• Tidak ada hasil yang ditemukan

Larangan DPD sebagai Kader Partai Politk

Dalam dokumen IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI (Halaman 91-102)

METODE PENILITIAN 3.1 Jenis Penilitian

C. Tugas DPD RI dalam Bidang Pengawasan

4.2 Ius Constituendum Kewenangan dan Fungsi DPD RI melalui Amandamen Ke V Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

4.3.3 Larangan DPD sebagai Kader Partai Politk

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita- cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Sigmund Neumann dalam buku karyanya, modern political parties, mengemukakan definisi sebagai berikut:

128 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke empat.

“Partai politk adalah Organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda ( A political party is the articulate organization of society active political agents; those who are concorned with the control of govermental polity power, and who compote for popular support with other group or holding divergent views).129

Di indonesia partai politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun. Di eropa barat, terutama di ingris, partai politiik telah muncul jauh sebelumnya sebagai sarana partisipasi bagi beberapa kelompok masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa.130

Joyce Mitchell, dalam bukunya Political Analysis and Public Policy

mengatakan; “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyrakaat seluruhnya (Political is collective decision making or the making of publik policies for an entire society)”. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mengenai tindakan umum atau nilai-nilai (public goods), yaitu mengenai apa yang akan dilakukan dan siapa mendapat apa. Dalam arti ini politik terutama menyangkut kegiatan pemerintahan. Oleh Deutsch dan kawan-kawan negara dianggap sebagai kapal, sedangkan pemerintahan bertindak sebagai nahkodahnya. Pendekatan ini berdasarkan cybernetika (cybernetics), yaitu ilmu komunikasi dan pengendalian (control).131

129 Mariam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik edisi revisi, Op...,cit, Hal.404

130 Ibid, Hal.422

Melihat keberaan partai politik sebagai kendaraaan untuk merebut kekuasaan politik baik pada kekuasaan legislatif, eksekutif, dalam konteks keberadaan partai politik tentu sangat mempengaruhi keberadaan posisi politk dalam setiap pengambilan kebijakan, sehingga perlu dibatasi keberadaan partai politik di setiap lembaga negara termasuk di parlemen.

Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok sebenaranya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali, dalam hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan

representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik, sedangkan, pengertian keterwakilan yang kedua bersifat subtantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea. 132

Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal pula adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikan diberbagai negara demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah:133

1. Sistem perwakilan politik ( political representation);

2. Sistem perwakilan teritorial (teritorial atau regional representation); 3. Sistem perwakilan fungsional (functional representation).

Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik (political representatives), sistem perwakilan teritorial menhasilkan wakil-wakil daerah (regional representation), sementara itu, sistem perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional (functional representation). 132 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, op...,cit, Hal-305

Misalnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat berasal dari partai merupakan contoh dari perwakilan politik, Dewan Perwakilan Daerah yang berasal dari tiap- tiap daerah provinsi adalah contoh dari perwakilan teritorial atau regional representation, sedangkan anggota utusan golongan dalam sistem keangotaan MPR dimasa orde baru (sebelum perubahan UUD 1945) adalah contoh dari sistem perwakilan fungsional (functional representation).134

Sesuai penjabaran di atas tersebut maka dapat dilihat bahwa perlu adanya pengaturan mengenai fungsi perwakilan (Representasi) yang lebih tegas, dimana DPR sebagai perwakilan politik yang berasal dari partai politik, dan DPD sebagai perwakilan teritorial atau regional representation maka sudah semestinya DPD tidak beraveliasi pada partai politik apalagi sebagai kader politik, sehingga benar- benar terjaga fungsi perwakilan dalam struktur dua kamar (bicameral).

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah tidak dapat dipisahkan dari situasi yang terjadi sebelumnya, yaitu adanya tuntutan daerah-daerah untuk mendapatkan hak-haknya. Bahkan, sampai sekarang pun masih ada daerah yang mengkehendaki merdeka, yaitu keinginan untuk melepaskan diri dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan tersebut di picu oleh kebijakan pemerintah orde baru yang selain sentralistik, juga tidak memberikan bagian dari hasil sumberdaya alamnya. Inilah yang antara lain mendorong muncullnya keinginan dari sementara daerah untuk membentuk negara fedral, dalam pada itu, di lain pihak, ada kehendak yang sangat kuat untuk mempertahankan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, diadakan lembaga Dewan Perwakilan Daerah di satu pihak untuk menyalurkan aspirasi rakyat 134 Ibid, Hal.306

ddaerah, sedangkan di lain pihak sebagai satu upaya untuk tetap tegaknya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan hal-hal itu adalah sangat penting untuk membentuk cara pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Daerah.135

Yang perlu dipikirkan lagi adalah, siapa yang mengajukan seorang menjadi calon anggota DPD ? Seperti kita ketahui, para anggota DPR dicalonkan oleh partai politik peserta pemilihan umum. Oleh karena itu, sebaiknya DPD tidak diajukan oleh partai politk, melainkan mencalonkan diri dengan syarat mendapat dukungan sejumlah penduduk dari kabupaten/kota di mana calon tersebut berdomisili.136

Yang menjadi persoalan adalah, kepentingan apa yang diperjuangkan oleh DPD? Siapa yang akan mewakili Daerah dalam Dewan Perwakilan Daerah?, apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota DPD?, sistem pemilihan umum apa yang sebaiknya dianut untuk menentukan keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah? Terhadap pertanyaan pertama, perlu di kemukakan ketentuan adalah UUD 1945 yang baru (Pasal 22C) yang antar lain melalui Pemilihan Umum. Dengan demikian, DPD adalah sebuah lembaga negara yang di dalamnya duduk wakil-wakil dari provinsi yang ada di Indonesia. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam setiap provinsi terdapat kabupaten dan/atau kota. Oleh karena itu, walaupun para anggota DPD tersebut mewakili provinsi-provinsi, harus dicegah jangan sampai wakil dari provinsi tersebut diborong oleh mereka yang berdomisili di salah satu kabupaten dan/atau kota.

135 HRT. Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan pandangan, Op...cit, Hal.232

Tentang pertanyaan ketiga, perlu di kemukakan adanya dua macam syarat yang dapat dikelompokan dalam persyaratan umum dan persyaratan khusus, yang dimaksud dengan persayaratan umum adalah persyaratan yang biasanya tercantum dalam penentuan keanggotaan dalam sebuah lembaga negara, seperti anatar lain yang berkenan dengan kewarganegaraan, usia seorang anggota, pendidikan dan lain-lainya. Sedangkan yang dimaksud dengan dengan persayaratan yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang hanya berlaku bagi mereka yang dicalonkan menjadi anggota DPD. Mengenai pertanyaan terakhir perlu di kemukakan pertimbangan latar belakang dan alasan-alasan dibentuknya DPD , walaupun kepentingan politik tidak dapat dilepaskan dari setiap pemilihan, yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih anggota DPD adalah kepentingan daerah, di mana anggota tersebut berasal.137

Berdasarkan uraian di atas menurut peniliti bahwa perlu adanya larangan DPD untuk bergabung dalam partai politk apalgi menjadi pengurus parpol, sebaiknya DPD harus terbebas dari unsur partai politik, hal ini tentu akan mempengaruhi kedudukan DPD sebagai lembaga negara yang memperjuangkan secara adil dan merata urusan kedaerahan dalam kebijakan pusat, artinya DPD harus terfokus dalam memperjuangkan urusan-urusan kedaerahan bukan sibuk untuk meperjuangkan urusan partai politik.

Jika DPD berasal dari parpol atau di utus oleh partai politik untuk duduk dalam kelembagaan DPD maka sangat mungkin DPD akan mudah dirasuki kepentingan-kepentingan parpol yang akan memperjuangkan kepentingan parpol sehingga DPD yang semestinya merupakan keterwakilan daerah untuk 137 Ibid, Hal. 233-234

memperjuangkan urusan kedaerahan tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik saat ini tentu tidak sesuai lagi dengan cita-cita pembentukan parpol yang sejatinya merupakan manifestasi dari kesadaran nasional untuk mencapai tujuan negara, kegiatan-kegiatan propol saat ini sangat berorientasi pada politik pragmatis yang menjalankan semua urusan kenegaraan untuk mencapai kekuasaan yang diisi oleh sekelompok yang memiliki tujuan tersebut, jika hal ini ini terjadi maka sangat mungkin parpol tentu akan memperkuat dinasti politiknya dalam sebuah kelembagaan negara termasuk pada DPD, apalagi DPD saat ini merupakan lembaga yang sangat diperhitungkan sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi sebagai penyusun perundang- undangan di Indonesia tentu ini akan menjadi lembaga yang akan diperebutkan oleh elit politik artinya para elit politik yang akan duduk pada lembaga perwakilan atau legislatif dalam hal ini DPD tentu akan di sibukan pada persoalan kepentingan partai politik bukan pada persoalan kepentingan daerah sehingg secara tidak langsung DPD hanya bekerja pada partai politik bukan bekerja pada daerah.

Jika kita menelisik pada komposisi badan legislatif tentu kita dapat menemukan bahwa lembaga legislatif di isi oleh dua komponen utama yakni DPR dan DPD, di mana DPR sebagai perwakilan rakyat dengan basis paham politik sedangkan DPD sebagai perwakilan daerah yang memperjuangkan kepentingan daerah yang tidak terlepas untuk memperjuangkan kebijakan daerah yang menyangkut otonomi daerah pada pengambilan kebijakan pusat, maka secara

sederhana peniliti dapat menyimpulkan jika ada anggota DPD yang ingin masuk parpol atau sebagai kader parpol maka seharusnya anggota tersebut masuk saja pada jalur pemilihan DPR bukan pada jalur DPD sehingga benar-benar terjaga

check and belance antar kedua lembaga.

Larangan anggota DPD sebagai kader partai politik pada prinsipnya hal itu berkaitan dengan proses pemilihan Umum yang diadakan untuk memilih anggota DPR dan DPD, di mana untuk memilih anggota DPR dan DPD sangat jelas di atur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan batasan antara DPR dan DPD, hal ini dapat dilihat pada pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:138

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai politik.

(4) Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

Sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka sangat jelas mengamanatkan bahwa DPR dan DPRD merupakan peserta pemilihan umum yang dipilih melalui partai politik, sedangkan DPD dipilih melalui perseorangan. Sehingga sangat jelas bahwa DPD melalui amanat konstitusi ini DPD tidak perlu menjadi kader partai politik, jika DPD dipilih dan bergabung melalui partai politk maka sangat mungkin DPD sangat mudah di godok oleh kepentingan politik yang bersal dari parpol sehingga DPD justru akan

memperjuangkan kepentingan partai politik dibandingkan dengan kepentingan daerah dalam kebijakan pusat yang merupakan alasan DPD perlu dibentuk.139

Di lain pihak adanya larangan DPD sebagai kader partai politik di maksudkan untuk menguatkan kembali kewenangan dan fungsi DPD agar DPD benar-benar terlepas dari kepentingan partai politik sehingga DPD dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan mampu berjuang secara riil demi kepentingan daerah yang di maksudkan agar tidak ada lagi daerah yang mengalami deskriminasi terhadap kebijakan pusat. Untuk menguatkan kembali terhadap larangan DPD sebagai kader partai politk dilakukan melalui revisi Undang-Undang Tentang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang mengatur secara tegas larangan anggota DPD sebagai kader partai politik.

Adanya gagasan terhadap larangan DPD sebagai kader partai politik semata- mata dimaksudkan untuk menguatkan kewenangan dan fungsi DPD dalam sistem

bicameral (dua kamar) yang pada prinsipnya meberikan kewenangan dan fungsi yang setara antara DPD dan DPR sehingga benar-benar tercipta sistem check and belance, selain DPR memperjuangkan kepentingan rakyat dengan paham paolitik sedangkan DPD memperjuangkan kepentingan daerah berdasarkan kebutuhan daerah bukan partai politik.

Selai itu jika larangan DPD sebagai kader partai politik ini terwujud maka tentu ini akan mencerminkan sistem bicamaeral yang paling ideal, dimana DPD

139 Larangan DPD sebagai kader partai politik dimaksudkan untuk menguatkan kembali kewenangan dan fungsi DPD, selain itu gagasan ini dimaksudkan untuk mencerminkan sistem bicameral yang paling ideal., dimana antar DPD dan DPR bekerja sesuai tupoksi dengan memilki tugas, wewenang dan fungsi yang setara.

dan DPR memilki kewenangan yang setara, check and belance benar-benar terwujud, dan yang lebih penting adanya pemisahan kekuasaan legislatif antara DPD dan DPR, di mana DPD sebagai representation dari daerah yang memperjuankan kepentingan daerah dalam kebijakan pusat, sedangkan DPR wakil rakyat yang memperjuangkan kehendak rakyat berdasarkan paham politi. Hal ini yang tentu menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia dimana legislatif Indonesia dalam sistem ketatanegaraan benar-benar tertata dengan baik.

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

1. Pelaksanaan Kewenangan dan Fungsi DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada dasarnya diatur pada pasal 22 D undang- Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam pelaksanaan tugas DPD memilki tugas, wewenang dan fungsi pada bidang legislasi, bidang pertimbangan dan bidang pengawasan.

2. Ius Constituendum Kewenangan dan Fungsi DPD melalui amandemen ke V Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dilaksanakan dengan 3 (tiga) cara, yaitu, pertama, Rekonstruksi Jumlah

kursi bagi anggota DPD, Kedua, Amandemen Pasal 22 D, amandemen pasal 22 D, Ketiga, Larangan DPD sebagai Kader Partai Politik.

5.2 SARAN

1. Perlu adanya dukungan dari semua elemen bangsa Indonesia, dukungan dari elit Politik yakni, DPR dan DPD untuk dapat memenuhi persyaratan terhadap usulan amandemen ke V Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memenuhi kourum 1/3 dari jumlah anggota MPR.

2. Dukungan dari ahli hukum untuk dapat menuangkan gagasan terhadap pelaksanaan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

3. Dukungan masyarakat, perlu adanya desakan dari masyarakat luas sebagai bentuk aspirasi untuk mendorong Pelaksanaan Amandemen ke V Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.

4. Untuk melakukan Amandemen ke V Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia perlu dibentuk panitia khusus pembentuk Konstitusi Indonesia, yang terdiri dari MPR, MK dan Ahli hukum dalam panitia khusus pembentuk Konstitusi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Dalam dokumen IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI (Halaman 91-102)