• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Gambaran Umum Yayasan PUAN Amal Hayati

1. Latar Belakang Berdirinya Yayasan PUAN Amal Hayati

Sampai saat ini angka kekerasan terhadap perempuan masih terus saja meningkat. Dari catatan Komnas perempuan tahun 2008, terdapat 7.787 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2003. Angka terus melaju secara konsisten sehingga pada tahun 2007, angka kekerasan telah mencapai

9

Wawancara secara pribadi dengan Andrei Husein pada tanggal 03 Mei 2013

10

Khairul Ali, Emamatul Qudsyiyah, “Ibu Hj. Dra. Shinta Nuriyah Wahid, M. Hum.:

Pejuang Hak-Hak ...”, http://fatayat.or.id/tokoh/detail/6. di akses pada 6 November 2013.

11

25.522 kasus. Dan bentuk kekerasan yang dialami perempuan, dari tahun ke tahun yang terbanyak adalah kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan sejak UU PKDRT disahkan pada tahun 2004, jumlah kasus yang ditangani melonjak sampai hampir empat kali lipat.

Sebelum UUD PKDRT disahkan, dalam rentang waktu antara tahun 2001-2004, jumlah kekerasan yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Namun sejak diberlakukannya UU PKDRT, dalam kurun waktu 2 tahun, yaitu tahun 2005-2007 terhimpun sebanyak 53. 704 kaus PKDRT yang dilaporkan, ini berarti, antara tahun 2001 sampai tahun 2007, pelaporan meningkat sampai lima kali lipat.

Sebetulnya, Indonesia telah meratifikasi konvensi CEDAW, namun kayataannya, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi dimana-mana, mulai dari kelompok sosial yang kecil, yaitu keluarga, sampai kelompok besar, yaitu masyarakat dan keluarga. Sebagaimana yang terdapat dalam gambar di bawah ini:

Pada intinya, semua kasus kekerasan terhadapat perempuan, bersumber pada ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Kuatnya belenggu tradisi dan lemahnnya institusi hukum, sementara pemahaman agama

yang merugikan perempuan, menyebabkan kekerasan yang tercipta dan terpola, dan kekerasan suami terhadap istri, dianggap sebagai hal yang lumrah, wajar dan takdir. Ini terjadi karena konstruksi budaya, dilegitimasi dengan tafsir-tafsir agama oleh kaum laki-laki.

Akibatnya perempuan selalu dihadapkan pada posisi yang dilemahkan, dengan beban sosial yang makin berat dan sulit. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah analisis hukum yang berpresfektif jender. CEDAW maupun UU No. 7 tahun 1974, seharusnya tidak dilihat sebagai aturan hukum yang hanya merupakan deretan pasal yang harus dilaksanakan, melainkan harus dilihat sebagai sebuah sistem hukum yang dapat menciptakan keadilan dan kesetaraan jender dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kondisi seperti ini, pembelaan yang intensif dari para aktivis perempuan mampun lembaga-lembaga hukum yang membela perempuan, sangatlah dibutuhkan, terutama agar proses hukum dapat berjalan sebagai mana mestinya.

Pendampingan yang dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan bisa bersifat fisik, yuridis, sosial maupun ideologi. Pendampingan yang berupa fisik, dapat dilakukan dengan cara memberikan perlindungan secara fisik kepada perempuan korban kekerasan, yang mengalami trauma fisik dan pisikis, serta memeberikan tempat perlindunagn, dan teman yang bisa dijadikan tempat berbagi rasa, menumpahkan rasa, menumpahkan derita fisik dan mental yang dialaminnya. Bagaimanapun, hampir semua bentuk kekerasan terhadap perempuan, akan meniggalkan dampak pisikologis bagi perempuan, suatu dampak yang mungkin tidak langsung kelihatan, tetapi sulit sihilangkan. Sedangkan

pendampingan yuridis adalah, memberikan bantuan kepeda perempuan korban kekerasan, serta mendampinginnya di depan pengadilan.12

Selain itu Sinta Nuriyah bukan hanya menyerukan penolakan kekerasan terhadap rumah tangga dan penolakan kehidupan poligami, akan tetapi ia juga ingin memperbaiki presepsi para kyai, ibu Sinta melakukannya dengan mengajak berdiskusi mengkaji ulang kitab klasik yang selam ini di gunakan di pesantren yang berkaitan tetang perempuan, yang selama ini selalu saja menaggunakan paradigma lama berpegang pada kitab kuning sebagai pedoman. Isi kitab kuning menurut Sinta Nuriyah sesungguhnya tidaklah sepenuhnya sesuai dengan al-Quran.

Ibu Sinta mengatakan isi kitab berisi relasi suami istri yang menggambarkan kedudukan istri sangat terpuruk. Disitu disebutkan kedudukan seorang istri ibarat tawanan perang sang majikan yaitu oleh suami di dalam rumah tangga. Isi kitab kuning menurut Shinta berbeda dengan ide kesetaraan gender, oleh karena itulah kesetaraan gender tak akan bergaung di lingkunagn pesantren sebab kyai-kyai masih beranggapan lama sesuai dengan isi kitab. Kedudukan istri digambarkan sebagai seorang budak, kalu suaminya itu tidak ridho maka tidak akan berarti apa-apa. Hal seperti itu membuat ibu Sinta merasa ganjil apakah memang Islam mengajarkan hal seperti itu. Oleh sebab itu ibu Sinta kemudian mengkaji ulang isi kitab kuning, dan ternyata hadits-hadits yang digunakan sanadnya atau riwayatnya tidak kuat.

12

Puan Amal Hayati, Romantika Kehidupan, (Jakarta: Yayasan Puan Amal Hayati, 2009). h. Vi-Vii, cet. 1

Ibu Sinta menyarankan pihak-pihak yang berpendapat bahwa poligami di perbolehkan itu sebaiknya harus mengkaji al-Quran lebih dalam, seksama, teliti, dalam semua aspek patut dikaji kembali. Sebab menterjemahkan al-Quran tidak terbatas pada lingkup yang tekstual tetapi juka komtekstual. Termasuk mencangkup kajian “asbab al-nuzul” serta melihat bahasanya.

Ibu Sinta harus mengkaji ulang kitab kuning, setelah sebelumnya berhasil membuat tesis berjudul “Perkawinan Usia Muda dan Kesehatan Reproduksi”

dengan mengambil reponden dari kalangan persantren dan non pesantren. Perubahan besar dapat dialaminya setelah mengkaji kitab kuning tersebut, lalu iapun mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati. Di yayasan ini ibu Sinta mulai mengerti betul dan sekaligus ingin terus membela kepentingan perempuan baik perempuan yang berada di dalam maupun di luar rumah tangga yang sama-sama mendapatkan ketidak adilan.13

Melihat beberapa kejadian dan kasus yang selama ini terjadi, tahun 2000 Puan berdiri akan tetapi sebenarnya sebelum itu, ada diskusi antara ibu Shinta Nuriyah dengan banyak orang diantaranya para akademisi, serta dengan para aktivis perempuan yaitu seperti Kyai Husain Muhammad, Kyai Wahid Marianto, Lutfi Fatullah, Ibu Maria Ulfah Ansor yang sekarang menjadi APAI, Ibu Safarina Fadli (Guru besar wanita UI), Ibu Hendartini Absyah (pakar kesehatan produksi), Lis Markus (senior program Asia Fondestion). Hingga pada akhirnya tahun 2001 Puan Amal Hayati baru beroprasi.

13

Ensiklopedi Tokoh, “Ibu Negara Pejuang Hak

Perempuan”,

Advokasi yang dilakukan Puan Amal Hayati adalah berbasis pesantren, dan pada saat itu tidak ada lembaga manapun yang melakukan advokasi melalui pesantren. Kemudian pada akhirnya advokasi yang dilakukan melalui pesantren ini membuahkan hasil yang cukup baik. Saat ini ada sekitar delapan pondok pesantren yang menjadi mitra Puan Amal Hayati yaitu di daerah Indramayu, Tasik Malaya, Probolinggo, Jember, Malang, Sumeneb,dan Lombok serta di Jakarta.

Kemunculannya sebenarnya, bagaiman Puan Amal Hayati juga ikut menjawab, dan juga ikut berjuang untuk memajukan perempuan, yaitu memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Yang basisnya adalah pesantren, karena kita sama-sama mengerti bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang cukup lama di Indonesia, dan memang ada kajian-kajian di Pesantren yang sangat bias jender mungkin bukan hanya bias jender tetapi mungkin sangat diskriminatif. Ada banyak hadist yang diajarkan di pesantren yang sangat mensuport dinasti perempuan oleh sebab itu Puan Amal Hayati ada. Dari sebuah diskusi FK3 kemudian Puan Amal Hayati pun lahir.14