• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana (Kajian Terhadap Putusan: Nomor 1/PUU-VIII/2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana (Kajian Terhadap Putusan: Nomor 1/PUU-VIII/2010)"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (KAJIAN TERHADAP PUTUSAN: NOMOR 1/PUU-VIII/2010)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HENNI DEMITRA TARIGAN NIM : 080200237

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (KAJIAN TERHADAP PUTUSAN: NOMOR 1/PUU-VIII/2010)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HENNI DEMITRA TARIGAN NIM : 080200237

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(DR. M. Hamdan, SH, MH) NIP: 195703261986011001

(DOSEN PEMBIMBING I) (DOSEN PEMBIMBING II)

LIZA ERWINA, SH, M.Hum Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum NIP. 196110241989032002 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan

karunia-Nya, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan kepada penulis,

sehingga mampu berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Sebuah sukacita besar dan kesempatan yang sangat luar biasa manakala

penulis dapat merampungkan perbuatan skripsi ini. Seperti kita ketahui bahwa

skripsi merupakan salah satu syarat bagi Mahasiswa/i pada umumnya dan

Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya guna

melengkapi tigas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana

Hukum pda Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan

kewajiban bagi setiap mahasiswa. Dimana skripsi ini diberi judul IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-VIII/2010) untuk dituangkan dalam tulisan skripsi ini.

Tak ada gading yang tak retak. Kira-kira pepatah demikianlah yang sangat

cocok untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata

sempurna. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan

disana-sini dalam isi maupun bagian skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi

yang bisa dan sering melakukan kesalahan, dengan segala hormat penulis

(4)

konstruktif mngomentari bagian skripsi ini sangat penulis butuhkan dan

karenanya akan diterima dengan senang hati serta penuh bijaksana.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah lulus dan ikhlas dalam

memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam

penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M.Hamdan, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum, selaku dosen Pembimbing I yang telah

(5)

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, sebagai Pembibing II yang telah bersedia

dan penuh dengan kesabaran menghadapi penulis selama pembuatan

skripsi ini.

8. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk

di bangku perkuliahan.

9. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

10.Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda

R. Tarigan dan Ibunda tercinta R br Sinuhaji, yang telah penuh dengan

kasih sayang membesarkan, mendidik, dan membiayai pendidikan penulis

sekaligus menjadi motivator yang sangat luar biasa dalam penulisan

skripsi ini, terimah kasih banyak atas dukungan dan pengertinnya.

11.Penulis mengucapkan terima kasih kepada abang tua saya Osvaldo Arbhi

Tarigan, SH dan kakak saya Dina Adreini br Tarigan, MP.d yang selalu

memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis di dalam

menyelesaikan skripsi ini.

12.Sahabat Penulis selama menuntut Ilmu di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara (Rishelly Ritonga, Sylvi Anissa Partiwi, Emiliana Milala

dan Rikson Hutabarat). Terima kasih buat dukungan dan doanya.

13.Sahabat penulis yang selalu ada dan setia, dikala suka maupun duka (Alva

Monika Tarigan, Cristy Ananda Ginting, Juna Kaban, dan Rezky Diapani

Bangun). Terima kasih buat dukungannya dan selalu memberi semangat di

(6)

14.Seluruh teman-temanku stambuk 2008 yang namanya tidak bisa

disebutkan satu persatu.

15.Anak-anak Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) “ERKALIAGA” FH USU.

Terima kasih kepada abang, kakak dan teman-teman sekalian yang

namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan

pengalaman yang sangat luar biasa, memberikan semangat dalam

perkuliahanku, memperluas pergaulan saya selama berada di FH USU,

terima kasih buat semua kenangan indah dan tidak akan pernah saya

lupakan dalam hidup saya.

16.Pelayanan Mahasiswa UKM KMK USU dan GMKI, yang telah

memberikan saya banyak pengalaman yang luar bisa juga selama saya

berada di Fakultas Hukum USU. Terima kasih buat dukungan dan doanya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimah kaih banyak kepada semua

pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya

Tuhanlah yang dapat membalas budi baik semuanya.

Semoga ilmu yang telah penulis peroleh selama kuliah di bangku Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dapat bermanfaat dalam menggapai cita-cita

penulis.

Medan, Juni 2012

Penulis

(7)

ABSTRAKSI Henni Demitra Tarigan

Liza Erwina, SH. M.Hum (Pembimbing I)∗∗ Raiqoh Lubis, SH. M.Hum (Pembimbing II)∗∗

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗

Dosen Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

Anak dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus di jaga dan dilindungi. Untuk itu diperlukan pembinaan dan perlindungan terhadap anak terutama dari segi batas usia dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana. Berbagai hukum positif di indonesia telah menjamin perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Salah satunya adalah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di dalam undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap anak salah satunya perlindungan terhadap batas usia dalam penjatuhan pidana terhadap anak, dimana didalam Pasal 4 ayat (1) dimana diatur batas usia anak dalam penjatuhan pidana sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun. Tetapi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan meminta UU tersebut untuk diuji secara materil mengeni batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana.

Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana?, Kedua Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana ?

Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif yakni. Data yang digunakan adalah data skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situ internet, putusan pengadilan serta bahan-bahan lainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Metode yang digunakan Library Research (Penelitian Kepustakaan) dan Analisa yang digunakan Analisa Kualitatif.

Perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak telah dijamin dalam Instrumen Nasional maupun Internasional, yang pada dasarnya menjamin hak-hak anak meliputi berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak dan Aministrasi bagi Anak (The Beijing Rules).

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

ABSTRAKSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Keaslian Penulisan... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 10

E. Tinjauan Kepustakaan... 11

1. Latar Belakang Anak Melakukan Kejahatan... 12

2. Kejahatan Anak dari Perspektif Polotik Hukum Pidana... 24

3. Kewenangan Uji Materil MK... 31

F. Metode Penelitian... 32

G. Sistematika Penulisan... 33

BAB II. UNDANG-UNDANG NO.3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DIKAITKAN DENGAN PRINSIP PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA... 35

A. Perlindungan Anak dalam Bebagai Instrumen Hukum Internasional dan Hukum Nasional... 35

1. Instrumen Hukum Internasional... 37

(9)

B. Perlindungan Anak Pelaku TindaK Pidana dalam UU No. 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak... 55

1. Tahap Pemeriksaan Penyidikan... 55

2. Tahap Pemeriksaan Penunututan... 65

3. Tahap Pemeriksaan Persidangan... 73

C. Kelemahan UU No. 3 Tahun 1997 Dikaitkan Dengan Perlindungaan Terhdap Anak... 80

BAB III. IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-VIII/2010)... 92

A. Uji Materil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak... 92

1. Pemohon dan Dasar Permohonan... 97

2. Permohonan yang diajukan Pemohon... 101

3. Pertimbangan Hakim MK... 103

4.Putusan Hakim MK... 105

B. Implikasi Uji Materil tentang Batas Usia Anak sebagai Dasar Penghapusan Pidana bagi Anak Pelaku Tindak Pidana... 108

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN... 129

A. Kesimpulan... 129

B. Saran... 130

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat

melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi

kelangsungan hidup mereka. Anak seyogianya dipandang sebagai aset berharga

suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi

hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anak lah

kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatian dalam

menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam

rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak-anak

meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik,

hankam maupun aspek hukum.1

Berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan

pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang

melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan

ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak

mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun

sosial dan ekonomi. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik

1

(11)

ABSTRAKSI Henni Demitra Tarigan

Liza Erwina, SH. M.Hum (Pembimbing I)∗∗ Raiqoh Lubis, SH. M.Hum (Pembimbing II)∗∗

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗

Dosen Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

Anak dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus di jaga dan dilindungi. Untuk itu diperlukan pembinaan dan perlindungan terhadap anak terutama dari segi batas usia dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana. Berbagai hukum positif di indonesia telah menjamin perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Salah satunya adalah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di dalam undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap anak salah satunya perlindungan terhadap batas usia dalam penjatuhan pidana terhadap anak, dimana didalam Pasal 4 ayat (1) dimana diatur batas usia anak dalam penjatuhan pidana sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun. Tetapi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan meminta UU tersebut untuk diuji secara materil mengeni batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana.

Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana?, Kedua Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana ?

Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif yakni. Data yang digunakan adalah data skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situ internet, putusan pengadilan serta bahan-bahan lainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Metode yang digunakan Library Research (Penelitian Kepustakaan) dan Analisa yang digunakan Analisa Kualitatif.

Perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak telah dijamin dalam Instrumen Nasional maupun Internasional, yang pada dasarnya menjamin hak-hak anak meliputi berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak dan Aministrasi bagi Anak (The Beijing Rules).

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat

melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi

kelangsungan hidup mereka. Anak seyogianya dipandang sebagai aset berharga

suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi

hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anak lah

kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatian dalam

menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam

rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak-anak

meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik,

hankam maupun aspek hukum.1

Berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan

pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang

melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan

ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak

mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun

sosial dan ekonomi. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik

1

(13)

sengaja maupun tidak sengaja sering juga, anak melakukan tindakan atau

berprilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak

negatif dari perkembangan pembangunan arus yang cepat, arus globalisasi di

bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan

sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh

terhadap nilai dan prilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak

memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam

pengembangan sikap, prilaku, atau penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang

tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan

masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan

pribadinya.

Begitu banyak kejahatan yang berpengaruh terhadap nilai dan perilaku

anak. Salah satunya adalah seperti kejahatan yang pernah dilakukan oleh anak di

bawah umur yang lebih dikenal dengan kasus Raju. Karena berkelahi di sekolah,

akhirnya masuk tahanan dan disidang. Anak yang belum genap berusia 9 tahun ini

mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya. Sementara itu kasus

ini terus berjalan dengan dalih mengikuti prosedur. Bocah kelas 3 (tiga) SD

bernama lengkap Muhammad Azuar yang lebih akrab disapa dengan panggilan

Raju. Kasus Raju memang membuat kita terhenyak. Bagaimana mungkin anak

(14)

menyimak tuntutan, dan ditahan bersama para tahanan dewasa ? “Aku lihat

mereka pakai baju hitam, di lehernya warna merah,” kata Raju, saat

menggambarkan pakaian seorang hakim tunggal yang mengadilinya.

Persoalannya sebenarnya sangat sederhana, perkelahaian antar bocah yang

dimulai dari olok-olok (bullying). Raju sendiri tidak lebih dari anak nakal,

sebagaimana dibenarkan bocah-bocah desa itu. “Wah, Raju dan abanganya itu

sering memukul kita. Coba tanya anak-anak disini, pasti mereka pernah di tokoki

atau dijitak olehnya,” kata anak itu. Raju dan Ermansyah (Eman) pun terlibat

perkelahian dengan Eman, meski memiliki usia di atas Raju, Eman, anak penderas

nira itu, kalah otot dibanding Raju yang dibesarkan dalam keluarga yang

berkecukupan. Wajar saja jika Eman malah ditindih Raju, dan perutnya

berkali-kali dihajar lutut adik kelasnya itu. Usaha damai pun sudah dilakukan, Sudah

sendiri membenarkan, pada 31 Agustus sore, rumahnya dikunjungi Ani Sembiring

dan anaknya, Eman. Saat itu, Ani memberitahukannya soal perkelahian itu. Raju

mengakui, perkelahian itu karena terus diejek Eman. “Raju juga luka-luka.

Bibirnya sampai pecah, kok,” kata Saidah. Saidah mengaku telah membawa Raju

berobat sampai mengeluarkan uang Rp 75.000, hanya saja saat itu Ani dan Eman

datang lagi keesokan harinya dan mengaku menolak. Upaya damai juga dilakukan

dan tidak berhasil yang mengakibatkan kasus ini harus diselesaikan hingga dalam

peradilan.2

2

(15)

Kasus Raju ini adalah salah satu kasus kejahatan anak yang diakibatkan

oleh faktor lingkungan, baik keluarga maupun lingkungan tempat anak sering

bermain, baik di sekolah maupun lingkungan tempat anak tinggal dan bertumbuh.

Menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku

Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan

sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah

perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan

sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi

masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih

bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku

anak tersebut. Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu

hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya.

Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan

pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud

jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua

dan anak hrhfhhfkurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan

masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap

dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan

perkembangan anak secara sehat dan wajar.

Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan

perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakukan di dalam

hukum acara dan ancaman pidananya. Penjatuhan pidana mati dan pidana penjara

(16)

Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan

umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua

belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang

tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara,

sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai

18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut

didasarkan atas pertumbuhan dan perkermbangan fisik, mental, dan sosial anak.3

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua

yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik

anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak-anak-anak bersangkutan menjadi dewasa. Orang

tua merupakan yang pertama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan

anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak).4 Orang tua yang melalaikan kewajiban tersebut

dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya, yang

selanjutnya ditunjuk sebagai orang atau badab sebagai wali.5

Anak-anak nakal perlu ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus

karena mereka tidak mungkin diperlukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian Pencabutan tersebut

tidak menghapuskan kewajiban untuk membiayai sesuai dengan kemampuannya,

penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya.

3

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, PT. Djambatan, Jakarta, 2007, hlm.11-12

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm.1

5

(17)

terhadap anak pun dari hari ke hari semakin serius dimana untuk menjamin

perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, maka dikelurkanlah

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.6

Penanganan perkara pidana anak, di samping berlaku Pasal 45, Pasal 46

dan Pasal 47 KUHP (Pasal-pasal ini telah dicabut dan tidak berlaku lagi dengan

dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1997), beberapa ketentuan dipergunakan sebagai

pedoman yaitu: Peraturan Menteri Kehakiman No. M.06-UM.01 Tahun 1983,

tanggal 16 September 1983 yang mengatur tata tertib persidangan anak.

Persidangan dilakukan tertutup untuk umum, sementara putusan dinyatakan dalam

sidang sidang terbuka untuk umum. Juga ditetukan bahwa hakim, jaksa penuntut

umum, dan penasehat hukum bersidang tanpa toga, dan pemeriksaan dilakukan

dengan kehadiran orangtua/wali/orangtua asuh. Surat edaran Mahkamah Agung

No. 6 Tahun 1987, tanggal 17 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak,

menentukan bahwa dalam perkara pidana anak diperlukan penelitian pendahuluan

mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, menyangkut lingkungan,

pengaruh dan keadaan anak yang melatarbelakangi tindak pidana itu. Juga

diharapkan agar hakim memperdalam pengetahuan literatur, diskusi, dan

sebagainya.7

Karena masi sangat sering di temukan dalam proses persidangan

anak di pengadilan dimana para Hakim, Jaksa maupun Penasehat Hukum yang

masih menggunakan seragam lengkap mereka, layaknya sedang menjalani proses

persidangan orang dewasa. Contohnya seperti yang terjadi pada proses

7

(18)

persidangan Raju dimana Hakim masih mengenakan seragam lengkap mereka,

yakni toga.

Terhadap khasus-khasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam

status dan/atau Korban, sehingga Anak sebagai Saksi dan/atau Korba juga diatur

dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai Sanksi terhadap anak ditentukan

berdasarkan perbedaan usia Anak yaitu bagi Anak yang masih berusia kurang dari

12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah

mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat

dujatuhkan tindakan dan pidana.

Menurut pertimbanagan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai “Anak

Nakal” bukan merupakan proses tanpa prosedur yang dapat dijustifikasi oleh

setiap orang. Pemberian kategori “Anak Nakal” merupkan justifikasi yang dapat

dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan

dibuktikan di muka hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun

1997 akan diujimaterikan oleh Mahkamah Konstitusi pertama kali pada 25 Januari

2010, berdasarkan permohonan dari Komisi Perlindungan Anak dan Yayasan

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan. Dimana pengujian UU No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak ini mencakup sejumlah Pasal antara lain Pasal 1

angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2)

huruf a, dan Pasal 31 ayat (1). Mereka mengganggap anak-anak tidak bisa diminta

bertanggungjawab terhadap pidana yang mereka lakukan, karena itu akan menjadi

tanggung jawab orangtuanya. Untuk itu, hukuman terhadap anak-anak tersebut

(19)

Pengadilan Anak yang memberikan stigmatitasi “anak nakal” yang dianggap

melakukan tindak pidana.

Undang-Undang Pengadilan Anak juga dinilai melanggar hak

konstitusionalitas yakni asas legalitas dan bisa mengakibatkan pemidanaan

anak-anak yang dianggap melanggar adat-isitiadat setempat. Di samping itu, Pemohon

juga mengemukakan bahwa batas usia umur anak sekurang-kurang delapan tahun

yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah terlalu rendah dan tidak memenuhi

rasa keadilan serta melanggar hak konstitusional anak. Adapun tujuan dari

perubahan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

(Lembaran Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3668) adalah agar dapat terwujud peradilan yang

benar-benar menjamin perlindungan bagi kepentingan terbaik Anak yang

berhadapan dengan hukum sebagai penerus generasi penerus bangsa berikutnya.8

8

http:www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-indopos/66-indopos/9332-linda-uupengadilan-anak-banyak-langgar-hak-anak.html. Diakses tanggal 18 April 2012. Jam . 15.00

B. Permasalahan

Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga

menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Dapat juga

dikatakan secara singkat bahwa “tiada suatu penelitian tanpa adanya suatu

masalah.” Selain itu, pokok materi pembahasan dan tujuan dari penelitian ini

(20)

Penulis membatasi masalah yang menyangkut penulisan skripsi ini untuk

mendapatkan dan mendekati nilai objektif dalam pemasalahan tersebut, sebagai

berikut :

1. Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana ?

2. Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses

penanganan anak pelaku tindak pidana ?

C. Keaslian Penulisan

Penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan

dari sumber yang terpercaya dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini

tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya

penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik dari liteture

yang diperoleh penulis dari perpustakaan dan media massa baik cetak maupun

media elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini.

Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di

perpustakaan Fakultas Hukum USU, maka judul mengenai Implikasi “Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana” belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini.

Penulis juga menggunakan tata bahasa yang yang sesuai dengan bahasa

(21)

kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris yang telah diakui di Indonesia

tentunya.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

Sebagaimana lazimnya dalam hal penulisan suatu skripsi ataupun karya

tulis ilmiah yang menjadi salah satu yang harus diperhatikan adalah tujuan

penulisan. Adapun hal yang menjadi tujuan dari pada skripsi ini adalah :

1. Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana.

2. Untuk mengetahui Implikasi atau Dampak Mengenai Batas Usia Anak

Dalam Proses Penanganan Anak sesuai dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010.

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan

menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat

pada umumnya maupun para pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada

khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi

penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebajikan terhadap

penegakan hukum perlindungan anak berhadapan dengan hukum.

(22)

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan

rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga para aparat h

penegak hukum/pemerintah tentang penegakan hukum dalam hal anak yang

berhadapan dengan hukum.

E. Tinjauan Pustaka

1. Latar Belakang Anak Melakukan Kejahatan

Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan,

kenakalan mereka, boleh di bilang sudah menjurus ke tindakan kriminal.9

9

Wawan Tunggal, Hukum Bicara, Milena Populer, Jakarta, 2001, hlm. 137.

masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi,

mekanime, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial.

Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat

kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan

banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan konflik, baik konflik

eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang

tersembunyi dan tertutup sifatnya, sebagai dampaknya orang lalu

mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum,

dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan

pribadi, kemudian menggangu dan merugikan pihak lain. Kiranya tak ada suatu

perbuatan yang tidak mempunyai sebab-sebab. Dimana ada asap, disitu ada api

(23)

mengapa suatu kejahatan telah terjadi, apalagi untuk menentukan tindakan apakah

yang tepat dalam menghadapi para penjahat.10

Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan

Kenakalan mereka, boleh dibilang sudah menjurus ke tindak kriminal. Menurut

W.A. Bonger11

Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang

diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita

menyatakan bahwa kejahatan adalah kejahatan adalah merupakan

perbuatan yang immoral dan a-social yag tidak dikehendaki oleh masyarakat dan

harus dihukum oleh masyarakat. Pada dasarnya masyarakat tidak menghendaki

adanya perbuatan tersebut, dan seandainya itu terjadi harus dikenakan dengan

sanksi. Tetapi tidak halnya dengan kejahatan yang dibuat oleh anak yang masih di

bawah umur, mereka tidak boleh dengan begitu saja diperhadapkan dengan saksi

yang tegas sama halnya dengan orang dewasa. Mengingat mereka masih anak di

bawah umur harus dilindungi sebagai orang yang akan menjadi generasi penerus

bangsa.

12

10

Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT Pradyna Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 34 .

11

Chainur Arrasjid, Suatu Pikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 27.

mengatakan bahwa

deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang

anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta

ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

12

(24)

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997

menentukan bahwa Anak Nakal adalah: (a) Anak yang melakukan tindak pidana;

(b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak adalah

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum

lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.13

13

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Dari dua

pengertian Anak Nakal tersebut di atas, yang diselesaikan melalui jalur hukum

hanyalah Anak Nakal dalam pengertian huruf a di atas, yaitu anak yang

melakukan tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah Anak Nakal dari

Pengertian huruf b di atas, karena KUHP mengatur tentang tindak pidana.

Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan-kejahatan atau

prilaku jahat dari masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun

cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau prilaku jahat

yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku

jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah

dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak

atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak.

Kita ketahui bersama bahwa kenakalan anak memang diperlukan dalam

upaya anak mencari jati diri. Namun, ada batas-batas yang hars dipatuhi, sehingga

suatu kenakalan masih relevan untuk digunakan sebagai wahana menentukan atau

mencari identitas diri (selft identification). Bila batas-batas itu dilanggar, maka

(25)

Salah satu kenakalan anak yang termasuk dalam kategori perbuatan tindak

pidana, salah satunya adalah Pencurian 6 (enam) Buah Jagung Oleh Anak di

bawah Umur yang terjadi di Kabupaten Magetan. Motif para terdakwa mencuri

beberapa jagung hanya ingin memakan jagung tersebut yang ada di kebun milik

korban, meskipun demikian perbuatan para terdakwa merupakan kategori Tindak

Pidana Pencurian karena mengambil barang (jagung) tanpa seijin dari pemiliknya.

Walaupun terdakwa masi anak-anak di bawah umur, namum pemilik kebun

jagung merasa dirugikan karena beberapa jagung miliknya telah diambil para

terdakwa dan tindakan ini termasuk tindakan melawan hukum karena merugikan

kepentingan orang lain, maka wajar apabila pemilik jagung tersebut melaporkan

perbuatan para terdakwa kepada pihak yang berwajib.14

Selain kasus yang pencurian yang dilakukan oleh anak-anak di bawah

umur di Kabupaten Magetan, ada juga kasus tindak pidana anak yang menimpa

Beny Dwi Yunanto, Warga Dusun Ngrajun, Desa Banjarharjo, Kecamatan

Kalibawang, Kab. Kulonprogo, DIY mirip kasus yang dialami Muhammad Azwar

alias Raju (8) di Sumatera Utara. Dia terlibat kasus pemerasan secara berlanjut..

Hanya saja kasusnya tidak banyak disorot.15

Banyak pakar mengungkapakan bahwa sebab-sebab terjadinya kenakalan

anak karena expectation gap atau tidak ada persesuaian antara cita-cita dengan

sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut. Secara teoritis upaya Masih banyak kasus-kasus

Kenakalan Anak yang di sebabkan dari berbagai faktor.

14

15

(26)

penanggulangan masalah kejahatan termasuk prilaku kenakalan anak sebagai

suatu fenomena sosial, sesungguhnya titik berat terarah kepada menggungkapkan

faktor-faktor korelasi terhadap gejala kenakalan anak sebagai faktor kriminogen.

Pembahasan masalah tersebut merupakan ruang lingkup dari pembahasan

kriminologi.16

Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu : motisvasi intrinsik dan

ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau

keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar,

sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri

seseorang.

Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti

yang telah diurikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan

anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau juga

dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu

diketahui motifasinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) bahwa yang dikatakan

“motivasi” itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar

maupun tidak secara tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan

tertentu. Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan

seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan

karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan

dengan perbuatannya.

16

(27)

Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapat-pendapatnya

mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :17

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak

adalah:

a. Faktor Intelegensia ;

b. Faktor Usia ;

c. Faktor Kelamin ;

d. Faktor kedudukan anak di dalam keluara.

2. Yang termasuk motivasi ekstrnsik adalah :

a. Faktor rumah tangga ;

b. Faktor pendidikan dan sekolah ;

c. Faktor pergaulan anak ;

d. Faktor mass media.

1. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak

a) Faktor Itelegentia

Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler

adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.

Anak-anak deliquent ini pada umumnya mempunyai intelegentia verbal lebih

rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (pretasi sekolah

rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang

tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen

jahat.

17

(28)

b) Faktor Usia

Stpehen Hurwitz mengungkapkan “age is importance factor the consation of

crime” (usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab

timbulnya kejahatan). Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen,

maka dapat dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting

didalam sebab-musabab timbulnya kenakalan.

c) Faktor Kelamin

Di dalam penyidikannya Paul W. Tappan mengungkapkan pendapatnya,

bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak

perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang

melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas

usia tertentu.

Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya

perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi

juga kualitas kenakalannya. Seringkali kita melihat atau membaca dalam mass

media, baik media cetak maupun media elektronik bahwa kejahatan banyak

dilakukan oleh anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan,

pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran

banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban

umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan di luar

perkawinan sebagai akibat dari pergaulan bebas.

(29)

Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah

kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya

anak pertama, kedua dan seterusnya. Mengenai kedudukan anak dalam keluarga

ini, De Creef telah menyelidiki 200 anak narapidana kemudian menyimpulkan

bahwa, kebanyakan mereka berasal dari exteerm position in the family, yakni :

first born, last born dan only child. Sedangkan hasil penyelidikan oleh Glueck di

Amerika Serikat, dimana didapatkan data-data menunjukan bahwa yang paling

banyak melakukan kenakalan adalah anak ketiga dan keempat, yakni dari 961

orang anak nakal, 31,3% di antaranya adalah anak ketiga dan keempat ; 24,6%

anak kelima dan seterusnya adalah 18,8%. Namun hasil penyelidikan yang

dilakukan oleh Noach terhadap deliquenci dan kriminalitas di Indonesia, dimana

Beliau telah mengemukakan pendapatnya bahwa kebanyakan deliquency dan

kejahatan dilakukan oleh anak pertama dan satu anak tunggal atau anak wanita

atau dia satu-satunya di antara sekian saudara-saudaranya (kakak atau

adik-adiknya).

Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat

dimanjakan oleh orangtuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan

kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaanya dikabulkan.

2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak.

Motifasi ekstrinsik dan kenakalan anak, meliputi

a) Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat untuk membesarkan,

(30)

Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merugikan

lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak

yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting

dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi

perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak baik akan berpengaruh

negatif terhadap perkembangan anak. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan

oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam

keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya kejahatan deliquency

itu sebahagian juga berasal dari keluarga.

Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya deliquency dapat

berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota

keluarga yang kurang menguntungkan.

b) Faktor Pendidikan dan Sekolah

Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa

anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan

anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku (character).

Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung

menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua

setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di

sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak

dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan

(31)

menjadi delikuen. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang memasuki sekolah

tidak semua baik, misalnya penghisap ganja cross boy dan cross girl yang

memberkan kesan kebebasan tanpa kontrol dari semua pihak terutama dalam

lingkungan sekolah. Di sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal

dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang

kerap kali berpengaruh pada temanya yang lain. Keadaan seperti ini menunjukkan

bahwa sekolah merupakan tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber

terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak

menjadi delikuen.

c) Faktor Pergaulan Anak

Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh

lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya.

Dalam situasi sosial menjadi semakin longgar, anak-anak kemudian menjatuhkan

diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang

dianggap sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga

baru dengan subkultural baru yang sudah delikuen sifatnya.

Dengan demikian, anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh

berbagai tekanan pergaulan, yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan

dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk, sebagai produknya anak-anak

tidak suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak-anak ini

menjadi delikuen/jahat sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi

(32)

Sehubungan dengan peristiwa ini, Sutherland (1978) mengembangkan

teori Association Diffrential yang menyatakan bahwa anak menjadi delikuen

disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide

dan teknik delikuen tertentu dijadikan sebagai sarna yang efisien untuk mengatasi

kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif

relasinya dengan Anak Nakal, akan menjadi semakin lama pula proses

berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan

anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.

Dalam hal ini peranan orang tua untuk menyadarkan dan mengembalikan

kepercayaan anak tersebut serta harga dirinya sangat diperlukan. Perlu mendidik

anak agar bersikap formal dan tegas supaya mereka terhindar dari

pengaruh-pengaruh yang datang dari lingkungan pergaulan yang kurang baik.

d) Pengaruh Mass-media

Pengaruh mass-media pun tidak kalah besarnya terhadap perkembangan

anak. Keinginan yang tertanam pada diri anak untuk berbuat jahat kadang timbul

karena pengaruh bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi anak yang mengisi waktu

senggangnya dengan baca-bacaan yang buruk, maka hal itu akan berbahaya dan

dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian

pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan

seks terhadap anak. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap

perkembangan jiwa anak.

Mengenai hiburan film (termasuk VCD) ada kalanya memiliki dampak

(33)

yang tidak mengguntungkan bagi perkembangan jiwa anak jika tontonannya

menyangkut aksi kekerasan dan kriminalitas, misalnya film detektif yang

memiliki figur penjahat sebagai peran utamanya serta film-film action yang penuh

dengan adegan kekerasan dengan latar belakang balas dendam. Adegan-adegan

film tersebut akan dengan mudah mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan

sehari-hari. Kondisinya yang detruktif ini dapat berpengaruh negatif terhadap

perkembangan perilaku anak.

Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakulakan adalah dengan cara

mengadakan penyensoran film-film yang berkualitas buruk terhadap psikis anak

dan mengarahkan anak pada tontonan yang lebik menitikberatkan aspek

pendidikan ; mengadakan ceramah melalui mass-media mengenai soal-soal

pendidikan pada umumnya ; mengadakan pengawasan terhadap peredaran dari

buku-buku komik, majalah-majalah, pemasangan-pemasangan iklan dan

sebagainya.18

18

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm 16 Untuk itu, semua perlakuan terhadap Anak Nakal sangat perlu

diperhatikan. Dimana keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental

dalam pembentukan pribadi anak. Linkungan keluarga potensial membentuk

pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha pendidikan

dalam keluarga gagal maka anak cenderung melakukan kenakalan, yang dapat

terjadi di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak

(34)

Walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang terdapat

di mana-mana, namun kenakalan anak itu merupakan gejala umum yang harus

diterima sebagai fakta sosial. Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari kehidupan manusia. Reaksi masyarakat dalam menanggulangi

kejahatan dan kenakalan anak acapkali menimbulkan masalah baru. Masyarakat

tidak segan-segan main hakim sendiri apabila ada yang tertangkap tangan,

penjahat dipukul sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.

Tindakan masyarakat yang tidak terkendali merupakan pertanda bahwa nilai-nilai

yang ada di masyarakat sudah mengendor. Selain main hakim sendiri, sikap

masyarakat yang patut disesalkan yaitu tidak melaporkan tindak pidana kepada

pihak yang berwajib, yang kemungkinan besar akan mengakibatkan semakin

banyaknya kejahatan yang terungkap, yang mendorong pelaku kejahatan

melakukan kejahatan lainnya.

Anak Nakal seyogianya diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, hal

ini didasarkan pada perbedaan fisik, mental, dan sosial. Anak yang melakukan

kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental, dan sosial mempunyai

kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu

ditangani secara khusus. Anak Nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang

dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu

dibuat KUHP dan KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak. Perhatian

terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah perkembangan anak, agar anak

(35)

(mental, fisik, dan sosial), yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan

kualitas manusia dewasa yang ideal.

Anak Nakal merupakan bagian masyarakat yang tidak berdaya baik secara

fisik, mental, dan sosial sehingga dalam penanganannya perlu perhatian khusus.

Anak-anak yang terlindungi dengan baik menciptakan generai yang berkualitas,

yang dibutuhkan demi masa depan bangsa. Karena alasan kekurangmatangan

fisik, mental, dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus,

termasuk perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Anak

berhak memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang

diajmin berdasarkan hukum dan sarana lain, untuk tumbuh dan berkembang baik

fisik, mental, dan sosial.

2. Kejahatan Anak dari Perspektif Politik Kriminal

Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan

masyarakat. Semakin maju dan berkembangnya peradaban umat manusi, maka

akan semakin mewarnai corak bentuk kejahatan yang muncul dalam kehidupan

ini.19 Kejahatan biasanya membayangi kehidupan manusia karena ia merupakan

masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan dan melekat pada manusia

sepanjang masa.20

19

Mahmud mulyadi dan feri antoni surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Koorporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, halaman 5.

20

Ali Masyar, Gaya Indonesia Menghadang teroristme, CV. Mandar Maju, Bandung 2009, halaman 20.

Munculnya banyak bentuk kejahatan-kejahatan baru yang

(36)

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menimbulkan efek

positif maupun efek negatif.

Kejahatan itu harus ditanggulangi karena apabila tidak, kejahatan dapat

membawa akibat-akibat :

1. Menganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan

2. Mecegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.

Upaya penanggulangan kejahatan (tindak pidana), diperlukan strategi dan

kebijakan tetentu untuk dapat memberantasnya, minimal mengurangi dan

menghambat perkembangannya.21

Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat

disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal tersebut mempunyai tiga

arti, yaitu :22

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan

badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral

dari masyarakat.

21

Ibid

22

(37)

Beliau juga memberikan pengertian singkat, bahwa kebijakan kriminal

merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi

kejahatan.

Uraian-uraian sebelumya lebih merupakan upaya pemahaman tentang apa dan

bagaimana serta latar belakang terjadinya perilaku delikuensi anak, baik secara

teoretik maupun empiris. Pemahaman demikian sangat penting dalam rangka

melandasi pemikiran-pemikiran ke arah upaya penanggulangan terhadp gejala

yang berupa delikunsi anak itu. Tanpa dilandasi pemahaman teoretik dan empiris

terhadap gejala perilaku delikunsi anak rasanya akan kurang “trep” dengan

permasalahan yang sebenarnya ada dalam gejala itu. Berbekal atas pemahaman

itulah, maka selanjutnya dala uraian pada bagian ini dibicarakan permasalahan

penanggulangan gejala sosial yang berupa kejahtan pada umumnya dan perilaku

delikuensi anak pada khususnya.23

Upaya kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penangulangan kejahatan

termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas

dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” yang terdiri dar

kebijakan/upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya untuk

perlindungan masyarakat. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan

kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal”

(hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (“penal policy”), khususnya

pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto)

23

(38)

harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial

itu, berupa “social welfare” dan “social defence”.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan

penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang

fungsionalisasi/oprasionalisasinya melalui beberapa tahap :24

24

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Fajar Interpratma Offset, Jakarta, 2008, hlm 79.

1. tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2. tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3. tahap eksekusi (kebujakan eksekutif/administratif).

Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum,

tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan

legislatif merupakan yahap paling starategis dari “penal policy”. Karena itu,

kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang

dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahtan pada

tahap aplikasi dan ekseskusi. Beberapa fenomena legislatif yang mengandung

masalah dan dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan, salah satunya

adalah : UU Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yakni mengenai Pencabutan

Pasal 45, 46, 47 KUHP, adanya pidana bersyarat dan pidana pengawasan yang

hakikatnya sama, tidak ada syarat untuk pidana pengawasan, dan peluang

menggunakan “pidana bersyarat” dalam undang-undang ini lebih kecil

(39)

Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan secara lebih jauh, ada baiknya

kita memulai dengan apa yang disebut politik kriminal.25

A. Politik Kriminal

Politik kriminal merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk

menanggulangi kejatahatan. Sudarto (1977) daalm bukunya berjudul Hukum dan

Hukum Pidana mengemukakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam

menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan

kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini

wajar karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan

sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan

sebagai masalah sosial ia merupakan gejala yang dinamis, selalu tumbuh dan

terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat luas dan

kompleks, ia merpakan socio-political problems.

Apabila demikian halnya, maka pemahaman akan hubungan kolerasional

antara perkembangan kejahatan dengan perkembangan struktur masyarakat

dengan segala aspeknya (sosial, ekonomi, politik, kultur), merupakan suatu

kebutuhan yang sangat penting bagi usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini

tampak dari salah satu kesimpulan dari Kongres PBB mengenai The Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders ke 4 di Kyoto Jepang, diamana

menyatakan :

25

(40)

1. The prevention of crme and the treatment of offenders cannot be

effectively undertaken unless it is closely and inti mately related to social

and economic trends.

Pernyataan ini kemudian diperkuat lagi dalam Deklarasi Caracas yang

dihasilkan Kongres PPB mengenai Prevention of Crime and Treatment of

Offenders ke 6 tahun 1980 di Caracas, diamana menyatakan :

2. Crime prevention and criminal justice should be considered in the

context of economic development, political system, social and culture

values and social change, as well as in the context of the new

international economic order.

Penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan,

dalam arti (a) ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial;

dan (b) ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan

penal dan non penal.

B. Politik Kriminal : Perilaku Delikuensi Anak

Apabila keseluruhan uraian di atas, dikaitkan dengan masalah perilaku

delikuensi anak, maka secara umum permasalahannya tidaklah jauh berbeda.

Hanya saja karena asas-asas yang mendasar kebijakan penanggulangan kejahatan

usia muda, termasuk perilaku delikuensi anak, itu berbeda dengan kejahatan orang

dewasa, maka ada satu kebutuhan untuk sedikit melakukan modifikasi

langkah-langkah penal mau pun non penal dalam konteks politik kriminal bagi kejahatan

uisa muda dan perilaku delikuensi anak.1

1

(41)

Pertama, dalam kaitannya dengan kebutuhan akan keterpaduan (integralitas) antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan politik sosial dan politik

penegakan hukum, maka dalam konteks kebijakan penanggulangan kejahatan usia

muda dan perilaku delikuensi anak, hal itu perlu dimodifikasi, bukan hanya politik

kesejahteraan masyarakat dan politik perlindungan masyarakat secara umum,

melainkan diarahkan secara khusus pada politik kesejahteraan anak dan politik

perlindungan hak-hak anak, baik anak pada umumnya maupun anak yng menjadi

korban kejahatan orang dewasa (negelted children) atau anak pelaku delikuen.

Kedua, dalam kaitan dengan penggunaan penal dan non penal, khusus untuk kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak,

kondisinya tidak berbeda, hanya saja penggunaan sarana non penal seharusnya

diberi porsi yang lebih besar daripada penggunaan sarana penal. Bila saja hal ini

disepakati, maka berarti ada kebutuhan dalam konteks penanggulangan kejahatan

usia muda dan perilaku delikuensi anak, pemahaman-pemahaman yang

berorientasi untuk mencari faktor-faktor kondusif yang menyebabkan timbulnya

kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak (faktor kriminogen). Di sinilah

muncul peranan dari ilmu kriminologi, sebagai ilmu yang bersifat ideografis

sekaligus nomothetis itu untuk menyumbangkan jasanya bagi pemaham-pemaham

di atas. Kriminologi melalui kegiatan penelitian-penelitian baik yang bersifat

klasik, positivis maupun interaksionis, kiranya akan banyak memberikan

sumbangan dalam rangka memperoleh pemahaman-pemahaman tentang hakikat

dan latar belakang timbulnya kejahatan usia muda dan prilaku delikuensi anak itu.

(42)

non-penal, pendekatan kriminologi itu diperlukan pula dalam konteks penggunaan

sarana penal. Seperti diketahui bahwa dalam konteks sarana penal, dikenal adanya

permasalahan tentang hukum pidana dalam arti ius costitum dan ius costituendum.

Keduanya bersifat saling berkaitan dan menunjang dalam pembicaraan tentang

penggunaan sarana penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan pada

umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya. Khusus dalam kaitan

dengan yang terakhir, tampaknya pemahaman terhadap dua masalah itu menjadi

semakin penting saja, mengingat bahwa ketentuan yang tertuang dalam sistem

hukum kita, masalah pidana anak dan peradilan anak masih merupakan persoalan

yang cukup serius.

Atas dasar itulah, maka pembicaraan tentang kebijakan penanggulangan

kejahatan usia muda dan perilaku anak pada umunya dan di Indonesia pada

khususnya, perlu adanya pemikirang agar kriminologi menempati posisi pentting.

3. Kewenangan Uji Materil Mahkamah Konstitusi

Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah

ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2) yang di rumuskan

sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi :26

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik dan

26

(43)

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu didalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen

ke-4 tersebut yang memaparkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang

kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung.27 Ditindaklanjuti dengan

pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur mengenai

Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 adalah

kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian apakah materi dan

pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai dengan UUD.28 sedangkan

pengujian atas suatu peraturan lain di bawah Undang-undang seperti Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain dilakukan oleh Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materil.29

1. Jenis Penelitian

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam

mengerjakan skripsi ini meliputi:

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari norma-norma hukum.

27

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lihat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

28

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi 29

(44)

Penelitian ini menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai

literatur dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan

skripsi ini. Dimana peneliti mengkaji aturan-aturan yang mengatur tentang

batas usia anak dalam penjatuhan pidana terhadap anak dan perlindungan

terhadap anak.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data skunder yang

meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet,

putusan pengadilan sera bahan-bahan lainya yang berubungan dengan

penulisan skripsi ini.

3. Metode Penggumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Researsh

(penelitian kepustakaan) sebagai sumber data dan skunder yakni dengan

memepelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet

dan mempelajari serta menganalisis putusan.

4. Analisis DataMenggunakan analisis kualitatif yaitu prosedur penelitian

yang menggunakan data deskriptif dari perilaku objek penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya

ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Adapun sistematika ini berujuan

untuk membantu para pembaca dengan mudah membaca skripsi ini. Penulisan

(45)

skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian Pendahuluan skripsi ini berisi tentang

halaman judul, halaman pengeshan, motto dan persembahan, abstrak dan daftar

isi.

Bagian isi skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu :

Bab pertama, merupakan Pendahuluan yang berisikan suatu rincian yang

mengemukakan apa yang menjadi dorongan penulis untuk menggambil dan

merumuskan permasalahan, yang secara umum berisikan latar belakang

permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, merupakan bab yang berisikan tentang perlindungan anak

dalam berbagai instrumen hukum internasional dan hukum naional, perlindungan

anak pelaku tindak pidana dalam UU No 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

yang didalamya membahas tentang tahap penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan. Begitu juga dengan kelemahan UU No 3 tahun1997 Tentang

Pengadilan Anak jika dikaitkan dengan perlindungan terhadap anak.

Bab ketiga, merupakan bab yang berisikan tentang uji materil terhadap

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang dimana

terdapat permohonan dan dasar permohonan, permohonan yang diajukan si

pemohon, pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dan putusan Hakim

Mahkamah Konstitusi. Begitu juga dengan implikasi uji materil batas usia anak

sebagai dasar penghapusan pidana bagi anak pelaku tindak pidana.

Bab keempat, merupakan bab Kesimpulan dan Saran yang berisikan

(46)

BAB II

UNDANG-UNDANG NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DIKAITKAN DENGAN PRINSIP PERLINDUNGAN

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

A.Perlindungan Anak Dalam Berbagai Instrumen Hukum Internasional Dan Hukum Nasional

Anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa sebagai titipan yang

diberikan kepada orang tua, selain itu anak merupakan generasi penerus bangsa,

yang akan bertanggung jawab atas eksistensi bangsa ini di masa yang akan

datang. Tidaklah mengherankan jika ada ungkapan yang menyatakan jika hendak

menghancurkan suatu bangsa maka hancurlah generasi mudanya. Sebagai negara

yang bijak maka selayaknya hal tersebut dijadikan sebuah peringatan kepada

bangsa ini, agar senangtiasa menjaga generasi mudanya dari segala kemungkinan

buruk yang mungkin terjadi. Pembinaan terhadap generasi muda haruslah selalu

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan

perkembangan fisik dan mental serta perkembangan sosialnya. Kondisi yang

paling memungkinkan guna pencapaian hasil yang optimal atas cita-cita tersebut

adalah terciptanya kondisi sosial yang kondusif, dan merupakan tanggung jawab

negara dalam menciptakan kondisi semacam itu. Kondisi sosial yang kondusif

selalu di tandandai dengan perkembangan perekonomian yang merata di seluruh

masyarakat yang ada, dan hal itu sudah tentu harus didukung dengan sebuah

sistem hukum yang baik dalam mengawal pembangunan ekonomi yang baik.

Realitas sosial menunjukkan bahwa kondisi kondusif tersebut belum dapat

(47)

nampaknya mengalami anomie kondisi di mana sosial kehilangan nilai dan dan

patokan-patokan hidup. Pemenuhan ekonomi yang menjadi barometer kesuksesan

hidup menyebabkan banyaknya peyimpangan-peyimpangan yang dilakukan oleh

masyarakat dalam mencapainya, tidak terkecuali juga dilakukan oleh anak yang

merupakan generasi muda bangsa ini.

Keadaan seperti itu maka nampaknya penanganan secra hukum terhadap

anak harus pula memperhatikan sifat-sifat khas anak. Penanganan terhadap

prilaku menyimpang anak merupakan perhatian dunia. Adalah UNICEF badan

dunia yang dibentuk oleh PBB yang diperuntukkan untuk menangani anak.

UNICEF telah melakuka riset di seluruh dunia guna menemukan bagaimana

menangani prilaku menyimpang anak secara universal atau paling tidak

menentukan patron yang tepat dalam pembentukan hukum perlindungan bagi

anak-anak di seluruh dunia. Namum demekian out put hukum perlindungan anak

pada akhirnya digantungkan kepada kebijakan negara. Indonesia sendiri

mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Aturam perundang-undangan

tersebut merupakan bagian dari hukum pidana perlindungan anak. Dua regulasi

tersebut memiliki peran masing-masing dalam upaya memberikan perlindungan

terhadap anak. Pada UU No. 3/1997 berfungsi melindungi anak yang melakukan

tindak pidana, dalam hal ini anak adalah pelaku tindak pidana tertentu,

sedanmgkan UU No. 23/2002 berfungsi melindungi anak dalam konteks anak

yang menjadi korban kejahatan. Dengan kedua regulasi tersebut diharapkan dapat

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan Dapodikdas diantaranya adalah, penggunaan Dapodikdas berkaitan dengan berbagai tugas yang berhubungan dengan

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kuat tekan, modulus elastisitas, kuat tarik belah dan serapan air dari benda uji beton yang menggunakan serbuk kaca sebagai

Lengkong, H.N., Sinsuw, A.A.E., Lumenta, A.S.M., 2015, Perancangan Petunjuk Rute Pada Kendaraan Pribadi Menggunakan Aplikasi Mobile GIS Berbasis Android Yang Terintegrasi Pada

Penelitian ini mengembangkan dan menguji model adopsi wajib terhadap teknologi sistem ujian online dengan jaringan lokal sekolah menggunakan model UTAUT

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

• Usaha-usaha yang dilakukan sejak lahir sampai dewasa tersebut mengindikasikan bahwa mereka telah melakukan sebuah proses yaitu proses pendidikan, dari cara yang sangat

Fokus penelitian ini pada implementasi pencegahan penyalahgunaan narkoba pada kalangan pelajar Kota Surabaya yang dilakukan oleh para pejabat pelaksana