• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS

C. Shared Christian Praxis: Salah Satu Model Katekese Umat

2. Langkah Katekese Umat Model Shared Christian Praxis

Katekese umat model Shared Christian Praxis yang menekankan proses komunikasi pengalaman hidup. Oleh sebab itu katekese umat model Shared Christian Praxis (SCP) dapat dipahami sebagai suatu proses yang mengalir. Katekese umat model Shared Christian Praxis terdiri dari lima langkah yang saling berurutan, walaupun dalam kenyataanya tidak jarang terjadi tumpang tindih, atau terulang atau langkah satu dengan yang lainnya saling bergabung menjadi satu (Groome, 1997: 5).

Langkah-langkah katekese umat model Shared Christian Praxis (SCP) saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Katekese umat model Shared Christian Praxis memiliki dari 5 (lima) langkah-langkah pokok yang didahului dengan langkah 0 (pemusatan aktifitas). Kelima langkah katekese umat model Shared Christian Praxis (SCP) adalah mengungkap pangalaman hidup peserta, mendalami pengalaman hidup peserta, menggali pengalaman iman kristiani, menerapkan iman kristiani dalam situasi peserta konkret, dan mengusahakan suatu aksi konkrit (Sumarno Ds, 2013: 18-22; bdk. Groome, 1997: 5-50).

a. Langkah 0: Pemusatan Aktifitas

Langkah nol dapat digunakan bila diperlukan. Apabila sudah memiliki bahan atau buku panduan yang sudah jadi, maka langkah ini tidak perlu digunakan. Unsur-unsur penting yang ada pada langkah nol adalah kekhasan, tujuan, peran peserta, dan peran pendamping.

Kekhasan dari langkah nol adalah peserta dapat menentukan sendiri tema pokok yang akan dibahas sesuai dengan minat, kebutuhan dan keprihatinan yang sedang terjadi (Sumarno Ds, 2013: 18).

Melalui cerita, permasalahan/keyakinan, peserta didorong menyampaikan pemahaman dan pengalaman. Berdasarkan kepentingan, minat, kebutuhan peserta diajak merumuskan topik dan menyusunannya sesuai prioritas (Groome, 1997: 8).

Tujuan yang ingin dicapai adalah peserta menentukan tema yang sesuai kenyataan hidup sehingga tema tersebut menjadi tema pokok. Tema yang diangkat harus konkret yang mencerminkan pokok hidup, keprihatinan, permasalahan dan kebutuhan peserta (Sumarno Ds, 2013: 18).

Membangun keterlibatan dan kesadaran peserta sebagai subjek dalam ketekese sehingga menjadi pendidikan yang menciptakan kesatuan kesadaran, kehendak, dan keterlibatan baru. Tema dasar disadari sebagai tema bersama. Langkah nol bermaksud membangun kesadaran dan minat bersama dan visi sebagai sarana perjumpaan, kebersatuan, dan komunikasi antar pribadi sebagai subjek dengan menghormati keunikan dan kebutuhan (Groome, 1997: 8).

Peserta berperan untuk terlibat aktif dalam berkatekese, menjalin dialog dalam pemilihan tema dasar sesuai model Shared Christian Praxis dan tema tersebut tidak bertentangan dengan iman kristiani. Melalui simbol, keyakinan, cerita, bahasa foto, poster, video, kaset, film, telenovela, atau sarana lain peserta dapat menemukan sendiri salah satu aspek kehidupan yang bisa digunakan sebagai tema dasar dalam berkatekese (Sumarno Ds, 2013: 19).

Pendamping menciptakan lingkungan psikososial yaitu peserta berpartisipasi dan tercipta suasana persahabatan, kekeluargaan, dan saling percaya sehingga peserta diterima, dimengerti, dan dihargai. Pendamping menciptakan lingkungan fisik yang mendukung. Pendamping memilih sarana yang tepat dan membantu peserta menentukan serta merumuskan tema pokok yang menjadi prioritas (Sumarno Ds, 2013: 19; bdk. Groome, 1997: 10).

b. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Peserta

Langkah pertama merupakan keterlibatan peserta untuk membagikan pengalaman hidupnya sesuai dengan tema. Pengalaman hidup yang dibagikan merupakan kejadian atau peristiwa yang benar-benar dialami. Langkah pertama

ini memiliki tiga hal pokok yang mendukung jalannya katekese yaitu kekhasan, tujuan, peran peserta, dan peran pendamping.

Kekhasan langkah pertama adalah sharing pengalaman hidup yang terjadi di masyarakat, dan kehidupan pribadi. Melalui cerita, puisi, tarian, nyanyian, drama pendek, lambang, dll peserta mengungkapkan pengalaman hidup dan keterlibatannya. Pengalaman hidup yang diungkapkan dapat berupa perasaan, menilai, sikap, kepercayaan, dan keyakinan sehingga peserta sadar dan kritis akan pengalaman hidupnya (Sumarno Ds, 2013: 19; bdk. Groome, 1997: 5).

Tujuan yang akan dicapai pada langkah pertama adalah peserta dapat mengungkapkan pengalaman hidup sesuai tema. Peserta tidak hanya mengungkapkan pengalaman pribadi tetapi pengalaman orang lain/keadaan masyarakat/gabungan keduanya (Sumarno Ds, 2013: 19; bdk. Groome, 1997: 5).

Untuk mendukung terwujudnya tujuan yang akan dicapai maka peserta berperan mengungkapkan pengalaman hidup. Peserta menyadari pengalaman pribadinya, mendalami, membahasakan, dan menyampaikan kepada peserta yang lain (Sumarno Ds, 2013: 19; bdk. Groome 1997: 11).

Pengalaman hidup yang diungkapkan adalah pengalaman pribadi, atau kehidupan dan permasalahan sosial, ekomomi, budaya yang terjadi di lingkungan masyarakat atau gabungan keduanya. Dengan sharing pengalaman peserta yang masih subjektif dan akan menjadi objektif sehingga mereka akan diteguhkan dan dikembangakan imannya (Sumarno Ds, 2013: 19; bdk. Groome, 1997: 11).

Demi terciptanya peran peserta pendamping juga ikut berperan yaitu berperan sebagai fasilitator yang mampu menciptakan suasana hangat dan mendukung. Apabila peserta yang hadir banyak, maka dibagi dalam kelompok

kecil supaya efektif. Pendamping merumuskan pertanyaan dengan jelas, terarah, tidak menyinggung pribadi peserta, pendamping menyesuaikan latar belakang peserta, terbuka dan objektif dalam menghadapi peserta. Pendamping membangun sikap ramah, sabar, hormat, dan bersahabat. Pendamping peka terhadap permasahan peserta, dan memberi kebebasan memilih pertanyaan yang cocok. Pendamping juga menyadari tujuan dan pokok pemikiran dasar langkah pertama (Sumarno Ds, 2013: 19; bdk. Groome, 1997: 13, 42).

c. Langkah II: Mendalami Pengalaman Hidup Peserta

Berdasarkan proses sharing pengalaman hidup pada langkah pertama maka langkah kedua ini peserta mendalami pengalaman hidupnya menjadi pengalaman iman. Langkah kedua ini juga terdiri dari tiga hal pokok yaitu kekhasan, tujuan, peran peserta, dan peran pendamping.

Kekhasan langkah kedua adalah refleksi kritis dan mengantar peserta pada pengalaman hidup dan tindakannya yang mencakup tiga hal yaitu pemahaman kritis dan sosial (alasan, minat, asumsi) menekankan pemahaman terhadap tindakan dan pertimbangannya serta menganalisa pengalaman hidup yang dibentuk oleh sistem sosial yang keduanya saling berhubungan. Kenangan analisis dan sosial (sumber historis) yang mencakup sejarah hidup dan pranata sosial yang membentuk dan mempengaruhi cara hidup masyarakat. Imajinasi kreatif dan sosial (harapan konsekunsi historis), mencakup dua tekanan yaitu bersifat pribadi berarti membayangkan konsekuansi, kemungkinan, dan tanggungjawab pribadi atas keputusan konsekuansi yang membuat peserta sadar akan keterlibatan dan solidaritas sosial (Sumarno Ds, 2013: 20; bdk. Groome 1997: 5-6).

Tujuan yang akan dicapai adalah merefleksikan dan mengantar peserta pada kesadaran kritis pengalaman hidupnya dan tindakanya yang berhubungan dengan pemahaman kritis dan sosial (alasan, minat, asumsi), kenangan analisis dan sosial (sumber historis) dan imajinasi kreatif serta sosial (harapan konsekuensi historis). Berdasarkan pengalaman hidup peserta sampai pada kesadaran terdalam, sehingga dapat mengolah dan menemukan makna hidup, dan praksis baru (Sumarno Ds, 2013: 20; bdk. Groome, 1997: 5-6, 43).

Peran peserta pada langkah kedua adalah memperdalam pengalaman hidup melalui refleksi dan berproses pada kesadaran kritis atas pengalaman hidup dan tindakannya yang meliputi tiga hal yaitu pemahaman kritis dan sosial, kenangan analisis dan sosial, serta imajinasi kreatif dan sosial. Peserta berusaha merefleksikan pengalaman hidupnya yang telah dikomunikasikan sehingga menemukan arti dan nilai dari pengalaman tersebut. Peserta juga dapat mencapai kesadaran terhadap tradisi dan visi hidupnya sehingga menciptakan keterlibatan hidup dan praksis baru. Jadi inti peran peserta pada langkah kedua adalah memperdalam sharing pengalaman hidup pada langkah kedua dan mengantar peserta pada kesadaran kritis akan pengalaman dan tindakannya (Sumarno Ds, 2013: 20; bdk. Groome, 1997: 14-15).

Pendamping juga berperan menciptakan suasana saling menghormati dan mendukung setiap gagasan, sumbangan dari peserta. Pendamping mengundang peserta melakukan refleksi kritis, menguji pemahaman, kenangan, dan imajinasi peserta. Pendamping mengajak peserta untuk aktif berbicara tanpa paksaan. Pendamping dapat menggunakan pertanyaan pembantu untuk mendalami tema bukan mengintrogasi, mengganggu harga diri dan rahasia peserta. Pendamping

memahami kondisi peserta, terutama peserta yang tidak biasa melakukan refleksi kritis. Pendamping berusaha untuk menghindari kesan bahwa peserta diwajibkan mempertanggungjawabkan pengalaman hidup. Peran pendamping yang penting adalah kesabaran dalam berproses, dan menggunakan imajinasi sebagai penyambung langkah ketiga (Sumarno Ds, 2013: 20; bdk. Groome, 1997: 44).

Pendamping menyadari adanya kesulitan dalam refleksi kritis sehingga dibutuhkan kesabaran, dan keterampilan untuk mengembangkanya. Pendamping perlu menciptakan lingkungan psikososial yaitu keakraban, rasa senasib-sepenanggungan dan kepercayaan antar peserta. (Groome, 1997: 19).

d. Langkah III: Menggali Pengalaman Iman Kristiani Peserta

Pada langkah ketiga peserta akan berhadapan dengan teks Kitab Suci untuk didalami bersama supaya menemukan nilai-nilai Kerajaan Allah yang bisa diwujudkan dalam kehidupan. Langkah ketiga memiliki tiga hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu kekhasan, tujuan, peran peserta, dan peran pendamping.

Kekhasan langkah ketiga adalah pendamping menyampaikan pesan Tradisi dan Visi Kristiani supaya terjangkau dan mengena dalam kehidupan peserta. Tradisi dan Visi Kristisni berisikan pewahyuan dan kehendak Allah yang memuncak dalam misteri hidup dan karya Yesus serta mampu mengungkapkan tanggapan manusia atas pewahyuan-Nya. Sifat pewahyuan Allah adalah dialogal, menyejarah dan normatif, seperti terungkap dalam Kitab Suci, ajaran-ajaran Gereja, liturgi, spiritual, devosi, kepemimpinan, kehidupan umat beriman. Oleh sebab itu diperlukan penafsiran supaya pewahyuan-Nya relevan dalam kehidupan (Sumarno Ds, 2013: 20-21).

Tujuan yang hendak dicapai pada langkah ketiga mengkomunikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam Tradisi dan Visi kristiani supaya dekat dan mengena dalam kehidupan peserta dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Pendamping membuka jalan, menghilangkan hambatan sehingga peserta dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi dan Visi kristiani tersebut (Sumarno Ds, 2013: 20; bdk. Groome, 1997: 6).

Peran peserta demi terciptanya tujuan langkah ini adalah mendialogkan tradisi dan visi hidup dengan Tradisi dan Visi Gereja sehingga iman Kristiani dapat dekat dan hadir di tengah-tengah kehidupan peserta dan peserta terdorong mempribadikan makna kebenaran secara kritis dan kreatif, dan menemukan praksis baru (Sumarno Ds, 2013: 19; bdk. Groome, 1997: 19).

Pendamping juga berpartisipasi dengan menghormati Tradisi dan visi Kristiani yang otentik, dan normatif, memanfaatkan sarana dan menafsirakan Kitab Suci sebagai informasi dan mambantu peserta supaya nilai-nilai Tradisi dan visi Kristiani dapat dekat dalam kehidupan peserta. Tafsiran Kitab Suci disertai dengan kesaksian iman, harapan, dan hidup pribadi. Pendamping menggunakan metode yang tepat dan cocok, mengantar peserta pada kesadaran diri, tidak mengulang-ulang rumusan, tidak bersikap sebagai guru serta mempersiapkan bahan secara maksimal (Sumarno Ds, 2013: 21; bdk. Groome, 1997: 28).

e. Langkah IV: Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Konkrit

Berdasarkan pengolahan langkah pertama sampai ketiga peserta menemukan nlai-nilai baik yang akan dikembangkan dan nilai-nilai tidak baik

yang akan ditinggalkan. Untuk itu langkah keempat ini juga mempunyai tiga unsur pokok yaitu kekhasan, tujuan, peran peserta, dan peran pendamping.

Kekhasan langkah ketiga ini, peserta diajak untuk mendialogkan hasil pengolahan langkah pertama, kedua dan isi pokok langkah ketiga. Peserta dapat menemukan nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani yang meneguhkan, mengkritik, sehingga peserta dapat melangkah pada kehidupan yang lebih baik dengan semangat, nilai, dan iman baru demi terwujudnya Kerajaan Allah (Sumarno Ds, 2013: 21; bdk. Groome, 1997: 7).

Berdasarkan penemuan nilai-nilai Tradisi maka tujuan yang dicapai pada langkah ini adalah mengajak peserta menemukan nilai hidup berdasarkan Tradisi dan Visi Kristiani. Peserta diajak untuk dapat menentukan sendiri sikap lama yang akan diubah atau diperbaiki, dan menemukan nilai-nilai baru yang hendak dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan. Langkah empat bertujuan mengintepretasikan nilai hidup ke dalam Tradisi dan visi Kristiani serta mempersonalisasikan dan memperkaya dinamika Tradisi dan visi Kristiani (Sumarno Ds, 2013: 21; bdk. Groome, 1997: 30, 48).

Peserta dan pendamping juga berpartisipasi demi tujuan yang akan dicapai. Peran peserta adalah peserta mendialogkan hasil pengolahan langkah pertama, langkah kedua dan isi pokok langkah ketiga. Berdasarkan hasil pengolahan setiap langkah peserta menemukan nilai-nilai tradisi dan visi Kristiani yang meneguhkan, mengkritik, sehingga peserta dapat melangkah kehidupan yang lebih baik lagi dengan semangat, nilai, dan iman baru demi terwujudnya Kerajaan Allah (Sumarno Ds, 2013: 21; bdk. Groome, 1997: 5).

Dalam proses menemukan nilai hidup peserta dapat mengungkapkan perasaan, sikap, intuisi, perspektif, evaluasi, dan penegasan kebenaran nilai dan kesadaran yang diyakini sebagai tanggapan dialog tradisi dan visi kristiani. Pengungkapan nilai hidup dapat berupa penjelasan, tulisan, simbol, atau ekspresi dsb (Sumarno Ds, 2013: 21; bdk. Groome, 1997: 32).

Pendamping menghormati kebebasan dan saling menghormati hasil penegasan peserta, terutama peserta yang menolak penafsiran pendamping, pendamping mampu meyakinkan peserta supaya menemukan nilai pengalaman hidup dan visi dalam terang Tradisi dan Visi Kristiani. Pendamping mendorong peserta supaya dapat merubah sikap sebagai pendengar pasif menjadi pendengar aktif, menyadari tafsiran pendamping bukan harga mati dan pendamping mampu mendengarkan dengan hati terhadap tanggapan, pendapat, dan pemikiran peserta lain (Sumarno Ds, 2012: 21-22; bdk. Groome, 1997: 48-49).

Peran lainnya yang harus dilakukan pendamping adalah membantu peserta dengan cara menyampaikan pertanyaan-pertanyaan bantuan yang bersifat aktif, supaya peserta dapat menemukan sendiri nilai-nilai hidup, kesadaran baru dari iman, dan perjuangan hidup yang akan diwujudkan dan dikembangkan secara kritis dan kreatif dalam kehidupan sehari-hari (Sumarno Ds, 2013: 21; bdk. Groome, 1997: 49).

f. Langkah V: Mengusahakan Suatu Aksi Konkret

Langkah kelima merupakan langkah terakhir dari katekese umat model Shared Christian Praxis. Pada tahap ini peserta diajak menutup katekese umat dengan melakukan ibadat singkat untuk mendoakan seluruh proses katekese umat

yang telah berlangsung. Langkah kelima ini juga terdiri dari tiga hal penting yaitu kekhasan, tujuan, peran peserta, dan peran pendamping.

Kekhasan langkah kelima adalah peserta diajak menemukan keputusan pribadi dan bersama berdasarkan tema dalam berkatekese. Keputusan tersebut dapat bermacam bentuk dan sifat serta subjek dan arah. Keputusan berdasarkan bentuk menekankan aspek kognitif/pemahaman, aspek afektif/perasaan, dan tingkah laku/praktis-politis. Keputusan berdasarkan sifat berhubungan dengan pribadi, dan interpersonal/sosial-politis. Keputusan berdasarkan subjek bersifat aktivitas pribadi, dan bersama. Keputusan berdasarkan arah bersifat intern/kepentingan kelompok dan ekstern/kepentingan diluar kelompok (keterlibatan sesama) (Sumarno Ds, 2013: 22; bdk. Groome, 1997: 34-35).

Sedangkan tujuan yang dicapai adalah peserta dapat sampai pada keputusan praktis sebagai tanggapan umat terhadap wahyu Allah yang berlangsung dalam sejarah kehidupan dengan Tradisi Gereja dan Visi Kristiani. Keprihatinan dari tujuan yang ingin dicapai adalah mendorong peserta pada keterlibatan baru sehingga muncul pertobatan pribadi dan sosial (metanoia). Secara teologis peserta diajak untuk mengungkapkan harapan rahmat Allah dan atas tanggapan tersebut kehidupan manusia akan menjadi lebih baik. Tanggapan tersebut bertujuan membantu peserta mengambil keputusan secara moral, konseptual, sosial, politis sesuai nilai Kristiani. Langkah kelima merupakan sarana untuk menghayati dan mewujudkan iman (Sumarno Ds, 2013: 22; bdk. Groome, 1997: 34, 49).

Berdasarkan tujuan yang akan dicapai peserta berperan untuk mengungkapkan keputusan yang akan diwujudkan dan dikembangkan dalam berbagai bentuk (aspek kognitif/pemahaman, dan aspek afektif/perasaan) dan

berdasarkan sifat (pribadi, interpersonal, sosial-politis); berdasarkan subjek (aktifitas pribadi/bersama) dan berdasarkan arah (intern atau ekstern untuk kepentingan kelompok) (Sumarno Ds, 2013: 22; bdk. Groome, 1997: 49).

Pendamping juga berperan untuk membantu peserta mengambil keputusan pribadi diiringi dengan pertobatan pribadi atau sosial. Keputusan tersebut sebagai wujud iman Kristiani supaya Kerajaan Alah dapat hadir dalam kehidupan manusia (Sumarno Ds, 2013: 22; bdk. Groome, 1997: 37).

Pendamping menyadari hakikat praktis, inovatif, dan transformatif pada langkah kedua. Pendamping mampu untuk merumuskan pertanyaan yang bersifat sederhana sehingga membantu peserta mengambil keputusan, dan menekankan sikap optimis yang realistis. Pendamping merangkum isi langkah pertama sampai keempat sehingga membantu peserta mengambil keputusan pribadi dan bersama. Sebagai penutup peserta diajak merayakan liturgi sederhana untuk mendoakan keputusan yang diambil (Sumarno Ds, 2013: 22; bdk. Groome, 1997: 50).

Dokumen terkait