• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KINERJA PETANI

1.1 Latar Belakang

Pembangunan pertanian pada dasarnya merupakan salah satu sistem pembangunan yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Pembangunan sektor pertanian bertujuan untuk menumbuhkembangkan usaha pertanian di pedesaan yang akan memacu aktivitas ekonomi pedesaan,menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memanfaatkan sumberdaya pertanian secara optimal melalui pemanfaatan teknologi yang tepat sehingga kapasitas sumberdaya pertanian dapat dilestarikan dan ditingkatkan (Departemen Pertanian, 2009).

Pada awalnya kondisi alam, cuaca dan budaya masyarakat di Indonesia sangat mendukung sektor pertanian ini dimana tanah Indonesia merupakan tanah yang sangat subur dan produktif sehingga pertanian memang cocok untuk terus dikembangkan di Indonesia. Namun dalam perkembangannya secara umum semakin lama kondisi tanah pertanian di Indonesia semakin rendah tingkat kesuburannya yang berdampak kepada semakin menurunnya tingkat produksi pertanian.Untuk meningkatkan hasil produksi (khususnya padi) biasanya petani mengupayakannya dengan meningkatkan biaya produksi diantaranya berupa peningkatan penggunaan kuantitas dan kualitas benih, pupuk dan pestisida.Pada awalnya penambahan biaya produksi ini bisa memberikan peningkatan kepada hasil pertanian, namun untuk selanjutnya tingkat produksi kembali menurun.

Sejak metode SRI diterapkan di Madagaskar pada dekade 80-an, para pendukung pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi tertarik pada metode SRI untuk menyelesaikan masalah pangan di berbagai negara berkembang, misalnya Mali di Afrika, Vietnam dan negara-negara lain di Asia Tenggara.SRI merupakan suatu teknik budidaya padi dengan memanfaatkan teknik pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Dimana melalui teknologi SRI diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi 50 persen bahkan mampu mencapai 100 persen.Selain itu, teknik budidaya padi SRI merupakan sistem pertanian yang ramah lingkungan karena mengutamakan penggunaan bahan organik sehingga mampu mendukung terhadap pemulihan kondisi lahan yang cenderung mengalami leveling-off.

Sistem ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI. Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang

Tahun 1997, Uphoff memberikan presentasi SRI di Bogor, Indonesia dimana untuk pertama kalinya SRI dipresentasikan di luar Madagaskar.Tahun 1999, untuk pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia.Pengujian SRI di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Penelitian Tanaman Padi (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development/IAARD) di pusat penelitiannya di Sukamandi, Jawa Barat. Hasil pengujian diperoleh bahwa, panen dengan sistem SRI sebesar 6,2 ton/ha sedangkan hasil dari petak control sebesar 4,1 ton/ha, sehingga ada peningkatan hasil sebesar 66,12 persen. Sejak itu, SRI diuji coba di lebih dari 25 negara dengan hasil panen berkisar 7 – 10 ton/ha (Adiratma, 2004).

Dibeberapa tempat masih terjadi pembakaran sisa jerami sebelum pengolahan lahan, sehingga mengakibatkan pencemaran udara dan rotasi unsur hara tidak terjadi. Oleh karena itu Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian pada tahun 2012 akan melaksanakan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan teknis masyarakat tani melalui kegiatan Pelatihan dan Sekolah Lapangan System Of Rice Intensification (SRI) yaitu cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran dengan berbasis pada pengelolaan tanah, tanaman dan air (AAK, 1990).

Dr. Norman Uphoff menulis sebuah makalah, The System of Rice Intensifiaction (SRI) as a System of Agricultural Innovation, untuk sebuah lokakarya tentang Sistem Intensifikasi Padi.Dr. Uphoff adalah seorang pendukung global untuk SRI. Isi dari buku ini dimulai dengan sejarah SRI dan penjelasan “500.000 petani di lebih dari 20 negara sekarang menggunakan metode-metode SRI untuk

meningkatkan produksi beras. Akibatnya mereka mengurangi penggunaan input eksternal dan biaya produksi”. Pernyataan ini menggambarkan bahwa metode SRI merupakan metode revolusioner dalam dunia pertanian karena perkembangan SRI berdasarkan pada farmer to farmer extension (ilmu dan cara SRI disebarluaskan dari petani ke petani, bukan dari atas). Salah satu masalah yang dapat muncul pada saat transisi dari praktek-praktek budidaya tradisional ke SRI adalah pelatihan tenaga kerja.Meskipun demikian Uphoff berpendapat bahwa masalah ini dapat diatasi dan dengan pelatihan yang baik agar supaya para petani menjadi terampil dalam metode SRI (Uphoff, 2009).

Tabel 1.Perbedaan Sistem Konvensional Dengan SRI

Komponen Sistem Konvensional SRI

Kebutuhan benih 30-40 kg/ha 5-7 kg kg/ha

Pengujian benih Tidak dilakukan Dilakukan pengujian Umur

dipersemaian

20-30 HSS* 7-10 HSS*

Pengolahan tanah 2-3 kali (struktur lumpur) 3 kali (struktur lumpur dan rata)

Jumlah tanaman per lobang

Rata-rata 5 batang 1-2batang Posisi akar waktu

tanam

Tidak beraturan Horizontal (L) Pengairan Terus digenangi Disesuaikan dengan

kebutuhan

Pemupukan Pupuk kimia Pupuk organik

Penyiangan Diarahkan pada pemberantasan gulma Diarahkan pada pengelolaan perakaran Rendemen (keuntungan) 50-60% 60-70% (Sumber: Hasibuan, 2012) *

HSS = Hari Setelah Semai

Dari tabel tersebut dapat dilihat perbedaan umum penerapan metode konvensional dan metode SRI. Metode SRI menguntungkan untuk petani, karena produksi dapat

pestisida kimia, tanah menjadi gembur, mikroorganisme tanah meningkat jadi ramah lingkungan. Untuk mempercepat penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.Terlepas dari alasan tersebut, para petani yang menerapkan metode SRI belum menemukan resiko yang lebih besar daripada metode konvensional.

Kabupaten Deli serdang menjadi sentra produksi padi sawah kedua terbesar di Sumatera Utara. Perkembangan luas lahan di Deli Serdang cenderung mengalami fluktuasi, namun produktivitasnya selama lima (5) tahun terakhir selalu mengalami peningkatan.Peningkatan produktivitas usaha tanaman padi sangat dibutuhkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.Meskipun demikian, pemerintah setempat perlu memberi kebijakan serta perhatian khusus terhadap budidaya padi sawah.Hal tersebut berguna untuk menjaga kuantitas dan kualitas padi maupun lahan padi, mengingat lahan pertanian di Indonesia yang pada umumnya telah kritis dankehilangan kesuburan unsur haranya.

Di Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu desa penghasil padi sawah yang menerapkan metode System of Rice Intesification (SRI) dalam usahataninya. Metode tersebut mulai diterapkan sejak tahun 2014 lalu.Sebelumnya petani masih menerapkan teknik budidaya konvensional yang berorientasi pada pupuk, obat-obatan serta bahan-bahan kimia pada usahatani padi nya.Para petani belum mengetahui bahaya penggunaan bahan kimia terhadap kualitas lahan dan produksi padi di masa mendatang.Artinya petani perlu didampingi dan diawasi serta dibekali pengetahuan dan keterampilan

agar mampu mengelola sumberdaya alam yang tersedia di lingkungan sekitar dengan baik, seperti pengelolaan limbah organik yang memiliki banyak keuntungan.Sehingga petani mampu berimprovisasi dalam budidaya usahatani padi sawahnya dan tidak bergantung pada penggunaan bahan kimia.

Adanya perubahan dan peningkatan produksi padi sawah menjadi salah satu dampak yang dapat dirasakan petani setelah menerapkan metode SRI.Metode tersebut pertama kali dilakukan atas dasar adanya kebijakan dari pemerintah dan didukung dengan adanya bantuan berupa pupuk kompos. Menurut Saji (2016), dengan metode konvensional petani hanya memperoleh rata-rata produksi 6,25 ton/ha (250 kg/rante) )sedangkan dengan metode SRI dapat mencapai 7-8,75 ton/ha (300-300 kg/rante). Metode SRI mulai diperkenalkan oleh penyuluh sebagai fasilitator ke kelompok-kelompok tani desa sehingga penyampaian informasi juga lebih efektif. Namun sayangnya penerapan sistemSRIbelum secara serempak di semua daerah.Dengan adanya inovasi dalam peningkatan produksi padi sawah pada system SRI (System of Rice Intesification) serta dampaknya terhadap keseimbangan ekosistem alam diharapkan pula pemahaman dan kesadaran petani untuk memperbarui pengetahuan dan pengalamannya dalam bertani.

Dengan demikian penulis merasa tertarik untuk mengevaluasi sejauh mana penerapan dan kinerja petani dalam menerapkan metode SRI (System of Rice Intesification) di daerah penelitian sehingga melalui penelitian ini petani lain terdorong dan mampu mengikuti dan menindaklanjuti dalam usaha taninya.

akhir penerapan pola SRI tersebut, tetapi juga dimulai dari kinerja petani dalam merencanakan SRI, permodalan yang dimiliki, partisipasi antar lembaga, prosedur penerapan hingga ke hasil dan tujuan penerapan pola SRI itu sendiri. Adapun model evaluasi yang sesuai untuk mengevaluasi kinerja petani yaitu model evaluasi CIPP.

Model evaluasi CIPP merupakan salah satu dari beberapa teknik evaluasi suatu program yang ada. Model ini berlandaskan pada keempat dimensi yaitu dimensi context, dimensi input, dimensi process, dan dimensi product. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi (Rozak, 2013).