• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2) Langkah-langkah Pendekatan Saintifik

Dalam mengamati siswa diminta menentukan obyek apa yang akan diobservasi sesuai dengan lingkup obyek yang akan diobservasi, membuat

pedoman observasi sesuai dengan lingkup obyek yang akan diobservasi baik primer maupun sekunder, serta menentukan letak obyek yang akan diobservasi dan media-media yang akan digunakan dalam observasi. b) Bertanya

Selain bertanya kepada siswa, pendidik juga harus membimbing atau memandu peserta didiknya dengan baik serta mendorong peserta didik untuk menjadi penyimak yang baik. Ketika peserta didik salah dalam menjawab, maka peranan pendidik adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir ulang, tetapi peserta didik sama sekali tidak bisa menjawab maka pendidik merubah pertanyaan tersebut. Proses ini akan merangsang aspek kognitif anak dalam memecahkan masalah serta membuat peserta didik berpikir divergen bukan konvergen.

c) Menalar

Istilah menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.

d) Mencoba

Dimasudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan dan pengetahuan.

Dimaksudkan agar siswa mampu mengkomunikasikan hasil dari pembelajaran yang didapatnya. Dalam pendekatan saintifik, proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah yaitu, sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge) Ranah sikap mengajarkan kepada siswa untuk “tahu mengapa”, ranah mengajarkan kepada siswa agar “tahu bagaimana” dan ranah sikap mengajarkan kepada siswa tentang “tahu apa”.

Selain lima langkah tersebut, dalam pembelajaran juga harus menyentuh tujuh kriteria pembelajaran. Kriteria-kriteria tersebut adalah:

a) Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu bukan hanya sebatas kira-kira, khayalan, atau dongeng semata.

b) Adanya komunikasi yang interaktif antara guru dengan siswa dan lingkungan sekitar, bukan hanya komunikasi antara guru dengan siswa atau komunikasi satu arah.

c) Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan pembelajaran.

d) Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan sama lain dari materi pembalajaran.

e) Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola pikir, yang rasional dan obyektif dalam merespon materi pembelajaran.

Berbasis pada konsep, teori dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. Pencapaian kriteria inilah yang disebut sebagai metode ilmiah (Modul guru, 2013).

e. Penilaian Otentik

Gronlund (1985) dengan jelas membedakan antara tes, pengukuran dan evaluasi. Tes merupakan sebuah instrument atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel tingkah laku, misalnya untuk menjawab pertanyaan “seberapa baik (tinggi) kinerja seseorang” yang jawabnya berupa angka. Pengukuran merupakan proses untuk memperoleh deskripsi angka (skor) yang menunjukkan tingkat pencapaian seseorang dalam suatu bidang tertentu, misalnya jawaban pertanyaan “seberapa banyak”. Penilaian merupakan proses sistematis dalam pengumpulan, analisis, dan penafsiran informasi untuk menentukan seberapa jauh seorang peserta didik mencapai tujuan pendidikan.

Penilaian otentik sebenarnya sudah lama dikenal dalam dunia pendidikan walau di Indonesia hal itu terkesan baru. Penilaian otentik baru ramai-ramai dibicarakan setelah pelaksanaan KTSP menyarankan penggunaan pembelajaran kontekstual, dan di pihak lain, penggunaan strategi pembelajaran itu menunjuk penggunaan penilaian otentik dalam hal pengukuran hasil pembelajaran peserta didik.

Penilaian otentik merupakan penilaian terhadap tugas-tugas yang menyerupai kegiatan membaca dan menulis sebagaimana halnya di dunia nyata dan di

sekolah. Tujuan dari penilaian otentik adalah untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata, sehingga keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada peserta didik untuk membaca berbagai teks aktual-realistik, menulis topik-topik tertentu sebagaimana halnya di kehidupan nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku, menulis untuk jurnal, surat, mengedit tulisan sampai siap cetak. Dalam kegiatan itu baik materi pembelajaran maupun penilaiannya terlihat atau bahkan alamiah.

Jadi, penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing

something, melakukan sesuatu yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan yang

telah dikuasai secara teoritis. Penilaian otentik menuntut pembelajaran mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan mengreasikan jawaban atau produk. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan penilaian hasil sekaligus. Dengan demikian, seluruh tampilan peserta didik dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin objektivitas, nyata, benar-benar hasil tampilan peserta didik, akurat, dan bermakna. Jadi, dengan menggunakan model penilaian otentik dalam kerja pengukuran hasil pembelajaran, hal itu sekaligus menjamin keadaan dan informasi yang sebenarnya tentang peserta didik. Jika seorang peserta didik mendapat nilai tinggi dalam tugas berbicara dan menulis, maka skor yang diperoleh peserta didik tersebut menunjukkan nilai hasil kompetensi yang sebenarnya.

Kunandar (2014), menjelaskan bahwa Penilaian otentik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) bisa mengukur semua aspek pembelajaran (sikap, pengetahuan dan keterampilan), (2) dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar, (3) memanfaatkan berbagai sumber dan cara untuk mendukung proses pembelajaran agar terlihat menarik dan mengaktifkan siswa, (4) menggunakan tes sebagai salah satu alat pengumpul data, (5) tugas-tugas yang dberikan oleh guru harus mencerminkan kehidupan nyata siswa (bersifat contextual), dan (6) menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa (bersifat kualitas), Sedangkan karakteristik penilaian otentik adalah (1) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, (2) mengukur keterampilan dan performansi, (3) berkesinambungan dan dilaksanakan secara terintegrasi, dan (4) digunakan sebagai feed back (umpan balik).

Menurut Mulyasa, (2013) prinsip-prinsip penilaian otentik adalah:

1) Objektif, berarti penilaian berbasis pada standardan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai.

2) Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan.

3) Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.

4) Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.

5) Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya. 6) Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.

Mueller (2008), mengemukakan sejumlah langka-langkah yang perlu ditempuh dalam pengembangan asesmen otentik, yakni meliputi (i) penentuan standar, (ii) penentuan tugas otentik, (iii) pembuatan criteria, dan (iv) pembuatan rubrik.

1) Penentuan standar

Standar dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan tentang apa yang harus diketahui dan dilakukan pembelajar. Standar dapat diobservasi dan diukur ketercapaiannya. Istilah umum yang dipakai di dunia pendidikan di Indonesia untuk standar adalah kompetensi sebagaiman terlihat pada KBK dan KTSP. Dalam kurikulum tersebut dikenal adanya istilah standar kompetensi lulusan dan kompetensi dasar. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan (PP No. 19 Tahun 2005), sedangkan kompetensi dasar adalah kompetensi atau standar minimal yang harus dicapai atau dikuasai oleh pembelajar.

Kompetensi menjadi acuan dan tujuan yang ingin dicapai dalam keseluruhan proses pembelajaran. Oleh karena itu, kompetensi apa yang akan dicapai haruslah yang pertama-tama ditetapkan. Standar kompetensi dan kompetensi dasar masih abstrak, maka kompetensi dasar kemudian dijabarkan menjadi sebuah indikator yang lebih operasional sehingga jelas kemampuan, keterampilan, atau kinerja apa yang menjadi sasaran pengukuran. Jadi, penentuan standar di sini tidak lain adalah penentuan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang menjadi acuan bersama kegiatan pembelajaran dan penilaian.

Tugas otentik adalah tugas-tugas yang secara nyata dibebankan atau harus dilakukan oleh pembelajar untuk mengukur pencapaian kompetensi yang dibelajarkan, baik ketikan kegiatan pembelajaran sedang berlangsung maupun ketika sudah berakhir. Tugas otentik sering disinonimkan dengan penilaian otentik walau sebenarnya cakupan makna yang kedua lebih luas. Pemilihan tugas otentik haruslah merujuk pada kompetensi mana yang akan diukur. Inilah yang khas dari penilaian otentik, pemilihan tugas-tugas itu haruslah mencerminkan keadaan atau kebutuhan yang sesungguhnya di dunia nyata. Jadi, dalam sebuah penilaian otentik mesti terkandung dua hal sekaligus sesuai dengan standar (kompetensi) dan relevan (bermakna) dengan kehidupan nyata. Dua hal tersebut haruslah menjadi acuan kita ketika membuat tugas-tugas otentik untuk mengeukur pencapaian kompetensi pembelajaran kepada peserta didik.

3) Pembuatan kriteria

Kriteria merupakan pernyataan yang menggambarkan tingat capaian dan bukti-bukti nyata capaian belajar seubjek belajar dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Kriteria lazimnya juga telah dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, kriteria lebih dikenal dengan sebutan indikator. Dalam lingkup penilaian otentik, sebuah kriteria penilaian hasil belajar harus cocok dengan kompetensi yang dibelajarkan dan sekaligus bermakna atau relevan dengan kehidupan nyata. Jumlah kriteria yang dibuat bersifat relatif, tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang pastinya kriteria harus mengungkap capaian hal-hal yang esensial dalam

sebuah standar (kompetensi) karena hal itu yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi pembelajaran.

Selain itu, pembuatan kriteria haruslah mengacu pada ketentuan-ketentuan yang selama ini dinyatakan baik, baik dalam arti efektif untuk keperluan penilaian hasil belajar. Ketentuan-ketentuan itu antara lain (i) tugas harus dirumuskan secara jelas, (ii) singkat padat, (iii), dapat diukur, dan karenanya haruslah dipergunakan kata-kata kerja operasional, (iv) menunjuk pada tingkah laku hasil belajar, apa yang mesti dilakukan dan bagaimana kualitas yang dituntut, dan (v) sebaiknya ditulis dalam bahasa yang dipahami oleh peserta didik.

4) Pembuatan rubrik

Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala penyekoran yang dipergunakan untuk menilai kinerja peserta didik untuk tiap kriteria terhadap tugas-tugas tertentu (Mueller, 2008). Rubrik dipergunakan untuk menentukan tinggi rendahnya pencapaian kinerja peserta didik. Dalam sebuah rubrik terdapa dua hal pokok yang harus dibuat, yaitu kriteria dan tingkat capaian kinerja tiap kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara esensial dan konkrit mewakili kompetensi yang diukur capaiannya. Kriteria haruslah dirumuskan atau dinyatakan singkat padat, komunikatif dengan bahasa yang gramatikal, dan benar-benar mencerminkan kompetensi yang diukur. Dalam sebuah rubrik, kriteria mungkin saja dilabeli dengan kata-kata tertentu yang lebih mencerminkan isi, misalnya denga kata “unsur yang dinilai”.

Tingkat capaian kinerja umumnya ditunjukkan berupa angka-angka, dan yang lazim adalah 1-4 atau 1-5, besar kecilnya angka sekaligus menunjukkan tinggi rendahnya capaian. Tiap angka tersebut biasanya mempunyai deskripsi verbal yang diwakili. Skor 5 menunjukkan kinerja sangat meyakinkan dan bermakna, sedangkan skor 2,3 dan 4 secara berturut-turut menunjukkan semakin baiknya kinerja dan kebermaknaannya. Bunyu deskripsi verbal haruslah sesuai dengan rubrik yang akan diukur. Penilaian tingkat pencapaian kinerja seorang peserta didik dilakukan dengan menandai angka-angka yang sesuai. Rubrik lazimnya ditampilkan dalam bentuk tabel, kriteria ditampilkan di sebelah kiri dan capaian di sebelah kanan tiap kriteria.

Rubrik dapat juga dibuat secara analitis dan holistik. Rubrik analitis menunjuk pada rubrik yang memberikan penilaian tersendiri untuk tiap kriteria. Jadi, tiap kriteria mempunya nilai tersendiri. Pada umumnya rubrik bersifat analisis. Rubrik holistik di pihak lain adalah yang tidak memberikan penilaian capaian untuk tiap kriteria. Penilaian capaian kinerja diberikan secara menyeluruh untuk seluruh kriteria sekaligus. Misalnya, penilaian diberikan dalam pernyataan verbal seperti: sedang, cukup, baik, amat baik; atau kurang memuaskan, memuaskan, amat memuaskan.

Ada beberapa jenis penilaian otentik, antara lain: 1) Penilaian kinerja

Kemampuan kinerja dimaksudkan untuk menguji kemampuan peserta didik dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, mengeujia apa yang mereka ketahui dan dapat dilakukan, sebagaimana ditemukan dalam situasi nyata dan dalam konteks tertentu.

2) Wawancara lisan

Wawancara lisan sebenarnya dapat juga disebut sebagai penilaian kinerja kebahasaan. Sesuai dengan namanya, dalam aktivitas ini terjadi tanya jawab antara pihak yang diwawancarai (peserta didik) dan wawancara (guru, penguji) tentang apa saja yang diinginkan terkait informasi oleh pewawancara. Namun, dalam konteks penilaian hasil pembelajaran bahasa tujuan utam kegiatan itu adalah untuk menialai kompetensi peserta didik membahasakan secara lisan informasi yang ditanyakan pewawancara dengan benar. Dalam konteks asesmen otentik benar atau kurang benarnya bahasa peserta didik tidak semata-mata dinilai dari ketepatan struktur kosa kata, melainkan ketepatan atau kejelasan informasi yang disampaikan sebagaimana halnya fungsi bahasa yang sebagai sarana komunikasi.

3) Pertanyaan terbuka

Penilaian dilakukan dengan memberikan penilaian (stimulus) atau tugas yang harus dijawab atau dilakukan oleh peserta didik secara tertulis atau lisan. Pertanyaan bukan sekadar pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban singkat dengan satu atau beberapa kata atau ya atau tidak. Pertanyaan haruslah yang memaksa peserta didik untuk mengreasikan jawaban yang sekaligus mencerminkan penguasaannya terhadap pengetahuan tertentu. Jadi, jawaban yang diberikan peserta didik meski berupa uraian yang menunjukan kualitas berpikir, mengembangkan argumentasi, menjelaskan sebab akibat sesuatu, dan akhirnya sampai pada kesimpulan. Namun, pertanyaan haruslah dibatasi pada persoalan tertentu

tertentu yang bermakna sehingga jawabannya relatif terbatas. Kemampuan peserta didik memilih atau mengreasikan pesan dan bahasa secara akurat dan tepat mencerminkan kualitas berpikir tingkat tinggi.

4) Menceritakan kembali teks atau cerita

Pemberian tugas menceritakan kembali biasanya dilakukan untuk mengukur pemahaman wacana yang didengar atau dibaca secara lisan atau tertulis. Pada prinsipnya terjadi integrasi antara beberapa kemampuan berbahasa. Misalnya, wacana yang dibaca (teks bacaan) dapat diceritakan kembali secara lisan dan tertulis. Kompetensi yang demikian dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, maka tugas ini cukup bermakna. Penilaian terhadap kinerja peserta didik, selain memperhitungkan ketepatan unsur kebahasaan, juga harus melibatkan ketepatan dan keakuratan isi atau informasi yang terkandung dalam wacana. Seain itu wacana yang dipilih untuk diperdengarkan atau dibaca haruslah kontekstual, relevan, dan yang sesuai dengan perkembangan pengalaman peserta didik.

5) Portofolio

Guru tentu sudah akrab dengan metode model ini, namun permasalahannya adalah bagaimana membuat, mendapatkan, dan mempergunakan portofolio peserta didik untuk menilai capaian pembelajarannya. Portofolio merupakan kumpulan karya peserta didik yang dikumpulkan secara sengaja, terencana, dan sistemik yang kemudian di analisis secara cermat untuk menunjukan perkembangan kemajuan mereka setiap waktu. Maka, seperti dikemukakan oleh Callison (2009), portofolio sebagai salah satu asesmen otentik tepat dipakai dalam penilaian

proses. Jika ada banyak karya yang dihasilkan peserta didik lewat berbagai tugas, (mungkin berbagai macam karya tulis, CD harian, atau hal-hal lain yang diberikan pihak lain seperti catatan harian, rekomendasi, dan piagam), perlu dipilih secara selektif karya-karya mana saja yang dapat dijadikan bahan untuk portofolio dengan mempergunakan kriteria tertentu. Misalnya, tugas-tugas yang relevan, bermakna, dan mengambarkan kemajuan serta capaian belajar.

6) Proyek

Proyek merupakan bentuk penugasan untuk menghasilkan karya tertentu yang dilakukan secara berkelompok (misalnya tiga orang) dalam kaitannya dengan penilaian hasil pembelajaran. Hasil kerja akhir proyek dapat berbentuk laporan tertulis, rekaman video, gabungan keduanya atau yang lain. Jadi, ia dapat berwujud tulisan, gambar, suara, aksi, atau perpaduan semuanya. Tugas proyek dapat berupa tugas melakukan penelitian kecil-kecilan (tetapi besar buat peserta didik). Misalnya, menganalisis unsur-unsur fiksi, menganalisis kandungan makna puisi anak-anak di koran minggu, menganalisis tajuk rencana bermuatan pendidikan di koran, mementaskan drama, dan lain-lain. Pemilihan toppik proyek sebaiknya didiskusikan dengan peserta didik dan dapat diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.

Tugas proyek merupakan kegiatan investigasi sejak perencanaan, pengumplan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data (Depdiknas, 2006), sampai pembuatan laporan. Untuk melakukan tugas ini, peserta didik diharapkan mampu bekerja bersama, pembagian tugas,

berdiskusi, dan pemecahan masalah yang semuanya merupakan usaha kolaboratif. Maka, tugas proyek dapat menunjukan kemampuan peserta didik dalam hal penguasaan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis informasi/data, sampai dengan pemaknaan dan penyimpulan. tugas proyek ini baik untuk dilaksanakan disekolah, namun cukup banyak menyita waktu, dilaksanakan sekali dalam satu semester tampaknya sudah cukup memadai.

Penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki pembelajaran untuk menunjukan kinerja secara bermakna yang merupakan penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan. Penilaian otentik meski berupa penilaian kinerja dan mesti bermakna, dalam arti tugas-tugas kinerja itu mencerminkan kebutuhan hidup di dunia nyata seperti dunia pekerjaan. Dalam penialaian kompetensi berbahasa, penilaian kinerja mesti berupa kinerja berbahasa secara aktif-produktif yang berupa berbagai aktivitas berbicara dan menulis yang membutuhkan konteks jelas. Penilaian otentik dipergunakan untuk penilaian proses dan memoergunakan rubrik untuk penyekoran. Penilaian otentik berfungsi saling melengkapi dengan penilaian tradisional yang berbentuk objektif. Bentuk penilaian otentik antara lain berupa penialaian kinerja (berbagai bentuk berbicara dan menulis), wawancara, menceritakan kembali teks atau cerita, membuat rangkuman, pertanyaan terbuka, portofolio, proyek, penilaian pribadi, dan jurnal. Prioritas Pembelajaran Bahasa (BI) adalah capaian kompetensi berbahasa. Maka, masalahnya adalah bagaimana

mengreasikan berbagai pengujian kompetensi bahasa, berbahasa, dan bersastra itu ke dalam model penilaian otentik.

Dokumen terkait