• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi anggota forum kerjasama perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Dalam forum WTO ini, perjanjian kerjasama perdagangan dalam berbagai bidang disepakati dan salah satunya adalah bidang pertanian. Perundingan bidang pertanian di dalam forum WTO berlangsung secara perlahan-lahan dan terjadwal karena beragamnya latar belakang tingkat perekonomian, tahapan pembangunan pertanian dan ekonomi negara-negara anggotanya. Atas dasar keberagaman itu, hasil negoisasi dan perundingan bidang pertanian dalam Uruguay Round (UR) atau Putaran Uruguay (PU), yaitu General Agreement on Tariff and Trade tahun 1994 (GATT 1994), disepakati sebagai tahap awal perjanjian, sehingga perlu diperbaiki dan disempurnakan.

Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, perjanjian berlaku sepuluh tahun ke depan sejak mulai berlakunya GATT 1994 (1 Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2005) dan perundingan untuk mencapai kesepakatan baru dalam perjanjian bidang pertanian dimulai kembali lima tahun ke depan sejak mulai berlakunya GATT 1994. Dengan demikian perundingan untuk menyempurnakan perjanjian bidang pertanian atau Agreement on Agriculture

(AoA) WTO, dimulai kembali Januari 2000. Dalam masa perundingan antara Januari 2000 hingga Desember 2005, seperti terinci pada Tabel 1, diharapkan akan menghasilkan kesepakatan baru dalam AoA WTO. Kesepakatan yang dihasilkan tersebut dalam perundingan akan digunakan untuk menyempurnakan

perjanjian khusus bidang pertanian yang sebelumnya merupakan salah satu bagian dari perjanjian GATT 1994.

Tabel 1. Waktu Pelaksanaan dan Hasil Perundingan Agreement on Agriculture

pada Forum World Trade Organization, Periode Januari 2000 - Desember 2005

Waktu Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Perundingan

1 Januari 2000 Dimulai perundingan babak baru bidang pertanian dan

diharapkan batas akhir perundingan adalah 31 Desember 2005 14 November 2001

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV WTO Doha Qatar,

Deklarasi Menteri untuk memulai Doha Development Agenda

(DDA) atau Doha Round (DR)

14 – 20 November 2002 Perundingan Sesi Khusus Komite Pertanian, penyampaian

Proposal dan Modalitas dari Negara-Negara Anggota 12 Februari 2003

Draf pertama modalitas dari Harbinson (Harbinson Texts). Draf pertama bahan perundingan yang diusulkan oleh tim juru runding negara berkembang yang dimotori oleh negara-negara maju. 24 – 28 Februari 2003

Perundingan Sesi Khusus Komite Pertanian, dengan

mempertimbangkan draf pertama modalitas untuk membangun komitmen lebih lanjut dan penetapan modalitas sebagai dasar untuk penyusunan jadwal draf yang lebih komprehensif

31 Maret 2003 Batas waktu penyusunan formula dan modalitas lainnya sebagai

komitmen negara-negara anggota 10 – 14 September 2003

KTM V di Cancun Meksiko, pembahasan draf komprehensif komitmen negara dan melihat kembali modalitas dan komitmen perundingan yang masih tersisa (stock taking). Perundingan gagal mencapai kesepakatan

Januari – Desember 2004

Pertemuan Sesi Khusus Komite Pertanian di Genev agar dicapai

kesepakatan pada Desember 2005. Menghasilkan July Frame

Work 2004 yang dijadikan dasar untuk membuat modalitas perjanjian dan dirundingkan pada KTM VI di Hong Kong, China 13-18 Desember 2005

KTM VI di Hongkong China, belum mencapai kesepakatan dan

perundingan dilanjutkan kembali. July Frame Work 2004

desepakati sebagai draf deklarasi menteri (Draft Ministerial Declaration) sebagai bahan perundingan selanjutnya.

Sumber : WTO dalam berbagai publikasi selama tahun 2000 – 2009

Perundingan untuk bidang pertanian yang dilanjutkan kembali mulai Januari tahun 2000 tersebut, dilakukan dengan tujuan mengurangi lebih lanjut proteksi dan meningkatkan dukungan terhadap bidang pertanian. Agenda perundingan dilaksanakan di Doha, Qatar, sehingga proses perundingan di bidang pertanian ini disebut Doha Agenda. Proses perundingan bidang pertanian

selanjutnya berdasarkan Doha Agenda dalam forum WTO dirundingkan dalam

Committee on Agriculture (CoA) WTO di Jenewa, Swiss.

Dalam periode Januari 2000-Desember 2005, perundingan perjanjian bidang pertanian pada forum WTO menunjukkan tiga perkembangan yang sangat penting. Pertama, pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV WTO di Doha, Qatar pada tanggal 14 November 2001 dihasilkan sebuah deklarasi yang disebut dengan Doha Development Agenda (DDA) dan tahapan perundingan selanjutnya disebut Doha Round (DR). Kedua, pada pertemuan KTM V WTO di Cancun, Mexico pada tanggal 10-14 September 2003 gagal dicapai kesepakatan. Kegagalan ini meningkatkan kesadaran negara-negara anggota WTO mengenai pentingnya penerapan DDA dan juga kesadaran bahwa selama sepuluh tahun sejak berlakunya GATT 1994, belum banyak terjadi perubahan dalam AoA.

Ketiga, pada pertemuan KTM VI WTO di Hong Kong pada tanggal 13-18 Desember 2005 juga tidak dicapai kesepakatan menyeluruh, namun diperoleh satu hasil penting yaitu July Framework 2004 (Kerangka Kerja Juli 1994), berhasil ditetapkan sebagai Ministerial Declaration Draft (draf deklarasi menteri), setelah sebelumnya menjadi keputusan General Council (GC) atau Majelis Umum (MU) WTO pada tanggal 1 Agustus 1994. July Framework 2004 inilah yang dijadikan dasar oleh negara-negara anggota WTO untuk membuat modalitas perjanjian dalam melakukan perundingan selanjutnya.

Dalam Ministerial Declaration Draft, KTM VI WTO tercatat lima hal yang dapat dianggap sangat penting. Pertama, para peserta sidang masih tetap sepakat untuk mendukung deklarasi dan keputusan yang telah dihasilkan di Doha tahun 2001, dan juga keputusan GC WTO pada tanggal 1 Agustus 2004 mengenai

July Framework 2004. Kedua, para peserta sidang juga berusaha menyelesaikan sepenuhnya DDA dan mentuntaskannya mulai tahun 2006 di Doha. Hal ini menjadikan perundingan yang rencananya diakhiri Desember 2005, menjadi dibuka kembali dengan batas akhir yang belum ditentukan. Ketiga, para peserta sidang juga menekankan mengenai betapa pentingnya dimensi rural development

(pembangunan perdesaan), livelihood security (ketahanan sumber penghidupan) dan food security (ketahanan pangan) dalam setiap aspek DDA dan semuanya bertekad kembali untuk membuat setiap aspek DDA menjadi kenyataan bagi semua anggota WTO. Keempat, setiap aspek DDA tersebut harus tercakup dalam setiap hasil perundingan tentang akses pasar (market access), bantuan domestik (domestic supports), subsidi ekspor (export subsidies), penyusunan aturan perjanjian dan isu-isu khusus yang berkaitan dengan pembangunan.

Kelima, khusus bagi negara-negara berkembang dalam Ministerial Declaration Draft secara tegas disebutkan bahwa :

“…. Developing country Members will have the flexibility to self- designate an appropriate number of tariff lines as Special Products guided by indicators based on the criteria of food security, livelihood security, and rural development. Developing country Members will also have the right to have recourse to a Special Safeguard Mechanism based on import quantity and price triggers, with precise arrangements to be further defined. Special Products and the Special Safeguard Mechanism shall be an integral part of the modalities and the outcome of negotiations in

agriculture” (WT/MIN (05)/W/3/Rev.2, Page 2: paragraph no.7, WTO,

2005).

Dalam tahapan perundingan selanjutnya, sejak awal tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2010, perundingan mengenai Special Safeguard Mechanism

(SSM) belum juga selesai, karena belum adanya kesepakatan antara negara-negara berkembang yang bergabung dalam kelompok Government 33 (G-33) dengan kelompok negara-negara maju mengenai rumusan SSM dan metode pembuktiannya. Pembuktian ini digunakan untuk menunjukkan bahwa telah terjadi banjir impor (import surge) pada komoditas pertanian tertentu yang melanda salah satu atau beberapa negara anggota WTO. Indonesia adalah salah satu negara berkembang (sebagai koordinator G-33), di mana pertanian tidak hanya memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional, namun juga mengalami net import komoditas pangan. Oleh karena itu, keberhasilan dalam memperjuangkan SSM dan menerapkannya untuk memberikan perlindungan kepada petani dan produsen pangan olahan menjadi suatu kebutuhan. Dengan demikian, perumusan SSM dan metodologi pembuktian terjadinya banjir impor menjadi sangat penting.

Dalam setiap rapat dan konsultasi teknis yang diadakan oleh Tim Penanganan untuk Perundingan Perdagangan Internasional Bidang Pertanian (Tim P3I TAN), delegasi Indonesia memerlukan dukungan berupa data dasar (data base), metodologi, hasil analisis, dan hasil kajian yang memadai, namun hingga saat ini penelitian dan kajian mengenai SSM masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk WTO di Jenewa sering mengalami kesulitan untuk memberikan argumentasi yang meyakinkan di dalam forum WTO. Dalam rapat yang diadakan pada bulan November 2006 misalnya, Ketua PTRI di Jenewa menyampaikan bahwa kelemahan yang sama umumnya juga dialami oleh negara berkembang lainnya. Indonesia sangat memerlukan suatu kajian yang

komprehensif mengenai SSM dan metodologi pembuktian mengenai terjadinya banjir impor sebagai bahan modalitas (proposal) perundingan berikutnya.

Dokumen terkait