• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemantapan Stabilitas Ekonomi 1 Permasalahan yang Dihadap

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 64-76)

Di sisi moneter, selama 10 bulan terakhir stabilitas ekonomi mendapat tekanan berupa kenaikan laju inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah. Laju inflasi meningkat dari 6,4 persen pada tahun 2004 menjadi 8,81 persen pada bulan Maret 2005 dan tercatat sekitar 7,84 persen pada bulan Juli 2005. Sementara itu, nilai tukar rupiah terdepresiasi dari Rp9.290/USD pada akhir tahun 2004 menjadi sekitar Rp9.819 pada akhir Juli 2005.

Faktor yang memengaruhi tingginya laju inflasi, antara lain disebabkan oleh tingginya ekspektasi inflasi di masyarakat serta depresiasi rupiah sebagai dampak dari tingginya kebutuhan valas oleh BUMN/swasta dan kenaikan harga minyak mentah dunia. Adapun

dari faktor eksternal lainnya adalah kebijakan ekonomi AS yang mengarah ketat yang dicerminkan oleh kenaikan suku bunga Fed Fundhingga mencapai 3,25 persen pada akhir Juni 2005.

Di sisi keuangan negara, pemerintah juga menghadapi tekanan dan tantangan eksternal dan internal yang cukup berat. Pertama, tingginya beban pengeluaran negara yang disebabkan oleh meningkatnya harga minyak mentah di pasaran dunia dan terjadinya bencana alam dan tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias (Sumatra Utara). Peningkatan harga minyak mentah tersebut menyebabkan meningkatnya alokasi belanja pemerintah pusat untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Beban subsidi BBM pada tahun 2004 realisasinya mencapai Rp69,0 triliun atau 3,0 persen PDB dengan harga minyak mentah Indonesia sebesar USD 37,2/barel dan nilai tukar rupiah terhadap USD mencapai Rp8.939. Sementara itu, jika harga BBM tidak dilakukan penyesuaian dan harga minyak internasional mencapai USD50,0/barel dengan nilai tukar sebesar Rp8.900/USD, subsidi BBM dalam tahun 2005 dapat mencapai Rp110 triliun. Permasalahan kedua adalah adanya kendala dalam penerapan sistem penganggaran baru berdasar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan sistem penganggaran yang baru tersebut memerlukan perubahan dalam proses penyusunan dan bentuk dokumen-dokumennya. Dampak dari perubahan tersebut mengakibatkan proses penyelesaian dokumen anggaran terlambat dari jadwal yang ditetapkan sehingga realisasi semester I tahun 2005 sebagian pengeluaran pemerintah pusat menjadi rendah.

Pada sisi penerimaan negara, tantangan yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan berbasis pajak yang berkelanjutan dan tetap memerhatikan prinsip keadilan dan memberikan ruang bagi berkembangnya dunia usaha.

Sementara itu, pada sisi pembiayaan defisit, tantangan yang dihadapi adalah memperoleh komposisi pinjaman yang optimal, antara lain dari segi beban bunga, risiko pembayaran kembali (refinancing risk) serta tidak menimbulkan crowding-out terhadap pembiayaan investasi masyarakat. Oleh karena itu, defisit anggaran pemerintah dibiayai melalui pembiayaan dalam dan luar negeri yang dibatasi pada upaya untuk (1) mengelola risiko pinjaman dengan menurunkan

jumlah pinjaman luar negeri; (2) mengelola penerbitan surat utang negara (SUN) agar tidak menimbulkan efek crowding out pada investasi swasta; serta (3) memantapkan kesinambungan fiskal dengan menurunkan rasio pinjaman/PDB yang berarti penurunan secara bertahap defisit anggaran.

Dengan berbagai kendala yang dihadapi keuangan negara, peran swasta dalam pembangunan perlu ditingkatkan. Untuk itu, diperlukan sektor keuangan dan pasar modal yang makin berkembang dan dapat diandalkan. Pada pelaksanaannya sektor keuangan menemui berbagai permasalahan. Pertama, masih lemahnya penerapangood governance

pada pengelolaan bank. Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa terdapat kegagalan dalam pengelolaan risiko pada tingkat pengurus bank maupun pemilik bank. Selain itu, pengenalan nasabah yang kurang baik berpotensi menimbulkan terjadinya risiko penyimpangan seperti dalam pengelolaan kredit.

Kedua, konsolidasi perbankan berjalan lambat. Struktur perbankan yang sebagaimana diharapkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia belum dapat terwujud melalui merger atau akuisisi secara mandiri oleh bank-bank. Oleh kerena itu, dalam kondisi ini perbankan nasional dipacu untuk mempercepat proses konsolidasi melalui konsep bank jangkar. Namun, meskipun secara konseptual bank jangkar dapat membawa dampak positif pada sektor perbankan, tetapi penanganan yang kurang berhati-hati justru berpotensi menciptakan kekhawatiran publik mengenai kredibilitas bank-bank yang tidak memenuhi status bank jangkar. Permasalahan akan terjadi apabila kondisi bank tersebut tidak memungkinkan untuk berkonsolidasi sehingga dapat menjatuhkan kredibilitas bank tersebut, yang menyebabkan terjadinya pengalihan dana sehingga pada akhirnya bank tersebut masuk dalam kriteria bank gagal.

Ketiga, operasionalisasi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui pengurangan secara bertahap cakupan penjaminan pemerintah, berpotensi memperlambat penghimpunan dana. Pengurangan cakupan penjaminan, jika tidak dikelola secara hati-hati, dapat menimbulkan kekhawatiran pada deposan serta terjadinya pengalihan aset, termasuk

capital flight akan mengganggu proses menstabilkan kembali perekonomian yang tengah berlangsung.

Keempat, masih terkendalanya fungsi intermediasi perbankan. Meskipun penyaluran kredit perbankan telah menunjukkan adanya peningkatan, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan masih rendah serta adanya potensi peningkatan risiko penyaluran kredit. Dalam hal penyaluran kredit terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), perbankan telah menunjukkan kinerja yang sangat baik. Namun, khusus untuk penyaluran kredit usaha kecil (KUK) masih terkendala yang tercermin dari kecilnya pangsa kredit KUK terhadap total kredit perbankan (15,6 persen pada bulan Oktober 2004). Sementara itu, bencana alam tsunami di Aceh dan Nias yang telah melumpuhkan sarana dan prasarana fisik juga menimbulkan dampak negatif terhadap perbankan di daerah tersebut, antara lain hilangnya data nasabah atau debitur.

Kelima, perbankan berbasis syariah meskipun berkembang pesat, perannya dalam perbankan nasional relatif masih terbatas. Tantangan ke depan adalah meningkatkan peran tersebut, dengan tetap menjaga kesehatan perbankan syariah. Keenam, peran lembaga jasa keuangan nonbank masih belum signifikan untuk dapat menjadi sumber pendanaan jangka panjang. Pasar modal sebagai penggerak dana-dana jangka panjang bagi sektor swasta masih perlu ditingkatkan peranannya dalam perekonomian.

Selanjutnya, data dan informasi statistik sangat penting dalam upaya penciptaan stabilitas ekonomi makro. Namun, dalam upaya penyediaannya masih terkendala. Jumlah data dan informasi statisitik yang tersedia masih terbatas, akibat keterbatasan SDM dan sarana dan prasarana pendukung bagi penghimpunan data. Di sisi lain, berbagai perubahan di berbagai bidang pembangunan, telah meningkatkan kebutuhan informasi statistik baik pada skala nasional dan regional, maupun skala internasional. Kebutuhan ini semakin penting dengan adanya penerapan otonomi daerah. Namun penyediaan data dan informasi daerah, terutama kecamatan atau desa, masih cenderung sulit diperoleh karena selama ini penyediaan data dan informasi masih terkait dengan wilayah administrasi yang lebih besar.

2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai

Dalam upaya memperkuat stabilitas ekonomi, kebijakan moneter diukur dengan porsi yang tepat (fine tuning) dengan menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar dengan tanpa menekan potensi pertumbuhan secara berlebihan. Kecenderungan kebijakan moneter yang ketat ditandai dengan kenaikan tingkat suku bunga SBI secara bertahap dan terukur disebabkan masih tingginya tingkat inflasi aktual dan ekspektasi, serta gejolak nilai tukar yang cukup signifikan dan cepat. Tingkat suku bunga SBI baik 1 bulan maupun 3 bulan naik hingga mencapai sekitar 8,49 persen dan 8,45 persen pada akhir Juli 2005. Apabila dibandingkan dengan akhir tahun 2004, tingkat suku bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan masing-masing telah naik sebesar 1,06 persen dan 1,16 persen.

Naiknya tingkat suku bunga SBI ini diperkirakan tidak berdampak pada investasi mengingat tingginya selisih (spread) antara tingkat suku bunga kredit dan tingkat suku bunga deposito yang berkisar 6–7 persen. Oleh karena itu, meskipun terjadi kenaikan tingkat suku bunga SBI yang diikuti kenaikan tingkat suku bunga simpanan, masih terjadi penurunan tingkat suku bunga kredit. Tingkat suku bunga kredit investasi dan modal kerja sampai dengan triwulan II tahun 2005 turun masing-masing mencapai 13,65 persen dan 13,36 persen dari 14,05 persen dan 13,41 persen pada akhir 2004, meskipun tingkat suku bunga simpanan (deposito 1 bulan) naik dari 6,43 persen pada akhir 2004 menjadi 6,98 persen pada triwulan II tahun 2005.

Penyempurnaan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka (OPT) juga terus dilakukan dengan diperkenalkannya fine tuning operation. Dengan kebijakan yang baru ini, transaksi OPT dapat digunakan sewaktu-waktu untuk memengaruhi likuiditas perbankan jangka pendek pada waktu, jumlah, dan harga yang ditentukan oleh otoritas moneter.

Di samping langkah-langkah berupa pengetatan posisi moneter, telah dilakukan langkah-langkah yang bersifat koordinatif antara Bank Indonesia dan Pemerintah guna menjaga stabilitas nilai rupiah. Langkah-langkah tersebut mencakup (1) pemenuhan kebutuhan valas bagi Pertamina oleh Pemerintah; (2) pemenuhan kebutuhan valas bagi

BUMN di luar Pertamina melalui bank yang telah ditunjuk; (3) penempatan devisa hasil ekspor (DHE) bagi BUMN pada perbankan dalam negeri; dan (4) penerbitan peraturan pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing pada bank umum.

Di sisi keuangan negara, beberapa langkah telah ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang ada. Untuk mengatasi beban pengeluaran negara yang cukup tinggi, terutama beban subsidi BBM akibat melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia, Pemerintah menaikkan harga BBM dalam negeri per 1 Maret 2005 rata-rata sekitar 29,0 persen. Namun, untuk minyak tanah yang diperuntukkan bagi rumah tangga tidak dinaikkan harganya. Kenaikan harga jual BBM dalam negeri tersebut dilakukan untuk menyisihkan anggaran yang lebih besar dan lebih bersifat langsung kepada masyarakat golongan miskin serta mengelola ekonomi secara berhati- hati yang pada gilirannya menjaga stabilitas makroekonomi. Kebijakan yang bersifat price adjustment tersebut diikuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi guna menekan beban subsidi. Dengan langkah- langkah tersebut, subsidi BBM selama tahun 2005 diperkirakan masih akan mencapai Rp76,5 triliun atau 2,9 persen PDB (APBN-P 2005). Namun, akan terdapat dana yang dapat direalokasikan untuk membiayai sektor pendidikan sebesar Rp6,3 triliun, kesehatan sebesar Rp3,9 triliun, dan infrastruktur perdesaan sebesar Rp3,3 triliun.

Dalam pelaksanaannya, berbagai rencana pengeluaran pemerintah tersebut masih terkendala oleh sistem penganggaran yang baru. Guna mengatasi permasalahan tersebut, telah dilakukan sosialisasi dan konsultasi secara terus-menerus pada jajaran pemerintah untuk meningkatkan pemahaman terhadap proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran.

Berkaitan dengan pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, diperoleh dana yang bersumber dari luar negeri melalui hibah dan moratorium, sedangkan dana pinjaman digunakan sebagai pelengkap. Selain melaksanakan kebijakan tersebut, untuk pemulihan Aceh dan Nias juga dilaksanakan berbagai kebijakan lainnya. Sebagai contoh, dalam upaya pemulihan fisik dan ekonomi di Aceh dan Nias sebagai akibat dari bencana tsunami, pada sektor perbankan telah diterapkan kebijakan khusus perkreditan. Melalui PBI

No. 7/5/PBI/2005 dan PBI No. 7/17/PBI 2005 telah dilakukan kebijakan kelonggaran kredit bagi bank umum dan BPR.

Guna membiayai pengeluaran yang meningkat, Pemerintah terus mengusahakan peningkatan penerimaan negara, utamanya yang berbasis pajak. Untuk itu, penerimaan pajak dilanjutkan secara konsisten melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Langkah-langkahnya mencakup penyisiran (canvassing), penyuluhan, dan penyempurnaan bank data serta audit dan tindakan penagihan. Selain itu, dilakukan upaya penyempurnaan administrasi pajak dan kepabeanan melalui pengembangan sistem informasi pajak dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak. Untuk mendorong investasi dan peningkatan daya saing dunia usaha dan juga memerhatikan rasa keadilan, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan di bidang perpajakan dengan memberikan insentif perpajakan bagi masyarakat dan dunia usaha. Secara keseluruhan, penerimaan pajak diperkirakan akan meningkat dari yang semula Rp280,9 triliun atau 12,2 persen PDB pada tahun 2004 menjadi Rp331,8 triliun atau 12,6 persen PDB pada APBN-P tahun 2005.

Upaya meningkatkan penerimaan yang disertai dengan pengendalian pengeluaran seperti diuraikan tadi, merupakan pewujudan dari kebijakan memantapkan ketahanan fiskal. Defisit anggaran ditargetkan akan dapat menurun dari 1,3 persen PDB pada tahun 2004 menjadi sekitar 0,8 persen di tahun 2005.

Di samping upaya menurunkan defisit secara bertahap, dilakukan pula langkah-langkah pengelolaan utang, antara lain melalui peningkatan pengelolaan SUN secara prudent dan transparan untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali dalam jangka panjang serta penyempurnaan struktur portofolio. Untuk mengurangi risiko refinancing jangka menengah akibat tidak meratanya struktur jatuh tempo kewajiban SUN, Pemerintah melakukan program pertukaran obligasi (debt-switching) dan cash buyback, di samping mengupayakan pula peningkatan pendanaan dari pinjaman dan hibah luar negeri. Namun, secara absolut pinjaman luar negeri tetap diarahkan menurun secara bertahap dengan penyerapan pinjaman yang lebih kecil jika dibandingkan dengan amortisasi pinjaman.

Langkah-langkah yang telah dilakukan di bidang moneter dan keuangan negara itu ditujukan pada upaya memantapkan stabilitas makroekonomi. Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dilakukan pembenahan struktural di sektor riil yang didukung oleh perkuatan kinerja sektor keuangan guna meningkatkan kemampuan pembiayaan. Perkuatan sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan ketahanan dan fungsi intermediasi perbankan, serta peningkatan peran lembaga keuangan nonbank yang meliputi jasa perasuransian, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan pasar modal.

Dalam rangka meningkatan ketahanan perbankan telah diterbitkan peraturan untuk meningkatkan pelaksanaan good governanceyang dikenal dengan paket Januari 2005. Selain itu, juga dilakukan penyempurnaan sistem kliring nasional serta pengembangan daftar hitam nasional untuk mendukung ketahanan perbankan. Seiring dengan upaya tersebut, kinerja perbankan relatif stabil yang ditunjukkan dengan CAR bank umum yang mencapai sekitar 20,0 persen (Mei 2005) dibandingkan dengan sekitar 19,4 persen pada akhir tahun 2004. Namun, jika terdapat potensi kenaikan risiko yang tercermin dari kenaikan angka NPL (gross) 7,3 persen pada bulan Mei 2005, lebih tinggi jika dibandingkan dengan akhir tahun 2004 yang sebesar 5,8 persen.

Selanjutnya, dalam kerangka menjaga keamanan sektor keuangan, langkah awal yang telah dilakukan adalah membentuk Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) melalui UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS yang telah ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 95 tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 43 Tahun 2005 sebagai landasan hukum untuk melakukan pengurangan lingkup dan pengakhiran penjaminan pemerintah terhadap kewajiban bank umum dan BPR, beserta penyusunan peraturan pelaksana dan kelengkapan organisasinya.

Selanjutnya, fungsi intermediasi perbankan menunjukkan adanya optimisme akan prospek perekonomian yang lebih baik ke depan. Kredit perbankan sampai dengan triwulan II tahun 2005 tumbuh mencapai sekitar 28,1 persen dari sekitar Rp486,1 triliun (triwulan II tahun 2004) menjadi sekitar Rp622,6 triliun pada triwulan II tahun 2005. Membaiknya kondisi perbankan secara nasional juga

diikuti dengan membaiknya fungsi intermediasi di daerah. Hal ini dicerminkan dengan meningkatnya rasio antara data penyaluran dana terhadap data penghimpunan dana (LDR) pada beberapa daerah tertentu, seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Bahkan, ketiga provinsi tersebut kinerjanya di atas rata-rata LDR nasional yang sekitar 61,6 persen (Mei 2005). Di lain pihak, Provinsi DKI Jakarta yang memiliki LDR di atas 100,0 persen pada 1994–1995, telah turun menjadi 43,1 persen pada bulan Mei 2005. Perkembangan ini menggambarkan bahwa penyaluran dana perbankan di daerah relatif telah terdistribusi secara lebih merata dan tidak didominasi oleh provinsi tertentu.

Selanjutnya, penyaluran kredit terhadap UMKM menunjukkan pertumbuhan yang mencapai 29,9 persen dan porsi yang mencapai 49,3 persen dari total kredit perbankan nasional (triwulan II tahun 2005). Peran UMKM terus ditingkatkan antara lain melalui kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia tentang Pemberdayaan dan Pengembangan UMKM dalam rangka Penanggulangan Kemiskinan tanggal 8 Juni 2005. Sementara penyaluran kredit KUK telah meningkat 38,5 persen dari sekitar Rp69,9 triliun pada triwulan II tahun 2004 menjadi Rp96,9 triliun pada triwulan II tahun 2005.

Selanjutnya, perbankan syariah menunjukkan perkembangan cukup pesat yang tercermin dari pertumbuhan aset yang mencapai sekitar 50,0 persen per tahun dan penghimpunan DPK syariah mencapai 55,0 persen per tahun. Fungsi intermediasi yang dilakukan oleh perbankan segmen ini telah berjalan optimal tercermin dari angka

Financing to Deposit Ratio(FDR) yang berkisar 95,0 sampai dengan 105,0 persen jauh jika dibandingkan dengan perbankan konvensional yang baru sekitar 52,9 persen.

Dalam upaya meningkatkan peran lembaga keuangan nonbank berbagai langkah telah dilakukan. Pada industri jasa perasuransian, telah ditegakkan pengaturan terhadap pengawasan berbasis risiko antara lain dengan dicabutnya izin usaha 10 perusahaan asuransi yang tidak dapat memenuhi ketentuan Risk Based Capital sebesar 120,0 persen selama 10 bulan terakhir. Di bidang dana pensiun, orientasi investasi sudah semakin beralih dari deposito bank dan dana-dana jangka pendek kepada investasi yang bersifat jangka panjang (seperti

obligasi pemerintah dan obligasi korporasi). Perubahan ini didorong oleh maraknya pasar obligasi yang dipacu oleh penurunan suku bunga. Di bidang perusahaan pembiayaan, telah terjadi peningkatan nilai dan kualitas aset serta kegiatan usaha. Selain itu, dalam upaya meningkatkan pendanaan bagi usaha kecil, perusahaan modal ventura telah berhasil meningkatkan kerja samanya dengan perusahaan pasangan usaha.

Di bidang pasar modal, diperoleh berbagai kemajuan sebagai berikut. Pergerakan pasar yang ditandai oleh indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta berhasil mencapai level 1.182,3 di akhir Juli 2005. Selaras dengan peningkatan indeks tersebut, nilai kapitalisasi pasar BEJ juga mencapai Rp805,5 triliun pada akhir Juli 2005. Perkembangan tersebut merupakan respons positif dari pergerakan pasar terhadap situasi politik dan keamanan di Indonesia yang cukup baik, antara lain tercermin dari keberhasilan menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang akhirnya turut meningkatkan kepercayaan investor di pasar modal. Hal tersebut terlihat dari semakin meningkatnya transaksi pemodal asing mencapai 41,0 persen (2004) dari total perdagangan saham jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 28,0 persen. Meningkatnya aktivitas pemodal asing juga mendorong aliran modal masuk yang mencapai Rp18,8 triliun (2004) atau meningkat 90,5 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Selain itu, perkembangan lain di bidang pasar modal yang patut dicatat adalah semakin terbukanya peluang pengembangan efek beragun aset (EBA) melalui pembentukan Secondary Mortgage Facility(SMF). Dengan dukungan penuh dari DPR, modal awal bagi pendirian SMF telah disetujui dan dimasukkan dalam UU No.36 Tahun 2004 tentang APBN Tahun Anggaran 2005 sebesar Rp1 triliun. Selanjutnya, sebagai landasan hukum untuk pendirian badan hukum SMF telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2005 tentang Penanaman Modal Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, telah ditetapkan pula Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan untuk memberikan pokok-pokok pengaturan terhadap SMF yang meliputi mekanisme pembiayaan sekunder perumahan, pembinaaan dan pengawasan, dan prudential

regulation.Selanjutnya, untuk meningkatkan kredibilitas SMF di mata investor, Pemerintah telah menjajaki peluang lembaga keuangan internasional sebagai pemegang saham SMF. Adapun lembaga- lembaga keuangan internasional yang telah menyatakan minatnya untuk berperan serta adalahAsian Development Bank(ADB),Islamic Development Bank (IDB), dan International Finance Corporation

(IFC).

Sementara itu, untuk meningkatkan ketersediaan data dan informasi statistik yang cepat, lengkap, dan akurat, secara nasional dan regional, dalam tahun 2005 telah diambil beberapa langkah utama antara lain berupa peningkatan kualitas dan profesionalisme SDM melalui pelatihan dan pendidikan di bidang teknis dan manajemen statistik; pengembangan sistem informasi statistik; dan pembangunan gedung serta kantor statistik, terutama untuk BPS provinsi dan BPS kabupaten/kota yang baru terbentuk atau pindah lokasi akibat adanya pemekaran wilayah administrasi. Dalam kaitannya penyediaan data sosial telah dilakukan survei angkatan kerja nasional (Sakernas), survei sosial ekonomi nasional (Susenas), survei penduduk antarsensus (Supas), dan survei upah. Untuk pengadaan data statistik lintas bidang, seperti bidang politik, pertahanan keamanan, hukum, dan penyelenggaraan negara, kemiskinan, dan gender dilaksanakan melalui penyusunan indikator kesejahteraan rakyat, penyusunan indikator dan indeks kerawanan sosial, penyusunan statistik politik dan keamanan, penyusunan indikator kekerasan, penghitungan penduduk miskin dan statistik desa tertinggal. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah menyalurkan dana kompensasi subsidi BBM langsung pada rumah tangga miskin, juga telah dilaksanakan pendataan sosial ekonomi penduduk (sensus rumah tangga miskin). Selain itu, untuk mendukung penyediaan data statistik ekonomi telah dilakukan persiapan sensus ekonomi tahun 2006 (SE2006), survei harga konsumen untuk penghitungan inflasi, survei harga produsen dan konsumen perdesaan untuk menghitung nilai tukar petani, survei usaha rumah tangga terintegrasi, survei bidang jasa dan pariwisata, survei bidang transportasi, survei statistik lembaga keuangan, kompilasi data statistik ekspor, dan penghitungan PDB dan PDRB.

3. Tindak Lanjut yang Diperlukan

Dengan tetap memerhatikan situasi yang terjadi, kebijakan moneter yang cenderung ketat masih akan digunakan untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, antara lain melalui koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia guna menyamakan langkah dan arah kebijakan moneter dan fiskal dalam rangka mendukung perekonomian nasional. Dalam rangka mengubah ekspektasi masyarakat dari yang bersifat adaptif menjadiforward looking, pada pertengahan tahun 2005 mulai diperkenalkan inflation targeting

dengan instrumen kebijakan moneter berupa suku bunga sebagai pengganti instrumen uang primer. Melalui instrumen tingkat suku bunga tersebut, diharapkan otoritas moneter dapat dengan cepat merespons perkembangan yang terjadi guna menuju ke arah sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Di sisi keuangan negara, dengan melihat perkembangan dari realisasi keuangan negara pada semester I tahun 2005, diperlukan langkah-langkah guna mempercepat pengeluaran/belanja negara. Langkah tersebut dilakukan di samping untuk mendorong investasi, juga digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun, akan tetap dilanjutkan upaya pemantapan kesinambungan fiskal dengan melanjutkan penurunan defisit secara bertahap dari 1,3 persen PDB pada tahun 2004 menjadi 0,8 persen PDB di tahun 2005. Dengan demikian, rasio pinjaman/PDB juga akan menurun. Tugas

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 64-76)