• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Review Hasil Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian FAO (2005) memperlihatkan telah terjadi banjir impor produk pertanian di negara berkembang. Dalam periode 1984-2000 misalnya, telah terjadi peristiwa banjir yang cukup beragam dan terjadi dibanyak negara berkembang baik di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. FAO (2005) melaporkan

bahwa dalam periode itu, ada sepertiga produk pertanian negara berkembang yang terkena banjir impor. Produk yang paling sering terkena banjir impor (dengan angka frekuensi banyak) adalah beberapa jenis daging dan minyak sayur. Pengalaman banjir impor di sejumlah negara berkembang juga telah banyak diperlihatkan hasil penelitian Oxfarm International (2002 dan 2002a) dan Action Aid (2002). Sebagai contohnya adalah Jamaica kebanjiran daging ayam, Kenya kebanjiran produk susu (dairy product), Sinegal terkena banjir pasta tomat dan Haiti kebanjiran beras. Negara yang paling sering mengalami banjir impor adalah Nigeria, Malawi dan Philipina.

Berdasarkan hasil penelitian FAO (2005), dalam periode implementasi AoA tahun 1995-2004, hanya 22 negara atau 56 persen jumlah negara berkembang dari total 139 negara anggota WTO yang mendapatkan perlakuan SSG dan hanya 6 negara atau 22 persen yang memperoleh hak SSG yang telah menggunakannya sebagai alat perlindungan. Sejumlah 22 negara berkembang tersebut, mempunyai hak atas 2 125 pos tarif atau hanya 35 persen dari total sebanyak 6 156 pos tarif yang didaftarkan di WTO. Dengan demikian, negara- negara maju mempunyai hak atas 4 031 pos tarif, atau 65 persen dari total pos tarif yang terdaftar di WTO. FAO (2005) juga melaporkan bahwa dari jumlah 163 pos tarif yang diperoleh negara berkembang, ternyata hanya 1 persen saja yang telah dimanfaatkan. Pada umumnya, negara berkembang mendaftarkan SSG untuk kelompok komoditas atau produk daging, serealia dan susu. Selain itu, secara individu negara yang memanfaatkan SSG juga kecil, dapat dilihat dari tingkat pemanfaatannya. Sebagai contohnya Korea Selatan hanya memiliki tingkat pemanfaatan SSG sebanyak 7 persen, Nikaragua hanya 2.4 persen, Costa

Rica hanya 1 persen, dan Philipina hanya 0.8 persen. Dalam hal pemanfaatan batasan pemicu volume atau harga, jika China Taiwan dikeluarkan dari perhitungan, maka negara berkembang paling banyak menggunakan price triggers

dibandingkan dengan volume trigger. Dari 163 triggers yang digunakan, maka 80 persen triggers tersebut adalah dalam bentuk price trigger SSG. Hasil penelitian FAO (2005), juga menyebutkan bahwa penggunaan SSG, pasti akan terkait dengan sejumlah beban seperti biaya pembuktian dan beban biaya administrasi. Oleh karena itu, ada banyak alasan mengapa pemanfaatan SSG begitu rendah oleh negara berkembang. Padahal SSG adalah satu-satunya instrumen perlindungan sementara yang amat diperlukan oleh negara berkembang. Ditemukan dua jenis kendala dalam penerapan SSG. Pertama, SSG tidaklah cukup sederhana dan kurang fleksibel dalam penerapannya. Kedua, adalah tarif yang dicatat (bound) cukup tinggi, namun penerapannya (applied tariff) harus rendah. Hal itu terkendala oleh beberapa faktor yang salah satunya adalahpersyaratan hutang luar negeri, seperti yang terjadi di Ghana dan Indonesia (FAO, 2005).

Kesulitan penerapan SSG telah dialami oleh banyak negara berkembang, sebagai contohnya adalah Kenya yang ingin menerapkan mekanisme perlindungan SSG untuk komoditas gula pada tahun 2003, setelah pada tahun 2001 terjadi kebanjiran impor gula. Kenya mengalami kesulitan menyediakan data yang akurat mengenai asal produk impor tersebut secara rinci (Action Aid, 2005). Akhirnya, Kenya tidak mampu menggunakan instrumen ini untuk melindungi industri gula serta industri lain yang terkait dengannya. Akibatnya, terjadi kehancuran industri gula dan industri lain yang terkait dengannya dan

berpengaruh buruk terhadap pembangunan ekonomi, penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.

Indonesia memperoleh SSG untuk dua komoditas (susu atau mentega dan cengkeh) dengan jumlah 13 pos tarif. Namun sejak didaftarkan di WTO pada tahun 1994, Indonesia tidak pernah menggunakannya sebagai alat perlindungan sementara. Disamping menghadapi kendala seperti yang telah disebutkan di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah kebutuhan perlindungan pada saat sekarang, ternyata berbeda dengan apa yang dipikirkan pada 1994. Industri peternakan ayam, gula, kedelai, beras Indonesia hampir mengalami kehancuran (collapse),

karena serbuan produk impor, dimana harga produk impor relatif sangat lebih murah jika dibandingkan dengan produk dalam negeri. Masalah seperti ini belum pernah terbayangkan pada waktu Indonesia mengusulkan SSG di Puturan Uruguay.

Berdasarkan hasil penelitian FAO (2005), SSG memiliki setidaknya empat kelemahan. Pertama, tidak semua negara berkembang mendapatkan hak yang sama. Kedua, justru negara maju yang paling banyak memperoleh fasilitas SSG, padahal negara maju tidak menghadapi masalah sisi penawaran dan seharusnya tidak memerlukan SSG. Ketiga, adalah bahwa produk-produk yang didaftarkan pada masa lalu berbeda dengan kebutuhan sekarang. Keempat, peraturan dalam SSG tidak cukup fleksibel untuk negara berkembang. Ketentuan dalam AoS, maupun dalam AoA (pasal 5) tidaklah mudah bagi negara berkembang, terutama untuk membuktikan adanya “injury” yang terjadi atas industri primer yang dihasilkan oleh jutaan orang atau perusahaan yang sangat heterogen. Pembuktian terjadinya injury tentu akan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal,

sehingga menyulitkan negara berkembang untuk melindungi diri dari perlakuan yang tidak fair. Banyak negara-negara berkembang yang tidak dapat memanfaatkan SSG yang diperolehnya. Berdasarkan hal ini, maka SSG tidak pernah efektif untuk dapat digunakan dan memberikan perlindungan bagi negara- negara anggota WTO yang mengalami kejadian banjir impor.

Penelitian mengenai SSM bagi Indonesia masih sangat terbatas dan hingga saat ini baru ditemukan dua sumber pernah mencoba melakukan pengkajian yaitu Hutabarat dan Rahmanto (2004) yang mengkaji secara teoritis dan Sawit et al. (2006) yang menggunakan pendekatan MA. Hutabarat dan Rahmanto (2004) mengemukakan penekanan agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan untuk sewaktu-waktu ingin melindungi pasar domestik dari lonjakan volume impor yang dapat menyebabkan terjadinya banjir impor dan penurunan harga impor secara tiba-tiba. Indonesia berkewajiban membuat suatu kerangka untuk mewujudkan SSM tersebut dan juga perlu menyusun bahan rumusan rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk penerapan isi kerangka SSM tersebut. Kerangka SSM yang diusulkan oleh Hutabaratdan Rahmanto (2004) memiliki enam persyaratan.

Pertama, SSM diberlakukan tidak hanya terbatas pada keadaan, jenis dan jumlah produk tertentu. Kedua, mekanisme harus sederhana dan efektif, yang dapat digunakan untuk semua produk pertanian yang mungkin akan terpengaruh oleh melonjaknya volume impor dan menurunnya harga. Ketiga, penerapannya tidak membutuhkan pembuktian korban kerugian. Keempat, penerapannya tidak menuntut harus ada imbalan pada pihak korban. Kelima, penggunaanya bersifat tetap dan tidak hanya dibatasi selama terjadi proses perubahan seperti pada SSG.

Keenam, alat yang dipakai dalam penerapan SSM dapat berupa tarif bea masuk yang tinggi atau pembatasan jumlah atau volume impor.

Dari segi mekanisme Hutabaratdan Rahmanto (2004) mengusulkan empat hal penting. Pertama, pemicu (trigger) yang digunakan dapat berupa peningkatan jumlah impor dan atau penurunan harga yang tiba-tiba. Penentuannya dilakukan dengan penetapan volume dan atau harga acuan terlebih dahulu dengan metode sederhana regresi trend dan MA dalam suatu kurun waktu tertentu.

Kedua,harga acuan atau referensi yang dipakai adalah harga CIF dalam dolar AS (Amerika Serikat) atau mata uang lain yang umumnya dipakai dalam perdagangan komoditas bersangkutan. Ketiga, apabila volume impor berada di atas nilai trend-

nya atau harga berada di bawah nilai trend-nya, maka salah satu kasus berikut ini dapat dipilih: (i) Bea masuk tambahan (surcharge) diberlakukan pada impor komoditas yang bersangkutan dan besarnya bea masuk tambahan ditetapkan paling tinggi sebesar 50 persen dari tarif yang berlaku atau (ii) Besarnya volume yang dapat di impor paling tinggi sebesar 50 persen dari rata-rata volume impor selama tiga periode di atas nilai trend volume impor. Keempat, apabila volume impor berada di bawah nilai trend-nya atau harga berada di atas nilai trend-nya, maka bea masuk tambahan atau pembatasan impor tidak perlu diberlakukan.

Sesuai dengan kerangka SSM dan proposal G-33, Sawit et al. (2006) menggunakan metode MA tiga tahunan sebagai volume trigger, maka Indonesia mengalami kejadian banjir impor untuk beras empat kali, jagung dan kedele masing-masing tiga kali. Komoditas beras merupakan komoditas yang paling sering terkena serbuan impor dengan lonjakan impor yang paling tinggi untuk beras pernah mencapai 84 persen, jagung 72 persen dan kedele 39 persen. Pada

metode MA lima tahunan, frekuensi banjir impor untuk komoditas untuk jagung empat kali dan kedele lima kali dan beras tidak pernah terjadi. Beras tidak mengalami banjir impor, padahal diketahui bahwa impor beras begitu besar dalam periode krisis 1998 dan 1999, masing-masing mencapai 2.9 juta ton dan 4.8 juta ton. Padahal tahun-tahun sebelumnya hanya sekitar 1 hingga 1.5 juta ton per tahun. Kejadian itu tidak terekam dalam MA lima tahunan yang tinggi (awal periode), namun setelah itu volume impor menurun, sehingga serbuan impor tidak terdeteksi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin pendek perhitungan, maka akan lebih terlihat serbuan impornya, apalagi bila impor pada tahun-tahun awalnya amat tinggi. Oleh karena itu, adalah akan lebih tepat menggunakan MA periode tiga tahunan tahunan sebagai tahun dasar untuk menentukan serbuan impor, daripada MA periode lima tahunan. Menurut Sawit et al. (2006), dalam priode 1996 - 2005, dengan metode MA 36 bulanan, terlihat komoditas yang paling sering terjadi jatuhnya harga adalah jagung (55 kali), kemudian diikuti beras (45 kali), dan kedele (13 kali). Sesuai dengan aturan yang berlaku, tambahan tarif tersebut paling tinggi sebesar jatuhnya harga dan tidak boleh melebihi dari tingkatan itu. Bagi komoditas beras, kejatuhan harga paling tinggi 38 persen sehingga tambahan tarif SSM menjadi paling tinggi 38 persen. Pada saat harga jatuh hanya 5.9 persen, maka tambahan tarif SSM untuk beras paling tinggi 5.9 persen.

Dalam proposal kelompok G-33 tentang SSM, disebutkan bahwa semua negara berkembang dan semua produk atau komoditas pertanian negara berkembang berhak mendapatkan perlindungan sementara SSM. Sawit et al. (2006) berpendapat proposal G-33 tentang SSM berlaku untuk semua jenis

komoditas, tampaknya akan sulit berhasil. Hal ini kemungkinan terjadi karena banyak negara, terutama negara maju seperti AS, Cairn Group, UE belum setuju dengan proposal tersebut di atas. Selama ini, catatan penting yang telah berhasil diperjuangkan adalah semua negara berkembang memperoleh perlindungan sementara SSM. Selanjutnya menurut Sawit et al. (2006), kalau jumlah SSM itu akan dibatasi, maka untuk Indonesia perlu menentukan prioritas yang perlu dipilih sebagai produk calon SSM. Ada tiga pilihan yang dapat diusulkan. Pertama, semua produk strategis yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Pertanian yang jumlahnya 36 komoditas (termasuk tambahan satu komoditas yaitu susu dan olahannya) memperoleh perlakuan SSM. Kedua, jika hal itu terlalu banyak, maka produk SSM dapat dikurangi, menjadi seperti produk yang tertuang dalam produk strategis pemerintah sesuai dengan Program Revitalisasi Pembangunan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang jumlahnya 17 komoditas termasuk tambahan satu komoditas yaitu susu dan olahannya. Ketiga, apabila kedua pilihan di atas tidak berhasil, maka paling rendah adalah memperjuangkan semua produk yang ditetapkan sebagai Strategic Product (SP) yang mendapatkan perlakuan SSM. Dalam kaitannya dengan products coverage, Sawit et al. (2006) berpendapat bahwa perlindungan SSM diberikan pada peningkatan tingkat tarif SSM sebagai remedy SSM, bukan dalam bentuk quantitative restriction. Produk yang telah diikat dalam bound tariff pada tingkat yang tinggi, maka dengan sendirinya telah terlindungi, demikian juga sebaliknya. Perhatian pemilihan produk SSM adalah produk memiliki tingkat bound tariff yang rendah. Indonesia memiliki sejumlah produk yang berada pada tingkat bound tariff yang rendah (di

bawah 10 persen) sebagai contohnya adalah corn flour (9 persen) dan rice flour (9 persen).

Dokumen terkait