• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas serta Penguatan Daya Saing

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 52-64)

1. Permasalahan yang Dihadapi

Dalam periode 2001–2003 investasi berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh sekitar 4,1 persen per tahun. Meskipun diwarnai kekhawatiran ketidakstabilan politik karena pelaksanaan Pemilu, dalam tahun 2004 pertumbuhannya meningkat pesat mencapai 15,7 persen. Angka pertumbuhan investasi semester pertama 2005 masih menunjukkan kecenderungan yang menguat yaitu meningkat sebesar 13,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kecenderungan ini, meskipun masih dini, merupakan indikasi menguatnya sumber pertumbuhan ekonomi berkesinambungan. Sementara itu, ekspor nasional pada tahun 2004 meningkat 11,7 persen dari tahun 2003 sehingga nilainya mencapai US$ 71,5 miliar.

Meskipun menggembirakan, peningkatan investasi dan ekspor nasional masih belum maksimal. Dari sisi internal, masih dijumpai sejumlah masalah yang menyebabkan kinerja investasi dan ekspor belum maksimal. Untuk investasi permasalahan utama berkenaan dengan belum terwujudnya kepastian usaha akibat belum adanya UU Penanaman Modal Baru yang lebih kondusif, masih rumit dan panjangnya proses perizinan investasi, masih lemahnya koordinasi antara pusat-daerah, dan masih terbatasnya kapasitas infrastruktur di dalam mendukung peningkatan investasi sebagaimana diharapkan.

Sementara itu, karena belum maksimalnya kinerja peningkatan ekspor, beberapa permasalahan utama yang dijumpai adalah masih rendahnya daya saing produk Indonesia di banyak pasar internasional, masih besarnya andalan produk ekspor yang berbasis bahan mentah dan bernilai tambah rendah, masih belum beroperasinya perjanjian perdagangan regional yang potensial, seperti dengan Cina dan Jepang, masih lemahnya struktur kebijakan fasilitasi perdagangan akibat buruknya pelayanan dan kapasitas infrastruktur fisik dan penunjang kegiatan perdagangan, belum optimalnya pemenuhan standar di negara tujuan ekspor dan masih belum dirumuskannya sistem

distribusi nasional yang bisa secara efektif meningkatkan efisiensi perdagangan dalam negeri untuk mendorong peningkatan ekspor.

Selain berbagai permasalahan dalam ekspor barang, juga dijumpai beberapa permasalahan di dalam meningkatkan perolehan devisa dari sektor jasa. Hal tersebut terutama dapat dilihat pada kinerja bidang pariwisata yang dewasa ini menghadapi permasalahan sebagai berikut: belum optimalnya penetrasi promosi pariwisata, karena kurangnya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik intra maupun interlembaga yang terkait di bidang pariwisata; dan belum adanya dukungan optimal dari pemerintah kota/kabupaten terhadap perkembangan pariwisata berkaitan dengan munculnya berbagai peraturan daerah yang menghambat; dan dampak dari isu-isu negatif bencana alam, kesehatan dan terorisme (seperti tsunami, penyakit flu burung, dan ancaman bom) yang kesemuanya memberikan kontribusi terhadap penurunan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia.

Meskipun kinerjanya menunjukkan perbaikan dalam tahun 2004, sektor industri pengolahan sebagai penghasil utama ekspor nonmigas Indonesia masih banyak menghadapi permasalahan. Industri nasional menghadapi masalah permesinan yang sudah usang sehingga daya saingnya makin menurun. Hal ini terjadi justru pada beberapa industri yang masih menjadi andalan ekspor, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Di sisi lain, iklim usaha yang ada masih belum kondusif, termasuk kondisi pasar tenaga kerja sehingga turut memengaruhi posisi daya saing industri, terutama dalam menghadapi pasar bebas. Kondisi ini bertambah kompleks dengan belum maksimalnya dukungan perbankan nasional dan pasar modal, yang mempngaruhi kemudahan akses pada permodalan yang murah.

Sementara itu, sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional yang penting, kinerja BUMN telah menunjukkan adanya peningkatan. Namun, peningkatan kinerja ini harus diakui masih belum optimal. Sebagai contoh, dari keseluruhan laba sekitar Rp29 triliun yang dihasilkan kelompok BUMN laba pada tahun 2004, sekitar 70 persen laba tersebut hanya dihasilkan oleh lima BUMN, sedangkan sekitar 30 persen sisanya dihasilkan oleh 122 BUMN yang lain. Di samping itu, jika dilihat dari indikator produktivitas kinerja BUMN, peningkatan yang ada dirasakan belum mantap dan berkesinambungan. Angka

return on asset (ROA) misalnya, dari tahun ke tahun perkembangannya tidak berlangsung secara konsisten. Pada tahun 2001, rata-rata ROA BUMN mencapai 2,28 persen, dan meningkat menjadi 2,74 persen pada tahun 2002. Namun, angka ini turun menjadi 2,20 persen pada tahun 2003, dan diperkirakan meningkat lagi menjadi 2,49 persen pada tahun 2004. Dengan kinerja demikian, di samping mempersulit BUMN untuk dapat berperan utuh dalam memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional, masih ada potensi BUMN untuk membebani anggaran negara, yang dapat memengaruhi upaya mempertahankan kesinambungan fiskal.

Belum optimalnya kinerja pengelolaan BUMN tersebut antara lain disebabkan oleh masih lemahnya koordinasi kebijakan antara langkah perbaikan internal perusahaan dan kebijakan industrial dan pasar tempat BUMN tersebut beroperasi, belum terpisahkannya fungsi komersial dan pelayanan masyarakat pada sebagian besar BUMN dan belum terimplementasikannya prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara utuh di seluruh BUMN. Di samping itu, belum optimalnya kesatuan pandangan dalam kebijakan restrukturisasi dan privatisasi di antara pemilik kepentingan (stakeholders), berpotensi memberikan dampak negatif dalam pelaksanaan dan pencapaian kebijakan yang ada.

Sementara itu, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi berperan strategis dalam kehidupan ekonomi nasional, yaitu menjadi sandaran hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia serta sekaligus mampu menyerap sebagian besar angkatan kerja yang bekerja pada tahun 2004. Namun, kenyataan yang ada adalah produktivitas tenaga kerja usaha kecil pada tahun 2004 hanya mencapai Rp11,6 juta per tenaga kerja per tahun, sedangkan usaha menengah mencapai Rp38,7 juta per tenaga kerja per tahun. Angka ini sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja usaha besar yang mencapai Rp2,2 miliar per tenaga kerja per tahun.

Secara umum, perkembangan UMKM hingga akhir tahun 2004 belum dapat menghilangkan kelemahan internal, dan ketidakmampuan menghadapi perkembangan eksternal. Permasalahan internal yang dihadapi koperasi dan UMKM yaitu adalah lemahnya kemampuan dan posisi tawar untuk mengelola dan mengakses ke berbagai sumber daya produktif, yang meliputi (1) sumber informasi; (2) akses pasar; (3)

penguasaan dan pemanfaatan teknologi; (4) pengembangan organisasi dan manajemen; dan (5) keterbatasan akses ke lembaga keuangan. Selain itu, sumber daya manusia koperasi dan UMKM juga masih berpendidikan relatif rendah. Mereka memiliki kemampuan manajerial dan teknis yang tidak memadai, yang berakibat pada rendahnya produktivitas, kualitas dan daya saing terhadap produk lain. Tambahan pula kebanyakan koperasi dan UMKM tidak didukung oleh kemampuan organisasi dan manajemen yang memadai. Bahkan, tidak jarang koperasi dan UMKM dijalankan alakadarnya.

Beberapa permasalahan eksternal yang dihadapi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM adalah kondisi yang belum terlalu kondusif bagi sektor riel, termasuk koperasi dan UMKM, baik yang berkaitan dengan bidang ekonomi, dan di bidang yang lain, khususnya politik dan keamanan di tingkat lokal. Selain itu, koperasi dan UMKM juga dihadapkan pada pelaksanaan perdagangan bebas, sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui, khususnya melalui WTO, APEC, ASEAN, dan AFTA. Kesepakatan itu membawa konsekuensi berlakunya prinsip-prinsip dalam perdagangan bebas. Berlakunya pasar bebas berarti berlakunya persaingan yang semakin ketat.

Selanjutnya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai faktor penting bagi kesejahteraan, kemandirian, dan daya saing bangsa, kinerjanya masih jauh dari harapan. Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan iptek, antara lain adalah (1) rendahnya tingkat kemajuan iptek nasional, ditunjukkan dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT) pada urutan ke-60 dari 72 negara (2001) serta peringkat daya saing pertumbuhan urutan ke-69 dari 104 negara (2004); (2) rendahnya kontribusi iptek dalam sektor produksi, ditunjukkan oleh rendahnya tingkat efisiensi dan produktivitas sistem produksi, serta minimnya kandungan teknologi dalam kegiatan ekspor; (3) belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dan kebutuhan pengguna; (4) terbatasnya sumber daya iptek; (5) belum sinerginya kebijakan iptek dengan kebijakan bidang pendidikan dan industri; serta (6) belum kondusifnya kebijakan fiskal bagi pengembangan kemampuan iptek.

2. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai

Dalam rangka meningkatkan investasi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi dan berkesinambungan sejumlah langkah penting telah dilakukan oleh Pemerintah selama 10 bulan terakhir. Proses penyelesaian RUU Penanaman Modal dipercepat agar dapat segera diundangkan. Prosedur perizinan investasi PMA dan PMDN lebih diserderhanakan melalui penyempurnaan pelayanan investasi yang lebih komprehensif di BKPM sebagaimana telah diatur dalam Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap. Konsistensi peraturan perundangan yang terkait dengan penanaman modal melalui sinkronisasi peraturan, baik antarsektor ekonomi maupun antarpemerintah pusat dan daerah semakin diupayakan dan ditingkatkan. Sistem insentif disusun bagi kegiatan investasi agar Indonesia mampu bersaing dengan negara lain untuk menarik investasi pada sektor/bidang usaha dan lokasi tertentu, termasuk insentif bagi pembangunan infrastruktur. Citra Indonesia sebagai lokasi investasi yang aman dan menguntungkan melalui pelaksanaan Tahun Investasi Indonesia 2005 dengan peningkatan kualitas kegiatan promosi dan kerja sama investasi yang lebih terarah dan terfokus. Upaya untuk membantu investor dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi, antara lain, melalui pendayagunaan Tim Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi.

Dengan sejumlah upaya tersebut, didukung pula oleh stabilitas makroekonomi yang mantap, perkembangan investasi PMDN dan PMA mengalami peningkatan cukup menggembirakan. Realisasi nilai investasi PMDN berdasarkan izin usaha tetap PMDN periode 1 Oktober 2004– 30 Juli 2005 mencapai sekitar Rp15,0 triliun dengan 184 proyek dan realisasi izin usaha tetap PMA sebesar US$ 6,5 miliar dengan 728 proyek.

Selanjutnya, untuk terus meningkatkan ekspor, terutama ekspor nonmigas dilakukan sejumlah langkah sebagai berikut. Harmonisasi tarif 2005–2010 dilakukan untuk berbagai produk pertanian, perikanan, pertambangan, dan terutama berbagai produk industri sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 591/PMK.010/2004. Kapasitas dan kelembagaan laboratorium uji

produk ekspor dan impor semakin diperkuat dan prosedur ekspor- impor disederhanakan, terutama dalam kaitannya dengan administrasi kepabeanan, dengan menghapuskan biaya untuk pengadaan dokumen ekspor-impor. Forum kerja sama perdagangan semakin ditingkatkan dengan beberapa negara, seperti dengan Cina (mulai efektif 14 juli 2005), dengan India, dan Jepang melalui Economic Partnership Agreement(EPA) dan Strategic Investment Action Plan (SIAP), serta dengan Amerika Serikat melalui Trade and Investment Council/TIC.

Standar produk melalui Standar Nasional Indonesia (SNI) dan menyelaraskan SNI dengan standar internasional melalui Mutual Recognition Agreement(MRA).

Dalam upaya peningkatan kinerja di bidang pariwisata, langkah- langkah kebijakan yang telah ditempuh antara lain peningkatan aksesibilitas bagi wisman untuk berkunjung ke Indonesia, melalui diberlakukannya Visa on Arrival (VoA) tambahan kepada 11 negara mitra utama di bidang pariwisata; penyederhanaan prosedur di bidang pariwisata bahari dan pengembangan pulau-pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia untuk mendorong peningkatan iklim investasi di bidang usaha pariwisata.

Untuk mendorong pertumbuhan dan memperkuat industri manufaktur, telah dilakukan pertemuan koordinasi dengan seluruh instansi terkait, khususnya dengan kalangan perbankan, hal itu dilakukan dalam upaya memberikan dukungan finansial bagi keperluan investasi beberapa subsektor industri yang memiliki daya saing seperti halnya TPT dan industri produk dan komponen alat transportasi. Upaya tersebut didukung sejumlah upaya meningkatkan kontribusi iptek pada sektor industri dengan menyempurnakan berbagai aspek di dalam mekanisme intermediasi antara keduanya. Selanjutnya, dilakukan pengembangan sejumlah fasilitas pendidikan kejuruan untuk mendukung upaya memacu pengembangan kapasitas SDM industri yang kompeten dan sesuai dengan keperluan pasar dalam rangka pengembangan daya saing industri. Demikian pula efektivitas bantuan teknis kepada IKM yang berdaya saing lebih ditingkatkan.

Dengan langkah-langkah tersebut, dicapai hasil yang menggembirakan. Sektor industri manufaktur pada triwulan pertama

2005 tumbuh rata-rata sebesar 8,1 persen. Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI) yang tumbuh paling tinggi adalah pupuk, kimia dan barang dari karet (KLUI 35); semen dan barang galian bukan logam (KLUI 36); dan alat angkut, mesin dan peralatannya (KLUI 38) masing-masing sebesar 19,8 persen; 13,6 persen; dan 13,5 persen. Perkembangan tiga KLUI tersebut di atas seiring dengan peningkatan utilisasi kapasitas produksi. Selain itu, pertumbuhan sektor industri yang tinggi juga diwarnai oleh perubahan kandungan teknologi produk ekspor dari produk ekspor berbasis sumberdaya alam dan berteknologi rendah ke produk ekspor berteknologi sedang/tinggi.

Sementara itu, di sektor pariwisata langkah-langkah kebijakan yang dilakukan, di tengah berkembang isu-isu negatif bencana alam, kesehatan dan terorisme (seperti tsunami, penyakit flu burung dan ancaman bom) terhadap kunjungan wisatawan mancanegara, telah berhasil mencegah penurunan kinerja pariwisata dalam kurun waktu Januari–Juni 2005 hanya sekitar 3,9 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2004.

Selanjutnya, sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit anggaran tahun 2004, privatisasi BUMN ditargetkan sebesar Rp5 triliun dari 10 BUMN yang siap diprivatisasi. Namun, mengingat saat itu kondisi pasar tidak kondusif untuk melakukan semua rencana privatisasi, realisasinya hanya mencakup 4 BUMN dari 10 BUMN yang direncanakan, yaitu PT Pembangunan Perumahan, PT Adhi Karya, PT Bank Mandiri, dan PT Tambang Batubara Bukit Asam dengan perolehan dana hanya sebesar Rp3,455 triliun atau 69,10 persen dari nilai yang telah ditargetkan.

Sementara itu, dalam upaya penyehatan BUMN, selama tahun 2004, Kementerian BUMN, telah melakukan restrukturisasi terhadap beberapa BUMN yaitu BUMN Perikanan dan BUMN Penerbangan, yaitu dengan melakukan kajian terhadap rencana merger. Upaya ini dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan.

Adapun upaya pemantapan pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) selama tahun 2004 telah dilaksanakan

penandatanganan Statement of Corporate Intent (SCI) oleh 75 perusahaan yang merupakan wujud dari transparansi pengelolaan usaha oleh BUMN. Sebagai tindak lanjutnya, Kementerian BUMN terus memonitor dan menilai, antara lain melalui audit pelaksanaan GCG,review terhadap temuan auditor GCG, dan memasukkan unsur- unsur tersebut dalam key performance indicator’s (KPI) penilaian kinerja direksi dan komisaris BUMN yang bersangkutan.

Dengan memerhatikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan KUMKM, kebijakan KUMKM dilaksanakan secara berkesinambungan, seiring dengan perubahan yang terjadi. Untuk menciptakan lingkungan usaha yang efisien, sehat dari persaingan, dan nondiskriminatif bagi kelangsungan dan peningkatan kinerja usaha UMKM, langkah yang paling mendasar adalah menyusun Rancangan Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk menyempurnakan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Diharapkan dalam waktu dekat setelah tersusun RUU Pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah dapat segera dilaksanakan pembahasannya.

Sementara itu, untuk mempermudah, memperlancar, dan memperluas akses UMKM kepada sumber daya produktif, di antaranya akses kepada modal, saat ini sedang dilakukan penyusunan RUU Penjaminan Kredit. Aspek penting yang dicakup di antaranya meliputi masalah kelembagaan, mekanisme penjaminan, prosedur pangawasan dan pembinaan yang terkait dengan penjaminan kredit. Selanjutnya, dilakukan juga perkuatan modal awal dan padanan (MAP), yang merupakan bentuk dukungan keuangan untuk meningkatkan usaha UMKM sebagai dana stimulan. Pada tahun 2004 telah dialokasikan dana MAP bagi lebih dari 4.000 UKM, melalui 200 KSP/USP-Koperasi di 30 provinsi. Pengembangan lembaga pengembangan bisnis (LPB) atau yang juga populer disebutBusiness Development Services-Providers(BDS-P) juga terus dilanjutkan. Pada tahun 2004 telah diberikan perkuatan terhadap 200 BDS dengan total penyediaan dukungan dana operasional sebesar Rp10 miliar. Dengan demikian, sejak tahun 2001 dan sampai akhir tahun 2004 ini telah dikembangkan 907 BDS di seluruh Indonesia.

Untuk mengembangkan kewirausahaan dan daya saing, telah ditingkatkan upaya penerapan dan kualitas kewirausahaan oleh PKM

dan calon-calon wirausaha baru, melalui antara lain pelaksanaan pelatihan kewirausahaan. Selanjutnya, untuk memberikan peluang yang lebih luas bagi UKM dalam rangka meningkatkan nilai tambah berbagai produk telah dilaksanakan kegiatan percontohan usaha dengan pola perguliran di sektor agribisnis yang dirintis di berbagai baerah meliputi pengembangan usaha sapi perah, sapi potong (penggemukan sapi), persusuan, usaha budi daya, pembibitan itik, usaha kambing, domba, perikanan, dan serat rami.

Dalam rangka memberdayakan usaha mikro melalui peningkatan produktivitas dan mutu produk telah dilakukan bimbingan/pemanfaatan teknologi tepat guna, sertifikasi label halal dan merek, standardisasi bagi produk-produk UKM dan pengembangan desain produk. Hingga saat ini telah dikembangkan sebanyak 1.006 sentra yang tersebar di seluruh Indonesia, melalui dukungan berupa penyediaan dana MAP dan pendampingan oleh lembaga pelayanan bisnis.

Selanjutnya, untuk mendorong kualitas koperasi, koperasi lebih diorong untuk lebih akuntabel, baik aspek kinerja maupun keuangan. Pelaksanaan akuntabilitas koperasi ini merupakan wujud pertanggungjawaban, yang diharapkan akan mendorong peningkatan kesejahteraan anggota dan kemajuan usaha koperasi yang bersangkutan.

Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan daya saing nasional, penguatan iptek difokuskan pada enam bidang prioritas, yang mencakup (1) ketahanan pangan, (2) sumber energi baru dan terbarukan, (3) teknologi dan manajemen transportasi, (4) teknologi informasi dan komunikasi, (5) teknologi pertahanan, dan (6) teknologi kesehatan dan obat-obatan. Selanjutnya, mekanisme intermediasi iptek dalam bentuk penataan aspek kelembagaan, regulasi, pola komunikasi, serta standardisasi lebih dikembangkan. Sementara itu, pengelolaan sumber daya iptek lebih ditata, antara lain melalui (1) penataan data dan informasi iptek dalam bentuk statistik dan indikator iptek, (2) optimalisasi sumber daya manusia dan fasilitas litbang, serta (3) perbaikan sistem pengelolaan litbang. Bersamaan dengan itu, pengembangan sistem inovasi nasional dalam rangka sinergi kebijakan lebih didorong dengan didukung oleh revitalisasi pola insentif iptek.

Beberapa hasil penting yang dicapai dalam 10 bulan terakhir, antara lain adalah (1) peluncuran roket balistik buatan Indonesia yang berdiameter 150 mm dan 250 mm untuk jenis RX-1110.01.01; RX- 1512.02.02; RX-2728.03.01 dan 2 jenis roket RX-70; (2) pengembangan biofuel gasohol E-10 (biodiesel sawit, biodiesel jarak pagar, dan bio-etanol) sebagai alternatif energi baru dan terbarukan ketahap produksi sehingga diharapkan layak bagi pasar energi; (3) persiapan pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami(Tsunami Early Warning System) di Indonesia yang melibatkan 13 institusi pusat. Saat ini telah disusun skenario besar Pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami. Sistem Peringatan Dini Tsunami tersebut nantinya akan merupakan bagian dari Regional Center baik untuk wilayah Indian Ocean maupun Pasific Ocean, sehingga merupakan

Network of Networks; (4) diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban lembaga litbang yang selama ini dibiayai oleh pemerintah agar dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.

3. Tindak Lanjut yang Diperlukan

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, peningkatan kinerja investasi ke depan masih sangat diperlukan. Oleh karena itu, langkah-langkah tindak lanjut yang masih diperlukan adalah merealisasikan penyelesaian RUU Penanaman Modal dan berbagai pelaksanaan terkait, termasuk di dalamnya pemberian insentif yang menarik. Perhatian lebih besar akan diberikan pada hal-hal terkait dengan tertib pelayanan dan tertib administrasi, termasuk di dalamnya perbaikan pelayanan perizinan dan administrasi birokrasi yang masih dikeluhkan oleh para investor, terutama investor asing.

Adapun dalam upaya terus mendorong peningkatan kinerja ekspor nasional sejumlah upaya tindak lanjut yang penting dilakukan antara lain adalah meneruskan harmonisasi tarif untuk seluruh produk

di dalam pos tarif nasional dan meningkatan efisiensi dan akuntabilitas prosedur ekspor-impor, yang mengarah kepaperless and on-line mechanism. Untuk memperluas akses pasar ke negara-negara tujuan ekspor, terutama pasar yang potential, akan lebih ditingkatkan kerja sama perdagangan internasional, termasuk pengembangan kebijakan perdagangan luar negeri yang menunjang bisnis dan persaingan. Dalam kaitan itu, lebih ditingkatkan jaringan informasi ekspor dan impor agar mampu merespons kebutuhan dunia usaha, terutama eksportir kecil dan menengah dan dikembangkan kebijakan fasilitasi perdagangan yang lebih efektif dan meningkatkan bantuan teknis dan finansial, terutama untuk eksportir UKM. Sementara itu, efisiensi perdagangan dalam negeri akan lebih ditingkatkan melalui pengembangan sistem distribusi nasional untuk mendukung kinerja ekspor nasional.

Untuk terus meningkatkan kinerja pariwisata, tindak lanjut utama yang diperlukan adalah memfasilitasi kerja sama pemasaran antarnegara, antarpusat dengan daerah, dan antarpelaku industri pariwisata dalam berbagai bentuk aliansi strategis, dan meningkatkan citra kepariwisataan nasional baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Langkah-langkah tersebut perlu didukung oleh berbagai sektor penting terkait, antara lain penyediaan infrastruktur dalam jumlah dan kualitas yang memadai.

Di samping penciptaan iklim yang kondusif bagi industri, peningkatan daya saing industri manufaktur ke depan akan dilakukan melalui penataan struktur industri, peningkatan kemampuan teknologi, dan pengembangan industri kecil dan menengah. Penataan struktur industri dimaksudkan untuk memperbaiki struktur industri nasional, baik dalam hal konsentrasi penguasaan pasar maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok bahan baku, bahan pendukung, komponen, dan barang setengah-jadi bagi industri hilir. Peningkatan kemampuan teknologi dan pengembangan industri kecil dan menengah dimuarakan dalam mendukung penataan industri nasional. Dengan demikian, upaya penataan ini memerlukan komitmen bersama dan berkelanjutan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

Sementara itu, upaya meningkatkan kinerja BUMN ke depan akan berlandaskan padaMaster Plan Revitalisasi BUMN 2005–2009 yang saat ini sedang dalam proses penyusunan. Upaya peningkatan

kinerja BUMN ini akan dilakukan secara bertahap melalui kebijakan reformasi BUMN yang menyelaraskan secara optimal kebijakan internal perusahaan dan kebijakan industrial serta pasar tempat BUMN tersebut beroperasi; memisahkan fungsi komersial dan pelayanan masyarakat pada BUMN; serta mengoptimalkan prinsip- prinsip Good Corporate Governance secara utuh dalam kerangka revitalisasi BUMN. Adapun langkah tindak penerapan kebijakan tersebut, antara lain (1) melanjutkan upaya peningkatan revitalisasi bisnis, yaitu meningkatkan shareholder value BUMN yang ada; (2) meningkatkan efektivitas manajemen BUMN, baik ditingkat

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 52-64)