• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Tata Negara - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hukum Tata Negara - Test Repository"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

Farkhani, S.H. S.HI., M.H

HUKUM TATA NEGARA

(2)

HUKUM TATA NEGARA

Farkhani, S.HI., S.H., M.H.

Hukum tata Negara; Farkhani, S.HI., S.H., M.H.; Editor: Evi Aryani; Solo: Pustaka Iltizam; 2016

180 hlm.; 20,5 cm

ISBN: 978-602-7668-74-4

Penulis:

Farkhani, S.HI, S.H., M.H.

Editor:

Evi Ariyani

Tata Letak:

Taufiqurrohman Iltizam

Cover:

naka_abee

Cetakan I: Oktober 2016

Diterbitkan atas kerjasama :

(3)

Kata Pengantar

Selama negara itu berdiri, perbincangan, wacana dan perde-batan seputar hukum ketetangeraan akan terus bergulir dan me-narik untuk diperhatikan. Hubungan antar lembaga negara dengan lembaga negara lainnya dan kewenangan-kewenangannya sampai pada persoalan pemimpin dan kepemimpinan negara. Salah satu alasan bahwa memperbincangkan tetap menarik adalah karena di dalam ilmu ini sering kali muncul kejutan-kejutan yang berbeda antara teori dan praktik dari masa kemasa. Memiliki keterkaitan antara hukum dan politik yang sangat erat, saling berkelindan dan terkadang saling menjegal satu sama lainnya. Akan tambah me-narik bila kemudian diikut-ikutkan dalam pembentukan negara wellfare yang menjadi tujuan semua negara di dunia.

Lebih dari itu, terkadang diktum suci agama dan berbagai tafsirnya ikut meramaikan persoalan di sekitar hukum ketatane-garaan. Islam yang diyakini sebagai agama yang omnipresent, turut pula berbicara tentang negara dan kepemimpinan negara. Islam telah fasih berbicara negara dari aspek norma dan praktik kenega-raan sejak hijrahnya Nabi Saw. ke Madinah. Para sarjana muslim juga turut andil dalam teorisasi negara dan kepemimpinannya.

(4)

Buku yang hadir dihadapan pembaca ini, tidak akan memba-has segala perbincangan dalam ranah hukum tata negara. Buku ini mencoba untuk berbicara tentang agama dan negara beserta pem-impinnya. Dalam hal kepemimpinan negara ada dua cara pandang yang dipakai; kaca mata agama (Siyasah Islamiyah) dan kaca mata konstitusi negara Republik Indonesia. Terutama dalam hal pen-gangkatan kepala negara dan pemberhentiannya.

Harapannya buku dapat menjadi rujukan dan/atau pengayaan bagi siapapun yang ingin atau sedang belajar tentang hukum tata negara. Akhirya, semoga buku ini bermanfaat bagi para peminat studi hukum tata negara dengan segala aspek bahasannya.

Selanjutnya penulis berkeyakinan bahwa buku ini kurang dari sempurna, untuk itu mengharapkan masukan yang konstruktif ter-hadap buku ini agar lebih bermanfaat bagi siapa saja yang memba-canya dan terhindar dari kesalahan.

Wallahu al-musta’an

Sukoharjo, Maret 2016 Penulis

(5)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... 3

Daftar isi ... 5

BAB I TEORI, SEJARAH DAN BENTUK NEGARA ... 9

A. Teori Negara Menurut Filsuf Barat ...13

B. Sejarah Terbentuknya Negara ...20

1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory ) ... 20

2. Teori Ketuhanan ...22

3. Teori Kekuatan ...24

4. Teori Organis...25

5. Teori Historis...26

6. Teori Hukum Alam ...27

C. Bentuk atau Sistem Pemerintahan Negara ...27

1. Bentuk-bentuk pemerintahan ...27

2. Sistem Pemerintahan ...34

a. Sistem pemerintahan presidensial...35

b. Sistem pemerintahan parlementer ...38

BAB II KONSEP NEGARA DALAM ISLAM DAN PANDANGAN ULAMA POLITIK ISLAM ... 41

A. Konsep Negara dalam Islam ...41

1. Al-Ummah ...42

2. Qaum dan Jamaah ...47

3. Khilafah...47

B. Pandangan Ulama Politik Islam Klasik tentang Konsep Negara .49 1. Pandangan Ibnu Khaldun ...49

2. Pandangan Al-Farabi ...52

3. Pandangan Al-Mawardi ...54

(6)

BAB III KONSEP NEGARA PERSPEKTIF POLITISI INDONESIA DAN PRAKTEK KETATANEGARAAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA ... 63

A. Konsep Negara dalam Persepektif Politisi Indonesia ...63

1. Konsep negara menurut Tan Malaka ...64

2. Konsep negara menurut Soekarno ...68

3. Konsep negara menurut Kartosuwiryo ...70

B. Praktek Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia ...74

1. Falsafah Pancasila dalam bernegara ...74

2. Bentuk negara Indonesia ...77

3. Sistem Pemerintahan Indonesia ...78

BAB IV PERDEBATAN ISLAM; AGAMA DAN NEGARA ... 81

A. Percikan Pemikiran Ulama Siyasah; Relasi Antara Islam dan Negara ...84

B. Madinah Sebagai Negara ...90

BAB V KEPEMIMPINAN DALAM HUKUM TATA NEGARA .. 95

A. Konsep tentang Pemimpin, Kepemimpinan dan Lahirnya Pemimpin ...97

1. Pemimpin dan Kepemimpinan ...98

2. Pengertian kepemimpinan ...107

3. Teori dan tipologi kepemimpinan ...109

B. Pemimpin Negara dalam Hukum Tata Negara ...115

1. Teori kontrak sosial ...115

2. Teori kekuasaan absolut ...116

BAB VI LANDASAN TEOLOGIS DAN YURIDIS KEPEMIMPI-NAN NEGARA DALAM ISLAM DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA ... 121

A. Landasan Teologis Pemimpin Negara dalam Islam ...121

(7)

BAB VII PENGANGKATAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD 1945 PRA DAN PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH) ... 135

A. Pengangkatan Kepala Negara Sebelum dan Setelah Amandemen UUD 1945 ...138 B. Pengangkatan Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara

Islam (Siyasah Islamiyah) ...146

BAB VIII PEMBERHENTIAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD 1945 PRA DAN PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH) ... 151

A. Pemberhentian Kepala Negara Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen ...152 B. Pemberhentian Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara

Islam (Siyasah Islamiyah) ...160 C. Nilai-Nilai Substansi Islam dalam Pengangkatan dan

Pemberhentian Kepala Negara di Inonesia ...172

(8)
(9)

BAB I

TEORI, SEJARAH DAN BENTUK NEGARA

Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pemikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak (Miriam Budiardjo, 1989: 30)

Teori dan konsep tentang negara begitu beragam, namun yang menjadi akar pijakan negara adalah satu yaitu masyarakat yang terdiri atas indivdu-individu manusia. Untuk itu sebagai pen-gantar untuk memahami negara secara baik, maka memahami konsep masyarakat dengan baik adalah sebuah keharusan. Negara merupakan gejala kehidupan dari individu-individu manusia yang berkelompok (komune) dalam sebuah entitas dan wilayah tertentu dengan maksud menjaga dan mempertahankan eksistensi serta ke-berlangsungannya dalam persaingannya dengan entitas kelompok manusia lainnya.

Kebutuhan akan adanya organisasi masyarakat, dalam hal ini dapat ditujukan pada organsasi masyarakat yang disebut dengan negara telah dijelaskan dengan sangat argumentatif oleh sosiolog muslim, Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Ia mengatakan;

(10)
(11)

atau kemandirian) yang ada disetiap manusia dan kehadiran-nya penting untuk eksistensi hidupkehadiran-nya (dalam Majid Khaduri, 1995: 5-6).

Ilmu negara adalah ilmu sosial dan seluruh ilmu sosial pas-ti mempelajari manusia sebagai anggota kelompok. Timbulnya kelompok-kelompok yang ada tidak lain adalah karena adanya dua sifat yang saling bertentangan yang ada pada manusia itu sendiri; di satu pihak ingin bekerja sama dan di lain pihak memiliki kecender-ungan untuk bersaing dengan manusia lainnya. Kebutuhan pokok manusia juga terbagi dua, kebutuhan fisik dan kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan tersebut seyogyanya terpenuhi secara seimbang, agar kehidupan manusia terasa nyaman dan bahagia.

Kebutuhan yang bersifat fisik biasanya beraneka ragam dan terus berkembang sesuai dengan perubahan dan kemajuan zaman, dan semua itu biasanya tidak dapat ditemukan hanya dalam satu kelompok manusia. Karenanya, untuk memenuhi apa yang menja-di kebutuhan fisiknya, manusia (orang) tidak cukup untuk berada atau menjadi bagian satu kelompok saja. Ia akan menjadi anggota pada kelompok-kelompok lainnya, agar apa yang menjadi kebutu-han fisiknya terpenuhi. Satu misal, bila seseorang ingin memenuhi kebutuhan ekonominya, maka ia akan membentuk kelompok atau asosiasi di bidang ekonomi. Bidang ekonomi banyak ragamnya, hak ini bisa membawanya menjadi anggota satu, dua atau lebih dari kelompok ekonomi.

Adapun dengan kebutuhan spiritual, pemenuhannya tidak bisa disamakan dengan kebutuhan fisik. Satu model atau jenis kelompok spiritual (agama, kepercayaan atau yang lainnya), bi-asanya sudah dapat mewakili terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual.

(12)

ling-kungan tertentu dan menghasilkan kebudayaan. Terdapat bela-san sarjana yang memberikan definisi tentang masyarakat dengan dua titik temu utama; kumpulan individu manusia dan terorgani-sir. Apabila manusia dibiarkan mengejar kepentingannya berupa pemenuhan terhadap kebutuhan fisik saja misalnya, maka masing-masing akan bersaing secara bebas tanpa batas, tidak terukur dan cenderung akan mementingkan egosentrisnya agar kebutuhannya sendiri terlebih dahulu terpenuhi, bahkan bisa jadi menjadi tidak peduli pada manusia lain. Kondisi yang demikian jelas akan men-imbulkan beragam kerugian pada masyarakat itu sendiri, baik secara parsial maupun secara universal. Untuk kepentingan ini, biasanya kelompok-kelompok masyarakat itu memegangteguhi nilai-nilai luhur dan moral serta sistem kerja kolektif-efesian-efek-tif atau mematuhi aturan main (rule) dalam hidup berkelompok.

Merujuk pada pengertian masyarakat yang disampaikan Selo Soemardjan, negara adalah hasil kebudayaan manusia. Karena ne-gara adalah hasil kreasi budi, karsa, karya dan rasa manusia. Dari definisi masyarakat dengan salah satu produk kebudayaannya yang berupa negara disatu sisi, dan disisi lain dengan muncul berbagai konsep, teori, definisi dan pemahaman terhadap lembaga yang bernama negara menimbulkan persoalan mengenai pembedaan antara masyarakat dan negara yang cukup sulit dibedakan secara teoritis. Bagi orang awam, masayarakat pada satu entitas atau dae-rah tertentu dengan sebuah (nama) negara sering kali disamakan, satu contoh adalah tentang reaksi orang Indonesia atas klaim orang Malaysia pada seni tari Reog dan seni lagu Rasa Sayange.

(13)

Para sarjana sosiologi misalnya, memandang negara sebagai entitas nyata atau entitas sosiologis. Artinya wujud adanya lem-baga atau institusi negara adalah muncul dari kegiatan kolektif interdependensi antara individu-individu manusia yang hidup bersama. Adapun para sarjana hukum memandang negara sebagai sebuah fenomena hukum, yakni sebagai korporasi. Oleh karenanya pengertian negara dapat diambil setelah terebih dahulu para pakar hukum itu mendefinisikan makna dari korporasi itu. Perosalannya adalah ternyata banyak sekali korporasi, sehingga para ahli harus memberikan tekanan kekhususan pada norma yang dibentuknya agar lebih mudah mendefinisikan sebuah negara (Hans Kelsen, 2009: 261).

Itulah dua arus besar tentang konsep dan teori tentang ne-gara. Keduanya sangat sulit disatukan, karena beda pijakan awalnya (ilmu). Selanjutnya, kita hanya akan mendapatkan konsep, teori atau definisi negara bila tidak berperspektif sosiologis, ia berpers-pektif hukum. Berikut ini adalah beberapa pandangan dari bebera-pa sarjana tentang konsep atau teori tentang negara.

A. Teori Negara Menurut Filsuf Barat

1. Negara menurut Plato

(14)

pangi-pada seluruh karya yang diciptakannya. Ayahnya berna-ma Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kordus yang dikagumi oleh rakyat Athena. Ariston meninggal pada saat Plato masih kecil dan kemudian ibunya, Perik-tione menikah lagi dengan paman Plato yang bernama Pyrilampes, ia adalah seorang politikus yang disegani di Athena (J.H. Rapar, 2001: 37-38).

Dari biografi singkatnya terebut, dapat dipahami apabila di kemudian hari Plato tumbuh menjadi seorang filosof politik. Pemahaman tentang negara, politik dan kekuasaan seringkali menjadi rujukan bagi para nega-rawan dan politikus pada masa-masa setelahnya, bahkan sampai sekarang.

Pada zaman Plato hidup, peperangan dan perselisi-han antar elit penguasa seringkali terjadi. Kondisi inilah yang menjadikan hasrat untuk berkarir di bidang politik Plato menjadi pupus.

(15)

Kiranya, kekecewaan yang menghantuinya ten-tang para penyelenggara negara, menjadi Plato berpikir secara sungguh-sungguh tentang konsep negara yang menurutnya ideal dan dapat dijalankan dengan tidak melahirkan para penguasa diktator di kemudian hari.

Bagi Plato negara dan manusia memiliki kesamaan, oleh karena masalah moralitas harus dikedepankan dalam kehidupan negara, bahkan harus menjadi yang paling hakiki dalam kehidupan negara itu sendiri. Ka-rena moral menjadi sesuatu yang paling hakiki dalam negara, maka menurut Plato, para penguasa negara dan rakyatnya pun harus berada pada posisi menunjung nilai moral dalam bernegara. Dan nilai moral yang paling dikedepankan Plato adalah kebajikan. Kebajikan akan diperoleh bila para penguasa negaranya mengerti betul tentang nilai-nilai kebajikan. Pengertian tersebut hanya akan diperoleh apabila penguasa itu memiliki ilmu yang luas. Untuk menjembatani ketersedian calon penguasa yang berwawasan luas adalah tersedia lembaga pendidi-kan yang memadai.

(16)

Kesimpulan para ahli dari pemikiran Plato tersebut adalah bahwa pemikiran negara Plato sangat terwarnai oleh pemikiran gurunya, Socrates. Untuk mempertegas bahwa pemikiran Plato tentang negara itu sangat terpen-garuh oleh pemikiran Socrates, lihatlah cuplikan pemb-elaan Socrates pada saat ia disidang oleh 500 juri di Pen-gadilan Athena yang ditulis sangat baik oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Apologia;

“Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada sia-papun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan aku yakin tak ada ke-baikan yang lebih baik pada negeri ini selain pengabdi-anku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah menga-jak kalian semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu! Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta, tapi bahwa dari kebajikan itulah — harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik mau-pun individu. Inilah yang aku ajarkan” (www.islampos. com, diunduh pada tanggal 3 Juni 2014).

2. Negara menurut Aristoteles

(17)

ayahnya adalah seorang dokter keluarga kerajaan Meco-donia. Aristoteles diasuh sendiri oleh ayahnya di bidang kedokteran dengan harapan ia akan menggantikan ayah sebagai dokter keluarga kerajaan. Namun niat ayahnya itu tidak tercapai, karena ayahnya meninggal sebelum Aristoteles menyelesaikan pendidikannya di bidang ke-doteran.

Sekitar satu abad sebelum masa Aristoteles, kaum Sofis telah menyebarkan ajaran tentang negara. Menu-rut mereka negara semata-mata adalah instrumen, suatu sarana atau mekanisme yang digunakan manusia untuk mencapai dan memperoleh segala sesuatu yang diingin-kannya. Namun menurut Arsitoteles, negara merupakan suatu persekutuan hidup politis, yang dalam bahasa Yu-nani disebut be koinonia politis, artinya suatu persekutu-an hidup ypersekutu-ang berbentuk polis (negara kota) (J.H. Rapar, 2001 :167).

(18)

Walaupun dalam pandangan Aristoteles negara diposisikan sebagai persekutuan hidup tertinggi yang memiliki kedaulatan absolut tetapi bukan dalam penger-tian yang diinginkan oleh ajaran staats absolutisme. Ne-gara hanya berkewajiban menata seluruh segi kehidupan (J.H. Rapar, 2001: 170).

3. Negara menurut Hans Kelsen

Hans Kelsen dikenal sebagai seorang ahli hukum yang sangat kompeten. Ia terlahir dari keluarga Yahu-di berbahasa Jerman pada tanggal 11 Oktober 1884 Yahu-di Prague (sekarang menjadi ibu kota Cekoslowakia). Se-masa hidupnya ia adalah ahli hukum yang kaya pengala-man hidup, mengalami perubahan zapengala-man dan mengha-dapi berbagai tantangan. Sampai saat ini tidak ada satu karya biografi yang komplit tentang Hans Kelsen, kecuali yang ditulis oleh murid sekaligus asistennya yang ber-nama Rudolf Aladar Metall dengan judul “Leben und Werk” yang terbit pada tahun 1969 (Nicoletta Bersier Ladavac, 1998: 391). Kelsen berhasil menerbitkan buku pertamanya tahun 1905 dengan judul Die Staatslehre des Dante Alighieri, dan meraih gelar Doktornya di bidang hukum setahun kemudian.

(19)

Perang dunia kedua yang meletus di Eropa mem-buat Kelsen pada tahun 1940 memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, dan mengajar di Harvard University sampai tahun 1942. Kemudian pada tahun 1945, Kelsen menjadi warga Negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Comission di Washington, yang tugas utamanya adalah menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg.

Selama hidupnya, Kelsen menerima 11 (sebelas) gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai universitas di dunia. Hans Kelsen sang pencetus THE PURE THEO-RY of LAW (teori hukum murni) itu meninggal dunia di Berkeley pada tanggal 19 April tahun 1973 di usia 92 tahun, meninggalkan sekitar 400 karya (http://arlo12. wordpress.com).

Sebagai seorang ahli hukum dan pencetus teori hu-kum murni, maka pandangan Hans Kelsen tentang ne-gara tidak akan jauh dari basis teori yang dicetuskannya. Baginya, negara dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, sebagai korporasi. Maka untuk menentukan definisi negara dapat ditentukan setelah menentukan terlebih dahulu definis korporasi.

(20)

aspek sosiologisnya, tetapi tetap dari aspek hukumnya karena persoalan negara adalah persoalan hukum.

B. Sejarah Terbentuknya Negara

Mariam Budiardjo dan Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah sebuah alat (agency), yaitu alat yang diberikan we-wenang untuk mengatur dan mengendalikan segala sendi kehidu-pan bersama dalam satu daerah tertentu dan memiliki kedaulatan. Bila negara dinyatakan sebagai alat, maka negara tidak dapat berdi-ri, bergerak, dan melakukan kegiatan apapun bila tidak ada organ yang menggerakkannya. Organ yang menggerakannya adalah tan-gan-tangan yang disebut dengan pemerintah. Pemerintah terdiri dari individu-individu yang berasal dari masyarakat yang memiliki keahlian tertentu dan dipercaya untuk menjalankan negara dengan mekanisme dan wewenang tertentu. Rentetan ‘peristiwa’ itu men-unjukan bahwa ada proses terjadi atau terbentuknya sebuah nega-ra. Dalam ilmu politik dan/atau ilmu negara, proses yang demikian itu dapat disebut sebagai sejarah terbentunya negara.

Merujuk pada statemen di muka bahwa negara dapat dika-takan sebagai entitas sosiologi dan entitas hukum, menuntut pada munculnya pendekatan dan teori tentang terbentuknya negara. Ada beberapa pendekatan dan teori yang berkaitan dengan sejarah terbentuknya negara;

1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory )

(21)

bahwa negara merupakan entitas sosiologis. Karena negara berawal dari individu-individu, berkembang membentuk entitas kelompok terkecil sampai akhirnya terus membesar menjadi sebuah negara. Peralihan dari satu fase individu ke fase kelompok, berkumpulnya antar kelompok dan menjadi besar membentuk negara, dapat di-pastikan bahwa kohesi yang terjadi adalah akibat adanya perjanjian dari yang paling sederhana sampai pada yang rumit.

Untuk menjelaskan teori ini, ada beberapa pakar yang memi-liki pengaruh besar dalam pemikiran politik tentang negara, dian-taranya Thomas Hobbes, John Locke dan JJ. Rousseau.

Thomas Hobbes mengemukakan bahwa lahirnya negara ada-lah dengan adanya kesepakatan untuk membentuk negara, maka rakyat menyerahkan semua hak yang mereka miliki sebelumnya secara alamiah (sebelum adanya negara), untuk diatur sepenuhnya oleh kekuasaan negara. Setelah itu Hobbes menentukan kedudukan antara negara dan masyarakat. Hobbes menekankan bahwa setelah terbentuknya negara dari perjanjian masyarakat dan adanya peny-erahan hak masyarakat kepada negara, maka kedudukan negara lebih tinggi dari masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa kekua-saan dan kedaulatan negara lebih besar dari rakyat, absolut atau mendekati absolut. Konsekuensinya, negara harus mampu menjaga masyarakatnya tetap tertib dan teratur, sejahtera dan merasa aman dari berbagai kemungkinan yang mengancam. Bila negara mampu melaksanakannya maka masyarakat wajib patuh pada aturan ne-gara.

(22)

ditetapkan oleh pemerintah yang berdaulat selama pemerintah yang berdaulat tersebut tidak menyimpang dari batas – batas dasar dan struktur yang membentuk kontrak sosial antar masyarakat dan pemerintah. selain itu, hukum alam yang dikemukakan Locke bersifat normatif dimana hukum alam tersebut memerintahakan bagaimana seseorang seharusnya bersikap, bukan bagaimana sebe-narnya ia bersikap (Noer 1997: 119).

Sama halnya dengan Hobbes, setelah negara terbentuk maka kedudukan, wewenang, kekuasaan dan kedaulatan negara lebih tinggi dari masyarakat. Perbedaan antara Locke dengan Hobbes dalam persoalan ini adalah pada sisi absoltisme negara atas rakyat. Menurut Locke, kekuasaan adalah hasil dari perjanjian sosial atau kontrak sosial dan kekuasaan tersebut tidak bersifat mutlak. Pada teori kontrak sosial Locke dijelaskan bahwa kekuasaan berasal dari hasil kesepakatan warga dengan penguasa negara yang dipilihnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah berasal dari Tuhan yang turun secara turun – temurun serta kekuasaan bu-kan atas dasar teks kitab suci (Firdaus Syam, 2007), Adapun Jean Jacques Rosseau dalam bukunya yang terkenal Du Contract Social (1762), menyatakan bahwa dasar berdirinya sebuah negara beraw-al dari adanya suatu perjanjian atau kesepakan untuk membentuk negara, tetapi rakyat tidak sekaligus harus menyerahkan hak-hak yang dimilikinya untuk diatur negara. Agar partisipasi rakyat da-pat tersalurkan maka rakyat wajib memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam pemerintahan yang didirikan serta menyusun bi-rokrasi pemerintah secara lebih partisipatif (http://agil-asshofie.

blogspot.com/2011/11/). Kiranya teori inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya pemilihan umum di seluruh belahan dunia.

2. Teori Ketuhanan

(23)

den-gan sejarah dan karakternya masing-masing, secara teoritik mau-pun dalam praktik. Sebagai jalan termudah untuk mengidentifikasi sebuah negara teokrasi dapat merujuk pada definisi yang diberi-kan oleh Ryder Smith, yaitu jika sebuah negara menuntut untuk dijalankan oleh satu atau banyak dewa (tuhan) (Majid Khadduri, 1995: 13). The Oxford Dictionary mendefinisikannya sebagai ben-tuk pemerintahan yang didalamnya Tuhan (sifat ketuhanannya) dimanifestasikan dalam diri raja atau penguasa saat itu. Dan orang yang dianggap pertama mengenalkan istilah teokrasi adalah Fla-vius Josephus (37-100 M).

Inti dari teori ini adalah bahwa negara dibentuk oleh Tuhan melalui titah-Nya dalam kitab suci atau melalui sabda manusia-manusia pilihan-Nya yang diutus kepada manusia-manusia dan dalam ben-tuk praktik politik ketatanegaraan. Pemimpin-pemimpin negara adalah wakil Tuhan yang menjalankan pemerintahan dan hanya bertanggung jawab pada Tuhan.

Doktrin atau teori teokrasi pada tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah men-ganggap diri-Nya sebagai “penguasa” atas hambanya. Perwakilan-Nya di dunia (raja, khalifah) hanya sebagai kekuatan eksekutif. Oleh sebab itu hukum ketuhanan dianggap sebagai sumber ke-wenangan pemerintah dalam proses pengawasan di bawah sistem-sistem bersangkutan. Keberadaan hukum mendahului negara dan menjadi dasar berdirinya negara. Oleh sebab itu hukum bukan Tu-han, namun hukum Tuhanlah yang sebenarnya mengatur (Majid Khadduri, 1995: 14). Sampai pada satu pemahaman, pelanggaran terhadap kekuasaan merupakan pelanggaran terhadap Tuhan.

(24)

Islam berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Dalam agama Islam, khalifah adalah pemimpin pemerintahan (eksekutif) sekaligus pemimpin spiritual.

3. Teori Kekuatan

Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa ne-gara yang pertama terbentuk karena adanya kekuasaan dan kekua-saan itu didapat dari kekuatan yang berasal dari orang-orang yang paling kuat dan berkuasa atas mereka yang lebih lemah. Dalam ba-hasa yang lain, negara adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara berbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudu-kan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa dan penaklukan.

Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap se-bagai faktor tunggal yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan karena pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pembentuk negara itu. Dalam teori ini pula kekuatan mem-buat hukum (might makes right). Kekuatan adalah pembenarannya dan raisond`etre-nya adalah negara.

(25)

4. Teori Organis

Teori organis ini mengibaratkan atau mempersamakan ter-bentuknya negara sama dengan terter-bentuknya makhluk hidup. Organ-organ atau komponen-kompononen yang ada pada negara dianggap sebagai sel-sel yang sama fungsi dan peranannya dalam makhluk hidup.

Kehidupan korporasi dari negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk hidup itu. Fisiologi negara sama dengan fisiologi makhluk hidup, terutama dalam konteks kelahiran, pertumbuhan, perkembangan dan kematiannya. Doktrin organis dari segi isinya dapat digolong-kan ke dalam teori-teori organisme moral, organisme psikis, or-ganisme biologis dan oror-ganisme sosial.

Teori organisme moral secara singkat dapat dipahami bahwa negara adalah “naturproduksi”, satu kesatuan organis yang meli-puti semua warga masyarakat sebagai bagian esensial dari kesatuan organis negara. Negara tidak dibuat oleh manusia, tetapi merupa-kan produk moral dari kodrat manusia sebagai makhluk moral. Te-ori organisme psikis menuturkan bahwa negara tidak hanya terdiri dari wujud fisik keberadaan masyarakatnya. Satu kesatuan organ-isme yang ada pada negara memiliki atribut-atribut kepribadian rohani, mental spiritual sebagai manusia. Maka pertumbuhan dan perkembangan negara dapat dipersamakan dengan perkembangan intelektual dan kepribadian individu.

(26)

anatomi, fisiologi dan patologinya. Jadi asal mula, perkembangan, struktur dan aktifitas negara diselidiki berdasarkan pada kelahiran, struktur dan fungsi-fungsi organisme biologis. Adapun teori organ-isme sosial lahir bersamaan dengan lahirnya ilmu sosiologi. Ajaran negara sebagai organisme sosial terkait erat hubungannya dengan ajaran organis dari masyarakat dan persekutuan-persekutuan lain-nya. Masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan yang bersi-fat organis.Negara sebagai slaah satu bentuk perkelompokan sosial juga bersifat organis.

5. Teori Historis

Teori historis atau teori evolusionistis (gradualistic theory) merupakan teori yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga so-sial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang dipe-runtukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari pengaruh tempat, waktu dan tuntutan-tuntutan zaman.

Teori historis diperkuat dan telah dibenarkan oleh penye-lidikan historis dan etnologis-antropologis dari lembaga-lembaga sosial bangsa-bangsa primitif di benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Perlu ditambahkan bahwa pada saat ini, teori historislah yang umum diterima oleh sarjana-sarjana ilmu politik sebagai teori yang paling mendekati kebenaran tentang asal mula negara.

(27)

6. Teori Hukum Alam

Teori hukum alam menyatakan bahwa negara terjadi karena kehendak alamiah manusia, karena manusia yang adi kodratinya sebagai makhluk sosial yang suka berkumpul dengan manusia lain-nya dengan pendorong adalain-nya kesamaan dalam hal-hal tertentu. Dan negara merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang dapat dirasa-kan oleh manusia yang berkumpul tersebut. Penganut teori ini ada-lah Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquino.

C. Bentuk atau Sistem Pemerintahan Negara

1. Bentuk-bentuk pemerintahan

Sub judul tersebut sengaja dibuat seperti itu karena ada semacam kegaduhan dalam penggunaan istilah untuk mengidenti-fikasi dan mengklasimengidenti-fikasikan cara kerja atau manajemen pemerin-tah sebuah negara menjalankan negaranya.

Dalam kepustakaan ilmu politik dibedakan antara bentuk pemerintah dan bentuk negara, tetapi perbedaan ini merupakan masalah dalam ilmu politik yang belum selesai. Kranenburg dan Grabowsky lebih mengutamakan bentuk negara daripada bentuk pemerintahan, sedangkan Garner dan Gilchrist mengutamakan bentuk pemerintahan daripada bentuk negara. Konklusinya, bila membicarakan bentuk pemerintahan sebuah negara berarti itu pula bentuk negaranya dan demikian sebaliknya.

(28)

pula perbedaan bentuk pelaksanaan hubungan internasional mas-ing-masing negara. Bagaimana bentuk suatu negara adalah urusan negara itu sendiri. Hukum internasional tidak mempunyai hak atau wewenang untuk ikut menentukan bentuk suatu negara. Suatu ne-gara memilih bentuk nene-garanya sesuai dengan aspirasinya sendiri dan boleh saja merubah haluan karena kebutuhannya sendiri atau sebab suasana politik tertentu yang terjadi dalam urusan dalam negerinya.

Secara garis besar, bentuk negara dan pemerintahannya terba-gi menjadi 2 (dua), yaitu monarki dan republik, dengan model ken-egaraan kesatuan atau federasi (serikat), plus model negara kota.

1. Monarki (kerajaan, kesultanan)

Kata monarki berasal dari bahasa Yunani, “monos” yang berarti satu dan “archein” yang berarti pemerintah. Negara monarki dipimpin oleh seorang penguasa negara dengan seb-utan raja, ratu, kaisar sultan atau emir. Bentuk negara ini ada-lah yang tertua di dunia. Pada negara yang berbentuk monar-ki, raja, ratu, kaisar, sultan atau emir berkuasa sepanjang hayatnya. Ia akan digantikan apabila sudah wafat atau pada satu kondisi yang mana ia sudah tidak mampu atau tidak in-gin meneruskan kekuasaannya. Pada umumnya penggantinya adalah dari garis keturunannya yang utama yang mendapat gelar putra atau putri mahkota. Pada negara dengan sistem monarki tertentu, seperti Kerajaan Malaysia, kekuasaan raja dibatasi waktunya hanya lima tahun dan digilirkan pada pen-guasa negara bagiannya (persekutuan).

(29)

menjalankan roda pemerintahan negara monarki. Masa kepemimpinan perdana menteri dibatasi hanya dalam waktu tertentu.

Dalam perkembangannya, sekarang sistem monarki ter-bagi lagi menjadi 4 (empat); monarki absolut, monarki konsti-tusional, monarki parlementer dan monarki demokrasi.

a. Monarki absolut

Monarki absolut adalah negara yang dipimpin oleh kepala negara (raja atau sebutan lainnya) yang memiliki kewenangan absolut (tidak terbatas). Kewenanganya meliputi seluruh sistem kekuasaan yang ada pada negara itu, kekuasaan eksutif, yudikatif dan legislatif ada ditan-gannya. Pada masa dahulu segala titahnya dan perbua-tannya harus dipatuhi oleh siapapun dan menjadi hu-kum bagi rakyatnya. Keberadaan perdana menteri hanya sebagai simbol saja, karena pada prinsipnya kekuasaan dan kontrol terhadap negara ada dalam wewenang pe-nuh pada satu penguasa negara.

Diantara negara-negara yang menganut sistem monarki ansolut adalah Arab Saudi, Qatar, Oman, Bru-nai Darussalam dan Swaziland.

b. Monarki konstitusional

(30)

mengusulkan pergantian perdana menteri kepada parle-men.

Terjadinya proses monarki konstitusional pada ne-gara monarki karena 2 (dua) hal;

1. Ada kalanya perubahan menjadi monarki konstitu-sional datang dari inisiatif raja itu sendiri karena ia takut kekuasaannya akan runtuh/dikudeta. Contoh untuk kasus ini adalah Jepang.

2. Ada pula yang berubah menjadi monarki konstitu-sional karena adanya revolusi rakyat terhadap raja. Contohnya; Inggris yang melahirkan Bill of Right I tahun 1689, Yordania dan Denmark (sitongjona-tan-jonatan.blogspot.com).

c. Monarki parlementer

Dalam monarki parlementer, negara dikepalai oleh raja dengan menempatkan parlemen (DPR) sebagai pe-megang kekuasaan tertinggi. Jatuh tegaknya pemerintah tergantung kepercayaan parlemen terhadap perdana menteri dan para menterinya. Perdana menteri dan ka-binetnya bertanggungjawab kepada parlemen adapun raja hanya sebatas simbol saja yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Contohnya adalah Malaysia, Ing-gris, Thailand dan Belanda.

d. Monarki demokrasi

(31)

oleh para Kardinal. Di Arab Saudi pun punya cara untuk terjadinya monarki pemilihan. Malaysia dapat pula dika-takan masuk dalam kategori ini, tetapi dipergilirkan dari raja-raja yang ada pada negara-negara bagiannya. Perlu dipahami bahwa monarki demokrasi tidak pernah lepas dari aliran darah atau keluarga kerajaan.

2. Republik

Kata republik barasal dari bahasa Yunani, dari kata “res” yang bermakna “kekuasaan” dan “publika” yang bermakna “rakyat”. Dari pengertian bahasa ini dapat dipahami bahwa negara republik, kekuasaannya berada di tangan rakyat. Pada negara republik, pemimpin negaranya disebut pres-iden. Presiden bertindak dan berkedudukan sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Namun ada pula pres-iden hanya berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri. Indonesia pernah mengalami sejarah seperti ini pada masa awal-awal kemerdekaan sampai pada tahun 1960-an.

Ada 3 (tiga) macam bentuk negara republik;

a. Republik absolut

(32)

Dalam negara republik absolut, kekuasaan bisa diperoleh dengan jalan kudeta atau penyelenggaraan pemilu yang curang dan permainan politik perundang-undangan.

b. Republik konstitusional

Pada negara republik konstitusional, kedudukan presiden dengan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dapat diperebutkan sesuai dengan aturan yang ada dalam konstitusi negara dan peraturan perundangan yang pendukungnya. Presiden bertang-gungjawab kepada parlemen sebagai representasi dari kekuasaan rakyat. Contohnya, Indonesia

c. Republik parlementer

Presiden dalam negara republik parlementer ham-pir mirip kedudukannya seperti raja dalam negara monarki, ia hanya sebagai simbol negara. Yang mem-bedakannya kekuasaan presiden diperoleh lewat pemili-han adapun raja diperoleh dari warisan pendahulunya.

Presiden sebagai kepala negara tidak aktif memim-pin negara. Penyelenggara pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri dan kabinetnya yang bertang-gungjawab kepada parlemen. Contoh, negara Italia, In-dia dan Jerman.

(33)

1. Negara kesatuan

Negara kesatuan adalah negara berdaulat yang bi-asanya memiliki kedaulatan wilayah yang luas, yang din-yatakan dalam kesatuan tunggal dengan kontrol berada pada pemerintah pusat. Pemerintah-pemerintah yang ada di daerah (penguasa daerah) hanya menjalankan kekuasaan-kekuasaan yang didelegasikan oleh peme-rintah pusat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pemerintah pusat dengan kewenangannya dapat menentukan status pemerintahan subnasional sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertai daerah itu, bisa dimekarkan menjadi sub baru, digabungkan antara sub yang ada bahkan dapat menghapusnya. Indonesia adalah salah satu contoh negara kesatuan.

2. Negara federasi (serikat)

Negara federasi adalah negara yang terdiri dari be-berapa atau banyak negara bagian, yang masing-masing negara bagian itu dipimpin oleh pemimpin tertinggi, dapat berupa gubernur ataupun raja dan nama yang sejenisnya. Namun kekuasaannya hanya terbatas pada daerah yang ada dalam satu daerah dalam negara yang besar.

(34)

model negara serikat di Indonesia ini hanya berlangsung 10 (sepuluh) bulan kemudian kembali kebentuk negara kesatuan dengan pelopornya adalah Perdana Menteri Mohammad Natsir.

3. Negara kota

Konsep negara kota pertama kali digagas oleh Ar-istoteles dan Plato, yaitu suatu negara yang memiliki wilayah kedaulatan yang kecil dengan penduduk yang kecil pula. Negara kota yang dikenal sekarang adalah sebuah negara yang berdaulat yang seluruh (mayoritas) wilayah pemerintahannya sudah berupa kota, sistem pemerintahannya bisa saja berbentuk monarki atau re-publik. Contoh dari negara kota yang sekarang ada, dian-taranya adalah Singapura, Vatikan dan Gibaltar. Bahkan Gibaltar adalah sebuah negara kota yang penduduknya hanya berkisar pada bilangan angka 30.000 (tiga puluh ribu) jiwa saja.

2. Sistem Pemerintahan

Setiap negara di belahan dunia manapun memiliki cara atau sistem pemerintahannya sendiri dalam menjalankan pemerintahan negaranya. Sistem pemerintahan menurut Sri Soemantri (1970: 70) adalah sistem organ eksekutif dan organ legislatif (organ kekuasaan legislatif). Ada pula yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan adalah cara pemerintah dalam mengatur semua yang berkaitan dengan pemerintahan.

(35)

negara dalam kerangka trias politika ala Montesqui, keberadaan lembaga yudikatif hanya sesekali masuk dalam frame sistem pemerintahan karena ia berada dalam frame tersendiri, pemegang kekuasaan kehakiman (hukum) yang dapat dijadikan sebagai kon-trol atas hubungan politik dua kutub yang berbeda tersebut pada saat keduanya tunduk pada peraturan perundangan atau posisi lembaga yudikatif kuat. Akan tetapi dapat pula lembaga ini diper-alat untuk kepentingan politik dari lembaga legsilatif dan eksekutif.

Sistem yang dibentuk atau dipilih oleh sebuah pemerintahan gunanya untuk menjaga kestabilan pemerintahan, politik perta-han, ekonomi, kesejateraan sosial dan lain sebagainya. Karena pada setiap sistem itu ada ciri atau aturan umum yang akan dipatuhi oleh setiap pemegang kekuaasaan pemerintahan. Artinya sistem pemer-intah yang dianut itu akan menjadi acuan bagi pemerpemer-intah untuk menjalankan kekuasaan pemerintahannya secara benar, terukur dan terarah.

Dalam teori Hukum Tata Negara dikenal dua bentuk sis-tem pemerintahan yaitu sissis-tem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil (presidensial). Namun dalam praktek, dikenal juga sistem pemerintahan campuran yang di sebut quasi parlementer atau quasi presidensiil atau dalam bahasa lain sistem parlemeter dan presidesiil tidak murni. Bahkan un-tuk kasus Indonesia pra amandemen UUD 1945, Padmo Wahyono (dalam Bintan R. Saragih, 1992: 7), menamakannya dengan “sistem MPR” yang mempunyai kelainan baik dari sistem presidensiil, parlementer maupun sistem parlementer/presidensiil tidak murni.

a. Sistem pemerintahan presidensial

(36)

da-pat dijatuhkan oleh atau melalui badan legislatif meskipun kebijaksanaan yang di jalankan tidak disetujui oleh pe-megang kekuasaan legislatif. Pada sistem ini, presiden adalah pemegang kukuasaan eksekutif yang menjalankan negara dan pemerintahan, sehingga presiden menduduki dua posisi seka-ligus; sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Presiden memiliki hak prorogatif untuk memberntuk kabinet dan menunjuk orang-orang yang dianggapnya pan-tas untuk menduduki jabatan menteri dalam kabinetnya. Ka-rena yang membentuk kabinet adalah presiden maka kabinet bertanggungjawab penuh pada presiden dan tidak dapat di-bubarkan oleh parlemen.

Bila dirinci lebih lanjut, ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial sebagai berikut;

1. Presiden adalah penyelenggara negara

2. Presiden menjabat dua jabatan sekaligus (kepala negara

dan kepala pemerintahan)

3. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih

se-cara langsung oleh rakyat dalam suatu sistem pemilu atau oleh suatu dewan majelis

4. Presiden dapat membentuk kabinet dan memiliki hak

prerogatif untuk menempatkan orang-orang dalam ka-binet bentuknya sebagai menteri.

5. Presiden tidak bertanggung jawab pada parlemen

6. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen

7. Presiden tidak dapat diturunkan oleh parlemen kecuali

(37)

8. Parlemen sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang

para anggotanya direpresentasikan sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam suatu sistem pemilu.

Bagi negara yang memilih sistem pemerintahan pres-idensial memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah;

1. Kekuasaan eksekutif lebih stabil karena tidak bergantung dan tidak terganggu pada parlemen

2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dalam kurun waktu tertentu. Seperti di Indonesia masa jabatan pres-iden 5 tahun. 

3. Legislatif bukan tempat kaderisasi mengenai jabatan-jabatan eksekutif karena diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri

4. Dalam penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya

Adapun kelemahan atau kekurangan Sistem Pemerinta-han Presidensial adalah;

1. Sistem pertanggung jawaban kurang jelas

2. Pembuatan keputusan/mengambil kebijakan memakan waktu yang lama

3. Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legis-latif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak

(38)

mengakibatkan terjadinya keputusan yang tidak tegas (http://www.artikelsiana.com).

b. Sistem pemerintahan parlementer

Suatu sistem pemerintahan disebut sistem pemerinta-han parlementer apabila eksekutif (pemegang kekuasaan ek-sekutif) secara langsung bertanggung jawab kepada badan legislatif (pemegang kekuasaan legislatif). Dalam sistem ini kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh dua orang yang berbeda dengan kewenangan yang berbeda. Pres-iden, Kaisar, Raja, Ratu, Sultan atau Emir menduduki jabatan sebagai kepala negara, menjadi simbol negara. Sedangkan kepala pemerintahan di jabat oleh perdana menteri.

Pada sistem pemerintahan model ini kelangsungan kekuasaan eksekutif tergantung pada kepercayaan dan dukungan mayoritas suara di badan legislatif. Setiap saat eksekutif dapat kehilangan dukungan mayoritas dari para anggota badan legislatif atau parlemen (misalnya, karena adanya mosi tidak percaya), eksekutif (perdana menteri) akan jatuh dengan cara mengembalikan mandat kepada Kepala Negara.

(39)

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer sebagai berikut;

1. Raja, ratu, kaisar, sultan, emir atau presiden menduduki

posisi sebagai kepala negara dan simbol negara. Pada hal kepala ekskutif di jabatan oleh presiden, presiden ditunjuk oleh parlemen/legislatif. Sedangkan kepala ne-gara dengan sebutan raja, ratu, kaisar, emir dan sultan dipilih menurut mekanisme tersendiri, biasanya model pewarisan tahta kepada keturunan genetikal kepala ne-gara sebelumnya.

2. Perdana menteri sebagai kepala pemerintahan yang

menjalankan roda pemerintahan.

3. Perdana menteri mempunyai hak perogratif (hak

is-timewa) dalam mengangkat dan memberhentikan para menteri-menteri yang baik itu memimpin suatu departe-men dan non departedeparte-men. 

4. Kabinet yang dibentuk perdana menteri bertanggung

jawab kepada parlemen

5. Parlemen atau legislatif dapat menjatuhkan kekuasaan

aksekutif.

Sistem pemerintahan parlementer memiliki beberapa kelebihan, yaitu;

(40)

2. Pembuatan keputusan menggunakan waktu yang cepat

3. Dalam pertanggung jawaban terhadap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas

4. Memiliki pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet/menteri-menteri sehingga kabinet menjadi lebih berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan

Adapun kelemahan atau kekurangan dari sistem pemer-intahan parlementer adalah;

1. Kedudukan badan eksekutif atau kabinet bergantung dari mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh parlemen

2. Dalam masa jabatan badan eksekutif atau kabinet tidak dapat ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatan-nya karena sewaktu-waktu dapat dibubarkan oleh legis-latif

3. Parlemen menjadi sebuah tempat dalam kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.

(41)

BAB II

KONSEP NEGARA DALAM AL-QUR’AN

DAN PANDANGAN ULAMA POLITIK

ISLAM

A. Konsep Negara dalam Islam

Menemukan konsep negara yang genuine berupa doktrin penamaan ataupun perintah mendirikan sebuah negara, tidak akan dijumpai dalam literatur kitab suci al-Qur’an dan Hadits Nabi. Akan tetapi untuk menemukan organ-organ negara dalam kitab suci dan al-hadits akan banyak dijumpai. Organ-organ yang dimaksud diantaranya, al-ummah, ulil amri, al-qaum, al-hukmu, jama’ah, baiat, khilafah dan lain-lain.

(42)

1. Al-Ummah

Secara sosiologis, negara merupakan bentuk atau nama lain dari masyarakat atau kumpulan individu yang terorganisir. Istilah yang paling urgen dan pertama yang mesti dirujuk untuk istilah masyarakat yang terogranisir dalam Islam adalah kata ummah. Minimal ada dua alasan menjadikan kata ummah menjadi kata kunci dalam persoalan ini;

a. Dalam al-Qur’an, istilah ummah disebut sebanyak 64 kali dalam 24 surat.

b. Istilah ummah termaktub dalam Piagam Madinah, yang dianggap sebagai konstitusi modern pertama di dunia.

Namun, persoalannya muncul dua tafsir dari kata ummah itu dari para peneliti, sebagian menyebutnya sebagai politcal society dan sebagian menamakannya sebagai religiuos society. Selanjutnya adalah apakah dua penamaan atau tafsiran yang berbeda itu dapat diambil sebagia akar terbentuknya sebuah negara?

Kata ummah secara bahasa dalam bahasa Arab terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu, dan mene-ladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata “um” yang be-rarti “ibu” dan “imam” yang maknanya “pemimpin”; karena kedu-anya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.

(43)

Ar-Raghib al-Isfihany dalam karyanya Al-Mufradat fi Ghar-ib al-Qur’an, menjelaskan arti ummah sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.

Bila merujuk pada dalil-dalil naqli, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, kata ummah tidak hanya ditujukan pada se-kumpulan manusia, berkumpulnya sekelompok binatang ataupun berkumpulnya sifat-sifat terpuji dalam diri seseorang juga bisa dis-ebut dengan kata ummah itu (M. Quraish Shihab, 1999: 325-328).

Dalil-dalil berikut ini dapat dipelajari lagi secara lebih sek-sama;

ٌمــَمُأ َلاِإ ِهــْيــَحاــَنــَِب ُرــِطــَي ٍرــِئاــَط َلاَو ِضْرَلأْا ِف ٍةـــَّباَد ْنــِم اـــَمَو

. َنوُرَشُْي ْمِِّبَر َلِإ َُّث ٍءْيَش ْنِم ِباَتِكْلا ِف اَنْطَّرَـف اَم ْمُكُلاَثْمَأ

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan bu-rung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melain-kan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpamelain-kan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS al-An’âm: 38).

Rasulullah Saw. bersabda:

مَمُلأْا َنِم ٌةَّمُأ ُةَلْمَّنلا

(44)

اَهِلْتَقِب ُتْرَمََلأ ِمَمُْلأا ْنِم ٌةَّمُأ َب َلِكْلا َّنَأ َلاْوَل

“Seandainya anjing-anjing bukan umat dan umat-umat (Tu-han) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh” (HR at-Tir-midzi dan an-Nasa’i).

. َينِكِر ْشُمْلا َنِم ُكَي َْلَو اًفيِنَح َِِّل اًتِناَق ًةَّمُأ َناَك َميِهاَرْـبِإ َّنِإ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat di-jadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang memperseku-tukan (Tuhan),” (QS. al-Naml: 120).

Ali Syariati dalam bukunya Al-Ummah wa al-Imâmah

(1990: 36) menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah (suku). Pakar ini mendefinisikan kata umat – dalam konteks sosiologis -- sebagai “himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.”

(45)

me-letakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pe-mikiran dan inisiatif Muhammad sendiri (Muhammad Latif Fauzi, 2005: 6).

Dalam Piagam Madinah itu, kata ummah tertera secara jelas dan tegas dalam pasal 1 dan 25 . Kiranya inilah yang menjadi ka-jian utama para sarjana, baik politik, sosiologi, dan ilmu lainnya. Diantara para sarjana yang mengulas Piagam Madinah ini adalah Muhammad Khalid dan Hasan Ibrahim Hasan.

Muhammad Khalid menyatakan bahwa isi yang paling prin-sip dari Piagam Madinah adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur suatu ummah serta menegakkan pemer-intahan atas dasar persamaan hak. Adapun Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan dalam empat pokok;

a. Mempersatukan kaum muslimin dari berbagai suku

menjadi satu ikatan.

b. Menghidupkan semangat gotong royong, hidup

ber-dampingan, saling menjamin diantara sesama warga.

c. Menetapkan bahwa setiap warga masyarakat

mempu-nyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan mempertahankan Madinah dari serbuan luar.

d. Menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum

(46)

Pada saat mengomentari surat Ali Imron ayat 4, Inu Kencana Syafiie (1996: 133) mengatakan bahwa segolongan ummat tersebut adalah pemerintah yang sah. Sebelumnya ia menjawab pertanya-an adakah negara Islam menurut al-Qur’pertanya-an dpertanya-an al-Hadits dengpertanya-an menganalogikan pada satu pertanyaan yang sederajat, apakah masuk SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di perintahkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits? Sekolah-sekolah tersebut dalam dua sum-ber utama umat Islam, keduanya hanya memerintahkan kewajiban untuk menuntut ilmu, masalah bentuk sekolah itu seperti apa terserah kepada kita, begitu pula dengan negara. Begitu pula dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak dibicarakan perintah mendirikan negara dan bentuk negaranya, tetapi prinsip-prinsip kehidupan bernegara dan instrumen negar banyak dibicarakan dalam pulu-han ayatnya.

Berdasarkan pada beberapa pendapat dari para sarjana Mus-lim dan Non-MusMus-lim tersebut, nyata bahwa Madinah dengan sega-la ciri dan keunikannya adasega-lah sebuah negara. Karena 4 (empat) syarat pokok berdirinya sebuah negara ada dalam negara Madinah;

a. Adanya pemerintah, Madinah memiliki pemerintahan

dengan pimpinan tertingginya Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga mengangkat pemimpin-pemimpin dibawahnya dan mengirimkan utusan-utusan ke negara-negara lain.

b. Adanya wilayah, wilayah negara Madinah adalah

Madi-nah dan sekitarnya.

c. Adanya warga negara, warga negaranya adalah kaum

Muslimin, kaum Yahudi dan pemeluk agama lain yang hidup di wilayah Madinah

d. Adanya pengakuan dari negara lain, Madinah mengirim

(47)

Muhammad (Pemimpin Madinah) menerima utusan dan mendapatkan hadiah dari negara lain.

2. Qaum dan Jamaah

Sama halnya dengan kata ummah, kata qaum dan jamaah juga banyak terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Ketiga kata ini dapat dikatakan sebagai sinonim, memiliki makna yang secara umum sama, walaupun bila diperinci lebih detail ada kekhasan dari masing-masing kata itu memiliki makna yang lebih spesifik. Kekhasan itu pun tidak begitu signifikan untuk menyamakan art-inya pada sekelompok orang yang berkelompok, masyarakat atau-pun warga negara. Jadi dua istilah itu tidak menjadi masalah untuk dijadikan satu indikasi bahwa itu adalah bagian dari unsur wajib yang harus ada dalam sebuah negara.

3. Khilafah

Kata khilafah berasal dari kata “kha-la-fa” yang dapat ber-makna pengganti, belakang, yang datang kemudian. Kata ini dapat berubah menjadi khilafah (bentuk masdar) dan khalifah (bentuk fail). Istilah ini mulai menjadi populer pada saat Rasulullah Saw. wafat. Disamping itu, memang telah tertera pula dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan surat al-Nur ayat 55.

(48)

dan praktik kepemimpinan masa setelah Rasulullah itu menjadi menjadi konsep dan sistem ketatanegaraan (siyasah) dalam Islam. Pada rentang waktu selanjutnya, kemudian dieksplorasilah seluruh dalil naqli baik berupa ayat Qur’an maupun Hadits guna menopang konsep kekhilafahan dalam Islam secara teoritik-filosofis. Kemu-dian para ulama melengkapinya dengan teori-teori (pemahaman-nya) tentang siyasah syar’iyah, seperti Ibnu Taimiyah, al-Mawardi dan lain-lain.

Kata khilafah dan khalifah secara praktis diejawantahkan oleh umat Islam dalam praktik ketatanegaraan yang nyata sampai tera-khir tumbangnya kilafah Utsmaniyah di Turki. Setelah itu khalifah dan khilafah menjadi cita-cita kaum muslimin yang terus diper-juangkan untuk tegak kembali.

Ibnu Taimiyah pernah menulis, “wilayah” (organisasi politik) bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak secara kokoh dan karena Allah Swt mewajibkan kerja amar ma’ruf nahi munkar, dan menolong pihak yang teraniaya. Semua yang Dia wajibkan tentang jihad, keadilan dan menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan.” Abdul Karim Zaidan lebih tegas menyatakan, “maka menegakkan Daulah (khilafah) Islamiyah merupakan perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-hukum syariat” (dalam Oksep Adhayanto, 2011: 20). Oleh karena itu “kerinduan” sebagian kaum muslimin akan tegaknya khilafah yang baru terus akan digelorakan.

(49)

B. Pandangan Ulama Politik Islam Klasik tentang

Konsep Negara

1. Pandangan Ibnu Khaldun

Nama panjangnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Mu-hammad bin MuMu-hammad bin Hasan bin Jabir bin MuMu-hammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khalid bin Usman bin Hani bin Kathab bin Kuraib bin Ma’dikarib bin Harish bin Wail bin Hujr, namun ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun populer dalam dunia ilmiah Islam sebagai bapak sosiologi Muslim terkemuka di zamannya dan sampai saat ini. Ibnu Khaldun hidup pada masa dunia Islam sedang mengalami perpecahan dalam bi-dang politik, kemunduran di bibi-dang ilmu pengetahuan dan kesibu-kan dalam perang Salib yang panjang. Instabilitas di bidang politik dan peperangan yang sering berkecamuk itu membuat kehidupan Ibnu Khaldun berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.

Tempat kelahirannya di Afrika Utara (Tunisia), yang pada saat itu berada dalam kekuasaan Dinasti al-Muwahhidun, ramai dengan dengan pemberontakan dan kekacauan politik. Dinasti al-Muwahhidun hancur dan digantikan oleh dinasti-dinasti kecil secara ganti berganti dalam tragedi politik yang berkepanjangan. Diantara dinasti-dinasti kecil yang silih berganti memimpin adalah Keamiran Bani Hafish di Tunisia, Keamiran Bani “Abd al-Wad di Tilmisan dan Keamiran Bani Marin di Fez.

(50)

Kondisi politik yang terus bergolak dan peperangan yan terus terjadi, berimbas pada pengembangan ilmu pengetahuan di kalan-gan para pemikir-pemikir muslim. Tidak banyak karya orisinal yang lahir pada masa dimana Ibnu Khaldun hidup di dalamnya. Stagnasi pemikiran Islam saat itu sungguh memilukan, karya-karya yang muncul hanya berupa syarh atau syarh dari syarh yang telah ada sebelumnya. Kondisi yang demikian itu, dalam sejarah perkembangan intelektual muslim disebut sebagai ‘ashr al-syuruh wa al-hawasyi (masa penjelasan/tafsir dan pemberian catatan ping-gir) dari buku atau karya sarjana muslim yang ada pada masa se-belumnya. Karya yang dianggap orisinil dari pemikiran intelektual masa itu hanya sedikit, diantaranya al-Muqaddimah, sebuah karya monumental dari Ibnu Khaldun.

Sebagai sebuah karya yang lahir pada kondisi masyarakat dan pemerintahan Muslim yang seperti itu, al-Muqaddimah kar-ya orisinil dan monumental Ibnu Khaldun ini tidak bisa lepas dari kondisinya saat itu, walaupun fokus kajian utamanya adalah masyarakat dan berbagai macam aspek yang terkait dengannya, soal politik dan kekuasaan (negara) juga tidak luput dari bahasan-nya. Disinilah ditemukan bagaimana konsep negara menurut Ibnu Khaldun.

(51)

Sikap pertalian yang didasarkan pada konsep ashabiyah itu terus akan berkembang, yang selanjutnya akan membentuk dan mengikat nasab secara umum dalam sebuah kata persaudaraan ka-rena nasab darah dan/atau daerah selanjutnya menciptakan soli-daritas kolehtif. Solisoli-daritas ini akan semakin kuat diikat dengan kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air dan bahasa yang sama. Sikap ini akan terus berkembang yang pada saatnya melahirkan sebuah kesatuan yang sangat besar dengan membentuk sebuah negara.

Pengembangan konsep ashabiyah oleh Ibnu Khaldun ini men-jadi sebuah negara tidak hanya sekedar pada perekat nasab, kedaer-ahan, visi, misi dan kesamaan primordial lainnya. Karena berbicara tentang negara berarti berbicara pula tentang konsep kepemimpi-nan, artinya setelah solidaritas itu terbentuk, selanjutnya siapakah yang berhak menjadi pemimpinnya dan alat pengikat apakah yang akan lebih menguatkan solidaritas itu? Karena dalam pandangan Ibnu Khaldun, solidaritas nasab, kedaerahan, bahasa atau yang lainnya adalah solidaritas semu atau solidaritas yang kurang kuat untuk tetap dalam satu kesatuan yang kuat. Maka bagi Ibnu Khal-dun, setelah solidaritas tersebut terlampaui, negara dapat terbentuk melalui perjanjian atau kesepakatan, proses penaklukan dan seba-gainya. Dalam konteks ini, terlihat bahwa konsep ashabiyah yang dibangun Ibnu Khaldun melampaui batas terminologis ashabiyah yang dipahami oleh masyarakat sebelumnya (Sayuti Pulungan, 1997: 227).

(52)

bahwa agama adalah alat ikat yang sangat kuat dibandingkan den-gan pengikat-pengikat lainnya.

Berkenaan dengan bentuk negara, Ibnu Khaldun tidak men-unjuk bentuk-bentuk negara dengan nama dan terminologis apa-pun sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para filsuf Yunani macam Plato dan Aristoteles. Ibnu Khaldun hanya memberikan rambu-rambu universal tentang bentuk negara yang ideal. Kon-sep khalifah dan imamah yang diajukannya adalah konsep filosofis tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan itu menuntun bahwa kepala negara disamping sebagai pemimpin yang berfungsi memelihara kesejahteraan kehidupan duniawi seluruh rakyat, ek-sistensinya juga merupakan pemimpin yang seluruh tindakannya merupakan pedoman dan contoh tauladan yang senantiasa men-jadi acuan bagi seluruh rakyatnya (H. Samsul Nizar, 2003: 102).

2. Pandangan Al-Farabi

Orang mengenalnya dengan sebutan nama al-Farabi, meru-juk pada sebuah nama kota kecil bernama Farab pada provinsi Khurasan Turkestan, tepatnya di sebuah dusun bernama Wasij. Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh al-Farabi, ia dilahirkan pada tahun 257 H/870 M (Seyyed Hossein Nasr, 2006: 35). Al-Farabi dianggap se-bagai pemikir besar di bidang filsafat setelah Aristoteles. Bahkan ia dianggap sebagai guru kedua yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan filsafat Islam.

(53)

hing-ga konon walalupun masih muda kemampuannya di bidang logika melampaui gurunya, Matta bin Yunus (Majid Fakhry, 1983: 109).

Kedua, karena kemampuannya mengulas pemikiran-pe-mikiran Aristoteles (M. Saud Shaik, 1994: 75), Seyyed Hossein Nasr (2006: 35) menyebutnya sebagai komentator utama sekali-gus pengikut Aristoteles. Diantara karya-karya Aristoteles yang dikomentarinya adalah buku Categories, Hermeneutics, Prior dan Posterior Analytics, Rhetoric dan Poetics, Metaphysics dan lain-lain. Ketiga, karena ia mampu menciptakan sistem filsafat yang lebih lengkap dibanding pendahulunya, al-Kindi. Keempat, karena al-Farabi mampu menyempurnakana teori ilmu musik yang berasal dari Phytagoras dan menciptakan sejumlah teori baru tentang musik.

Al-Farabi juga dikenal sebagai ahli filsafat politik dan sebagai peletak dasar filsafat politik dalam Islam. Hal ini terbukti dengan beberapa besarnya di bidang ilmu politik; Ara Ahl Madinah al-Fadhilah, Tahshil al-Sa’adah dan Kitab al-Siyasat al-Madaniyyah (Seyyed Hossein Nasr, 2006: 37).

Pemikiran al-Farabi tentang negara banyak tertuang secara sistematis dalam karyanya yang berjudul Ara Ahl Madinah al-Fadhilah. Ide-idenya tentang negara banyak bersifat Platonis, ka-rena buku Republika karya Plato banyak mengilhami bukunya tersebut.

(54)

membedakan dengan dua filsuf Yunani itu. Namun begitu, konsep negara yang diinginkan oleh Farabi sama dengan dua fisuf Yunani itu, yakni negara kota. Dalam makna ketiga filsuf itu tidak meng-inginkan negara yang terlalu luas yang berujung pada sulitnya pen-gelolaan negara dan tidak pula terlalu kecil yang justru dapat men-ciptakan ketidaksempurnaan sebuah masyarakat.

Negara dalam konsep al-Farabi terbagi dua; Madinah al-Fadhilah dan al-Madinah al-Jahilah. Al-Madinah al-Fadhilah (ne-gara utama) menurut al-Farabi ibarat tubuh manusia yang satu bagian dengan bagian lainnya saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing, dan jantung menjadi pusat dari segala organ yang ada.

Jantung bertugas menyuplai kebutuhan darah keseluruh ang-gota tubuh yang ada. Jantung menjadi ibarat sebagai pemimpin se-buah negara, pelayan rakyat yang menjamin kesejahteraan seluruh warga negara. Warga negara sesuai dengan kapasitas dan kapabili-tasnya menjalankan fungsinya masing-masing, bekerja untuk men-jaga keutuhan negara dan agar keadilan tercipta dalam negara itu. Konsep negara utama al-Farabi ini sangat jelas dipengaruhi oleh pandangan Plato, yang membagi warga negara dalam tiga kelas; kepala negara, militer dan rakyat.

3. Pandangan Al-Mawardi

Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ha-bib al-Mawardi al-Syafi’i. Ia lebih dikenal al-Mawardi, lahir dikota Basrah Iraq 364 H/974 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa keemasan di tangan khilafah Daulah Abbasiyah.

(55)

Bas-rah) Kemudian melanjutkan studi ke “kampus” al-Za’farani” Bag-dad. Disinilah al-Mawardi menajamkan hadits dan fiqih pada Abu Hamid Ahmad bin Tohir al-Isfirayani (http://aliranim.blogspot. com/2010/09/).

Al-Mawardi adalah sarjana muslim yang terhormat pada za-mannya dan cukup rajin menghasilkan karya-karya yang cukup ternama pada bidang yang dikuasainya. Kepakarannya tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan dengan berbagai macam ilmu didalamnya, ia juga banyak menulis buku di bidang bahasa dan ke-sastraan dan juga memiliki keunggulan di bidang ilmu sosial-poli-tik. Salah satu karya besarnya di dalam ilmu politik adalah kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah. Buku inilah karya awal yang diterbitkan dan dikenal di dunia Islam.

Selain buku itu, al-Mawardi juga menulis beberapa buku ten-tang ilmu politik dan tata kenegaraan yang lain. Dari buku-buku-nya di bidang ilmu politik dan ketatanegaraan, tidak ada satupun dalam buku-buku tersebut yang membicarakan secara eksplisit tentang konsep negara di dalam Islam. Hal ini dapat dimaklumi adanya, karena al-Mawardi hidup di zaman keemasan Kekhilafa-han Daulah Abbasiyah. Baginya keberadaan khilafah pada saat itu satu bukti bahwa konsep negara telah ada dalam praktik politik dan kenegaraan dalam Islam, yang berarti pula konsep tentang negara telah selesai. Artinya bila ada orang yang bertanya tentang konsep negara dalam Islam, lihat saja Khilafah Daulah Abbasiyah yang se-dang berkuasa itu.

(56)

Namun demikian, dari buku-bukunya tetang ilmu politik tata pemerintahan dapat disimpulkan padangan al-Mawardi pada konsep negara. Sebagaimana Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi’, al-Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, teta-pi ia memasukkan agama dalam teorinya. Menurutnya kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan terdapatnya keanekaragaman dan per-bedaan bakat, pembawaan, kecendrungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling memban-tu. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan nega-ra. Dengan demikian, adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu al-Mawardi berpen-dapat, bahwa kepala negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengarur dunia dan mengesahkannya (http://poetraboemi.wordpress.com).

C. Praktek Kenegaraan dalam Sejarah Peradaban Islam

Sekali lagi perlu ditegaskan, walaupun ada pro dan kontra terhadap Madinah, apakah dapat dikatakan sebagai sebuah negara atau bukan, penulis lebih berpihak pada para sarjana yang menya-takan Madinah sebagai negara dan diperkuat oleh syarat-syarat se-buah komunitas disebut sebagai negara.

(57)

Ditilik dari syarat terbentuknya negara; Madinah memiliki wilayah kedaulatan, Madinah memiliki pempimpin, dalam hal ini Rasulullah sebagai pemimpinnya, Madinah memiliki rakyat, rakyat terdiri dari kaum muslimin Muhajirin dan Anshar, dan suku-suku asli Madinah yang beragama Yahudi dan Nasrani, dan adanya pen-gakuan dari negara lain, hal ini dibuktikan dengan pengiriman dan penerima delegasi oleh Rasulullah, pemberian hibah yang diterima Rasulullah dan lain-lain.

Madinah sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. ber-nama Yastrib, sebuah kota yang multi etnis dan benar-benar tribal dalam kehidupan sehari-harinya. Peperangan antar suku mudah tersulut hanya karena persoalan perselisihan sepele yang terjadi antar anggota suku dan faktor lainnya. Setelah kedatangan Nabi Saw. namanya dirubah menjadi Madinah al-Nabi, dikenal pula dengan sebutan Madinah Munawwarah. Kini kota itu cukup dike-nal dengan sebutan Madinah saja (Badri Yatim, 2010: 25).

Tidak lama setelah kedatangan Nabi Saw., kota Madinah beru-bah menjadi komunitas sosial baru dan komunitas politik dalam bentuk sebuah “negara” dengan pemerintahan yang berdaulat di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Perubahan yang san-gat drastis ini dinyatakan dengan tegas oleh DB. Mc Donald bahwa; “disini, Madinah. Telah terbentuk negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar negeri Islam pertama dan telah meletak-kan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam.” Thomas W. Arnald tambah menegaskan bahwa, “dalam waktu yang bersa-maan Nabi sebagai pemimpin agama dan kepala negara.” Fazlur-rahman sebagai sarjana muslim modern mengakui bahwa Madi-nah adalah sebuah negara. (http://al-zakaa.blogspot.com).

(58)

yang memiliki konstitusi modern tertulis pertama di dunia. Bah-kan dapat dikataBah-kan Negara Madinah telah melampai zamannya.

Praktik pemerintahannya berjalan atas bimbingan wahyu, ijtihad Nabi Saw dan para sahabat utamanya. Bentuk negaranya bukan republik bukan pula monarki. Mirip negara kota, tapi para ahli sejarah dan politik Islam lebih suka menyebutnya Madinah ‘ala Manhaj Nubuwwah.

Setelah Rasulullah Saw. wafat, tampuk pimpinan negara Ma-dinah dipikul oleh sahabat terdekat Nabi sekaligus mertuanya. Perpindahan kepemimpinan dari Nabi Muhammad Saw. kepada Abu Bakar al-Shiddiq berdasarkan ijtihad dari para sahabat Nabi yang berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah dengan hanya perpato-kan pada asumsi-asumsi hubungan antara Nabi Saw dan Abu Bakar yang sangat dekat dan orang pertama yang masuk Islam. Karena seperti diketahui, sampai pada masa wafatnya, Nabi Muhammad saw. tidak meninggalkan sekaligus menetapkan aturan yang rinci mengenai pemerintahan Islam, termasuk dalam hal suksesi kepem-impinan negara. Tidak adanya tuntunan yang rinci mengenai hal ini, menggiring para pemikir Islam bahwa masalah suksesi kepem-inpinan adalah bagian dari amru al-ummah yang masuk dalam kategori amru al-dunya. Rujukannya kembali pada hadits “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu urusan dunia ka-lian). Kepimpinan pasca Rasulullah disebut khalifah al-rasul (pem-impin pengganti rasul).

(59)

karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah (http:// njedotpgo.blogspot.com/2012/06/).

Kekuasaan yang dijalankan oleh Abu Bakar bersifat sentral, mirip seperti apa yang dipraktikan oleh Rasulullah, kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif berada di tangan satu pemimpin. Masa kepemimpinan Abu Bakar hanya berlangsung selama 2 (dua) tahun.

Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khattab diangkat seba-gai khalifah penggantinya. Proses terpilihnya Umar bin Khattab berbeda dengan terpilihnya Abu Bakar. Umar bin Khattab dipilih dengan cara ditunjuk oleh Abu Bakar pada saat beliau terbaring sakit, mendekati akhir hayatnya. Memang Abu Bakar sempat ter-lebih dahulu meminta pendapat dan persetujuan dari para sahabat yang menengoknya, sebagai penguat untuk menjatuhkan pilihan. Intinya Umar bin Khattab dipilih menjadi khalifah dengan cara di-tunjuk oleh pemimpin sebelumnya.

(60)

jawa-tan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khaththab juga mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkem-bang dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya (Asghar Ali Engineer, 2000: 77).

Setelah Umar bin Khattab wafat, tampuk pimpinan beralih ke sahabat Utsman bin Affan. Perpindahan tampuk pimpinan ini ber-beda pula dengan 2 (dua) khalifah sebelumnya. Utsaman terpilih melalaui musyawarah mufakat dalam lembaga yang dinamakan ahl al-halli wa al-aqdi, semisal lembaga legislatif pada masa modern dengan jumlah yang sangat terbatas, 6 (enam) orang sahabat utama Nabi Saw.

Kebijakan menjalankan roda pemerinatahan Utsman tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Utsman hanya menambahkan beberapa lembaga negara baru, seperti dalam bidang keimigrasian. Lembaga ini layak ada karena wilayah kedaulatan negara Madinah semakin luas sampai ke Cyprus, Azerbaizan, Armenia dan Kurd-istan.

Pada awal pemerintahannya tidak banyak mendapat ancaman dan gangguan, namun setelah 6 (enam) tahun masa kepemerinta-hannya muncul protes dan ketidakpuasan dari masyarakat. Ada-pun sumber ketidakpuasan rakyat adalah pada soal politik, pen-dayagunaan kekayaan negara dan kebijakan keimigrasian.

Referensi

Dokumen terkait

JAKARTA (21/10) – Di tahun kedua pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kementerian PPN/Bappenas terus bekerja untuk

Penelitian ini mengkaji peran dan fungsi wakil presiden serta hubungan hukum dengan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial berdasarkan Undang-Undang Dasar

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit. Presiden pada tanggal 5 Juli 1959

Menggunakan data kepustakaan disimpulkan bahwa, pertama lembaga negara merupakan organisasi pemerintahan yang menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan, kedua lembaga negara

Kedua, Poligami tanpa adanya izin dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan. Ketentuan ini berlaku

langsung yang mempunyai kewenangan dalam mengambil kebijakan politik dan perdana menteri yang memimpin kabinet pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen.  Perdana

ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik peserta

DPR ditinjau dari Hukum Tata Negara Indonesia : Sebagai kelembagaan tinggi negara di Pemerintahan Indonesia; Dalam memilih dan melantik kepala negara dilakukan dengan langsung dipilih