikan aroma yang khas. Secara sosiologis, salimbatuk dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional sebagai anti spasmodik, karminatif, anthelmintik, aromatik, ekspektoran, nauseate (mual), nervine (obat penenang), mempunyai sifat stimulan, asma bronkhitis, demam, kolik, epilepsi, penyakit mental, diare kronis, disentri dan tumor di perut. Hal ini karena salimbatuk memiliki kandungan kimiaglikosida, flavonoid, saponin, tanin, polifenol, minyak atsiri yang terdiri dari calamen, clamenol, calameon, asarone, dan sesquiterpene (Widyastuti et al., 2019:12).

Secara ideologis, masyarakat Mandailing khususnya datu di Kecamatan Sorik Marapi, Desa Maga Lombang mempercayai bahwa salimbatuk memiliki fungsi untuk mengusir makhluk halus atau sesuatu yang tidak terlihat.

Kepercayaan ini berdasarkan cerita yang pernah disampaikan bahwa ada tiga perjanjian antara Tuhan dengan begu ‗hantu‘. Perjanjian ini mengenai sesuatu yang ditakuti oleh begu, yaitu salimbatuk ‗jerangau‘, unik bungle ‗kunyit bungle‘, dan lampuyang ‗lempuyang‘. Ketiga tanaman ini adalah pulungan ubat ‗ramuan obat‘ untuk terhindar dari gangguan begu atau makhluk halus berdasarkan perjanjian dengan Tuhan. Dalam naskah Poda ni Alimunan, leksikon salimbatuk yang secara morfologi merupakan kelas kata nomina digunakan untuk menjaga diri dari makhluk atau penyakit yang tidak terlihat. Berikut kutipan naskah yang

63

berisi mantra untuk menjaga diri menggunakan pulungan ubat poda ni pagar yang salah satu ramuannya adalah salimbatuk.

ung a busahang haen iyat mipat sirta satasanghan da duwa i tu porbuaton urang merupas manglingmang hu guransang i na ma mosat hu na tu tompatna aha mi

...

didulilang haya haram haya mudar &&&

‗ung a busahang kain iyat mipat sirta satasanghan kedua itu ke perbuatan jangan mengelepas memalingkanku palang pintu itu yang memencetku yang ke tempatnya apalah itu ... didulilang haya haram haya mudar‘.

Dari kutipan naskah yang berisi mantra di atas tergambar bahwa pulungan ubat poda ni pagar berfungsi untuk menjadi pelindung diri agar terhindar dari niat jahat orang lain yang dikirim melalui makhluk halus atau penyakit yang tidak dapat terlihat.

h. Hasior ‗Kencur‘ (Kaempferia galanga)

Leksikon hasior ‗kencur‘ yang bernama Latin Kaempferia galanga (KG) telah lama digunakan masyarakat Asia termasuk Indonesia sebagai obat tradisional dan bumbu masak. Secara biologis, hasior merupakan tanaman herba aromatis dengan daun biasanya 2-3(-5) dengan seludang 1,5-5 cm, daun sering horizontal dan menutupi permukaaan tanah. Ethyl-trans-p-methoxy cinnamate dan trans-ethyl cinnamate merupakan senyawa utama yang sangat penting pada KG dan merupakan komponen yang memiliki sifat pharmakologi, oleh karena itu penting dilakukan pemilihan aksesi dengan kandungan senyawa bioaktif yang tinggi. Secara etnobotani KG digunakan sebagai obat ekspektorat, karminatif, obat batuk, rematik, dan anti kanker, kolera, vasorelaksasi, anti mikroba, antioksidan, anti alergi penyembuhan luka (Silalahi, 2019:127).

Secara sosiologis, masyarakat Mandailing menggunakan hasior untuk memberi wangi khas pada makanan tertentu, misalnya peyek. Dari segi

pengobatan, hasior lebih banyak dimanfaatkan untuk mengobati penyakit masuk angin dan juga obat batuk oleh masyarakat Mandailing. Namun, di dalam naskah Poda ni Alimunan, hasior dimanfaatkan untuk campuran ramuan poda ni pagar

‗pelindung diri‘. Secara ideologis, leksikon hasior akrab dengan masyarakat Mandailing karena masyarakat sering menggunakan hasior untuk pengobatan masuk angin dan beberapa olahan minuman herbal yang berbahan dasar kencur, seperti: beras kencur, teh jahe kencur, dan jus kencur untuk meredakan batuk.

Selain leksikon nomina, diturunkan pula sejumlah leksikon verba dalam poda ni pagar, seperti verba buwat yang diturunkan dari frasa nomina lada pina.

Verba dabuwatma untuk mengambil bahan-bahan ramuan yang diperlukan tetapi namanya tidak diketahui. Tulisan tidak terbaca dan saat ditanyakan kepada informan sudah tidak ada informan yang tahu isi naskah tersebut. Namun, beberapa tanaman lain yang perlu diambil adalah nomina sipilit, sisanghil, hunik, lasuna, pege, salimbatuk, dan hasior. Setiap tanaman tersebut diambil sebanyak tujuh irisan. Selain itu, nomina sipilit dan sihanggil juga menurunkan verba solotima yang berarti dekatilah, maksudnya karena tanaman sipilit dan sihanggil merupakan tanaman penjaga diri maka perlu untuk berhati-hati dalam mengambilnya. Setelah semua bahan ramuan sudah terkumpul diturunkan verba mintoraima ‗mantrailah‘ dan disasar ‗diserak‘ sebagai tata cara agar ramuan tersebut dapat digunakan. Cara penggunaan ramuan tersebut sesuai dengan turunan verba pangirhonma ‗keramaskanlah‘ dengan dukun yang menurunkan verba mangaji ‗membaca bacaan mantra‘ supaya niat dari yang berpangir tersebut dapat dikabulkan.

65

Dokumen terkait