• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perlindungan Terhadap Dampak Negatif Liberalisas

2.1.2. Special Safeguard Mechanism

Adanya kesulitan dalam penerapan SSG, menyebabkan negara-negara berkembang terutama yang bergabung dalam G-33 berusaha memperjuangkan mekanisme baru untuk perlindungan dari ancaman banjir impor. G-33 juga menuntut agar diberikan fleksibilitas tinggi untuk perlindungan sementara bagi negara berkembang. Mekanisme baru itulah yang kemudian dikenal sebagai SSM dan diusulkan sebagai pengganti SSG. SSM diusulkan oleh G-33 berdasarkan

SSM adalah sebuah alat perlindungan sementara untuk mengatasi serbuan impor (surge in import) atau kejatuhan harga (decline in price) produk di pasar dunia, yang merupakan bagian dari special and differential treatment (S&DT) atau perlakuan khusus dan berbeda untuk negara berkembang (G-33 2006a dan 2006b). Berbeda dengan SSG, SSM dirancang relatif lebih fleksibel sehingga menjadi efektif apabila dilaksanakan oleh negara berkembang. G-33 telah mengajukan proposal yang berkaitan dengan SSM yang memuat lima aspek pokok (G-33 2006a dan 2006b; WTO 2006a dan 2006b). Pertama, perlindungan boleh dilakukan dalam bentuk menaikkan tarif. Kedua, perlindungan tersebut adalah bersifat sementara (temporer). Ketiga, semua negara berkembang berhak mendapatkannya dan berlaku untuk semua produk pertanian. Keempat, hanya negara berkembang yang berhak mendapatkan SSM, dan dapat digunakan tanpa perlu membuktikan adanya injury. Kelima, SSM perlu dimasukkan dalam AoA dalam rangka melindungi negara berkembang dari pengaruh negatif penurunan tarif akibat berlakunya perjanjian WTO.

Konsep SSM yang telah dituangkan dalam proposal G-33 memperoleh perdebatan keras dan kritikan terutama dari negara-negara maju. Namun demikian, berbagai kritik atas SSM telah dijawab secara konsepsional oleh G-33 (WTO 2006a dan 2006b) dan juga Bernal (2004) tentang garis besar rasional dan konsep SSM. Menurut Sawit et al. (2006), ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam memanfaatkan SSM. Pertama, berkaitan dengan kelayakan negara (country eligibilty) untuk mempunyai hak menggunakan SSM. Kedua, berkaitan dengan kelayakan produk (product eligibility) untuk mendapat fasilitas SSM.

Keempat, berkaitan dengan remedy, yaitu tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan kedua trigger tersebut, apakah kenaikan tarif, tarif kuota, atau batasan kuantitatif yang harus diterapkan untuk merespon banjir impor. Kelima, durasi atau berapa lama SSM boleh diterapkan.

Dalam hal eligibility sebagian besar anggota WTO yang mengusulkan perubahan SSG menjadi SSM, menyepakati bahwa semua negara berkembang layak untuk mendapat SSM (country eligibility) dan semua produk layak untuk mendapat SSM (product eligibility), bahkan bahwa cakupan produk tidak hanya terbatas pada komoditas yang diproduksi dalam negeri saja, tetapi juga komoditas yang tidak diproduksi namun merupakan produk substitusi impor (WTO, 2006 dan 2005; FAO, 2005; G-33 2006a dan 2006b). Menurut Sawit et al. (2006) prinsip yang harus diterapkan adalah bahwa SSM untuk suatu produk tetap diberlakukan selama masalah yang diakibatkan oleh banjir impor belum berakhir dan SSM harus menggunakan harga referensi yang ditetapkan berdasarkan siklus turunnya harga dunia, karena pengalaman selama beberapa dekade memperlihatkan bahwa siklus jatuhnya harga produk pertanian primer adalah sekitar 3 tahun.

Berdasarkan proposal G-33, banjir impor digunakan untuk menggambarkan dua jenis fenomena yang berasal dari external shock (gejolak eksternal). Pertama, fenomena gejolak volume impor, dimana volume impor meningkat secara tajam di atas trendnya. Kedua, fenomena tekanan harga impor, yang sebagian besar diakibatkan oleh fluktuasi harga dunia, yang dapat menyebabkan kejatuhan harga domestik dan mengancam produksi domestik. Aplikasi SSM seperti halnya SSG, adalah sebagai alat perlindungan sementara

sehingga diterapkan jika SSM memenuhi syarat. Persyaratan yang dimaksud terutama menyangkut price trigger maupun volume trigger. Trigger adalah tingkatan atau besaran nilai tertentu dimana SSM memenuhi syarat untuk dipakai sebagai alat perlindungan sementara atas terjadinya banjir impor. Menurut WTO (2005), proposal G-33 menyebutkan bahwa SSM akan diterapkan berdasarkan

volume trigger dan price trigger. Menurut Sawit et al. (2006), sesuai dengan proposal G-33 mengenai SSM, rumus yang dipakai untuk penentuan falling import price (besaran kejatuhan harga impor) sebagai berikut:

% x100 PT PT t CP t FP   ... (1) dimana:

FP = besaran jatuhnya harga (falling price) dalam persen.

CP = harga yang berlaku (current price) bulanan dari harga impor yang dinilai dalam rupiah, dengan memakai kurs tengah Bank Indonesia. PT = batasan harga (price trigger) SSM yang dihitung dengan metode

MA atas dasar harga CIFdalam nilai rupiah.

Dikemukakan oleh Sawit et al. (2006), dalam perhitungan PT digunakan metode MA secara bulanan dalam 36 bulan terakhir dengan alternatif lainnya, PT dihitung dengan harga rata-rata 36 bulan terakhir. Proposal kelompok G-33 juga menyatakan bahwa apabila harga jatuh lebih dari 5 persen, maka SSM akan dipakai sebagai alat perlindungan. Remedy untuk ini dikenakan kapal per kapal dan tambahan tarif (t) SSM tidak boleh melebihi dari perbedaan harga impor dengan harga referensi dalam persen. Oleh karena itu, tambahan tarif SSM (t) dirumuskan sebagai berikut :

dimana:

t = tarif rate

FPt = jatuhnya harga impor atau falling import price.

Sawit et al. (2006) juga mengemukakan bahwa adanya banjir impor dapat dilihat dari meningkatnya volume impor suatu barang di luar batas normal. Volume trigger yang digunakan sebagai dasar acuannya akan sangat menentukan tinggi rendahnya peningkatan volume impor yang dapat menyebabkan banjir impor dan setiap negara akan memiliki tingkatan yang berbeda mengenai besarannya. Dalam proposal G-33 dinyatakan bahwa volume trigger didefinisikan sebagai jumlah impor suatu produk telah melewati tingkatan rata-rata selama tiga tahun terakhir sesuai dengan ketersediaan data. Jadi trigger disini adalah indikator tunggal dari tingkatan impor yang berlangsung selama ini.

Dalam proposal G-33 disebutkan akan dipakai metode MA untuk menghitung terjadi tidaknya banjir impor. Jangka waktu yang diusulkan G-33 adalah MA 3 tahun atau 5 tahun terakhir sesuai ketersediaan data. Metode MA dipakai untuk menentukan volume trigger yang dijadikan sebagai patokannya. Berdasarkan Sawit et al. (2006), sesuai dengan proposal G-33, rumus yang dapat dipakai untuk penentuan besaran banjir impor adalah sebagai berikut:

% x100 VT VT t VM t IS   ... (3) dimana:

ISt = besaran banjir impor dalam persen.

VMt = volume impor yang berlaku tahunan.

VT = adalah volume trigger yang dihitung berdasarkan metode MA untuk impor dalam 3 tahunan dan 5 tahunan terakhir.

Mengacu kepada formula tersebut apabila ISt lebih dari 5 persen (ISt > 5

persen), maka SSM memenuhi syarat untuk diterapkan oleh negara berkembang. Proposal G-33 juga menyatakan bahwa suatu negara yang mengalami banjir telah melebihi 5 persen, maka dengan sendirinya dapat diterapkan remedy dengan menambah besaran tarif atau kemudian disebut tambahan tarif SSM di atas tingkatan yang telah didaftarkan di dalam SoC WTO periode 1995-2004 seperti terinci pada Tabel 4.

Tabel 4. Tambahan Tarif Menurut Kelompok Gejolak Impor Berdasarkan Proposal G-33, Tahun 2006

Kelompok Gejolak

Dokumen terkait