• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Kualitas SDM 1 Permasalahan yang Dihadap

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 95-114)

a. Bidang Pendidikan

Pada hakikatnya, pendidikan merupakan upaya membangun budaya dan peradaban bangsa. Oleh karena itu, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pemerintah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang pada gilirannya sangat memengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia. Namun, sampai dengan tahun 2004 pelayanan pendidikan belum dapat sepenuhnya disediakan dan dijangkau oleh seluruh warga negara. Selain karena fasilitas pendidikan belum mampu disediakan di seluruh pelosok tanah air termasuk di daerah terpencil dan kepulauan, biaya pendidikan juga masih dinilai mahal oleh sebagian besar masyarakat. Masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan merupakan salah satu kendala utama terbatasnya partisipasi pendidikan di Indonesia.

Meskipun tingkat pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sampai dengan tahun 2003 tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih cukup rendah yang ditandai, antara lain, dengan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang baru mencapai 7,1 tahun. Pada saat yang sama, angka buta aksara penduduk usia 15 tahun keatas juga masih sebesar 10,12 persen. Jika dilihat dari partisipasi pendidikan penduduk, tampak bahwa pada tahun 2003 angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7–12 tahun sudah mencapai 96,8 persen (Susenas 2003). Namun, APS penduduk usia 13–15 tahun baru mencapai 81,58 persen, dan

APS penduduk usia 16–18 tahun sebesar 50,65 persen.

Di samping itu, kesenjangan tingkat keaksaraan dan partisipasi pendidikan antarkelompok masyarakat juga masih terjadi, seperti antara penduduk kaya dan miskin, antara penduduk laki-laki dan perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Di samping itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belum tersedia secara memadai. Kesenjangan yang paling besar terjadi antara penduduk kaya dan penduduk miskin. Misalnya, untuk kelompok usia 16–18 tahun APS kelompok penduduk termiskin hanya sekitar sepertiga APS kelompok terkaya. Pada tahun yang sama angka melek aksara penduduk 15 tahun ke atas untuk kelompok termiskin baru mencapai 83,1 persen dan untuk kelompok terkaya sudah mencapai 95,99 persen.

Upaya meningkatkan partisipasi pendidikan masih dihadapkan pada beberapa masalah, seperti masih banyaknya anak-anak usia sekolah, terutama dari kelompok miskin yang tidak dapat memperoleh layanan pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan bagi mereka. Di samping itu, banyaknya gedung sekolah yang rusak berdampak negatif pada upaya mempertahankan daya tampung fasilitas pendidikan yang ada.

Kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dan pembangunan, yang terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik dan tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas, belum memadainya ketersediaan fasilitas belajar, terutama buku pelajaran dan peralatan peraga pendidikan, dan belum berjalannya sistem kendali mutu dan jaminan kualitas pendidikan, serta belum tersedianya biaya operasional yang dibutuhkan untuk pelaksanaan proses belajar mengajar secara bermutu.

Sementara itu, buku sebagai komponen terpenting strategis dalam proses belajar mengajar cenderung untuk digantikan oleh sekolah setiap tahun ajaran. Hal ini semakin memperberat orang tua untuk menyekolahkan anaknya.

menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses. Kegiatan penelitian dan pengembangan serta penyebarluasan hasilnya masih sangat terbatas sehingga kualitas dan kuantitas hasil penelitian dan pengembangan yang belum memadai, belum banyak hasil penelitian, dan pengembangan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan masih sedikit pula yang sudah dipatenkan dan/atau mendapat pengesahan hak kekayaan intelektual. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi juga telah dilakukan, tetapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis, terungkap bahwa mutu lulusan perguruan tinggi masih rendah sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dengan masa tunggu untuk bekerja (job seeking period) yang masih cukup lama.

Sistem pengelolaan pendidikan juga belum sepenuhnya efektif dan efisien yang antara lain ditunjukkan oleh belum tersedianya informasi pendidikan yang memungkinkan masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih satuan pendidikan secara tepat, belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan, belum mampunya Indonesia meningkatkan daya saing institusi pendidikan dalam menghadapi era global pendidikan, belum berjalannya sistem pengawasan pendidikan, dan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk partisipasinya dalam Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah.

Untuk jenjang pendidikan tinggi, penguatan manajemen pendidikan dilakukan melalui otonomi perguruan tinggi (PT). Otonomi perguruan tinggi sangat penting untuk membangun iklim kebebasan akademik serta menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Sampai dengan awal tahun 2005 PTN yang mengalami perubahan status menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) yaitu ITB, UI, IPB, UGM, UPI, dan USU. Namun pelaksanaan PT-BHMN belum berjalan dengan baik, antara lain karena belum tersedianya perangkat hukum berupa undang-undang badan hukum pendidikan yang menjadi dasar bagi pengelolaan keuangan dan manajemen sumber daya lainnya yang dimiliki oleh perguruan tinggi.

b. Bidang Kesehatan

Sementara itu, permasalahan utama pembangunan kesehatan saat ini antara lain adalah masih tingginya disparitas status kesehatan antartingkat sosial ekonomi, antarkawasan, dan antarperkotaan- perdesaan. Permasalahan lainnya adalah terjadinya beban ganda penyakit, kualitas, dan pemerataan masih rendah karena keterbatasan tenaga dan peralatan, pelindungan masyarakat di bidang obat dan makanan masih rendah, dan perilaku masyarakat tidak mendukung pola hidup bersih dan sehat.

Selain permasalahan mendasar seperti itu, dalam 10 bulan terakhir, terdapat beberapa isu yang perlu penanganan segera. Yang pertama adalah pelayanan kesehatan terhadap penduduk miskin. Status kesehatan penduduk miskin cenderung lebih rendah. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, juga lebih sering terjadi pada penduduk miskin. Hal ini terkait erat dengan terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan, baik karena kendala geografis maupun kendala biaya (cost barrier).

Masalah kesehatan lain yang menimbulkan perhatian cukup besar adalah kasus busung lapar. Kurang energi dan protein tingkat parah atau busung lapar menyebabkan gangguan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian. Jumlah kasus di 9 provinsi sampai Juni 2005 dilaporkan sebanyak 3.413 kasus gizi buruk dan 49 di antaranya meninggal dunia. Faktor penyebab terjadinya gizi buruk adalah rendahnya konsumsi energi dan protein serta serangan penyakit infeksi. Adapun penyebab tidak langsung adalah rendahnya ketersediaan pangan tingkat keluarga; pola asuh ibu kurang memadai; dan terbatasnya ketersediaan air bersih dan buruknya sanitasi lingkungan.

Masalah lainnya adalah terjadinya wabah berbagai penyakit menular, khususnya polio di beberapa wilayah. Sejak tahun 1995 kasus polio liar sudah tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia, dan virus polio liar yang kembali muncul di Indonesia diperkirakan berasal dari negara lain. Hingga saat ini kasus polio sudah menyebar di lima provinsi, yaitu Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Jumlah kasus positif yang dilaporkan sampai 1 Agustus 2005 berjumlah 189 kasus dengan 8 kasus di antaranya

meninggal.

Bencana terutama di Aceh, Nias, Alor, dan Nabire juga perlu penanganan segera. Bencana ini telah menimbulkan korban jiwa yang luar biasa, baik yang meninggal, hilang, maupun yang luka-luka. Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan banyak yang hancur dan tidak berfungsi secara optimal, seperti rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, laboratorium kesehatan, dan polindes.

Saat ini dialami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan masih belum bisa menghasilkan tenaga kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, serta sistem perekrutan dan pola insentif bagi tenaga kesehatan yang kurang optimal. Di samping itu, jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan masyarakat masih belum memadai sehingga banyak puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Bahkan, akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktik dokter.

c. Bidang Agama

Sementara itu, pembangunan agama merupakan upaya untuk mendukung agenda pembangunan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas dan berakhlak serta pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan Indonesia yang aman dan damai.

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan agama adalah kurangnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama di masyarakat. Kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum sepenuhnya bersifat substansial, demikian juga terjadi di kalangan peserta didik. Selain itu, kurangnya jumlah dan rendahnya mutu pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, terbatasnya sarana dan prasarana, serta minimnya fasilitas pendukung lainnya. Pada sisi lain, derasnya arus globalisasi terutama melalui media cetak dan elektronik semakin kuat mempengaruhi perilaku anak didik yang cenderung ke arah negatif seharusnya dapat dicegah atau dikurangi dengan pemahaman dan penghayatan agama.

Pelayanan kehidupan beragama juga dinilai belum memadai. Hal tersebut terlihat, antara lain, dari belum memadainya sarana dan prasarana ibadah, belum optimalnya pemanfaatan rumah ibadah sebagai tempat pelayanan bagi masyarakat, masih sering dijumpai berbagai kekurangan dalam pelayanan ibadah haji, serta belum optimalnya pengelolaan dana sosial keagamaan. Selain itu, rendahnya kualitas dan kapasitas lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan sehingga belum sepenuhnya memerankan fungsinya sebagai agen perubahan sosial.

Kehidupan harmoni di dalam masyarakat belum sepenuhnya dapat diwujudkan antara lain akibat munculnya ketegangan sosial yang sering melahirkan konflik intern dan antarumat beragama. Konflik ini pada mulanya disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi yang seringkali memanfaatkan sentimen agama. Selain itu, konflik tersebut juga diakibatkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan penegakan hukum yang masih lemah.

2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai

a. Bidang Pendidikan

Langkah kebijakan yang ditempuh dalam upaya meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah sebagai berikut (1) peningkatan perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dasar yang berkualitas sebagai bentuk pemenuhan hak warga negara untuk mengikuti Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) peningkatan pendidikan bagi anak usia dini yang lebih merata dan bermutu sehingga mereka memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya; (3) peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikan menengah, baik umum maupun kejuruan untuk mengantisipasi meningkatnya lulusan sekolah menengah pertama sebagai dampak keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dan penyediaan tenaga kerja lulusan pendidikan menengah yang berkualitas; (4) pemberian perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, yaitu penduduk miskin, tinggal di daerah terpencil, kepulauan, daerah

konflik untuk menjangkau layanan pendidikan, baik formal maupun nonformal sesuai dengan potensi dan kebutuhannya; (5) peningkatan perluasan layanan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar kerja serta mampu menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) peningkatan pendidikan nonformal yang merata dan bermutu untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang tidak mungkin terpenuhi kebutuhan pendidikannya melalui jalur formal, terutama bagi masyarakat yang tidak pernah sekolah atau buta aksara, dan putus sekolah.

Di samping itu, dalam rangka meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan ditempuh langkah kebijakan sebagai berikut (1) peningkatan kualitas dan relevansi semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, untuk memberikan kecakapan peserta didik sesuai dengan kompetensi yang diperlukan, termasuk kecakapan personel, sosial, intelektual, spiritual, emosi, dan vokasional untuk bekerja dan usaha mandiri sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan pembangunan; dan (2) peningkatan dan pemantapan peran perguruan tinggi sebagai ujung tombak peningkatan daya saing bangsa serta pengembang IPTEK dan seni, pelaksanaan otonomi keilmuan yang didukung dengan peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan budaya baca.

Adapun dalam upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan ditempuh langkah sebagai berikut (1) peningkatan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan tinggi, dengan pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan secara bertanggung jawab dan akuntabel; (2) pelaksanaan manajemen berbasis sekolah/satuan pendidikan lainnya secara lebih optimal yang didukung oleh penerapan sistem kontrol dan jaminan kualitas pendidikan, dan penilaian kinerja di tingkat satuan pendidikan melalui pelaksanaan evaluasi, akreditasi, sertifikasi, dan pengawasan yang didasarkan pada hasil, termasuk kompetensi lulusan dan tingkat kesehatan manajemennya; (3) peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan untuk semua anak baik laki-laki maupun perempuan yang didukung dengan ketersediaan informasi mengenai layanan pendidikan secara transparan; dan (4) peningkatan efektivitas peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan,

baik dalam penyelenggaraan, penyediaan biaya, maupun pengelolaan pendidikan dari tingkat pusat sampai satuan pendidikan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah serta komite satuan pendidikan yang lain.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pendidikan, baik akses dan pemerataan pelayanan pendidikan, mutu pendidikan, maupun manajemen pelayanan pendidikan. Data Susenas 2004 menunjukkan peningkatan proporsi penduduk usia 10 tahun yang berpendidikan SMP/MTs ke atas dari 36,21 persen pada tahun 2003 menjadi 38,33 persen pada tahun 2004 dengan kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, penduduk perkotaan dan perdesaan, serta antara penduduk laki-laki dan perempuan yang semakin rendah.

Meningkatnya taraf pendidikan tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya angka partisipasi pendidikan semua kelompok usia penduduk. Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7–12 tahun meningkat dari 96,4 persen pada tahun 2003 menjadi 96,8 persen pada tahun 2004, APS penduduk usia 13–15 tahun meningkat dari 81,0 persen menjadi 83,5 persen dan APS penduduk 16–18 tahun meningkat dari 51,0 persen menjadi 53,5 persen. Kesenjangan APS antara perkotaan dan perdesaan juga semakin rendah. Rasio APS penduduk perdesaan terhadap APS penduduk perkotaan meningkat dari 0,85 menjadi 0,89 untuk kelompok usia 13–15 tahun dan dari 0,58 menjadi 0,64 untuk kelompok usia 16–18 tahun. Kesenjangan gender sudah tidak tampak, khususnya pada kelompok usia 7–12 tahun. Pada kelompok usia 13–15 tahun terjadi kecenderungan partisipasi pendidikan penduduk perempuan menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki dengan indeks paritas gender sebesar 1,01 dan pada kelompok usia 16–18 tahun partisipasi penduduk perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki dengan indeks paritas gender sebesar 0,98.

Jika dilihat dari angka partisipasi kasar (APK), menurut jenjang pendidikan, tampak bahwa partisipasi pendidikan pada semua jenjang juga mengalami peningkatan. APK jenjang SD/MI meningkat dari 105,82 persen pada tahun 2003 menjadi 107,13 persen pada tahun 2004, APK jenjang SMP/MTs meningkat dari 81,09 persen menjadi 82,24 persen dan APK jenjang pendidikan menengah meningkat dari

50,89 persen menjadi 54,38 persen. Kesenjangan APK antara penduduk kaya dan miskin, serta antara penduduk perkotaan dan perdesaan juga semakin rendah.

Dalam rangka mendukung penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, mulai tahun ajaran 2005/2006 akan disediakan pelayanan pendidikan gratis untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs dan pesantren salafiyah yang menyelenggarakan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Untuk periode Juli

– Desember 2005 disediakan anggaran untuk biaya operasional sekolah yang dihitung berdasarkan jumlah peserta didik. Untuk jenjang SD/MI/pesantren salafiyah setara SD biaya operasional akan diberikan bagi 28,89 juta peserta didik dengan satuan biaya Rp235 ribu per orang per tahun. Pada saat yang sama, untuk jenjang SMP/MTs/pesantren salafiyah setara SMP biaya operasional akan diberikan bagi 10,77 juta peserta didik dengan satuan biaya Rp324,5 ribu per orang per tahun. Meskipun anggaran tersebut belum secara penuh dapat membebaskan peserta didik dari seluruh pembiayaan pendidikan, anggaran yang tersedia dimaksudkan untuk dapat membebaskan siswa miskin dari semua bentuk iuran. Kebijakan tersebut merupakan langkah awal pemenuhan amanat UU No. 20 Tahun 2003, yaitu agar Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Pada jenjang pendidikan menengah beasiswa yang disediakan untuk siswa miskin di SMA/SMK/MA dilanjutkan dengan meningkatkan jumlah penerima dan satuan biayanya. Pada Semester I Tahun Ajaran 2005/2006 disediakan beasiswa bagi 698,46 ribu siswa dengan satuan biaya Rp65 ribu per siswa per bulan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp25 ribu per siswa per bulan. Dengan beasiswa yang lebih banyak dan lebih besar jumlahnya diharapkan partisipasi penduduk miskin yang menempuh jenjang pendidikan menengah dapat ditingkatkan.

Dalam rangka meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan menengah dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan pertengahan tahun 2005 dilakukan pada jenjang SMA/MA, antara lain penyediaan sarana dan prasarana pendidikan melalui pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) SMA, USB SMK/SMK Kecil di SMP dan

SMK di Pondok Pesantren serta bantuan pengembangan program bagi SMK Besar/SMK Nasional/SMK Internasional. Selain itu, dilakukan pula pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) SMA/MA/SMK, dan pemberian beasiswa melalui program Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi 56.000 peserta didik SMA/SMK/MA negeri dan swasta yang berasal dari keluarga tidak mampu dengan bakat dan prestasi yang menonjol.

Untuk memperluas dan memeratakan pelayanan pendidikan tinggi, telah dilakukan berbagai kegiatan, antara lain pemberian beasiswa PPA (peningkatan prestasi akademik), beasiswa BBM (bantuan belajar mahasiswa), dan beasiswa akibat dampak kerusuhan bagi 681.844 mahasiswa. Untuk mempertahankan mahasiswa agar tidak putus sekolah telah diberikan beasiswa bantuan belajar dan bantuan beasiswa yang lain bagi 437.463 mahasiswa. Sementara itu, pelayanan pendidikan di perguruan tinggi agama juga ditingkatkan melalui, antara lain, menambah sarana dan prasarana untuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).

Kemampuan keaksaraan penduduk juga mengalami peningkatan yang antara lain ditandai dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk berusia 15 tahun keatas dari 89,79 persen pada tahun 2003 menjadi 90,38 persen pada tahun 2004. Dengan kata lain, angka buta aksara dapat diturunkan dari 10,21 persen menjadi 9,62 persen. Dengan berbagai upaya yang dilakukan pada tahun 2005, diharapkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas dapat diturunkan menjadi 8,77 persen. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah, antara lain, telah melakukan intensifikasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara yang dimulai pada saat peringatan Hari Aksara Internasional Ke-39 di Istora Senayan bersamaan dengan Peringatan Hari Guru Nasional pada tanggal 2 Desember 2004.

Di samping itu, pendidikan nonformal juga terus digalakkan, terutama untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan. Dalam kurun waktu tahun 2004 dan pertengahan tahun 2005 telah dilakukan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan formal melalui, antara lain, keaksaraan fungsional, pelaksanaan Paket A setara SD, Paket B setara SMP, serta

Paket C setara SMA Sementara itu, telah dilaksanakan pula pendidikan keterampilan dengan penekanan pada pengembangan pendidikan dan pelatihan yang berbasis masyarakat, pendidikan nonformal yang dilaksanakan, antara lain, melalui kegiatan kelompok belajar usaha (KBU) yang juga memberikan dampak positif dalam upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada tahun 2005 telah disahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan yang ditetapkan tersebut berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Selanjutnya, untuk mendukung pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, Pemerintah telah pula membentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sesuai dengan amanat PP No. 19 Tahun 2005. Untuk pelaksanaan standar nasional pendidika, telah dilakukan ujian nasional (UN) SMP/MTs, SMA/MA/SMK tahun pelajaran 2004/2005 sesuai dengan jadwal.

Di samping itu, dalam rangka meningkatkan mutu pendidik telah dilakukan pendeklarasian profesi guru setara dengan profesi dokter, pengacara, akuntan, dan notaris oleh Presiden pada peringatan Hari Guru pada tanggal 2 Desember 2004 di Istora Senayan Jakarta. Demikian pula, telah dilakukan persiapan penyusunan standar kompetensi guru, mekanisme uji kompetensi, dan sertifikasi yang terintegrasi secara nasional; pembinaan profesionalisme guru dengan menghidupkan dan memberdayakan kembali peran Musyawarah Kerja Kepala Sekolah/Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Musyawarah Guru Mata Pelajaran/Kelompok Kerja Guru kabupaten/kota dan kecamatan di seluruh Indonesia; pelaksanaan kajian tentang akreditasi guru juga mulai dilakukan sehingga diharapkan pelaksanaan akreditasi guru dapat segera dilaksanakan.

Untuk jenjang pendidikan menengah, pada tahun 2004 bantuan kepada sekolah diwujudkan dengan memberikan BOMM untuk meningkatan mutu proses pembelajaran di sekolah/madrasah negeri dan swasta, bantuan imbal swadaya mutu (matching grant) untuk peningkatan kualitas sarana pembelajaran diberikan pula bagi SMA/MA negeri dan swasta. Bantuan pengembangan kegiatan inovasi daerah di setiap provinsi dan peningkatan mutu proses pembelajaran

melalui revitalisasi MGMP, MKKS, serta implementasi kurikulum 2004 secara terbatas dan pembekalan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kepada siswa SMA.

Buku teks pelajaran merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah. Buku tersebut digunakan sebagai acuan wajib bagi guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Untuk itu, telah ditetapkan

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 95-114)