• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapa

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 30-42)

Untuk membenahi sistem dan politik hukum nasional, pada tahun 2005 disepakati pembentukan hukum yang tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebanyak 55 rancangan undang-undang (RUU) prioritas. Namun, sampai dengan bulan Juli 2005, baru dua undang-undang yang telah dilahirkan, yaitu RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2005, dan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjadi undang-undang. Pencapaian ini jauh dari harapan yang ditetapkan dalam rapat paripurna tanggal 1 Februari 2005 tentang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005–2009, terlebih lagi kedua undang-undang tersebut bukan merupakan prioritas yang akan diselesaikan pada tahun 2005.

Dalam rangka pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts Woman/CEDAW) yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 telah diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan juga perubahan UU tentang Keimigrasian, UU tentang Kesehatan, dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta penyusunan RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi.

Sementara itu, upaya peningkatan kinerja lembaga penegakan hukum, termasuk lembaga peradilan terus-menerus dilakukan selama 10 bulan terakhir. Di lingkungan peradilan, sebagai tindak lanjut dari perintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, dan dengan Keputusan Presiden Nomor 1/P/2005 telah diangkat tujuh anggota Komisi Yudisial periode 2005–2010. Di samping itu, berdasarkan perintah Pasal 38 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah ditetapkan keanggotaan tujuh anggota Komisi Kejaksaan RI dengan Keputusan Presiden No 116/M Tahun 2005. Dengan dibentuknya Komisi Kejaksaan, diharapkan kinerja lembaga kejaksaan dalam menyelenggarakan fungsi penegakan hukum dapat lebih ditingkatkan. Komisi itu bertugas mengawasi kinerja aparat kejaksaan di seluruh Indonesia. Demikian pula, di lingkungan Kepolisian berdasarkan perintah UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dilakukan penyeleksian anggota Komisi Kepolisian dan tinggal menunggu proses penetapan lebih lanjut.

Untuk mendorong kinerja penegakan hukum, pada tanggal 2 Mei 2005 telah diterbitkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor). Keanggotaan tim ini meliputi unsur Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Tujuan dari dibentuknya Tim Tastipikor ini adalah untuk meningkatkan koordinasi dalam rangka mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi.

Untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia telah dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai pelaksanaan Inpres tersebut pada tahun 2005 telah disusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004–2009. Pada dasarnya, kegiatan dalam RAN-PK empat kegiatan pokok, yaitu (1) Pencegahan Terjadinya Tindakan Korupsi; (2) Penindakan terhadap Perkara Korupsi; (3) Pencegahan dan Penindakan Korupsi dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Sumatra Utara; serta (4) Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan RAN-PK. Dalam rangka untuk melakukan sosialisasi dari RAN-PK ini telah dilakukan kegiatan konsultasi dan kampanye publik di Padang, Medan, dan Manado. Hal

ini dilaksanakan dalam rangka mengumpulkan informasi pelaksanaan RAN-PK serta merupakan media dalam melakukan dialog dengan instansi pelaksana RAN-PK.

Adanya komitmen yang kuat terhadap upaya pemberantasan korupsi, ditunjukkan pada masa 100 hari pertama presiden terpilih dengan menetapkan vonis seumur hidup untuk kasus korupsi di BNI sebesar Rp1,7 triliun, yang melibatkan Adrian Waworuntu sebagai otak pembobol BNI. Di samping itu, telah pula ditangani oleh Pengadilan Tipikor tiga kasus korupsi, yang menetapkan Nurdin Halid dengan vonis penjara 4 tahun dan denda Rp250 juta, Abdullah Puteh dengan vonis penjara 10 tahun, dan Harun Let Let dengan vonis penjara 8 tahun dan denda Rp500 juta. Penanganan terhadap kasus- kasus korupsi tidak terbatas pada kasus-kasus yang menarik perhatian nasional, tetapi juga kasus-kasus korupsi lain yang terjadi di daerah- daerah. Pada tanggal 9 November 2004 Jaksa Agung telah memanggil seluruh kepala kejaksaan tinggi untuk melaporkan kasus-kasus korupsi yang terjadi di wilayah kerjanya masing-masing. Dari hasil laporan sementara, sejak Oktober 2004 hingga Mei 2005 telah dilimpahkan sebanyak 233 perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan. Selanjutnya, dalam waktu singkat, Tim Tastipikor ini telah menangani sembilan kasus penting, antara lain kasus pengelolaan biaya jamaah haji dan kasus jamsostek telah mencapai tahap penyidikan, sedangkan tujuh kasus yang lain masih dalam tahap penyelidikan.

Selanjutnya, untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, langkah penting yang dilakukan terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur; dan peningkatan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

Dalam hal penataan organisasi kementerian negara untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan negara, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kementerian Negara RI serta Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara RI mencakup 3 kementerian koordinator, 20 departemen, dan 10 kementerian negara. Dalam semester kedua tahun 2005 semua unit organisasi kementerian negara

sudah dapat menjalankan tugas pokok, fungsi, dan peranannya masing-masing. Upaya tersebut didukung dengan penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat serta peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakukan sistem karier berdasarkan prestasi.

Selanjutnya, untuk mempercepat terwujudnya pelayanan publik secara cepat, tepat, terjangkau, dan memuaskan telah disusun RUU Pelayanan Publik. Selain itu, selama 10 bulan terakhir terus dilakukan upaya pengembangan sistem pelayanan publik yang berbasis pada kemampuan aplikasi nomor induk tunggal penduduk; penyempurnaan sistem pelayanan publik secara bertahap ke arah pemanfaatan teknologi informatika (e-government) yang optimal, untuk memperkecil adanya peluang praktik KKN; dan evaluasi terhadap sistem dan prosedur pelayanan.

Selanjutnya, penuntasan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktik-praktik KKN dilakukan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan, pemberian sanksi yang seberat-beratnya pada pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, ekternal, dan pengawasan masyarakat. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi telah disusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi.

Untuk meningkatkan kualitas SDM aparatur negara telah dilakukan penataan PNS secara menyeluruh mulai dari penataan organisasi dan diikuti penataan pegawai; penyiapan berbagai instrumen dan prasyarat yang diperlukan bagi pelaksanaan penataan, seperti pedoman penataan organisasi dan analisis jabatan; pengadaan pegawai baru sesuai dengan kebutuhan; melakukan pembinaan profesionalisme dan remunerasi PNS; dan menyelenggarakan (1) diklatpim Tingkat I khusus dan reguler, diklatpim II; (2) diklat prajabatan; (3) diklat fungsional widyaiswara. Pada tahun 2005 ini telah mulai dilakukan seleksi secara khusus bagi pegawai honorer

dengan tetap memerhatikan prioritas kebutuhan, khususnya untuk tenaga guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh pertanian.

Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis, untuk memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah selama 10 bulan terakhir telah dilakukan langkah-langkah yang meliputi (1) penyempurnaan secara terus-menerus struktur, fungsi, dan mekanisme penyelenggaraan pemerintah daerah; (2) penyempurnaan peraturan pelaksana sebagai turunan UU Nomor 32 tahun 2004; (3) mempersiapkan kebijakan penataan wilayah secara komprehensif, khususnya yang terkait dengan instrumen penggabungan dan pemekaran kabupaten; (4) melakukan pemberdayaan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah; (5) mendorong kerja sama antardaerah dan menciptakan iklim investasi yang kondusif; (6) melakukan sosialisasi dan dialog interaktif pimpinan Depdagri dengan daerah dalam rangka memantapkan pelaksanaan Pilkada; (7) melakukan berbagai tindakan rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap daerah-daerah yang terkena dampak bencana alam gempa bumi dan tsunami.

Saat ini pelaksanaan langkah-langkah tersebut di atas telah memberikan beberapa kemajuan dengan tercapainya beberapa kebijakan pemerintah yaitu (1) PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kemudian disempurnakan melalui PP No. 17 Tahun 2005; (2) PP No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua; dan (3) Perpres No. 28 Tahun 2005 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

Peraturan pelaksanaan yang lain yang saat ini masih dalam proses penyusunan adalah (1) RPP tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Sebagai Pengganti PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi sebagai Daerah Otonom; (2) RPP tentang Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (3) RPP sebagai revisi PP No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD; (4) RPP sebagai revisi PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; (5) Pembahasan konsep RPP sebagai revisi No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah; (6) RPP tentang Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan Minimal; (7) RPP tentang Desa sebagai Penyempurnaan PP No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Peraturan Mengenai Desa; (8) RPP tentang Kelurahan sebagai penyempurnaan Kepmendagri No. 65 Tahun 1999 tentang Kelurahan; dan (9) RPP tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan.

Selanjutnya, untuk menjaga kesinambungan dan pemantapan peran politik luar negeri dan kerja sama internasional, antara lain terus dilaksanakan upaya peningkatan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi regional, khususnya di ASEAN; dan menegaskan pentingnya memelihara kebersamaan, multilateralisme, saling pengertian dan perdamaian dalam politik dan hubungan internasional.

Berbagai hasil yang dicapai telah meningkatkan peran Indonesia dalam politik luar negeri dan kerja sama internasional. Indonesia telah berperan aktif dalam fora internasional, seperti pada KTT APEC di Chile, KTT Asean di Laos, KTT Tsunami di Jakarta, Konferensi Peninjauan Ulang Traktat Nonproliferasi Nuklir, dan pertemuan- pertemuan bilateral yang bermuara pada terciptanya kesepakatan untuk melakukan upaya lanjut dengan mengevaluasi kembali prospek kerja sama di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Keberhasilan pengelolaan kebijakan politik luar negeri yang telah dijalankan selama ini telah memberikan banyak peranan menonjol kepada Indonesia.

Pada tanggal 22–23 April 2005 Indonesia telah berhasil menyelenggarakan satu peristiwa penting, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika. Dengan memanfaatkan mementum peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, kali ini KTT Asia- Afrika 2005 dimaksudkan untuk membangun jembatan baru yang memperteguh kerja sama Asia-Afrika melalui Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika yang dilandasi oleh “Semangat Bandung”. Sebagai langkah awal, 91 kepala negara/pemerintahan dan wakilnya telah menandatangani Declaration on the New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Dengan adanya Declaration on the NAASP

terbuka jalan untuk membangun kerja sama antardua benua dalam tiga bidang kemitraan, yaitu solidaritas politik, kerja sama ekonomi dan hubungan sosial budaya agar rakyat dapat hidup secara lebih

bermartabat, makmur, damai, bebas dari ketakutan akan kekerasan, penindasan dan ketidakadilan. Isu-isu global, termasuk reformasi lembaga multilateral dan hal-hal lainnya yang menjadi kepentingan bersama negara-negara Asia-Afrika, seperti memerangi kemiskinan, kesetaraan gender, penyakit menular, degradasi lingkungan, utang luar negeri, akses pasar, pendidikan, dan kualitas sumber daya manusia juga menjadi sorotan utama.

Di samping itu, para pemimpin memandang penting untuk melakukan upaya bersama dalam mengurangi dampak bencana alam mengingat kawasan Asia-Afrika rentan terhadap bahaya alam, seperti gempa bumi dan tsunami yang telah menelan korban pada tanggal 26 Desember 2004. Untuk itu, telah disepakati Joint Asian-African Leaders’ Statement on Tsunami, Earthquake and Other Natural Disasters yang pada intinya berisi dukungan terhadap negara-negara terkena bencana gempa bumi dan tsunami, dan meningkatkan kerja sama dalam penanganan dan penanggulangan bencana, serta pendirian mekanisme sistem peringatan dini.

Dalam bidang kerja sama perdagangan multilateral Indonesia merupakan salah satu negara yang menginisiasikan lahirnya July Package 2004, yang merupakan kerangka perjanjian WTO pertama Pasca-Doha yang berhasil memuat program kerja agenda Doha. Peranan besar Indonesia adalah dalam menggalang aliansi G-33 guna melahirkan Konsep Special Product (SP) dan Special Safeguard Measures (SSM) untuk memberikan pelindungan bagi produk pertanian tertentu yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang berkenaan dengan pembangunan perdesaan, pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan. Selanjutnya, dalam rangka memantapkan upaya integrasi ekonomi Asean sesuai “Vision 2020”, dilakukan

percepatan pada pengelolaan sebelas sektor prioritas. Indonesia berperan menjadi koordinator dalam sektor otomotif dan produk berbahan dasar kayu. Untuk lebih mendorong tercapainya Visi 2020 melalui integrasi rencana Asean dalam rencana pembangunan nasional setiap negara ASEAN, pada bulan Juli 2005 Indonesia telah berinisiatif untuk menghidupkan kembali forum pertemuan para pejabat lembaga-lembaga perencanaan pembangunan ASEAN.

Sementara itu, dalam rangka memantapkan konsolidasi demokrasi di Indonesia, berbagai langkah kebijakan yang telah

diambil, antara lain (1) menyempurnakan dan memperkuat struktur politik dan peraturan perundangan, tata kelembagaan dan hubungan antarlembaga negara; (2) memperkuat lembaga politik dan kemasyarakatan; (3) meningkatkan komitmen untuk memberikan jaminan kebebasan berekspresi dan kebebasan memperoleh informasi, serta jaminan kebebasan pers dan media; (4) dan meningkatkan advokasi dan sosialisasi terhadap penerapan nilai-nilai persatuan bangsa.

Dengan memantapkan pelaksanaan langkah-langkah tersebut telah dicapai (1) peningkatan kapasitas dari lembaga-lembaga penyelenggara negara, seperti lembaga eksekutif, DPR, DPD, DPRD; (2) tersusunnya RRP tentang Bantuan keuangan terhadap partai politik (parpol), serta dorongan pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas; (3) terlaksananya fasilitasi untuk melakukan revisi terhadap Undang–Undang tentang Pers, fasilitasi penyusunan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, RRU tentang Cybercrime, tersusunnya Standar Kompetensi Sumber Daya Manusia Teknologi Informasi, pelaksanaan sosialisasi dan implementasi pengembangan e-government, aplikasi e-procurement; (4) telah dilakukannya upaya untuk mempersiapkan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) agar dapat berjalan dengan aman dan damai, seperti penetapan PP No. 6 tentang Pilkada, Inpres No. 7 Tahun 2005 tentang Dukungan Pemerintah dan Pemda untuk Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta dikembangkannya budaya berkompetisi siap menang siap kalah.

C. Tindak Lanjut yang Diperlukan

Hasil-hasil pembenahan sistem dan politik hukum yang telah dicapai masih belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Untuk mendorong kinerja pembangunan pembenahan sistem dan politik hukum, diperlukan tindak lanjut sebagai berikut (1) dalam menyusun perencanaan dan pembentukan hukum pada masa mendatang perlu lebih realistis dengan mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan peraturan perundang-undangan; (2) membangun

komitmen di antara lembaga pembentuk hukum untuk mematuhi kesepakatan di dalam Prolegnas. Peran Prolegnas cukup penting dalam rangka menciptakan koordinasi yang baik antara Departemen/Lembaga Pemerintah Nondepartemen dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rangka pembentukan undang-undang; (3) perlu dirumuskan dan disusun mekanisme yang lebih kuat dalam rangka pembentukan undang-undang antara DPR dan Pemerintah sehingga dapat disusun penentuan kriteria yang jelas dalam menetapkan prioritas RUU yang akan dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah dan menjadi jaminan bahwa RUU yang disepakati antara DPR dan Pemerintah tersebut akan benar-benar dijalankan; (4) perlu dilakukan percepatan pembahasan RUU yang saat ini telah sudah ada di DPR sehingga kesepakatan antara DPR dan Pemerintah di bidang legislasi pada bulan Februari 2005 yang tertuang dalam dokumen Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2005–2009 dapat dilaksanakan dengan komitmen yang kuat sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan serta aspirasi masyarakat dan tidak terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan; dan (5) upaya pengharmonisasian peraturan perundang-undangan terus-menerus dilakukan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 dengan tujuan untuk menciptakan keserasian, harmonisasi, dan tidak tumpang tindih antara peraturan yang satu dan lainnya.

Dalam rangka menghapuskan upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan perlu ditindaklanjuti, antara lain, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang tidak diskriminatif terhadap perempuan melalui penguatan dukungan, komitmen dan keinginan yang tegas dari semua pihak terkait untuk melakukan penuntasan dalam menghapus diskriminasi. Selain itu, juga perlu ditindaklanjuti pelaksanaan atau mekanisme dalam menjalankan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Sosialisasi atau penyadaran hukum terhadap materi peraturan perundang-undangan perlu lebih ditingkatkan bagi aparat penegak hukum sehingga dapat dicapai pemahaman yang sama dalam penanganan kasus. Contohnya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, sehingga tercipta hubungan yang sinergis antara instansi-instansi

penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, hakim serta instansi terkait lainnya.

Upaya Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya dalam rangka penegakan supremasi hukum tidak akan tercapai tanpa didukung oleh lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain yang mandiri. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian langkah untuk meningkatkan peranan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain yang independen. Fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan perilaku hakimnya perlu terus-menerus ditingkatkan melalui pemberdayaan lembaga pengawasan yang telah ada, terutama di lingkungan internal dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan kinerjanya dan lembaga yang sedang dalam proses pembentukannya, antara lain, dengan pembentukan Komisi Yudisial dan Dewan Kehormatan Hakim. Memberikan penguatan terhadap peran Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dalam pelaksanaannya koordinasi antarlembaga yang tugas dan fungsinya melakukan pemberantasan korupsi terus ditingkatkan sehingga proses hukum penanganan perkara korupsi mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan penuntutan dapat dipercepat dan diselesaikan sampai kepada tindakan secara hukum.

Dalam rangka lebih meningkatkan kinerja lembaga penegak hukum di Indonesia, khususnya dalam rangka penanganan terhadap kasus-kasus korupsi, ke depan yang perlu dilakukan adalah penguatan institusi penegak hukum, baik itu dari sudut profesionalisme aparat penegak hukumnya maupun memperbaiki ketentuan yang mengatur pelaksanaan tugas dan fungsi penegak hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan memudahkan dalam pelaksanaan koordinasinya. Sementara itu, untuk mencegah larinya tersangka atau terdakwa kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat luas, seperti kasus korupsi, narkotika dan pelanggaran HAM kantor imigrasi di masa yang akan datang harus mempunyai sistem informasi menejemen keimigrasian yang terintegrasi sehingga dapat mencegah terjadinya pelarian ke luar negeri. Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan pemahaman mengenai Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) di daerah, akan terus dilakukan

konsultasi dan kampanye publik di Makasar, Banjarmasin, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jayapura dan Surabaya.

Untuk mempercepat upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih bebas dari KKN, perlu ditindaklanjuti dengan melakukan berbagai kegiatan, antara lain meningkatkan sosialisasi dan bimbingan teknis dalam rangka peningkatan penerapan prinsip-prinsip Good governance; meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat serta menindaklanjuti hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan hasil pemeriksaan ekstern (BPK); terus mengembangkan dan meningkatkan penerapan sistem akuntabilitas kinerja pada seluruh instansi; mempercepat penyelesaian pelaksanaan

National Civil Service Information System (NCSIS) dalam membangun data base untuk perencanaan PNS; mempercepat penyelesaian pembahasan RUU Administrasi Pemerintahan dengan DPR menjadi UU Administrasi Pemerintahan.

Selanjutnya, untuk terus meningkatkan peran Indonesia dan memperjuangkan kepentingan nasional secara lebih efektif dalam percaturan internasional penyelenggaraan diplomasi total perlu lebih dikembangkan dengan pendekatan integratif, yang mempersempit jarak antara kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri, serta antara kebijakan sektoral di bidang-bidang politik, hankam, ekonomi, dan sosial-budaya. Interfaith dialogue sebagai wahana yang tepat untuk mengedepankan pesan-pesan damai yang dibawa oleh agama-agama di dunia kepada masyarakat internasional perlu terus dilanjutkan. Demikian pula, pelaksanaan diplomasi publik sebagai bagian penting dalam penyebarluasan citra baik tentang bangsa dan negara kepada masyarakat negara lain, dan juga masyarakat internasional terus ditingkatkan.

Dengan mempertimbangkan pelaksanaan otonomi daerah selama ini, untuk terus memperbaikinya agar sesuai dengan harapan perlu dilaksanakan tindak lanjut, antara lain (1) mendorong terwujudnya pelaksanaan kebijakan desentralisasi secara konsisten dan meningkatkan kinerja pemerintahan daerah melalui upaya penyiapan peraturan perundang-undangan dan instrumen kerja pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004, peningkatan kapasitas, pemantapan penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom baru,

peningkatan peran gubernur dalam menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan, serta mewujudkan terselenggaranya prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (2) menyelesaikan berbagai instrumen pengaturan dan kapasitas kelembagaan perencanaan dan pengendalian pembangunan dari seluruh tingkatan pemerintahan dan sektor terkait, sejalan dengan muatan materi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; (3) menganalisis kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah; (4) melanjutkan monitoring pelaksanaan Pilkada pada 4 provinsi dan 60 kabupaten/kota; (5) mengatur mekanisme dan koordinasi dana dekonsentrasi melalui gubernur provinsi sebagai kepala wilayah; (6) memperkuat upaya pembinaan dan fasilitasi penguatan dan pengelolaan keuangan daerah secara baik; (7) memperkuat peran pemerintah provinsi dalam memfasilitasi kegiatan lintas daerah melalui kerja sama antardaerah dan antarwilayah; (8) meninjau kembali daerah-daerah yang mengusulkan menjadi daerah pemekaran yang tidak hanya dalam pertimbangan kelayakan politis,

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 30-42)