• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Pustaka

1. Latar Belakang Anak Melakukan Kejahatan

Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan, kenakalan mereka, boleh di bilang sudah menjurus ke tindakan kriminal.9

9

Wawan Tunggal, Hukum Bicara, Milena Populer, Jakarta, 2001, hlm. 137.

masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanime, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya, sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian menggangu dan merugikan pihak lain. Kiranya tak ada suatu perbuatan yang tidak mempunyai sebab-sebab. Dimana ada asap, disitu ada api kata orang. Tanpa mempelajari sebab-sebab kejahatan sulitlah untuk mengerti

mengapa suatu kejahatan telah terjadi, apalagi untuk menentukan tindakan apakah yang tepat dalam menghadapi para penjahat.10

Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan Kenakalan mereka, boleh dibilang sudah menjurus ke tindak kriminal. Menurut W.A. Bonger11

Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita

menyatakan bahwa kejahatan adalah kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan a-social yag tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat. Pada dasarnya masyarakat tidak menghendaki adanya perbuatan tersebut, dan seandainya itu terjadi harus dikenakan dengan sanksi. Tetapi tidak halnya dengan kejahatan yang dibuat oleh anak yang masih di bawah umur, mereka tidak boleh dengan begitu saja diperhadapkan dengan saksi yang tegas sama halnya dengan orang dewasa. Mengingat mereka masih anak di bawah umur harus dilindungi sebagai orang yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

12

10

Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT Pradyna Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 34 .

11

Chainur Arrasjid, Suatu Pikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 27.

mengatakan bahwa

deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

12

Juni 2012. Jam 12.00

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Anak Nakal adalah: (a) Anak yang melakukan tindak pidana; (b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.13

13

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Dari dua pengertian Anak Nakal tersebut di atas, yang diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah Anak Nakal dalam pengertian huruf a di atas, yaitu anak yang melakukan tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah Anak Nakal dari Pengertian huruf b di atas, karena KUHP mengatur tentang tindak pidana.

Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan-kejahatan atau prilaku jahat dari masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau prilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak.

Kita ketahui bersama bahwa kenakalan anak memang diperlukan dalam upaya anak mencari jati diri. Namun, ada batas-batas yang hars dipatuhi, sehingga suatu kenakalan masih relevan untuk digunakan sebagai wahana menentukan atau mencari identitas diri (selft identification). Bila batas-batas itu dilanggar, maka perbuatan tersebut masuk kedalam ranah hukum pidana.

Salah satu kenakalan anak yang termasuk dalam kategori perbuatan tindak pidana, salah satunya adalah Pencurian 6 (enam) Buah Jagung Oleh Anak di bawah Umur yang terjadi di Kabupaten Magetan. Motif para terdakwa mencuri beberapa jagung hanya ingin memakan jagung tersebut yang ada di kebun milik korban, meskipun demikian perbuatan para terdakwa merupakan kategori Tindak Pidana Pencurian karena mengambil barang (jagung) tanpa seijin dari pemiliknya. Walaupun terdakwa masi anak-anak di bawah umur, namum pemilik kebun jagung merasa dirugikan karena beberapa jagung miliknya telah diambil para terdakwa dan tindakan ini termasuk tindakan melawan hukum karena merugikan kepentingan orang lain, maka wajar apabila pemilik jagung tersebut melaporkan perbuatan para terdakwa kepada pihak yang berwajib.14

Selain kasus yang pencurian yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur di Kabupaten Magetan, ada juga kasus tindak pidana anak yang menimpa Beny Dwi Yunanto, Warga Dusun Ngrajun, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kab. Kulonprogo, DIY mirip kasus yang dialami Muhammad Azwar alias Raju (8) di Sumatera Utara. Dia terlibat kasus pemerasan secara berlanjut.. Hanya saja kasusnya tidak banyak disorot.15

Banyak pakar mengungkapakan bahwa sebab-sebab terjadinya kenakalan anak karena expectation gap atau tidak ada persesuaian antara cita-cita dengan sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut. Secara teoritis upaya Masih banyak kasus-kasus Kenakalan Anak yang di sebabkan dari berbagai faktor.

14 15 Jam. 19.00

penanggulangan masalah kejahatan termasuk prilaku kenakalan anak sebagai suatu fenomena sosial, sesungguhnya titik berat terarah kepada menggungkapkan faktor-faktor korelasi terhadap gejala kenakalan anak sebagai faktor kriminogen. Pembahasan masalah tersebut merupakan ruang lingkup dari pembahasan kriminologi.16

Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu : motisvasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.

Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diurikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau juga dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motifasinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) bahwa yang dikatakan “motivasi” itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar maupun tidak secara tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

16

Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010, hlm. 119.

Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapat-pendapatnya mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :17

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah:

a. Faktor Intelegensia ; b. Faktor Usia ;

c. Faktor Kelamin ;

d. Faktor kedudukan anak di dalam keluara. 2. Yang termasuk motivasi ekstrnsik adalah :

a. Faktor rumah tangga ;

b. Faktor pendidikan dan sekolah ; c. Faktor pergaulan anak ;

d. Faktor mass media. 1. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak

a) Faktor Itelegentia

Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-anak deliquent ini pada umumnya mempunyai intelegentia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (pretasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat.

17

15.00

b) Faktor Usia

Stpehen Hurwitz mengungkapkan “age is importance factor the consation of

crime” (usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab

timbulnya kejahatan). Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen, maka dapat dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting didalam sebab-musabab timbulnya kenakalan.

c) Faktor Kelamin

Di dalam penyidikannya Paul W. Tappan mengungkapkan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu.

Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga kualitas kenakalannya. Seringkali kita melihat atau membaca dalam mass media, baik media cetak maupun media elektronik bahwa kejahatan banyak dilakukan oleh anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan di luar perkawinan sebagai akibat dari pergaulan bebas.

Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya. Mengenai kedudukan anak dalam keluarga ini, De Creef telah menyelidiki 200 anak narapidana kemudian menyimpulkan bahwa, kebanyakan mereka berasal dari exteerm position in the family, yakni : first born, last born dan only child. Sedangkan hasil penyelidikan oleh Glueck di Amerika Serikat, dimana didapatkan data-data menunjukan bahwa yang paling banyak melakukan kenakalan adalah anak ketiga dan keempat, yakni dari 961 orang anak nakal, 31,3% di antaranya adalah anak ketiga dan keempat ; 24,6% anak kelima dan seterusnya adalah 18,8%. Namun hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Noach terhadap deliquenci dan kriminalitas di Indonesia, dimana Beliau telah mengemukakan pendapatnya bahwa kebanyakan deliquency dan kejahatan dilakukan oleh anak pertama dan satu anak tunggal atau anak wanita atau dia satu-satunya di antara sekian saudara-saudaranya (kakak atau adik-adiknya).

Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orangtuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaanya dikabulkan.

2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak.

Motifasi ekstrinsik dan kenakalan anak, meliputi a) Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali.

Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merugikan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak baik akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya kejahatan deliquency itu sebahagian juga berasal dari keluarga.

Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya deliquency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.

b) Faktor Pendidikan dan Sekolah

Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku (character). Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak sehingga anak

menjadi delikuen. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua baik, misalnya penghisap ganja cross boy dan cross girl yang memberkan kesan kebebasan tanpa kontrol dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah. Di sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temanya yang lain. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delikuen.

c) Faktor Pergaulan Anak

Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya. Dalam situasi sosial menjadi semakin longgar, anak-anak kemudian menjatuhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan subkultural baru yang sudah delikuen sifatnya.

Dengan demikian, anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan, yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk, sebagai produknya anak-anak tidak suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak-anak ini menjadi delikuen/jahat sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh ekternal yang menekan dan memaksa sifatnya.

Sehubungan dengan peristiwa ini, Sutherland (1978) mengembangkan teori Association Diffrential yang menyatakan bahwa anak menjadi delikuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delikuen tertentu dijadikan sebagai sarna yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan Anak Nakal, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.

Dalam hal ini peranan orang tua untuk menyadarkan dan mengembalikan kepercayaan anak tersebut serta harga dirinya sangat diperlukan. Perlu mendidik anak agar bersikap formal dan tegas supaya mereka terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang dari lingkungan pergaulan yang kurang baik.

d) Pengaruh Mass-media

Pengaruh mass-media pun tidak kalah besarnya terhadap perkembangan anak. Keinginan yang tertanam pada diri anak untuk berbuat jahat kadang timbul karena pengaruh bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi anak yang mengisi waktu senggangnya dengan baca-bacaan yang buruk, maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak.

Mengenai hiburan film (termasuk VCD) ada kalanya memiliki dampak kejiwaan yang baik, akan tetapi hiburan tersebut dapat memberikan pengarruh

yang tidak mengguntungkan bagi perkembangan jiwa anak jika tontonannya menyangkut aksi kekerasan dan kriminalitas, misalnya film detektif yang memiliki figur penjahat sebagai peran utamanya serta film-film action yang penuh dengan adegan kekerasan dengan latar belakang balas dendam. Adegan-adegan film tersebut akan dengan mudah mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Kondisinya yang detruktif ini dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak.

Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakulakan adalah dengan cara mengadakan penyensoran film-film yang berkualitas buruk terhadap psikis anak dan mengarahkan anak pada tontonan yang lebik menitikberatkan aspek pendidikan ; mengadakan ceramah melalui mass-media mengenai soal-soal pendidikan pada umumnya ; mengadakan pengawasan terhadap peredaran dari buku-buku komik, majalah-majalah, pemasangan-pemasangan iklan dan sebagainya.18

18

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm 16 Untuk itu, semua perlakuan terhadap Anak Nakal sangat perlu diperhatikan. Dimana keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam pembentukan pribadi anak. Linkungan keluarga potensial membentuk pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha pendidikan dalam keluarga gagal maka anak cenderung melakukan kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak bergaul.

Walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang terdapat di mana-mana, namun kenakalan anak itu merupakan gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Reaksi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan dan kenakalan anak acapkali menimbulkan masalah baru. Masyarakat tidak segan-segan main hakim sendiri apabila ada yang tertangkap tangan, penjahat dipukul sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Tindakan masyarakat yang tidak terkendali merupakan pertanda bahwa nilai-nilai yang ada di masyarakat sudah mengendor. Selain main hakim sendiri, sikap masyarakat yang patut disesalkan yaitu tidak melaporkan tindak pidana kepada pihak yang berwajib, yang kemungkinan besar akan mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan yang terungkap, yang mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan lainnya.

Anak Nakal seyogianya diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, hal ini didasarkan pada perbedaan fisik, mental, dan sosial. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental, dan sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus. Anak Nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat KUHP dan KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak. Perhatian terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah perkembangan anak, agar anak dapat berkembang dan tumbuh dengan baik dalam berbagai sisi kehidupannya

(mental, fisik, dan sosial), yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia dewasa yang ideal.

Anak Nakal merupakan bagian masyarakat yang tidak berdaya baik secara fisik, mental, dan sosial sehingga dalam penanganannya perlu perhatian khusus. Anak-anak yang terlindungi dengan baik menciptakan generai yang berkualitas, yang dibutuhkan demi masa depan bangsa. Karena alasan kekurangmatangan fisik, mental, dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus, termasuk perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang diajmin berdasarkan hukum dan sarana lain, untuk tumbuh dan berkembang baik fisik, mental, dan sosial.