BAB II KAJIAN TEORI
KAWASAN PENELITIAN
4.2 Lapangan Merdeka Medan
Lapangan Merdeka adalah sebuah alun-alun di Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Letaknya di area Kesawan, tepat di pusat kota, dan merupakan titik nol Kota Medan seperti ditetapkan pemerintah kota Medan. Secara administratif, lokasinya berada dalam Kecamatan Medan Petisah. Lapangan Merdeka dikelilingi berbagai bangunan bersejarah dari zaman kolonial Hindia Belanda, di antaranya Kantor Pos Medan, Hotel De Boer (Dharma Deli), Gedung Balai Kota Lama dan Gedung de Javasche bank (Bank Indonesia). Di sekelilingnya juga ditanami pohon trembesi yang sudah ada sejak zaman Belanda (Gambar 4.6)
Gambar 4.6 Lokasi Lapangan Merdeka Medan
Alun-alun ini direncanakan pembangunannya sejak 1872, sejalan dengan kepindahan Kesultanan Deli dan pusat administrasi bisnis perusahaan perkebunan dari Labuhan Deli ke Medan. Lapangan ini aktif digunakan sejak 1880.
4.2.1 Lapangan Merdeka Sebagai Saksi Sejarah Kota Medan A. Periode Kolonial Belanda
Lapangan Merdeka Medan adalah merupakan ruang terbuka publik di pusat kota Medan yang telah ada sejak masa kolonial Belanda. Perkembagan Kota Medan dimulai dari perpindahan ibukota (pada saat itu Sumatra Timur) dari Labuhan Deli ke tanah konsesi Kesultanan Deli di Kesawan, Belanda mulai mengembangkan infrastruktur untuk menunjang seluruh aktivitas perkebunan yang mereka kembangkan. Merunut pada pola perencanaan wilayah dunia Barat, pada tahun 1880an, Belanda membuat satu lapangan yang disebut Esplanade, sebagai titik sumbu seluruh bangunan administrasi di sekelilingnya seperti De Javasche Bank (Bank Indonesia), stasiun kereta api, kantor perhubungan udara (Kantor Pos), Hotel De Boer (Hotel Dharma Deli) dan balai kota (Old City Hall), (Gambar 4.7).
Gambar 4.7 Esplanade Tahun 1895 Sumber : akhirmh.blogspot, 20
Pada Tahun 1885, dengan resmi berdirinya berdirinya Deli Spoor Weg dan Stasiun Besar Medan di sebelah Timur Esplanade. Esplanade memenuhi kebutuhan akan ruang terbuka di depan stasiun KA sebagai ruang transisi untuk berganti moda transportasi dan ruang terbuka hijau yang mengantarkan pejalan kaki dari stasiun ke hotel yang ada di sebelah selatan Esplanade (Husni Thamrin, 2003: 18).
Esplanade menjadi saksi peristiwa bersejarah yang terjadi di Kota Medan, diantara upacara penyambutan pilot pesawat yang mendarat pertama kali di Medan pada 22 November 1924. Peristiwa bersejarah ini diawali niat seorang penerbang asal Belanda bernama Braham Nicolass Jan Thomassen atau lebih dikenal dengan nam Jan Van Der Hoop, yang berusaha memecahkan rekor penerbangan dari Amsterdam ke Batavia. Rute udara Amsterdam ke Batavia berhenti di 21 kota termasuk Medan (Gambar 4.8).
Gambar 4.8 Pesawat Pertama yang Mendarat di medan Sumber : Tropen Museum
B. Periode Pendudukan Jepang
Pada tahun 1942 di era pendudukan Jepang, nama Esplanade dirubah menjadi Fukuraido yang juga bermakna “Lapangan di tengah kota”. Pada era ini fungsi Fukuraido dipergunakan sebagai tempat dilangsungkannya upacara-upacara resmi pemerintahan Jepang.
C. Periode Pasca Kemerdekaan (Orde Lama)
Dengan takluknya Jepang pada tentara sekutu, proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan namun pada awalnya proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 kurang disambut antusias masyarakat Medan karena mendengar bahwa setelah menaklukkan Jepang, sekutu akan mendarat.
Namun setelah Jepang mengumumkan di Medan bahwa mereka telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 22 Agustus 1945, para pemimpin di Medan berkeinginan untuk menyuarakan berita kemerdekaan
Republik Indonesia (Proklamasi) di depan seluruh masyarakat kota Medan.
Pengumuman resmi tersebut baru dapat direalisasikan pada tanggal 6 Oktober 1945, setelah pengambilalihan kantor-kantor jawatan Jepang, pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dam Komite Nasional Indonesia.
Pembacaan proklamasi dan pengibaran Bendera Merah Putih pada Oktober 1945 menjadi momentum untuk mengubah nama lapangan Fukuraido menjadi Lapangan Merdeka Medan. Lapangan Merdeka kemudian menjadi salah satu simbol bahwa Indonesia khususnya kota Medan sudah tidak lagi berada dalam kekuasaan pendudukan Jepang. Peralihan nama menjadi Lapangan Merdeka dilakukan dan disahkan Wali Kota Medan saat itu, Luat Siregar pada 9 Oktober 1945. Seiring waktu Lapangam Merdeka Medan menjadi tempat banyak peristiwa bersejarah di kota Medan. Pada tanggal 29 November 1949 Lapangan Merdeka menjadi tempat berkumpulnya masyarakat kota Medan mendengarkan pidato Mohammad Hatta dalam perjalanannya mengunjungi daerah-daerah di Indonesia, pada pidato tersebut beliau menjelaskan hasil Konferensi Meja Bundar (Gambar 4.9).
Gambar 4.9 Pidato Mohammad Hatta Tahun 1949 di Medan Sumber : ANRI, RVD 91129AA4
Setelah akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia resmi dibentuk, pada 17 Agustus 1950 dilakukan upacara peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-5 bertempat di Lapangan Merdeka. Perayaan ulang tahun hari proklamasi tersebut berlangsung dengan khidmat dan meriah. Diawali berkumpulnya masyarakat kota Medan untuk melakukan upacara di pagi hari, dilanjutkan mendengarkan relay radio dari Jakarta yang berisi pidato Presiden Soekarno, pada siang hari dilakukan pawai yang rutenya diawali dari Lapangan Merdeka, lalu sore hari diadakan pertunjukan musik (Gambar 4.10).
Gambar 4.10 Parade Militer RI pada Peringatan Hari Proklamasi Tahun 1950 di Lapangan Merdeka Medan
Sumber : akhirmh.blogspot, 2016
Pada 5 Desember 1955, Lapangan Merdeka menjadi tempat Presiden Soekarno berpidato pada rapat raksasa yang diadakan dalam rangka perjalanan beliau mengunjungi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan (Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Pidato Presiden Soekarno Tahun 1955 Ketika Kunjungan ke Medan (Sumber : ANRI, Kepmen 551205 AA 13)
Lapangan Merdeka juga menjadi tempat dilangsungkannya rapat raksasa menyambut kembalinya Undang-Undang Dasar 1945 pada 19 April 1959 (Gambar 4.12).
Gambar 4.12 Rapat Raksasa Menyambut berlaku kembalinya UUD 1945 Sumber : ANRI, Kepmen 590419 AA 1
Selama masa pasca kemerdekaan atau sering disebut Masa Orde Lama, Lapangan Merdeka difungsikan sebagai alun-alun kota dan merupakan titik nol dari kota Medan.
D. Periode Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Lapangan Merdeka tidak mengalami perubahan fungsi signifikan, Lapangan Merdeka tetap berfungsi sebagai alun-alun kota, tempat dilangsungkannya upacara-upacara resmi dan perayaan penting baik skala daerah maupun nasional, serta menjadi pusat kegiatan publik.
E. Periode Reformasi
Pada masa Reformasi, Lapangan Merdeka mengalami perubahan / penambahan fungsi ekonomi. Walikota Abdillah menggagas pendirian pusat
kuliner Medan yang dinamakan Merdeka Walk pada tahun 2005, dengan mamanfaatkan lahan di sekitar Lapangan Merdeka Medan (Gambar 4.13).
Gambar 4.13 Suasana Merdeka Walk di Malam Hari (Sumber : Dokumentasi Peneliti)
Keberadaan Merdeka Walk menambah tujuan wisata kuliner di kota Medan, serta tentunya memberi kontribusi terhadap perkembangan perekonomian kota Medan.
4.2.2 Perubahan Fisik pada Lapangan Merdeka dari Waktu ke Waktu
Menilik dari perjalanan sejarah yang telah dilalui Lapangan Merdeka Medan, dapat kita ketahui bahwasanya telah tejadi perubahan pada fisik Lapangan tesebut yang terjadi seiring berjalannya waktu dan pergantian periode. Perubahan-perubahan tesebut diantaranya dapat dilihat dari peta perkembangan kawasan sekitar Lapangan Merdeka dibawah ini (Gambar 4.14).
Gambar 4.14 Peta Perubahan Kawasan Sekitar Lapangan Merdeka Medan Sumber : Arsip Badan Warisan Sejarah
Perubahan fisik Lapangan Merdeka Medan pada periode awal dibangunnya dapat dilihat dari beberapa foto di bawah ini (Gambar 4.15 - 4.17).
Gambar 4.15 Suasana Lapangan Merdeka pada tahun 1880-an Sumber : Tropen Museum
Gambar 4.16 Suasana Lapangan Merdeka pada tahun 1905 Sumber : ANRI, KIT Sumut 266/22
Gambar 4.17 Foto Udara Lapangan Merdeka pada tahun 1930 oleh EMF Eijsberg-Klasser. Sumber : Arsip Badan Warisan Sejarah, 2012
Dahulu pada Lapangan Merdeka terdapat dua buah monumen yang kini telah tidak ada lagi yaitu Monumen Tamiang dan Jambur Lige yang sering juga disebut Geriten (Gambar 4.18 - 4.19).
Gambar 4.18 Monumen Tamiang pada Tahun 1910 Sumber : akhirmh.blogspot, 2016
Gambar 4.19 Foto Jambur Lige pada Tahun 1948 oleh Capt. George S. White Sumber : karosiadi.blogspot, 2018
Monumen Tamiang adalah monumen yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1894, untuk mengenang para korban Perang Tamiang (1893) yang banyak diantaranya adalah tentara Belanda dan prajurit Kesultanan Deli.
Jambur Lige adalah sebuah bangunan yang merupakan kombinasi dari Jambur (tempat persidangan atau runggu masyarakat adat Karo) dengan Geriten (rumah tengkorak, dari sinilah bangunan ini dikenal sebagai jambur Lige, dikarenakan bagian bawah bangunan berbentuk jambur sedangkan bagian atap berbentuk Lige-Lige yaitu alat untuk membawa jenazah orang besar ke makam yang ditarik menggunakan tali dan roda.
Kedua monumen tersebut merupakan artefak yang sangat berharga bagi pengetahuan sejarah perkembangan kota Medan namun sekarang sudah tidak dapat lagi dinikmati pengunjung Lapangan Merdeka Medan. Pada masa sekarang ini hanya tinggal 1 monumen bersejarah yang tersisa di Lapangan Merdeka Medan yaitu Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia yang dibangun untuk mengenang perjuangan dari para pemuda yang mengibarkan sang saka merah putih secara resmi di Kota Medan, pada tanggal 6 Oktober 1945. Monumen ini diresmikan pada tanggal 9 Agustus 1986 oleh Almarhum Jenderal (Purn) Achmad Thaher.
Namun saat ini kondisi monumen memprihatinkan dan tak terurus (Gambar 4.10).
Gambar 4.20 Foto Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia Salah satu periode yang memberi kontribusi besar terhadap perubahan fisik Lapangan Merdeka adalah masa Reformasi. Pada tahun 2003 Walikota Abdillah merelokasi para pedagang buku bekas yang sebelumnya berjualan di titi gantung ke sisi Timur Lapangan Merdeka dengan membangun bangunan permanen untuk mengakomodir aktifitas berjualan para pedagang buku, langkah ini diambil dengan pertimbangan Titi Gantung yang tadinya berada didekat stasiun kereta api Medan, adalah cagar budaya peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Bangunan tempat berjualan buku bekas tersebut dapat dilihat langsung dari Stasius Kereta Api Medan (Gambar 4.21).
Gambar 4.21 Deretan Kios Pasar Buku Bekas Sumber : semedan.com, 2016
Selanjutnya pada tahun 2005 masih dibawah kepemimpinan Walikota Abdillah, pemerintah kota Medan menggagas pendirian Merdeka Walk sebagai salah satu pusat kuliner Medan. Kontrak yang disepakati dengan pihak investor berbentuk hak konsesi, yang mana pada saat masa perjanjian kerja sama berakhir maka aset dan bangunan yang berupa bangunan-bangunan permanen, akan diserahkan kepada Pemko Medan (Gambar 4.22).
Gambar 4.22 Suasana Merdeka Walk
4.2.3 Lapangan Merdeka Sebagai Tempat Interaksi Sosial Budaya Masyarakat Kota Medan
A. Periode Kolonial Belanda
Pada masa pemerintah kolonial Belanda, seperti umumnya lapangan pusat kota di negara-negara Eropa terutama Belanda, Esplanade berfungsi sebagai tempat dilangsungkannya pertunjukan pawai, pawai miniatur perahu dalam skala menengah, pasar malam, dan liga sepak bola. Esplanade pada masa kolonial dijadikan dan dianggap sebagai pusat interaksi sosial masyarakat serta sebagai simbol kemajuan dan keberadaban suatu budaya (dalam hal ini Belanda), di lapangan ini hanya orang-orang dengan kelas sosial ekonomi yang dipandang cukup tinggi yang dapat dengan bebas berkunjung dan saling berinteraksi (Gambar 4.23).
Gambar 4.23 Suasana Esplanade Tahun 1893 Sumber : MEDAN BEELD VAN EEN STAD, 1997
Pada tahun 1895 di Esplanade diadakan pertandingan sepakbola antara kesebelasan dari Penang melawan kesebelasan Medan. Antara tahun 1900
sampai dengan tahun 1907 Esplanade menjadi homebase klub sepakbola pertama di kota Medan yang bernama Medan Sport Club. Pada saat itu pemerintah kolonial melarang klub pribumi untuk menggunakan Esplanade.
Setelah Medan resmi menjadi Gementee paha tahun 1909, disekitar Esplanade berdiri bangunan-bangunan penting seperti : Kantor Pos (titik nol kota), Balai Kota, Bank Java, Kantor NHN, Kantor Harison dan Crossfield.
Sejak saat ini acara ulang tahun ratu Belanda, penyambutan tamu Negara dan acara kenegaraan besar lainnya selalu diadakan di Lapangan Merdeka, Esplanade memenuhi kebutuhan kota akan sebuah lapangan yang bernilai politik dan ekonomis (Husni Thamrin, 2003: 18).
Pada tahun 1923 di Esplanade diadakan pasar malam besar selama seminggu dan kemudian diadakan sekali dalam setahun (Gambar 4.24).
Dengan adanya festival ini, Esplanade telah memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka untuk aktifitas sosial, budaya dan ekonomi (Husni Thamrin, 2003: 19).
Gambar 4.24 Pasar Malam di Esplanade Tahun 1923 Sumber : MEDAN BEELD VAN EEN STAD, 1997
Pada Tahun 1927 Espalanade yang sebelumnya secara regular digunakan sebagai lapangan olahraga (Gambar 4.25), dijadikan sebuah taman kota dengan kecenderungan menggunakan pola taman Inggris, dimana secara regular club sociteet mengadakan pertunjukan musik di bagian utara Esplanade (di depan gedung socieet).
Gambar 4.25 Tribun Penonton Sepak Bola di Esplanade Tahun 1925 Sumber : akhirmh.blogspot, 2016
B. Periode Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang setelah nama Esplanade diganti menjadi Fukuraido, didirikan tugu kemenangan bala tentara Jepang di Sumatera (Gambar 4.26). Hal ini semakin menguatkan bukti bahwa Lapangan Merdeka memiliki nilai politik dimana lapangan menjadi tempat pengakuan kekuasaan (Husni Thamrin, 2003: 19). Pada masa ini Fukuraido menjadi
tempat dilangsungkannya upacara-upacara pemerintahan dan kemiliteran Jepang.
Gambar 4.26 Tugu Kemenangan Bala Tentara Jepang di Sumatera, 1944 Sumber : MEDAN BEELD VAN EEN STAD, 1997
C. Periode Pasca Kemerdekaan (Orde Lama)
Husni Thamrin dalam Lapangan Merdeka Medan sebagai Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota (2013) mengungkapkan, sebelum kemerdekaan Lapangan Merdeka yang berada di bawah pemeliharaan pemerintah Gementee menjadi lambang kekuasaan Hindia-Belanda di Sumatera Timur.
Penggunaannya dibatasi hanya bagi kebutuhan dan kepentingan orang Eropa atau bangsawan Melayu, rakyat biasa hanya bisa masuk jika ada pasar malam besar. Setelah kemerdekaan, Lapangan Merdeka berada di bawah pemeliharaan pemerintah Kota Madya Medan. Pada sekitar tahun 1970-an Pemko Medan membangun pagar dan membuat jalur lari atletik 400m yang
digunakan atlet PASI untuk berlatih. Jalur lari ini kemudian juga dipergunakan masyarakat untuk olahraga pada pagi dan sore hari.
D. Periode Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Lapangan Merdeka tidak mengalami perubahan fungsi secara signifikan namun belum berfungsi secara maksimal dikarenakan adanya pembatasaan waktu operasional (Nasution, 2000).
E. Periode Reformasi
Pada masa Pasca Reformasi yaitu dimulai tahun 2003 Lapangan Merdeka menjadi pusat kegiatan ekonomi dan sosial dengan dipindahkannya tempat berjualan buku yang awalnya berada di Titi Gantung, serta pada tahun 2005 dibangun pusat kuliner khas Medan, Merdeka Walk.
5.1 Kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Aspek Sejarah Lapangan