• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Lansia

60 tahun menurut pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1998. Penuaan adalah proses

alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan

berkesinambungan, sehingga menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan

biokimia pada tubuh. Perubahan tersebut mempengaruhi fungsi dan kemampuan

tubuh secara keseluruhan menyebabkan lansia memiliki beberapa penyakit atau

dalam keadaan sakit meningkat (Depkes 1998; Santrock, 2002).

Perkembangan lansia Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung

meningkat dengan semakin meningginya usia harapan hidup. Data Badan Pusat

Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2000

sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 persen dari jumlah keseluruhan penduduk

Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553 jiwa

(9,77 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia). Pada tahun 2020

diprediksikan jumlah lansia mencapai 28.822.879 jiwa (11,34 persen dari jumlah

keseluruhan penduduk Indonesia). Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar

keempat di dunia, selain itu Indonesia juga merupakan negara keempat dengan

jumlah lansia terbanyak, setelah China, Amerika dan India (Badan Pusat Statisik

Indonesia, 2011).

Seiring dengan bertambahnya jumlah lansia yaitu sekitar 12% dari

usia ini menggunakan sekitar 25% dari semua obat-obatan. Lansia menggunakan

banyak obat karena penyakit-penyakit kronik dan banyaknya penyakit serta gejala

yang sering diderita. Lansia mengalami perubahan fisiologis, sehingga mudah

mengalami reaksi dan interaksi yang merugikan. Lansia dapat memberikan

respons yang berbeda dari orang dewasa muda, dengan sering terjadi efek

samping atau efek toksik obat. Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang

terjadi pada lansia adalah 3 sampai 7 kali lebih banyak daripada orang dewasa

(Joyce & Evelyn, 1996).

Lansia di Amerika yang berusia di atas 65 tahun masuk bagian gawat

darurat akibat reaksi obat yang tidak diinginkan, jumlahnya lebih dari 175.000

pasien dalam setahun (Andri, 2009). Peneliti dari University of North Carolina di

Chapel Hill telah membuat daftar peresepan obat yang meningkatkan resiko jatuh

pada pasien berusia di atas 65 tahun. Mereka adalah kelompok usia yang biasa

menggunakan empat macam obat atau lebih. Studi di rumah sakit di New Castle,

NSW, Australia menunjukkan bahwa 30% dari lansia menerima 6-10 jenis obat,

dan 13% menerima lebih dari 10 jenis setiap harinya. Perawatan gawat darurat

untuk lansia dilaporkan hingga 22% disebabkan karena masalah kesalahan obat

(Hasriyanto, 2008). Kejadian merugikan akibat obat yang menyebabkan penderita

lansia harus dirawat inap sebanyak satu dari setiap tujuh penghuni panti jompo.

Obat yang paling banyak sebagai penyebab lansia harus dirawat inap adalah obat

anti-inflamasi non-steroid (AINS), psikotropika, kardiotonika digoxin dan

antidiabetika insulin (Cooper ,1999).

Pemakaian obat pada lansia memerlukan perhatian dan pertimbangan

kepada lansia, sering timbul respons yang berlebihan atau efek toksik serta

berbagai efek samping. Masalah tambahan yang juga mengakibatkan reaksi yang

merugikan dari obat-obat adalah pengobatan diri sendiri dengan obat-obat bebas,

memakai obat yang diresepkan untuk masalah kesehatan yang lain, menggunakan

obat yang diberikan oleh beberapa dokter, dosis yang berlebihan jika gejala-gejala

tidak mereda, menggunakan obat yang diresepkan untuk orang lain, dan tentunya,

proses penuaan fisiologis yang terus berjalan. Lansia mengonsumsi lebih banyak

obat dibandingkan dengan kelompok umur yang lain. Hampir sepertiga dari

semua obat dengan resep dokter yang digunakan di Amerika Serikat digunakan

oleh orang yang berusia lebih dari 65 tahun, dan hampir dua pertiga dari semua

lansia menggunakan suatu produk obat yang dijual bebas secara teratur (Joyce &

Evelyn, 1996).

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia menunjukkan dalam

pengobatan sendiri ada kecenderungan penggunaan obat menurun, tetapi

penggunaan obat tradisional dan cara tradisional meningkat dari tahun 1998 ke

tahun 2001 (Supardi, 2005). Golongan obat yang digunakan dalam pengobatan

sendiri adalah obat bebas sebesar 90,17% dan obat resep 9,83% (Ditjen POM,

1993).

Usia bertambah akan terjadi perubahan-perubahan fisiologis yang

berkaitan dengan proses penuaan yang mempunyai efek utama dalam terapi obat.

Beberapa perubahan fisiologis yang bisa berefek terhadap terapi obat pada lansia

adalah: pada mukosa rongga mulut elastisitas hilang, sehingga menjadi kering dan

pecah-pecah; sensitif terhadap obat yang membuat mulut kering; rentan terhadap

melemah dan sfingter esofagus bawah tidak bisa relaksasi; sulit menelan tablet

atau kapsul yang besar. Penurunan keasaman lambung dan peristaltik;

meningkatnya efek pengiritasi obat yang sangat asam (misal aspirin), perubahan

larut obat tertentu. Tonus otot kolon menurun, refleks defekasi hilang,

menggunakan laksatif secara berlebihan; aliran darah pada usus menurun; ekskresi

obat melambat; absorpsi obat melambat. Jantung dan sirkulasi, terjadi penurunan

curah jantung, dan penurunan aliran darah. Hati, mengalami penurunan fungsi

enzim; waktu biotransformasi lebih panjang; durasi kerja obat lebih lama dari

normal; resiko sensitivitas dan toksisitas obat lebih besar. Ginjal, mengalami

penurunan aliran darah, penurunan fungsi nefron (sel-sel ginjal), dan penurunan

laju filtrasi glomerulus; risiko akumulasi obat dan toksisitas (Joyce & Evelyn,

1996; Potter & Perry, 2005).

Terapi obat merupakan suatu cara hemat biaya untuk penatalaksanaan

masalah kesehatan yang berkaitan dengan umur. Respons obat pada lansia

kadang-kadang tidak dapat diramalkan karena variasi dalam sensitivitas terhadap

efek obat terapeutik dan efek toksiknya. Banyak obat yang mempunyai indikasi

terapeutik yang sempit, sehingga perawat harus secara konstan waspada terhadap

efek yang tidak dikehendaki. Obat memainkan suatu peran integral dalam

keseluruhan penatalaksanaan berbagai permasalahan kesehatan yang dihubungkan

dengan penuaan (Stanley & Beare, 2006).

Penggunaan banyak obat lebih sering terjadi pada pasien yang sudah lansia

dengan menderita lebih dari satu penyakit. Satu atau lebih diantaranya bersifat

kronis, sementara penyakit yang lain bersifat akut, jika tidak ditangani dengan

menyebabkan lansia mengkonsumsi banyak obat diantaranya adalah hipertensi,

gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus,

gangguan fungsi ginjal dan hati. Juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan

sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan,

penglihatan dan pendengaran (Darmansjah, 1994; Corsonello et al, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan 78% lansia menderita tidak kurang dari 4

macam penyakit, 38% menderita lebih dari 6 macam penyakit, dan 13%

menderita lebih dari 8 macam penyakit. Banyaknya penyakit yang diderita ini

sering menyulitkan seorang dokter membuat diagnosis yang tepat dan memberi

pengobatan yang rasional. Sehingga sering dijumpai, dokter meresepkan obat

secara berlebihan (over prescribing) atau memberikan obat tidak tepat (incorrect

prescribing) pada penderita lansia (Mustofa,1995) .

Perawat berada pada posisi yang ideal untuk memantau respons klien

terhadap pengobatan, memberikan pendidikan untuk klien dan keluarga tentang

program pengobatan dan menginformasikan kepada dokter efektifitas atau

ketidakefektifan obat serta obat yang tidak dibutuhkan lagi. Perawat harus

memantau apakah seorang klien menerima obat pada waktunya dan mengkaji

kemampuan klien untuk menggunakan obat secara mandiri. Perawat yang berada

di dalam masyarakat dapat memberikan konseling mengenai penggunaan obat

yang aman bagi lansia, memberikan penyuluhan dan pendidikan terkait konsumsi

obat yang aman bagi lansia. Perawat juga dapat melakukan kunjungan rumah

terhadap klien lansia yang mempunyai penyakit kronik yang setiap hari

mengkonsumsi obat, perawat dapat membuat catatatan berupa catatan pengobatan

Fungsi dan peran perawat dalam pemberian obat bagi pasien meliputi

peran perawat sebagai tenaga pengelola obat, peran perawat dalam mengobservasi

reaksi dan efek samping obat, fungsi perawat dalam pelaksanaan kolaborasi

dengan dokter dan apoteker, serta fungsi perawat dalam pemberian obat yang

telah tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat sebagai tenaga

pengelola obat (81,67%), peran perawat dalam mengobservasi reaksi dan efek

samping obat (87,50%), fungsi perawat dalam pelaksanaan kolaborasi dengan

dokter dan apoteker (98,33%), fungsi perawat dalam pemberian obat yang telah

tersedia (84,50%) (Muntasir, 2007).

Pengelolaan obat sangat penting dalam mempertahankan dan

meningkatkan kesehatan yang baik bagi lansia. Perawat dapat bekerja secara

kolaboratif dengan klien untuk memastikan penggunaan semua obat dengan aman

dan tepat. Klien harus diajarkan nama obat-obatan yang digunakan, kapan dan

bagaimana menggunakannya, dan efek obat yang diharapkan serta yang tidak

diharapkan. Perawat juga mengajarkan bagaimana menghindari efek merugikan

atau interaksi obat dan bagaimana membentuk dan mengikuti pola pemberian obat

secara mandiri dengan tepat (Potter & Perry, 2005).

Perawat harus merencanakan strategi dengan lansia dan keluarga serta

teman mereka untuk mengurangi masalah-masalah yang mungkin terjadi. Dengan

hanya memberikan perintah pengobatan tidak menjamin klien dapat meminum

obat atau memakai obat dengan benar contohnya, obat seperti ibuprofen dapat

mengiritasi saluran gastrointestinal, sehingga seringkali membuat lansia tidak

sebelum pemberian ibuprofen untuk mengurangi efek samping (Joyce & Evelyn,

1996).

Obat-obat yang sering dikonsumsi oleh lansia, seperti obat analgesik

(terutama aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen) digunakan oleh 30 sampai 40 %

lansia, banyak yang menggunakan lebih dari satu butir analgesik secara

bersama-sama. Vitamin dan pelengkap makanan digunakan oleh 1 dari tiap 3 orang yang

berusia 65 tahun. Lansia sering juga memakai obat laksatif. Hampir 10% orang

yang berusia lebih dari 65 tahun mengakui menggunakan laksatif secara teratur,

dan menjadi ketergantungan, penggunaannya meningkat seiring dengan

peningkatan usia (Stanley & Beare, 2006).

Kriteria penggunaan obat rasional adalah tepat diagnosis, tepat indikasi

penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis (dosis, jumlah, cara, waktu dan lama

pemberian obat harus tepat), waspada terhadap efek samping. Dengan penggunaan

obat yang rasional membuat konsumsi obat menjadi aman (Direktorat bina

penggunaan obat rasional, 2008).

Terbentuknya suatu perilaku baru dimulai pada domain kognitif.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan

lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penerimaan

perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses pengetahuan, kesadaran dan

sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat lama (long lasting).

Pengetahuan akan menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap dan akan

diekspresikan dalam bentuk tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari

pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki (Notoatmodjo, 2003).

Hasil studi pendahuluan pada tanggal 12 Juni 2012, lansia yang berada di

Posbindu Cempaka mendapatkan obat dari warung, Posbindu Cempaka,

Puskesmas, Rumah sakit, dan apotik. Lansia mencari obat bila ada keluhan yang

dirasakan, bila keluhan ringan seperti flu, pilek, batuk dan demam membeli obat

yang ada di warung, bila keluhan sudah mulai berat maka lansia datang ke

puskesmas atau ke Rumah sakit. Konsumsi obat sesuai dengan yang telah

diresepkan oleh dokter dan meminum obat tersebut sampai habis, bila keluhan

masih terasa atau keluhan datang lagi lansia membeli obat ke apotik dengan resep

ataupun tanpa resep dari dokter. Menurut kader lansia biasanya diberikan obat

paling sedikit 3 macam obat. Lansia mengaku jenuh dengan banyaknya obat yang

diminum dan harus teratur, sehingga terkadang mereka tidak patuh minum obat.

Dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat pemakaian obat yang tidak

aman dikonsumsi pada lansia dan atas dasar teori diatas, maka peneliti tertarik

untuk meneliti hubungan pengetahuan dan sikap lansia tentang konsumsi obat

yang aman terhadap perilaku minum obat di Posbindu Cempaka, RW 06,

Kelurahan Cempaka Putih Ciputat.

B. Rumusan Masalah

Dilihat dari latar belakang di atas dengan semakin banyaknya jumlah

lansia, dan makin banyak lansia yang mengkonsumsi obat, maka peneliti

lansia tentang konsumsi obat yang aman terhadap perilaku minum obat di

Posbindu Cempaka, RW 06, Kelurahan Cempaka Putih Ciputat?”.

C. Pertayaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang

aman di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat?

2. Bagaimana gambaran sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman di

Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat?

3. Bagaimana perilaku minum obat lansia di Posbindu Cempaka Kelurahan

Cempaka Ciputat?

4. Adakah hubungan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman

dengan perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka

Ciputat?

5. Adakah hubungan sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman dengan

perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat?

D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap lansia terhadap

perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka, Ciputat.

2. Tujuan khusus

a. Melihat gambaran pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang

b. Melihat gambaran sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman di

Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat

c. Melihat gambaran perilaku minum obat lansia di Posbindu Cempaka

Kelurahan Cempaka Ciputat

d. Mengetahui hubungan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat

yang aman dengan perilaku minum obat di Posbindu Cempaka

Kelurahan Cempaka Ciputat.

e. Mengetahui hubungan sikap lansia terhadap konsumsi obat yang

aman dengan perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan

Cempaka Ciputat.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi institusi tempat penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam melaksanakan program

yang bersifat perilaku minum obat di lansia. Sebagai program promosi

konsumsi obat yang aman bagi lansia.

2. Bagi pendidikan keperawatan

Diharapkan dapat memperluas bahasan yang berkaitan dengan lingkup

keperawatan gerontik (lansia). Dalam hal ini dikhususkan pada

pengetahuan dan sikap lansia tentang konsumsi obat yang aman bagi

lansia terhadap perilaku minum obat yang hingga pada saat ini masih

3. Bagi peneliti

Merupakan hal yang sangat menarik bagi peneliti, karena yang dihadapi

yaitu lansia yang memerlukan perawatan yang komprehensif dan dapat

menambah wawasan tentang pengetahuan dan sikap lansia tentang

konsumsi obat yang aman bagi lansia terhadap perilaku minum obat.

4. Bagi peneliti selajutnya

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengetahuan dan

sikap lansia tentang konsumsi obat yang aman bagi lansia terhadap

perilaku minum obat untuk dapat mengembangkan penelitian-penelitian

selanjutnya.

F.Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif-korelasional,

dengan menggunakan metodologi penelitian cross sectional. Data dikumpulkan

dengan cara penyebaran kuesioner terkait pengetahuan dan sikap lansia tentang

konsumsi obat yang aman bagi lansia terhadap perilaku minum obat. Populasi

dalam penelitian ini yakni lansia yang tercatat di Posbindu Cempaka, RW 06,

Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat dengan teknik sampling yakni purposive

sampling dimana obyek datang dan memenuhi ktiteria pemilihan dimasukkan

12

A. Lansia 1. Definisi

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun keatas

karena adanya proses penuaan berakibat menimbulkan berbagai masalah

kesejahteraan dihari tua (Mangoenprasodjo, 2005). Ada dua pandangan

tentang definisi lansia, yaitu pandangan orang barat yang tergolong lansia

adalah orang yang sudah berumur 65 tahun keatas, dimana usia ini akan

membedakan seseorang masih dewasa atau sudah lanjut, sedangkan

pandangan orang Indonesia, lansia adalah orang yang berumur lebih dari 60

tahun karena dipakai sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampaknya

ciri-ciri ketuaan (Santrock, 2002).

2. Karakteristik Lansia

Menurut Keliat dalam Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai

berikut:

a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13

tentang kesehatan).

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai

sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spritual, serta dari kondisi

adaptif hingga kondisi maladaptif.

3. Konsep Menua

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap

infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).

Perubahan menjadi tua adalah perubahan alami yang akan dilalui

oleh setiap orang saat memasuki lansia. Selama proses ini akan terjadi

penurunan sejumlah sel-sel tubuh baik bentuk maupun jumlahnya, yang

tentunya berpengaruh pada fungsi organ-organ tubuh lainnya. Perubahan juga

terjadi dalam aspek sosial berupa kehilangan pekerjaan, pensiun, kehilangan

pasangan dan terpisah dengan anak. Selain itu juga terjadi perubahan kejiwaan

berupa daya ingat yang menurun, cepat lupa, mudah sedih, mudah

tersinggung, mudah frustasi, merasa kesepian, dan takut kemandirian hilang

(Nugroho dalam Maryam, 2008).

Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat

menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan

sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan

kematian (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2006).

Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer,

merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai

pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun,

terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk menundanya, sedangkan

penuaan sekunder merupakan hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan

seseorang (Busse,1987; J.C Horn & Meer,1987 dalam Papalia, Olds &

Feldman, 2005). Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua

merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss).

Watson (2003) mengungkapkan bahwa lansia mengalami

perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan-perubahan sel, sistem persarafan, sistem

pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan

suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari,

sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan

perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan-perubahan ingatan (memori). Berdasarkan

perbandingan yang diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang

berbeda, sebagian besar organ tampaknya mengalami kehilangan fungsi

sekitar 1 persen per tahun, dimulai pada usia sekitar 30 tahun (Setiati,

Harimurti & Roosheroe, 2006).

4. Perubahan Fisiologis Pada Lansia

Perubahan fisiologis bervariasi pada setiap lansia yang umumnya

diantisipasi oleh lansia. Perubahan ini bukan proses patologis, perubahan ini

terjadi pada semua orang tetapi pada kecepatan yang berbeda dan tergantung

pada kehidupan. Perubahan-perubahan fisiologis tersebut mempunyai efek

utama dalam terapi obat, seperti: pada gastrointestinal, akan terjadi

peningkatan Ph (asam) lambung, penurunan peristaltik yang menyebabkan

terhambatnya waktu pengosongan usus halus. Sistem vaskuler akan terjadi

penurunan curah jantung dan penurunan aliran darah. Hati akan terjadi

penurunan aliran darah, penurunan nefron-nefron yang berfungsi (sel-sel

ginjal), dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Pada lansia, obat-obat yang

bersifat asam kurang diserap karena sekresi lambung yang basa, dan obat-obat

lebih lama berada di dalam saluran gastrointestinal karena berkurangnya

motilitas lambung. Lansia mengalami penurunan curah jantung dan penurunan

aliran darah, sehingga mempengaruhi aliran darah kehati dan ginjal,

menyebabkan setelah usia 65 tahun, fungsi nefron berkurang sampai 35%, dan

setelah usia 70 tahun, aliran darah ke ginjal berkurang sampai 50%. Disfungsi

hati dapat dialami oleh lansia akibat menurunnya fungsi enzim, dan juga

menurunnya kemampuan hati untuk memetabolisir dan mendetoksikasi

obat-obat, sehingga meningkatkan risiko toksisitas obat (Joyce & Evelyn, 1996).

Dengan adanya disfungsi hati dan ginjal, efektivitas dari suatu

dosis obat biasanya berkurang. Pemakaian obat yang banyak dapat

meningkatkan efek obat dan ekskresi obat pada orang lansia. Hati dan ginjal

adalah 2 organ utama yang bertanggung jawab untuk klirens (bersihan) obat

dari tubuh. Jika efisiensi kedua sistem tubuh ini berkurang, maka waktu paruh

obat diperpanjang dan toksisitas obat mungkin terjadi. Perawat perlu menilai

fungsi ginjal dan memantau keluaran urin dan nilai-nilai laboratorium dari

nitrogen urea darah (BUN=Blood Urea Nitrogen)dan kreatinin serum (Cr).

Untuk menilai fungsi hati, enzim-enzim hati perlu diperiksa. Kadar yang

meningkat menunjukkan adanya kemungkinan disfungsi hati. Faktor-faktor

yang menunjang terjadinya reaksi yang merugikan pada orang lansia adalah

berkurangnya tempat pengikatan pada protein, yang meningkatkan jumlah

waktu paruh obat yang memanjang akibat menurunnya fungsi hati dan ginjal.

Interval waktu antara dosis suatu obat mungkin perlu ditambah untuk klien

lansia. Penilaian untuk efek-efek yang merugikan merupakan proses yang

terus-menerus dalam merawat orang lansia (Joyce & Evelyn, 1996).

B. Masalah Obat Pada Lansia

Dokumen terkait