• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Yuridis Kepemimpinan Negara dan Hukum Tata

Dalam dokumen Hukum Tata Negara - Test Repository (Halaman 132-138)

BAB VI LANDASAN TEOLOGIS DAN YURIDIS KEPEMIMPI-

B. Landasan Yuridis Kepemimpinan Negara dan Hukum Tata

Bangsa Indonesia baru memiliki negara yang berdaulat sete- lah terjadinya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan itu adalah hasil dari sebuah episode panjang perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Semboyan “merde- ka atau mati” menjadi harga mati seluruh pejuang saat itu. Ada ce- rita yang cukup menarik pada detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan itu. Soekarno yang menetapkan diri non-kooperatif terhadap Belanda, pada penjajah Jepang berubah haluan, menjadi kooperatif dengan penjajah. Sikap kooperatifnya ini mengarahkan

dia menjadi kurang responsif terhadap ajakan untuk segera me- merdekaan diri pada saat kondisi facum of power pasca kekalahan Jepang oleh tentara Sekutu. Sementara para pejuang lainnya sep- erti Sutan Syahrir berbeda haluan dengan Soekarno-Hatta saat itu, tetap berjuang lewat gerakan underground. Para pejuang yang dip- impin oleh Syahrir inilah yang menjadi otak “penculikan” Seokar- no-Hatta.

Berkenaan dengan kecepatan menerima berita internasional, Syahrir dan kawan-kawan lebih cepat dari Soekarno-Hatta, karena Syahrir memiliki pesawat radio gelap. Seluruh berita politik in- ternasional sangat mudah diterima Syahrir tanpa ada sensor dari pemerintah penjajah. Berita jatuhnya bom atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 di kota Nagasaki dan Heroshima, luluh lantakn- ya kekuatan Jepang di Saipan, Pasifik, bunuh diri masal serdadu Jepang di Okinawa dan pidato Kaisar Hirohito tentang pernyataan menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 menjadi bahan akurat bagi Syahrir dan pemuda nasionalis saat itu untuk segera mendesak deklarasi kemerdekaan secepatnya. Bahkan pada tanggal 15 Agustus 1945, dr. Soedarsono sempat membacakan teks proklamasi kemerdekaan yang disusun oleh Syahrir, tapi sayang teks itu hilang (S.B. Pramono dan Dessy Harahap, 2013: 53-54).

Para pemuda nasional yang sudah mendapat berita rentetan kekalahan dan menyerahnya Jepang kepada Sekutu, menilai Soekarno- Hatta lamban bereaksi. Akhirnya dengan sangat ter- paksa pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00, Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh “menculik” dan membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Disana Soekarno-Hatta didesak untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu terjadi perdebatan antara golongan tua dan muda berjalan alot. Walaupun terjadai beberapa kesepakatan tentang proklamasi kemerdekaan, tapi kondisi dan situasi yang diinginkan oleh golongan muda tidak

begitu mendukung dan menguntungkan, tak ada dukungan penuh dari anggota PETA.

Tapi Tuhan berkendak lain, setelah perundingan itu ternyata keesokan harinya Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sehari setelah itu, Soekarno-Hatta ditunjuk oleh PPKI menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Dari berbagai catatan, pada sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 banyak putusan yang diambil, diantaranya pengesahan UUD 1945 dan penunjukkan presiden. Semua putusan itu sangat cepat dan singkat, karena kebutuhannya adalah agar Indonesia menjadi ne- gara yang merdeka dan berdaulat baik secara the jure maupun the facto, serta pengakuan dunia internasional.

Bila dilihat dari sejarah penunjukan itu berawal dari usulan Otto Iskandardinata dan berbeda dengan isi dari konstitusi yang baru saja disahkan, yakni lewat pemilihan. Maka dapat dikatakan penunjukan itu tidak berkesesuaian dengan UUD 1945 yang men- jadi konstitusi negara. Kondisi revolusi saat itu sajalah yang dapat membenarkan peristiwa penunjukkan presiden dan wakil presiden.

Setelah itu, konfigurasi politik dibarengi dengan beberapa kali perubahan sistem pemerintahan menjadi Soekarno mulus menja- di presiden dengan memanfaatkan perubahan-perubahan situasi politik. Bahkan sampai pada menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup.

Dilihat dari berbagai kasus dalam negara modern, landasan hukum yang dipakai dalam menentukan atau memilih kepala ne- gara adalah konstitusi negara. Dalam konteks Indonesia, berarti UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait. Dalam konstitusi UUD 1945 terutama pada pasal 7.

BAB VII

PENGANGKATAN KEPALA NEGARA

MENURUT UUD 1945 PRA DAN

PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA

NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH)

Demokrasi merupakan tema sentral UUD 1945, sehingga semua pemerintahan di Indonesia berupaya mewujudkan nilai- nilai demokrasi dengan cara memberikan penafsiran atas nama demokrasi yang terkandung dalam UUD 1945 tersebut. Dengan perbedaan latar belakang, tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh masing-masing pemerintahan, upaya mewujudkan demokrasi tersebut melahirkan penafsiran atas demokrasi yang berbeda satu sama lain (Aidul Fitriciada Azhari, 2010: 28).

Tafsiran-tafsiran tentang demokrasi itu jelas terekam dalam rentang sejarah demokratitasi di Indonesia, dari masa awal ke- merdekaan sampai masa reformasi. Dari rekam jajak demokratisasi itu, hubungan antara pejabat negara, elemen ataupun kompenen negara berlangsung secara fluktuatif, ekuivalen dengan need dan mood aparatur negara yang berkuasa. Terkadang politik belah bambu diterapkan untuk melanggengkan kekuasaannya (Farkhani, 2011: 2).

Tafsiran demokrasi yang termuat dalam UUD 1945 itu mela- hirkan sistem demokrasi ala Indonesia dengan sebutan;

Pertama, demokrasi liberal. Sistem dekorasi liberal ini berlang- sung mulai tahun 1945-1945. Ciri utamanya adalah la- hirnya puluhan partai peserta pemilu sebagai akibat dari lahirnya maklumat No. X pada tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Muhammad Hatta.

Kedua, demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer ber- langsung antara tahun 1950-1959. Pada masa ini frag- mentasi politik sangat kuat, mengakibatkan kinerja par- lemen dan pemerintah tidak berjalan mulus. Pemimpin pemerintahan berganti silih berganti, anehnya walaupun fragmentasi politik yang seperti itu, posisi Soekarno se- bagai kepala negara tidak terusik sama sekali.

Ketiga, demokrasi terpimpin. Secara sederhana demokrasi ter- pimpin bercirikan dominasi penuh dari presiden, dan ide ini adalah murni dari pemikiran Soekarno sendiri pada saat itu. Berawal dari ketidakpercayaan Soekarno pada sistem demokrasi parlementer yang dipraktikan se- belumnya. Berbagai mosi tidak percaya dari partai poli- tik menjadi iklim politik tidak tenteram, kepala pemer- intahan selalu tidak dapat bertahan lama.

Keempat, demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah taf- siran demokrasi ala Soeharto, meletakkan Pancasila se- bagai dasar negara yang sakral dan memposisikan UUD 1945 sebagai korpus tertutup, tertutup dari perubahan dan tertutup dari tafsiran di luar pemerintah. Dalam me- nafsirkan demokrasi Pancasila, Soeharto menempatkan pemerintah (presiden) pada posisi yang sangat kuat. Tri- as Politika berjalan dalam bayang-bayang semu, kurang

makna dan kurang artikulasi. Presiden memiliki kekua- saan absolut menjalan negara dan hampir-hampir tak terbatas wewenang dan kekuasaannya, sehingga sampai lima kali pemilihan presiden, tak seorangpun yang be- rani bersaing melawan Soeharto.

Kelima, demokrasi reformasi. Sesungguhnya demokrasi refor- masi adalah bentuk kelanjutan dari evolusi demokra- si Pancasila, Yang membedakan adalah konsistensi demokrasi yang bertitik tolak pada norma dan aturan konstitusi dengan pembagian kekuasaan yang berim- bang serta kontrol ketat pada masing-masing titik kekua- saan trias politika (Farkhani, 2011: 19-26).

Kajian pengangkatan dan pemberhentian presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan) di Indonesia mulai muncul di era demokrasi reformasi. Pada masa di mana kekuasaan Orde Baru dengan ikon Soeharto sudah tidak lagi diperhitungkan sama sekali bahkan alergi bila disangkut-pautkan dalam berbagai hal sebagai bagian dari Soeharto. Pada saat yang sama eforia demokratisasi menyelimuti seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia.

Kajian ini semakin mengemuka ketika partai-partai poros tengah yang dimotori oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Amin Rais-nya berhasil menjadikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden ke-4 mengalahkan Megawati yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai par- tai pemenang pemilu tahun 1999. Kurang dari dua tahun masa pemerinatahn Abdurrahmman Wahid, karena banyaknya kasus dan instabilitasi politik yang tidak kunjung membaik, akhirnya melalui Sidang Istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001, Abdur- rahman Wahid dilengserkan secara konstitusional.

A. Pengangkatan Kepala Negara Sebelum dan Setelah

Dalam dokumen Hukum Tata Negara - Test Repository (Halaman 132-138)