• Tidak ada hasil yang ditemukan

Leksikon Pengobatan Tradisional dalam Naskah Masyarakat Mandailing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Leksikon Pengobatan Tradisional dalam Naskah Masyarakat Mandailing"

Copied!
298
0
0

Teks penuh

(1)

LEKSIKON PENGOBATAN TRADISIONAL DALAM NASKAH MASYARAKAT MANDAILING: KAJIAN

EKOLINGUISTIK

TESIS

Oleh

LATIFAH YUSRI NASUTION 187009035/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

(2)

EKOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Linguistik pada Fakultas Ilmu

Budaya

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LATIFAH YUSRI NASUTION 187009035/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP I. Identitas Diri

Nama

Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin

Agama

Kewarganegaraan Status Perkawinan Alamat

No. HP Email

: Latifah Yusri Nasution : Pinangsori/22 Maret 1996 : Perempuan

: Islam : Indonesia : Belum menikah

: Jl. Lapangan Pinangsori, Tapanuli Tengah : 082369901713

: Latifahyusri22@gmail.com

II. Pendidikan Formal

Jenjang Pendidikan

Perguruan Tinggi (S-2) Perguruan Tinggi (S-1) Sekolah Menengah Atas

Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Dasar

Tempat

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara MA Negeri 1

Padangsidimpuan MTs Negeri Padangsidimpuan MI Negeri 1 Pinangsori

Tahun

2019-2022 2011-2014 2011-2014 2008-2011 2002-2008

(7)

III. Publikasi

Tahun Judul Nama jurnal

2020 Analisis Aspek Gramatikal dalam Cerita Anak Loly Takut Bertanya Karya Rudi Cahyono

Lwsa conference series 03

2020 Predikat Kompleks dalam Bahasa Angkola Mandailing

Litera

2020 Market Names In Medan: A Natural Semantic Metalanguage Study

Retorika

2022 The Treasures of Traditional Medicine of Pagar Doa in The Script of Poda Ni Alimunan: An Ecolinguistic Study

Birci journal

(8)

i ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis khazanah leksikon pengobatan tradisional yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing berdasarkan teori dimensi praksis sosial dan menganalisis kesalingterhubungan, interaksi, dan kesalingketergantungan antara mantra dan masyarakat pengguna mantra yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan ekolinguistik. Sumber data yaitu data tulis dan data lisan.

Data tulis berasal dari naskah Poda ni Alimunan yang diperoleh dari Hutagodang, Mandailing Natal, sedangkan data lisan adalah hasil wawancara dengan tiga orang datu di Desa Maga Lombang, Kecamatan Lembah Sorik Marapi sebagai informan kunci dan untuk mengecek keabsahan data. Teknik pengumpulan data menggunakan metode simak dan analisis data dengan metode padan. Hasil analisis dari permasalahan pertama menunjukkan bahwa leksikon pengobatan dalam naskah Poda ni Alimunan terdiri atas 22 leksikon frasa nomina/nomina tanaman obat, 4 leksikon yang berasal dari frasa nomina/nomina hewan, 3 leksikon yang berasal dari frasa nomina benda mati, dan 25 leksikon yang berasal dari verba. Khazanah leksikon pengobatan tradisional tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) kelompok leksikon poda ni alimunan na todinghon ni bahaya, (2) kelompok leksikon poda ni pagar, dan (3) kelompok leksikon pagar doa. Dalam kelompok pagar doa dijelaskan pula beberapa penyakit, cara pengobatan, dan mantranya, yaitu penyakit morngolian do holi, morbosar pangona sahat, matondik-tondik, dan doling-doling mata na golap. Hasil analisis permasalahan kedua menunjukkan bahwa mantra dan masyarakat pengguna mantra (datu) yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing memiliki kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan (interdepensi). Mantra bertujuan untuk menyampaikan maksud tujuan pengobatan, sebagai wadah interaksi antara datu dengan Tuhan ataupun dengan makhluk halus, dan tanpa adanya mantra, maka harapan ataupun permintaan sang datu untuk menyembuhkan penyakit tidak akan tercapai.

Sebaliknya, tanpa adanya datu, doa yang ada di dalam mantra tidak akan tersampaikan kepada Tuhan atau makhluk halus lainnya karena tidak ada yang merapal dan memohon agar harapan tersebut dapat dikabulkan.

Kata kunci: leksikon, pengobatan tradisional, naskah, masyarakat Mandailing, ekolinguistik

(9)

ii

(10)

iii

kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan serta menyelesaikan tesis ini dengan judul ‗Leksikon Pengobatan Tradisional dalam Naskah Masyarakat Mandailing‘. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa risalah yang benar sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat.

Tesis ini ditulis untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) Pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat do‘a dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan ini. Secara khusus ucapan terima kasih ini disampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Dr. Muryanto Amin, S. Sos., M.

Si.

2. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Ibu Dr. T.

Thyrhaya Zein, MA.

3. Bapak Dr. Mulyadi, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Linguistik dan Ibu Dr. Alemina Br Perangin-angin, M.Hum., Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Linguistik yang telah memberikan perhatian, dukungan, dan bimbingan selama mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Dardanila, M. Hum. dan Ibu Dr. Dwi Widayati, M.Hum. selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

5. Bapak Prof. Dr. Khairina Nasution, M.S., Ibu Dr. Tasnim Lubis, M.Hum, dan Bapak Dr. Eddy Setia, M.Ed.,TESP selaku dewan penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk penulis sehingga penelitian tesis ini menjadi lebih baik.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang mengajar di Program Studi Magister Ilmu Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan.

7. Kepada staf administrasi Program Studi Magister Ilmu Linguistik yang telah membantu mengurus keperluan administrasi selama penyusunan tesis dan selama perkuliahan.

8. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Ayahanda Sogir Nasution dan Ibunda Nursawani Hasibuan yang selalu menyemangati dan mendoakan peneliti untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih telah mempercayai dan mendukung penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dan keluarga penulis yang selalu membantu dan memberi dukungan, yaitu Kakanda Juli Agustina Nasution, Adinda Khadijah Marito Nasution, Lailan Mardiyah Nasution, Raudhatul Husna Nasution, Radhatul Jannah Nasution, dan Fauzan Marzuki Nasution.

(11)

iv

9. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. terima kasih atas dukungan, waktu, dan saran yang telah diberikan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

10. Bapak kepala Desa Maga Lombang dan Adinda Nikmah Annum, S.S. yang membantu penulis selama pengumpulkan data di Desa Maga Lombang, Kecamatan Lembah Sorik Marapi.

11. Bapak Ramli Rangkuti, Bapak Busron Nasution, dan Ibu Kayani Nasution selaku informan yang membantu penulis dalam memvalidasi data yang ada di dalam naskah Poda ni Alimunan.

12. Teman-teman angkatan tahun 2018 semester genap dan seluruh Mahasiswa Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU.

13. Seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan.

Penulis menyadari penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.

Medan, Oktober 2021 Penulis

Latifah Yusri Nasution

(12)

v

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Batasan Masalah ... 9

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 10

1.5.2 Manfaat Praktis ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Tinjauan Pustaka ... 12

2.1.1 Leksikon ... 13

2.1.2 Naskah... 13

2.1.3 Pengobatan Tradisional ... 13

2.1.4 Masyarakat Mandailing ... 14

2.1.5 Mantra ... 15

2.2 Landasan Teori... 17

2.3 Penelitian Relevan ... 23

2.4 Kerangka Konseptual ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Jenis Penelitian... 29

3.2 Lokasi Penelitian ... 29

3.3 Data dan Sumber Data ... 31

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data... 34

3.6 Pengecekan Keabsahan Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Hasil Penelitian ... 39

4.1.1 Leksikon Pengobatan Tradisional dalam Naskah Masyarakat Mandailing ... 39

4.1.2 Parameter Kesalingterhubungan (interrelationships), Interaksi (Interaction), dan Kesalingterhubungan (Interdepensi) Antara Mantra dan Masyarakat Pengguna Mantra dalam Naskah Masyarakat Mandailing ... 47

4.2 Pembahasan ... 48 4.2.1 Khazanah Leksikon Pengobatan Tradisional dalam Naskah

(13)

vi

Masyarakat Mandiling ...48

4.2.1.1 Poda ni Alimunan ma inon na Tondinghon ni Bahaya ... 48

4.2.1.2 Poda ni Pagar... 54

4.2.1.3 Pagar Doa ... 65

4.2.1.3.1 Pengobatan Morngiluan do Holi ... 76

4.2.1.3.2 Pengobatan Matondik tondik ... 80

4.2.1.3.3 Pengobatan Doling doling Mata na Golap 83 4.2.2 Kesalingterhubungan (interrelationships), Interaksi (Interaction), dan Kesalingterhubungan (Interdepensi) Antara Mantra dan Masyarakat Pengguna Mantra yang Terdapat dalam Naskah Masyarakat Mandailing ... 86

4.2.2.1 Mantra Poda ni Alimunan ma inon na Tondinghon ni Bahaya ... 86

4.2.2.2 Mantra Poda Pagar ... 89

4.2.2.3 Mantra Pagar Doa ... 92

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 97

5.1 Simpulan ... 97

5.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(14)

vii

No. Judul Halaman

1. Leksikon pengobatan tradisional masyarakat Mandailing ... 35

2. Leksikon pengobatan poda ni alimunan na todinghon na bahaya ... 40

3. Leksikon pengobatan poda pagar ... 41

4. Leksikon pengobatan pagar doa ... 42

5. Leksikon pengobatan morngiluan do holi... 44

6. Leksikon pengobatan matondik tondik... 45

7. Leksikon pengobatan doling doling (soling) mata na golap ... 46

(15)

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 1. Kerangka Konseptual ... 28 2. Peta Kabupaten Mandailing Natal ... 30

(16)

ix

1. Gambar Naskah Poda ni Alimunan (Aksara Tulak-Tulak) ... 104

2. Transliterasi dan Terjemahan Naskah Poda ni Alimunan ... 165

3. Pedoman Wawancara ... 196

4. Transkrip Rekaman Wawancara ... 197

5. Daftar Gambar Leksikon Tanaman Obat dalam Naskah Poda ni Alimunan ... 277

6. Surat Izin Penelitian ... 281

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Naskah adalah salah satu sumber primer paling autentik yang dapat mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini (Fathurahman, 2015:27).

Naskah ditulis untuk menjadi pedoman hidup bagi generasi selanjutnya karena di dalam naskah tergambar sejarah, kebudayaan, kesusastraan, keagamaan, sistem pengetahuan, pengobatan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Naskah-naskah kuno nusantara pada dasarnya merupakan dokumen tertulis yang merekam ide atau gagasan suatu masyarakat pada zamannya. Banyaknya naskah kuno di nusantara, tetapi hal ini belum diimbangi dengan cara pelestariannya. Kurangnya perhatian baik dari kalangan akademis maupun kalangan nonakademis menjadikan naskah kuno nusantara hanya sebagai koleksi museum atau koleksi pribadi sebagian masyarakat.

Salah satu naskah yang menjadi koleksi pribadi masyarakat adalah naskah kuno Mandailing yang berisi pengobatan tradisional. Naskah ini dimiliki oleh seorang keturunan huria ‗raja‘ di daerah Huta Godang, Kabupaten Mandailing Natal. Kabupaten Mandailing Natal merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten ini merupakan bagian paling selatan dari Provinsi Sumatera Utara dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat.

Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis, yaitu masyarakat etnis Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir (Widiarsih & Sandri, 2018:270-271).

(18)

Naskah kuno milik keturunan huria ini tidak memiliki judul dan tahun penulisan, tetapi untuk memudahkan peneliti dalam penyebutan naskah, naskah ini diberi judul Poda ni Alimunan ‗Nasihat Orang Sakti‘. Naskah ini ditulis menggunakan aksara Mandailing/tulaktulak pada laklak (kulit kayu) yang memiliki 120 halaman dan setiap halaman berisi 8-12 baris, tetapi beberapa baris dalam naskah ada yang sudah rusak dan tidak dapat dibaca lagi, serta di beberapa halaman terdapat gambar. Namun, naskah yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah yang sudah ditransliterasi menjadi tulisan Latin oleh Harahap, dkk (2020). Naskah Poda ni Alimunan merepresentasikan tradisi lokal yang ada di daerah Mandailing karena di dalamnya tertulis pedoman hidup berisi tata cara pengobatan.

Adapun pengobatan yang dijelaskan dalam naskah Poda ni Alimunan adalah poda ni alimunan ma inon na tondinghon ni bahaya ‗nasihat orang sakti agar terlindung dari bahaya‘; poda ni pagar ‗nasihat pelindung diri‘; poda ni doa Raja Suge ‗nasihat doa Raja Suge‘; pagar doa ‗doa pelindung diri‘ yang di dalamnya ada tata cara pengobatan matondik-tondik ‗demam atau menggigil‘, morngiluan do holi ‗badan pegal-pegal‘, doling doling (soling) mata na golap ‗rabun senja‘, dan morbosar pangona ni sahat ‗bengkak akibat dibuat oleh orang jahat (dikirim orang)‘; poda ni tahan tu jumah ‗nasihat agar menjadi kebal‘; poda ni pagar tulba

‗nasihat pelindung hati‘; poda ni pagar pamalim ‗nasihat pelindung pamalim‘;

poda ni pagar subutan ‗nasihat pelindung subutan‘. Pengobatan ini memanfaatkan lingkungan flora, yaitu tanaman obat yang ada di lingkungan alam Mandailing.

Menurut Widharto (2011:164-165), pengobatan yang memanfaatkan bahan-bahan alami diistilahkan sebagai pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional atau

(19)

3

pengobatan rakyat didasarkan pada pemakaian tumbuhan-tumbuhan dan ekstrak tumbuhan sebagai bahan obat.

Keanekaragaman tanaman obat dalam naskah masyarakat Mandailing merefleksikan sumber daya alam Mandailing yang melimpah. Kekayaan alam ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari dan juga sebagai pengobatan tradisional di wilayah Mandailing. Hal ini menggambarkan adanya hubungan antara bahasa, tradisi pengobatan masyarakat Mandailing, dan lingkungan yang ada dalam naskah Poda ni Alimunan.

Hubungan antara bahasa dan lingkungannya, baik lingkungan manusia/sosial maupun lingkungan alamiah dapat dikaji melalui kajian ekolinguistik. Istilah ekolinguistik muncul ketika Halliday pada tahun 1990 dalam Association Internationale de Linguistique Appliquée (AILA) memaparkan elemen-elemen dalam sistem bahasa yang dianggap ekologis (’holistic’ system) dan tidak ekologis (’fragmented’ system). Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis, yakni ekologi sebagai lingkungan biologis. Halliday (2001) menjelaskan bahwa bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatika, tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan alam dan sosial budaya masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan.

Naskah yang merupakan warisan leluhur berisi pengetahuan masa lalu tentang pengobatan merupakan sumber penting yang tidak bisa diabaikan dalam kehidupan. Namun, perhatian dan pemanfaatan naskah lama khususnya oleh

(20)

masyarakat lokal masih sangat minim (Almos & Pramono, 2015:45), sehingga pengetahuan yang ingin diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi selanjutnya lambat laun tidak lagi dikenali. Hal ini sejalan dengan pendapat Rasna

& Binawati (2010:175) yang menyatakan bahwa jika bahasa itu tidak banyak dipakai oleh penutur dan ranahnya sempit, maka bahasa itu akan terdesak oleh bahasa yang lebih dominan. Keberlangsungan situasi ini secara terus menerus akan mengakibatkan kepunahan leksikal, terutama dengan lahirnya kata- kata/istilah baru yang menggantikan bahkan menggeser posisi kata/istilah lama.

Hal ini terjadi sebagai akibat melemahnya kemampuan bertahan bentuk leksikal lama. Terjadi kekhawatiran jika kata-kata kedaerahan yang berhubungan dengan pengobatan tradisional dalam naskah lama Mandailing tidak dikenali lagi oleh masyarakat Mandailing. Untuk itu, perlu pelestarian, pendokumentasian, penganalisisan, dan pengembangan secara ilmiah dari perspektif ekolinguistik sehingga pengetahuan masyarakat Mandailing dalam hubungan dengan bahasa lingkungan tidak punah.

Menurut Crystal (2008:161-162) ekolinguistik adalah interaksi antara bahasa dan lingkungan budaya menjadi sangat penting di sisi nilai keberagaman bahasa, hak-hak kebahasaan perorangan dan kelompok, kesadaran, dan sikap tentang budaya komunikasi yang damai. Tiga dimensi atau tiga parameter ekolinguistik, yang bertolak dari parameter ekologi dan parameter linguistik yakni satuan-satuan bentuk dan makna lingual. Tiga parameter ekologi ini adalah environment (lingkungan), diversity (keberagaman), serta interrelation, interaction, dan interdependence (kesalingterhubungan, interaksi, dan kesalingtergantungan). Ekologi sebagai sebuah pendekatan, mempertimbangkan

(21)

5

adanya jejaring hubungan yang kompleks antara lingkungan (environment), bahasa-bahasa yang hidup di suatu kawasan atau lingkungan tersebut, dan dengan penuturnya.

Salah satu interaksi antara bahasa dan lingkungan Mandailing dapat dilihat pada tata cara pengobatan matondik tondik ‗demam‘ dalam naskah Poda ni Alimunan. Berikut tata cara pengobatan matondik tondik ‗demam‘.

Data 1

a) Nasahat asa da buwat ma halak hunik por buye sada

‗yang berwujud supaya di ambil lah orang kunyit ber buah satu‘

‗supaya diambillah kunyit tunggal‘

b) golom hapur da tombur ma di aek ni pisang tabar

‗pegang kapur sirih di siram lah di air nya pisang kepok‘

‗peganglah kapur sirih dan siramlah dengan air pisang kepok‘

c) da giling ma tor limut

‗di giling lah sampai halus‘

‗gilinglah sampai halus‘

d) mintorai ma pitu hali

‗mantrai lah tujuh kali‘

‗mantrailah tujuh kali‘

e) dampol hon ma di na sahit tinon

‗tempel kan lah di yang sakit itu‘

‗tempelkanlah ke badan yang sakit tersebut‘ (Harahap dkk, 2020:44-45)

Naskah ini menggambarkan tradisi pengobatan matondik-tondik ‗demam‘ yang dilakukan oleh datu. Dalam mengobati demam si datu membuat ramuan obat- obatan berasal dari tanaman di lingkungan sekitar, yaitu hunik porbuye sada

‗kunyit tunggal (induk kunyit)‘, hapur ‗kapur sirih‘, dan aek pisang tabar ‗air pisang kepok‘. Pemilihan leksikon hunik porbuye sada sebagai bahan obat demam karena tanaman tersebut memiliki kadungan antiradang dan antibakteri yang dapat bermanfaat untuk obat demam. Begitu pun dengan leksikon aek pisang tabar, menurut kepercayaan masyarakat Mandailing, aek pisang tabar memiliki sifat menyejukkan sehingga dapat menurunkan penyakit demam. Selain leksikon

(22)

tanaman tersebut, tradisi pengobatan matondik-tondik juga menurunkan sejumlah leksikon verba, yaitu dabuwat ‗diambil‘, golom ‗pegang‘ datombur ‗disiram‘, dagiling ‗digiling‘, mintorai ‗mantrai‘, dan dampolhon ‗tempelkan‘.

Salah satu aspek bahasa yang paling mudah diamati untuk menilai keberadaan bahasa adalah melalui aspek leksikon. Kekayaan leksikon suatu bahasa merupakan representasi lingkungan alam, sosial, dan budaya yang beragam pula. Khazanah leksikon pengobatan tradisional masyarakat Mandailing mencerminkan keberagaman jenis, ukuran, bentuk, dan peristiwa alam yang dimiliki penutur bahasa Mandailing berdasarkan teori dimensi praksis sosial, yaitu dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wandik (2017) bahwa pengetahuan obat tradisional adalah realitas bahasa lingkungan dan realitas karakter komunitas tutur. Ketradisionalan merepresentasikan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal, budaya, dan kehidupan obat tradisional itu sendiri sehingga melalui khazanah leksikal suatu bahasa, karakter lingkungan alam, karakter lingkungan sosial-budaya, dan karakter masyarakat dapat dipahami secara jelas.

Selain kosa kata lingkungan, dalam naskah ini dijelaskan pula tentang mintora ‗mantra‘ yang digunakan datu ‗dukun‘ dalam mengobati penyakit.

Mintora merupakan teks monologis yang diucapkan menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari dan ada percampuran dengan bahasa-bahasa lain sehingga sulit dimengerti oleh orang lain (Ilyas, 2017:310). Mantra yang disampaikan oleh datu di dalam naskah berfungsi untuk mempermudah kontak dengan Tuhan. Parameter kesalingterhubungan (interrelationships) tercermin bahwa datu membutuhkan mantra yang tertulis dalam naskah pengobatan

(23)

7

tradisional. Interaksi (interaction) antara datu dengan mantra terlihat sangat jelas karena mantra sangat membutuhkan datu untuk melestarikannya begitu juga sebaliknya datu membutuhkan mantra sebagai media terhubung kepada Tuhan.

Kesalingtergantungan (interdepensi) antara datu dengan mantra tergambar dari setiap pengobatan tradisional yang terkandung dalam naskah Poda ni Alimunan terdapat mantra yang disampaikan oleh datu. Dengan demikian, masyarakat pengguna mantra (datu) dan mantra memiliki kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan (interdepensi).

Penelitian tentang naskah lama berisi pengobatan tradisional sudah banyak dikaji, yaitu: (1) Junaidi (2016) membahas pengobatan tradisional masyarakat Melayu pada naskah yang ditulis oleh Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Hasan (Raja Haji Ahmad Tabib) di Pulau Penyengat. Dalam penelitian ini Junaidi menyatakan bahwa praktik etnomedisin merupakan warisan budaya tradisional Melayu yang sangat berharga dan perlu untuk dipelajari, khususnya praktek pengobatan tradisional yang terdapat dalam naskah-naskah lama; (2) Yamin, dkk (2018) mengkaji pengobatan dan obat tradisional Suku Sasak di Lombok dalam naskah Usada. Simpulan dari penelitian ini adalah dari lima naskah lontar Usada, tercatat 324 jenis penyakit, tetapi setelah ditabulasi dan dibandingkan antara terjemahan naskah satu dengan naskah yang lain diperoleh sebanyak 263 jenis penyakit. Sisanya 61 jenis penyakit tertulis pada lebih dari satu naskah. Adapun tumbuhan obat/bahan obat dari naskah lontar Usada tersebut dan informasi dari masyarakat tercatat 163 jenis. Beberapa jenis merupakan tumbuhan obat/bahan obat unggulan nasional, khas, mulai langka, dan tercatat 63 nama tumbuhan

(24)

(38,6%) belum diketahui nama nasionalnya; (3) Hidayatullah (2019) membahas tentang mantra pengobatan dalam naskah Banjar. Pengobatan tradisional yang dikaji oleh Hidayat erat kaitannya dengan pengobatan yang menggunakan mantra sebagai medianya; (4) Mu‘jizah (2020) mengkaji naskah-naskah pengobatan yang ditulis oleh Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Hasan (Raja Haji Ahmad Tabib) di Pulau Penyengat berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hasil dari penggalian sistem pengobatan ini dapat disosialisasikan kepada masyarakat masa kini sebagai generasi penerus sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Terkait dengan objek kajian naskah Poda ni Alimunan sepengetahuan peneliti belum pernah dikaji dari segi ekolinguistik. Kajian-kajian terdahulu membahas tentang naskah, tetapi naskah tersebut berasal dari daerah selain Mandailing. Penelitian tentang naskah Mandailing dilakukan oleh Nasoichah, dkk (2020) yang membahas naskah Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas dari segi sastra. Penelitian Nasoichah, dkk berbeda dengan penelitian ini karena mengkaji naskah yang berbeda dan segi kajian ilmu yang berbeda pula.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sakinah (2016) dalam tesisnya yang berjudul ―Ekoleksikal Tanaman Obat Bahasa Melayu Serdang‖ ditemukan kajian terhadap tanaman obat, tetapi kajian tersebut tidak berkenaan dengan naskah.

Namun, kajian tersebut membahas tanaman obat bahasa Melayu Serdang dari segi ekolinguistik.

Fenomena tersebut menjadi alasan perlu dilakukan penelitian terhadap leksikon pengobatan tradisional dalam naskah masyarakat Mandailing menggunakan pendekatan ekolinguistik agar leksikon tersebut tidak punah dan

(25)

9

warisan nenek moyang suku Mandailing tetap lestari. Penelitian ini difokuskan pada khazanah leksikon pengobatan tradisional yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing berdasarkan teori dimensi praksis sosial, serta kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan (interdepensi) antara mantra dan masyarakat pengguna mantra dalam naskah masyarakat Mandailing.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah khazanah leksikon pengobatan tradisional yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing berdasarkan teori dimensi praksis sosial?

2. Bagaimanakah kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan (interdepensi) antara mantra dan masyarakat pengguna mantra yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing?

1.3 Batasan Masalah

Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna, dan mendalam maka permasalahan dalam penelitian ini perlu dibatasi. Oleh sebab itu penulis membatasi permasalahan hanya berkaitan dengan leksikon dan mantra pengobatan tradisional yang ada dalam naskah lama Mandailing, yaitu Poda ni Alimunan yang terdapat pada poda ni alimunan ma inon na tondinghon ni bahaya ‗nasihat agar terlindung dari bahaya‘, poda ni pagar ‗nasihat penjaga diri‘, pagar doa ‗doa

(26)

penjaga diri‘ yang terdiri dari pengobatan morngiluan do holi ‗pegal-pegal‘, matondik tondik ‗demam‘, dan doling-doling mata na golap ‗rabun senja‘.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis khazanah leksikon pengobatan tradisional yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing berdasarkan teori dimensi praksis sosial.

2. Menganalisis kesalingterhubungan, interaksi, dan kesalingtergantungan antara mantra dan masyarakat pengguna mantra yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1.5.1 Manfaat Teoretis

Adapun manfaat teoretis penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan informasi dan bahan masukan yang relevan dalam hal penelitian mengenai leksikon dalam pengobatan tradisional masyarakat Mandailing.

2. Memberikan dan memperdalam pengetahuan tentang kajian ekolinguistik.

3. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan peneliti dan menambah wawasan bagi peminat bahasa khususnya dalam lingkup ekolinguistik dan kajian naskah masyarakat Mandailing.

(27)

11

1.5.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Melestarikan leksikon dalam pengobatan tradisional Mandailing, khususnya yang ditemukan dalam naskah masyarakat Mandailing.

2. Merangsang hasrat untuk melindungi keberanekaan tanaman obat tradisional karena dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit.

3. Melestarikan warisan budaya masyarakat Mandailing, yaitu mintora

‗mantra‘ yang terdapat dalam naskah lama Mandailing.

4. Diharapkan dapat direncanakan untuk penanaman kembali tanaman- tanaman obat yang sudah punah.

(28)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka

Ekolinguistik atau ekologi bahasa merupakan kajian dalam bidang linguistik. Istilah ekologi pertama kali dikenalkan oleh Ernst Haeckel, seorang ahli zoologi Jerman, pada tahun 1834-1919 (Levit & Hossfeld, 2019). Ekologi adalah cabang ilmu yang mempelajari cara makhluk hidup untuk bertahan dalam hidup dengan mengadakan hubungan antarmakhluk hidup dan benda tak hidup di lingkungannya hidup.

Ekolinguistik atau ekologi bahasa adalah ilmu yang mempelajari interaksi makhluk hidup, lingkungan, dan bahasanya (Wendel, 2005:51). Ada tiga parameter ekolinguistik yakni (1) adanya kesalingterhubungan, interaksi, dan kesalingtergantungan, (2) adanya lingkungan tertentu, dan (3) adanya keberagaman di lingkungan itu baik manusia maupun makhluk-makhluk lainnya sebagai isi alam di lingkungan tertentu dapat dijadikan pegangan dalam membedah bahasa dan lingkungan (Fill dan Muhlhausler, 2001:1).

Adanya lingkungan tertentu dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial budaya. Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara, iklim, dan intensitas curah hujan; dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas, flora, fauna, dan sumber mineral.

Lingkungan sosial menyangkut kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu, yaitu: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni.

(29)

13

2.1.1 Leksikon

Leksikon berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu lexicon yang berarti

‗kata‘, ‗ucapan‘, atau ‗cara bicara‘. Istilah leksikon lazim digunakan untuk mewadahi konsep ―kumpulan leksem‖ dari suatu bahasa, baik kumpulan secara keseluruhan maupun secara sebagian (Chaer, 2007:2-6). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa leksikon adalah kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa;

komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa.

2.1.2 Naskah

Naskah lama adalah tulisan yang dihasilkan oleh manusia yang hidup berabad-abad lampau dan memiliki isi yang beragam, yaitu: 1) sejarah, 2) sastra, 3) agama, 4) ajaran moral, 5) obat-obatan dan cara pengobatannya, 6) sistem penanggalan. Naskah lama biasanya berupa buku dan mengandung cerita yang lengkap. Sesuai dengan isi naskah yang begitu beragam, penelitian naskah dapat dilakukan dari berbagai segi, yaitu naskah yang berisi sejarah dikaji dari segi sejarah, naskah yang berisi sastra dikaji dari segi sastra, naskah berisi agama dikaji dari segi agama, naskah berisi obat-obatan dikaji dari segi obat-obatan (Harahap, 2019:1). Namun, karena dalam naskah juga digunakan bahasa, naskah juga dapat dikaji dari segi linguistik, khususnya ekolinguistik yang meneliti hubungan bahasa naskah dengan lingkungan masyarakat pemilik naskah tersebut.

2.1.3 Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional merupakan istilah lain dari pengobatan alternatif.

Berdasarkan pendapat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pengobatan tradisional yang bisa dibedakan berdasarkan cara, yaitu terapi spiritual yang

(30)

terkait hal gaib atau terapi dengan tusukan jari dan terapi menggunakan obat- obatan tradisional, seperti jamu dan pengobatan herbal.

Obat-obatan tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang yang terdapat dalam naskah kuno, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat. Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan, dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya (Widharto, 2011:163).

Dalam hal ini naskah masyarakat Mandailing sebagai warisan budaya masa lalu memberikan informasi berharga dari masa lalu berupa pengobatan tradisional. Naskah masyarakat Mandailing tersebut mengandung informasi tentang obat-obatan tradisional yang di dalamnya berisi informasi mengenai jenis obat-obatan, metode pengobatan, dan mantra.

2.1.4 Masyarakat Mandailing

Mandailing adalah kawasan yang terbentang di pedalaman pesisir Pantai Barat. Banyak pendapat tentang asal kata Mandailing. Sebagian mengatakan berasal dari kata Mande Hilang (Minangkabau), artinya ibu yang hilang. Sumber lain mengatakan dari Mandala Holing (Koling, yang berasal dari kerajaan Kalingga dari India). Sampai saat ini sejarah nama Mandailing belum dapat dipastikan secara pasti (Siregar, 2020:12).

Daerah Mandailing dibagi tiga berdasarkan daerah aliran sungai Batang Gadis yaitu: bagian selatan disebut Mandailing Julu (Mandailing Bagian Hulu) yang dikenal juga dengan Mandailing Kecil, bagian tengah disebut Mandailing Godang (Mandailing Besar) dan di bagian Utara disebut Mandailing Jae

(31)

15

(Mandailing Hilir) (Harahap dalam Siregar, 2020:12). Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku-bangsa atau kelompok etnis ditandai dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing memiliki kebudayaannya sendiri yang di dalamnya termasuk bahasa, sehingga mereka dapat dibedakan dari suku- bangsa lain di Indonesia.

Orang Mandailing adalah salah satu dari sekian ratus suku-bangsa penduduk asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang orang Mandailing secara turun-temurun mendiami wilayah etnisnya sendiri yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatra Utara. Menurut tradisi orang Mandailing mereka menamakan wilayah etnisnya sebagai Tano Rura Mandailing yang artinya Tanah Lembah Mandailing. Namun, namanya yang populer sekarang ialah Mandailing (Nuraini dalam Siregar, 2020:13).

2.1.5 Mantra

Mantra adalah teks monologis yang diucapkan menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari dan ada percampuran dengan bahasa-bahasa lain sehingga sulit dimengerti oleh orang lain (Ilyas, 2017:310). Mantra terdapat dalam berbagai bahasa dan kesastraan daerah di seluruh Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Minangkabau, Banjar, Lampung, Palembang, Mandailing dan lain- lain.

Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu kepada Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan Tuhan. Dengan demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Tuhan (Hidayatullah, 2016:164; Suwatno, 2004:320).

(32)

Alisjahbana (dalam Hidayatullah, 2016) menggolongkan mantra ini ke dalam golongan bahasa berirama, sedangkan bahasa berirama ini termasuk ke dalam puisi lama. Irama bahasa sangat penting dalam mantra. Irama yang kuat dan teratur berguna untuk membangkitkan tenaga gaib. Pemilihan kata dalam mantra dilakukan dengan cara yang lebih selektif, intensif, dan serius. Hal ini dimaksud agar membangkitkan kekuatan gaib. Mantra dibacakan (dilafalkan) oleh dukun sesuai maksud dan tujuan yang ingin dicapai.

Mantra dapat terjadi dari satu, dua, tiga, empat kalimat, atau lebih, bahkan merupakan wacana. Mantra dapat juga berbentuk sajak atau untaian kalimat berirama yang memiliki makna unik atau berbentuk kata-kata yang tidak mempunyai makna sama sekali, tetapi dipercayai oleh dukun mempunyai kekuatan gaib. Jumlah kalimat dalam mantra kadang tidak beraturan, dalam arti ada yang pendek satu atau dua baris dan dapat pula panjang dalam bentuk wacana, tetapi kalau dibaca (dilafalkan) enak didengar karena diikat oleh persamaan bunyi, kata, dan sebagainya (Suwatno, 2004:323).

Mantra dalam naskah Poda ni Alimunan merupakan percampuran beberapa bahasa, yaitu bahasa Mandailing, Toba, Karo, dan juga Minang. Mantra dalam naskah ini berguna untuk menyampaikan permohonan atau harapan kepada Tuhan agar diberikan kesembuhan dari penyakit yang diderita oleh orang sakit yang berobat ke datu tersebut. Dalam naskah ini datu juga meminta bantuan dari roh-roh nenek moyangnya.

(33)

17

2.2 Landasan Teori

Teori ekolinguistik pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen pada tahun 1972 dengan sebutan ―ekologi bahasa‖. Menurut Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa.

Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang lain (Subiyanto, 2013; lih Fill. dan Muhlhausler, 2001:3).

Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi (Fill dan Muhlhausler, 2001:226) yakni suatu pendekatan yang mempelajari bahasa dan menghubungkannya dengan lingkungan.

Menurut Fill dan Muhlhausler (2001:1) ada tiga parameter ekolinguistik yakni:

1. Parameter kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan (interdepensi)

Parameter kesalingterhubungan merupakan hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya yang dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Keberadaan

(34)

spesies dan kondisi kehidupan mereka tidak dapat dipandang sebagai dua bagian yang terpisah, tetapi sebagai satu bagian yang utuh.

2. Parameter lingkungan tertentu (environment)

Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan berinterdepedensi dengan pelbagai entitas yang memang tidak dapat tidak membutuhkan segala yang ada demi hidupnya secara biologis, baik hewan maupun tumbuhan secara nyata merupakan refleksi dari lingkungan dengan keanekaragaman hayati tempat tinggal masyarakat tersebut.

3. Parameter keberagaman (diversity)

Fill dan Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman (diversity) perbendaharaan kosa kata bahasa memancarkan lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat bahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi yang menyangkut topografi seperti iklim, biota, curah hujan, sedangkan lingkungan kebudayaan berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni, budaya, dan lain sebagainya.

Para pakar yang membicarakan tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Ekolinguistik menekankan tujuan kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa dan ekologi dari persfektif yang lebih luas.

(35)

19

Haugen (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:65) menyatakan, ada sepuluh ruang kajian ekologi bahasa, antara lain:

1. Linguistik historis komparatif, menjadikan bahasa-bahasa kerabat di suatu lingkungan geografis sebagai fokus kajian untuk menemukan relasi historis genetisnya.

2. Linguistik demografi, mengkaji komunitas bahasa tertentu di suatu kawasan untuk memerikan kuantitas sumber daya (dan kualitas) penggunaan bahasa-bahasa beserta ranah-ranah dan ragam serta registrasinya (sosiolek dan fungsiolek).

3. Sosiolinguistik, yang fokus utama kajiannya atas variasi sistematik antara struktur bahasa dan stuktur masyarakat penuturnya.

4. Dialinguistik, yang memokuskan kajiannya pada jangkauan dialek-dialek dan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat bahasa, termasuk di habitat baru, atau kantong migrasi dengan dinamika ekologinya.

5. Dialektologi, mengkaji dan memetakan variasi-variasi internal sistem bahasa.

6. Filologi, mengkaji dan menjejaki potensi budaya dan tradisi tulisan, prospeknya, kaitan maknawi dengan kajian dan atau kepudaran budaya, dan tradisi tulisan lokal.

7. Linguistik preskriptif, mengkaji daya hidup bahasa di kawasan tertentu, pembakuan bahasa tulisan dan bahasa lisan, pembakuan tata bahasa (sebagai muatan lokal yang memang memerlukan kepastian bahasa baku yang normatif dan pedagogis).

(36)

8. Glotopolitik, mengkaji dan memberdayakan pula wadah, atau lembaga penanganan masalah-masalah bahasa (secara khusus pada era otonomi daerah, otonomi khusus, serta pendampingan kantor dan atau balai bahasa).

9. Etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics) yang membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya, pola pikir, dan imajeri dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual, kreasi wacana iklan yang berbasiskan bahasa lokal.

10. Tipologi, membedah derajat keuniversalan dan keunikan bahasa-bahasa.

Berdasarkan cakupan ekolinguistik di atas, penelitian ini berhubungan erat dengan ekologi yang membahas filologi dari segi naskah Poda ni Alimunan yang merupakan tradisi lokal, linguistik preskriptif dari segi daya hidup bahasa di kawasan Mandailing Natal, dan etnolinguistik dari segi penggunaan bahasa serta bahasa-bahasa ritualnya, khususnya bahasa yang terkandung di dalam mantra.

Ekolingustik, secara tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu: ecocritical discourse analysis dan linguistics ecology. Pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedangkan yang kedua, linguistik ekologi yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik.

Kajian leksikal lingkungan yang dibahas dalam penelitian ini berhubungan dengan ekolinguistik. Linguistik ekologi pada tataran leksikal misalnya menggambarkan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya dalam bentuk kode-kode lingual. Seiring dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat bahasa tentang

(37)

21

lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya yang berarti adanya interaksi dan interelasi masyarakat itu.

Selanjutnya, Sapir mengemukakan bahwa kosa kata suatu bahasa paling jelas menggambarkan lingkungan fisik dan sosial para penuturnya (Fill dan Muhlhausler, 2001:2). Kosa kata yang lengkap dari suatu bahasa sesungguhnya bisa dilihat sebagai temuan yang kompleks terhadap keseluruhan ide, minat, dan kedudukan yang dapat menjadi perhatian komunitas itu dan mungkin kita bisa memperluasnya pada karakter lingkungan fisik dan karakteristik dan budaya orang-orang yang menggunakan kosa kata itu.

Halliday pada tahun 1990 dalam konferensi Association Internationale de Linguistique Appliquée (AILA) memaparkan elemen-elemen sistem bahasa yang dianggap ekologis (’holistic’ system) dan tidak ekologis (’fragmented’ system).

Berbeda dengan Haugen, Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian nonmetaforis, yakni ekologi sebagai lingkungan biologis. Halliday mengkritisi bagaimana sistem bahasa berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul ―New Ways of Meaning‖, Halliday (2001) menjelaskan bahwa bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatika, tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan alam dan sosial (kultural) masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan. Dalam hal ini, kajian ekolinguistik sebagai ilmu interdisipliner menghubungkan sebuah teori

(38)

linguistik dengan teori dialektikal praksis sosial yang dikenal sebagai the three dimensionality of praxis (tiga dimensi praksis sosial).

Teori tiga dimensi praksis sosial merupakan teori yang diaplikasikan dalam mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan untuk menjelaskan tentang norma-norma bahasa lingkungan yang dipresentasikan dalam bentuk kerangka teori. Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10) teori tiga dimensi tersebut adalah:

1) Dimensi ideologis, yaitu hubungan individual dan mental kolektif, kognitif, dan sistem psikis seseorang yang terefleksi pada bahasa, khasanah kebahasaan dengan kandungan maknanya/perilakunya dan adanya idelogi atau adicita masyarakat.

2) Dimensi sosiologis, yaitu tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan antara sesama untuk membangun, menjalin, dan memelihara keharmonisan hubungan individual secara kolektif.

3) Dimensi biologis, yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup berdampingan dengan alam serta seluruh isinya, termasuk ke dalamnya spesies flora, fauna, tanah, lautan, mikro, dan makro organisme.

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori dimensi praksis sosial.

Alasan penggunaan teori ini karena dengan memperhatikan dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis masyarakat pengguna bahasa Mandailing, khususnya di Kecamatan Lembah Sorik Marapi akan tergambar hubungan antara bahasa lingkungan yang terdapat di dalam naskah Poda ni Alimunan dan masyarakat pengguna bahasa tersebut.

(39)

23

2.3 Penelitian Relevan

Penelitian yang berkaitan dengan naskah dilakukan oleh Nasoichah, dkk (2020) yang dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan unsur pembangun naskah Pustaha Laklak Poda ni Tabas na Rambu di Porhas. Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif dan naskah dikaji dari segi intrinsik dan ekstrinsik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah ini bertema nasihat dari mantra Rambu di Porhas untuk melawan musuh. Naskah kuno ini memperlihatkan bahwa penulis merupakan orang yang pintar, sangat penting, dan berpengaruh dalam kegiatan ritual. Dari sisi tipografi, naskah ini ditulis menggunakan aksara tulak-tulak dan menggunakan ragam bahasa hata sibaso atau hato hadatuan. Pustaha ini ditulis di Mandailing pada waktu pengaruh agama Islam dan kolonial di Mandailing, tetapi masyarakatnya masih menganut kepercayaan roh leluhur. Kajian ini berbeda dengan kajian peneliti walaupun membahas naskah masyarakat Mandailing yang memiliki mantra di dalamnya.

Kajian ini dibahas dari segi ilmu sastra sedangkan penelitian yang dilakukan merupakan kajian linguistik.

Sumarlina, dkk (2017) meneliti tentang pengobatan tradisional dalam naskah Mantra. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan teori fungsi dalam karya sastra. Menurut Sumarlina, dkk, hal yang paling esensi dari aspek filosofis mantra adalah adanya faktor yang sangat dominan yang memberi ciri adanya kekuatan mantra yang dipercaya masyarakat. Hal ini berkelindan dengan adanya penggunaan mantra dalam pengobatan tradisional yang melibatkan beragam mantra di dalamnya. Naskah Mantra yang berisi obat-obatan sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang farmasi dan kedokteran

(40)

guna menambah pengetahun masyarakat berkenaan dengan tanaman dan obat- obatan tradisional. Dalam naskah Mantra disajikan beragam obat, cara pengobatan disertai fungsinya, yang tentu saja diharapkan dapat menambah wawasan dan membuka cakrawala baru untuk dapat mengkaji mantra secara multidisipliner lewat naskah. Tulisan ini memberi sumbangsih bagi peneliti untuk menjawab rumusan masalah kedua, yaitu kesalingterhubungan, interaksi, dan kesalingtergantungan antara mantra dan masyarakat pengguna mantra (datu) karena dari penelitian Sumarlina dkk, tergambar cara untuk mengetahui kaitan antara cara pengobatan menggunakan mantra dalam naskah Mantra dan dukun yang menuturkan mantra. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang peneliti kaji karena Sumarlina dkk, mengkajinya dari segi sastra, sedangkan peneliti mengkaji dari segi linguistik, yaitu leksikon-leksikon pengobatan yang ada dalam naskah Poda ni Alimunan.

Mu‘jizah (2020) mengkaji naskah-naskah pengobatan yang ditulis oleh Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Hasan (Raja Haji Ahmad Tabib) di Pulau Penyengat berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.

Pembahasan ini bertujuan menemukan sistem pengobatan masyarakat Melayu dalam menjaga kesehatan. Penggalian sistem pengobatan ini dapat disosialisasikan kepada masyarakat masa kini sebagai generasi penerus. Metode kualitatif digunakan dengan analisis isi. Dalam pembahasan ini digunakan data primer naskah koleksi Yayasan Indrasakti yang telah dialihaksarakan. Dari hasil pembahasan diperoleh hal-hal penting yang berkaitan dengan deteksi kesehatan yang dilakukan oleh seorang tabib. Berdasarkan deteksi itu sakit dalam tubuh dapat diobati sesuai dengan membaca tanda-tandanya. Jika sakit,

(41)

25

penyembuhannya dengan obat ramuan dari flora fauna yang disertai mantra.

Kesimpulannya naskah obat-obatan Melayu adalah bukti bahwa masyarakat Melayu menjaga kesehatan dan memiliki pengetahuan dalam pengobatannya.

Sistem pengobatan ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang harus diaktualisasi dan diketahui masyarakat masa kini sebagai bentuk pelestariannya.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terlihat dari segi manfaat penelitian, yaitu untuk pelestarian pengobatan tradisional yang terdapat dalam naskah lama.

Penelitian yang berkaitan dengan kajian ekolinguistik dilakukan oleh Sakinah (2016). Dalam penelitian ini digunakan kajian ekolinguistik dan juga kajian semantik struktural. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman obat Melayu Serdang terdiri dari 30 jenis tanaman obat dan diklasifikasikan pada tiga kelompok leksikal, yaitu (1) kelompok leksikal daun, (2) leksikal buah, (3) leksikal rempah-rempah. Dalam penelitian ini juga tergambar relasi semantik yang terbentuk dari data leksikal tanaman obat Melayu Serdang, yaitu: homonim, sinonim, antonim, hiponim, dan meronim. Namun, dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya relasi semantik antarleksikon untuk ranah homofon, polisemi, dan homograf. Penelitian ini berkaitan dan memberi sumbangsih pada penelitian yang dilakukan khususnya dalam menjawab rumusan masalah pertama karena sama-sama membahas ekolinguistik dalam tanaman obat, hanya saja bedanya, penelitian ini membahas tanaman obat dalam bahasa Melayu Serdang, sedangkan penelitian yang dilakukan membahas bahasa Mandiling, khususnya yang terdapat dalam naskah Poda ni Alimunan.

(42)

Widayati & Hasibuan (2020) membahas kuliner masyarakat Melayu Panai menggunakan teori ekolinguistik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode referensial. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ekologi kuliner dalam masyarakat Melayu Panai selain mencerminkan kekayaan alam dan lingkungan juga mencerminkan budaya kuliner masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya yang tampak bahwa leksikon-leksikon tersebut dijumpai dalam peribahasa Melayu dan juga dikreasikan dalam pantun. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Widayati dan Hasibuan dengan penelitian ini dari segi penggunaan teori ekolinguistik dan metode referensial. Namun, dari segi objek kajian berbeda, yaitu Widayati dan Hasibuan membahas kuliner masyarakat Melayu Panai, sedangkan penelitian ini membahas pengobatan tradisional dalam naskah masyarakat Mandailing. Dalam penelitian ini dideskripsikan khazanah leksikon pengobatan tradisional naskah Poda ni Alimunan berdasarkan teori dimensi praksis sosial.

Setelah melakukan pencarian data dalam naskah tersebut, peneliti kemudian melakukan wawancara dengan datu untuk mengetahui khazanah yang terdapat pada setiap leksikon pengobatan tradisional yang telah ditemukan.

Widayati (2018) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan lingual-budaya leksikon ramuan dapur menggunakan teori ekolinguistik dan metode deskriptif kualitatif. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa keanekaragaman leksikon ramuan dapur merupakan perwujudan pengetahuan masyarakat terhadap lingkungannya. Pengetahuan itu tidak terlepas dari cerminan budaya masyarakat setempat. Semakin banyak leksikon yang memuat informasi tentang lingkungan, menunjukkan semakin besar kekayaan lingkungan yang dimiliki masyarakat tersebut. Selain itu, dalam

(43)

27

penelitian ini tergambar ungkapan yang berasal dari leksikon ramuan dapur. Hal ini menunjukkan kreativitas masyarakat yang tetap menyimpan pengetahuan dan melestarikan leksikon yang diwariskan kepada mereka oleh generasi sebelumnya.

Penelitian ini berkontribusi dari segi teori dan metode yang digunakan. Penelitian Widayati yang mengkaji leksikon ramuan dapur dalam bahasa Melayu Asahan menjadi acuan bagi peneliti untuk menjawab permasalahan pertama tentang khazanah pengobatan tradisional naskah masyarakat Mandailing, yaitu naskah Poda ni Alimunan karena sama-sama berkaitan dengan ramuan. Namun, perbedaan penelitian ini adalah penelitian Widiyati mengkaji tentang leksikon ramuan dapur, sedangkan penelitian ini mengkaji ramuan obat-obatan, cara pengobatan tradisional, dan mantra yang terkandung dalam naskah masyarakat Mandailing.

(44)

2.4 Kerangka Konseptual

Berdasarkan uraian kajian pustaka dan landasan teori yang dikemukan sebelumnya, kerangka penelitian dapat dijelaskan dalam gambar sebagaimana berikut.

Gambar 2.4 Kerangka Konseptual

Leksikon Pengobatan Tradisional dalam Naskah Masyarakat Mandailing

Khazanah leksikon pengobatan tradisional masyarakat Mandailing:

ideologis, sosiologis, dan biologis

kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan

kesalingtergantungan (interdepensi) antara mantra dan masyarakat pengguna mantra

Ekolinguistik

(Haugen, Fill dan Muhlhausler:2001, Halliday:2001)

Dimensi praksis sosial (ideologis, sosiologis dan biologis)

(Lindo dan Jeppe:2000) Naskah Poda ni Alimunan dan ekologi

Temuan

(45)

29 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan strategi deskriptif dengan pendekatan ekolinguistik. Penelitian kualitatif merupakan multi metode yang fokus, melibatkan interpretasi, pendekatan alamiah pada materi subjek. Hal ini berarti penelitian kualitatif adalah studi segala sesuatu dalam seting alamiah mereka, berusaha mengerti dan menginterpretasi, fenomena dalam pengertian sesuai arti masyarakatnya (Pradoko, 2017:1).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal. Pemilihan lokasi penelitian ini karena di Kecamatan Lembah Sorik Marapi terdapat pengobatan tradisional dan dukunnya masih menggunakan Bahasa Mandailing. Berikut peta Kabupaten Mandailing Natal.

(46)

Gambar 3.2 Peta Kabupaten Mandailing Natal

Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah otonom baru di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Mandailing Natal yang dikenal dengan sebutan MADINA, terdiri dari 23 (dua puluh tiga) kecamatan, yaitu: 1) Siabu, 2) Bukit Malintang, 3) Naga Juang, 4) Huta Bargot, 5) Panyabungan Kota, 6) Panyabungan Utara, 7) Panyabungan Barat, 8) Panyabungan Timur, 9) Panyabungan Selatan, 10) Lembah Sorik Marapi, 11) Puncak Sorik Marapi, 12) Tambangan, 13) Kotanopan, 14) Ulupungkut, 15) Muarasipongi, 16) Pakantan, 17) Batang Natal, 18) Lingga Bayu, 19) Ranto Baek, 20) Batahan, 21) Sinunukan, 22) Natal, dan 23) Muara Batang Gadis. Kabupaten Mandailing Natal dalam konstelasi regional berada di bagian selatan wilayah Provinsi Sumatera Utara pada lokasi geografis 0°10' - 1°50' Lintang Utara dan 98°50' - 100°10' Bujur Timur ketinggian 0 – 2.145 m di atas permukaan laut.

(47)

31

Kabupaten ini merupakan bagian paling selatan dari Provinsi Sumatera Utara dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat. Batas-batas wilayah kabupaten ini adalah:

Batas bagian Utara: Kab.Tapanuli Selatan dan Kab. Padang Lawas Batas bagian Timur: Provinsi Sumatera Barat

Batas bagian Selatan: Provinsi Sumatera Barat

Batas bagian Barat: Samudera Hindia (Widiarsih & Sandri, 2018).

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer. Data primer berupa leksikon, mantra, dan jawaban informan yang berkaitan dengan pengobatan tradisonal masyarakat Mandailing. Sedangkan jenis data sekunder berupa informasi media, dokumen sejarah, buku, dan hasil penelitian berupa naskah Poda ni Alimunan limunan yang sudah dialihaksarakan oleh Harahap dkk (2020).

Dalam penelitian ini, data primer bersumber dari tiga orang informan berdasarkan kriteria umum tertentu, yaitu: (1) bersedia menjadi informan dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk kelengkapan data penelitian (datu), (2) menguasai bahasa Mandailing dengan baik, (3) tergolong penutur asli Mandailing, (4) berdomisili di kawasan Mandailing, (5) berumur 20-75 tahun. Di samping informan, sumber pustaka atau dokumen pun diperlukan untuk mendukung kelengkapan data penelitian ini. Sumber ini terdiri atas hasil penelitian mengenai naskah yang berisi obat-obatan di Mandailing dan dokumen tentang pengobatan tradisional masyarakat Mandailing.

(48)

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak, yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan melalui proses penyimakan atau pengamatan terhadap penggunaan bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 2018:203;

Zaim, 2014:89). Istilah simak bukan hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan seperti pidato dan percakapan antarpenutur suatu bahasa, tetapi juga termasuk bahasa tulis, yaitu mengamati, membaca, dan memahami bahasa tulis yang ada dalam suatu teks tertulis dalam penelitian ini adalah naskah masyarakat Mandailing yang berisi tentang pengobatan tradisional.

Dari segi tahapan penggunaannya, teknik-teknik dalam metode simak dapat dibedakan menjadi dua jenis teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan.

Teknik dasar adalah teknik yang harus digunakan oleh seorang pengumpul data terlebih dahulu sebelum menggunakan teknik berikutnya, yang kemudian disebut teknik lanjutan.

Dilakukan penyimakan terhadap naskah Poda ni Alimunan. Kemudian, dilakukan pencatatan pada kartu data berupa pencatatan leksikon-leksikon yang berkaitan dengan pengobatan tradisional masyarakat Mandailing.

Dalam pengumpulan data dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) dengan tiga orang datu ‗dukun‘ di Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal. Tujuan dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang khazanah leksikon pengobatan tradisional masyarakat Mandailing berdasarkan teori praksis sosial dalam naskah Poda ni Alimunan dan kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan

(49)

33

(interdepensi) antara mantra dan masyarakat pengguna mantra (datu) yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing.

Dalam wawancara digunakan teknik simak libat cakap. Dalam hal ini, peneliti melakukan penyadapan terhadap bahasa yang digunakan oleh datu dalam pengobatan tradisional masyarakat Mandailing yang sesuai dengan naskah Poda ni Alimunan. Teknik ini dilanjutkan dengan teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam dilakukan menggunakan alat bantu, alat rekam suara digital (Digital Audio Recorder) dari telepon pintar (smartphone). Teknik catat dilakukan dengan mencatat hal-hal penting yang ditemukan dari penyadapan bahasa yang dilakukan.

Pencatatan dilakukan pada kartu data berupa pencatatan leksikon-leksikon yang berkaitan dengan pengobatan tradisional masyarakat Mandailing. Kartu pencatatan dapat dilakukan pada kertas yang mampu memuat, memudahkan pembacaan dan menjamin keawetan data.

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (in depth interview) dengan tiga orang datu ‗dukun‘ di Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal. Tujuan dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang khazanah leksikon pengobatan tradisional masyarakat Mandailing berdasarkan teori praksis sosial dalam naskah Poda ni Alimunan dan kesalingterhubungan (interrelationships), interaksi (interaction), dan kesalingtergantungan (interdepensi) antara mantra dan masyarakat pengguna mantra (datu) yang terdapat dalam naskah masyarakat Mandailing.

(50)

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh, dilakukan analisis data. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema (Moleong, 2018:248). Metode yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah metode padan. Menurut Sudaryanto (2018:15), metode padan adalah metode analisis bahasa yang alat penentunya tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Alat penentu tersebut berupa kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referen bahasa yang berada dari luar bahasa yang digunakan, seperti hubungan sosial, budaya, konteks terjadinya peristiwa, dan sebagainya.

Data yang terjaring berupa leksikon pengobatan tradisional masyarakat Mandailing yang terdapat dalam naskah Poda ni Alimunan dianalisis menggunakan metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa. Metode padan digunakan dalam menentukan khazanah pengobatan tradisional masyarakat Mandailing berdasarkan teori praksis sosial. Untuk membantu metode tersebut teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu (PUP). Alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 2018:25). Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah referensial dengan menggunakan referen atau sosok yang diacu oleh satuan kebahasaan sebagai alat penentu.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses penganalisisan data adalah:

(51)

35

1. Langkah awal yang dilakukan, sebelum dianalisis, data pengobatan tradisional masyarakat Mandailing yang terdapat dalam naskah Poda ni Alimunan diidentifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan data yang dibutuhkan. Butir-butir leksikon yang memiliki kesamaan nama dan bentuk dikumpulkan dan dikelompokkan menjadi satu. Dalam hal ini metode padan referensial dengan teknik Pilah Unsur Penentu digunakan untuk mengorganisasikan leksikon ke dalam kelas leksikonnya.

Tabel 3.1 Leksikon pengobatan tradisional masyarakat Mandailing No Leksikon Gloss Kategori

lingkungan

Kelas kata

Biotik abiotik nomina verba 1 hunik

porbuye sada

kunyit tunggal (induk kunyit)

+ - + -

2. Mendeskripsikan khazanah pengobatan tradisional masyarakat Mandailing yang terdapat dalam naskah Poda ni Alimunan berdasarkan teori praksis sosial, yaitu: dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis.

Contoh analisis data permasalahan 1

Leksikon hunik porbuye sada ‗kunyit tunggal (induk kunyit)‘ umumnya dikenal oleh masyarakat Mandailing. Dari dimensi biologis hunik porbuye sada memiliki ciri-ciri batang tidak bercabang, bentuknya memanjang dan merupakan batang semu yang tertutup rapat oleh pelepah daun, berwarna

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu pertanyaan yang sering dikemukakan dalam berbagai kesempatan presentasi hasil penelitian arkeologi situs Liangan adalah tentang korban manusia dalam ini

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kadar Fe(III) dalam air pada 10 sampel air sumur di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo tergolong layak untuk

Panyelehan “Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Upakara Manusa Yadnya di Kabupaten Badung” matetujon nguningin indik wangun miwah ngwilangin paninama sanē wēnten

Menyadari bahwa situasi didaktis dan pedagogis yang terjadi dalam suatu pembelajaran merupakan peristiwa yang sangat kompleks, maka guru perlu mengembangkan kemampuan

dan Proses pembelajaran IPA di MI Negeri Krangean sudah mengalami peningkatan kualitas pendidikan dan siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pelajaran ketika menggunakan

Teorema pythagoras adalah suatu aturan matematika yang dapat digunakan untuk menentukan panjang salah satu sisi dari sebuah segitiga siku-siku.. Perlu diingat bahwa teorema ini

Kotoran sapi yang menurut masyarakat setempat dianggap sebagai limbah peternakan saja , kini kami akan membuat karya ilmiah dengan memanfaatkan kotoran tersebut menjadi pakan

perilaku petani dalam menjual hasil panen terhadap fluktuasi harga lada dan apa. faktor - faktor yang menyebabkan petani menjual hasil panen serta