• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori .1 Evaluasi

2.2.2 Model Evaluasi CIPP

Menurut Mardikanto (1993) evaluasi sebagai suatu kegiatan, sebenarnya merupakan proses untuk mengetahui atau memahami dan memberikan penilaian terhadap suatu keadaan tertentu, melalui kegiatan pengumpulan data atau fakta dan membandingkannya dengan ukuran serta cara pengukuran tertentu yang telah ditetapkan. Oleh karena itu setiap pelaksanaan evaluasi harus selalu memperhatikan 3 (tiga) landasan evaluasi yang mencakup:

a) Evaluasi dilandasi oleh keinginan untuk mengetahui sesuatu.

b) Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, sehingga dalam mengambil keputusan tentang penilaian harus selalu dilandasi oleh suatu kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari analisis data atau fakta yang berhasil dikumpulkan.

c) Obyektif atau dapat diterima oleh semua pihak dengan penuh kepercayaan dan keyakinannya dan bukan karena adanya suatu keinginan-keinginan tertentu atau disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan dari pihak-pihak tertentu.

Menurut Rozak (2013) dalam proses pengimplementasian suatu program, tentu mempunyai perbedaan dalam evaluasi. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan maksud dan tujuan dari suatu program. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, muncul beberapa teknik evaluasi dalam pengimplementasian suatuprogram. Salah satu teknik dalam evaluasi ialah model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product).

Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio State University. Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation : evaluasi terhadap konteks, input evaluation : evaluasi terhadap masukan, process evaluation : evaluasi terhadap proses, dan product evaluation : evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi.

Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala sekolah dan guru) didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Widoyoko (2009) mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan

bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki (Widoyoko, 2009).

Secara garis besar evaluasi model CIPP mencakup empat macam keputusan: 1) Perencanaan keputusan yang mempengaruhi pemilihan tujuan umum dan

tujuan khusus.

2) Keputusan pembentukan atau structuring. 3) Keputusan implementasi.

4) Keputusan yang telah disusun ulang yang menentukan suatu program perlu diteruskan, diteruskan dengan modifikasi, dan atau diberhentikan secara total atas dasar kriteria yang ada (Rozak, 2013).

Evaluasi konteks (context evaluation) mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan. Evaluasi ini berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu. Stufflebeam menyatakan evaluasi konteks sebagai fokus institusi yang mengidentifikasi peluang menilai kebutuhan. Syatu kebutuhan dirumuskan sebgai suatu kesenjangan (discrepancy view) kondisi nyata (reality) dengan kondisi yang diharapkan (ideality). Dengan kata lain, evaluasi konteks berhubungan dengan analisis masalah kekuatan dan kelemahan dari obyek tertentu yang akan atau sedang berjalan.

Evaluasi (input evaluation) meliputi analisis personal yang berhubungan dengan bagaimana penggunaan sumber – sumber yang tersedia, alternatif – alternatif strategi, yang harus dipertimbangkan untuk mencapai suatu program. Mengidentifikasi dan menilai kapabilitas sistem, alternatif strategi program,

desain prosedur untuk strategi implementasi, pembiayaan dan penjadwalan. Evaluasi input bermanfaat untuk membimbing pemilihan strategi program dalam menspesifikasikan rancangan procedural. Informasi dan data yang terkumpul dapat digunakan untuk menentukan sumber dan strategi dalam keterbatasan yang ada. Pertanyaan yang mendasar adalah baggaimana rencana penggunaan sumber – sumber yang ada sebagai upaya memperoleh rencana program yang efektif dan efisien.

Evaluasi proses (process evaluation) merupakan evaluasi yang dirancang dan diaplikasikan dalam praktek implementasi kegiatan, termasuk mengidentifikasikan permasalahan prosedur baik tata laksana kejadian dan aktivitas. Pencatatan aktivitas harian demikian penting karena berguna bagi pengambil keputusan untuk menetukan tindak lanjut penyempurnaan. Tujuan utama evaluasi proses seperti yang dikemukakan oleh Worthen dan Sanders, yaitu:

1) Mengetahui kelemahan selama pelaksanaan termasuk hal – hal yang baik untuk dipertahankan.

2) Memperoleh informasi mengenai keputusan yang ditetapkan.

3) Memelihara catatan – catatan lapangan mengenai hal – hal yang penting saat implementasi dilaksanakan.

Evaluasi produk (product evaluation) merupakan kumpulan deskripsi dan judgement outcomes dalam hubungannya dengan konteks, input, proses kemudian diinterpretasikan harga dan jasa yang diberikan. Evaluasi produk adalah evaluasi

Pengukuran dikembangkan dan diadministrasikan secara cermat dan teliti. Secara garis besar, kegiatan evaluasi produk meliputi kegiatan penetapan tujuan operasional program, kriteria – kriteria pengukuran yang telah dicapai, membandingkannya antara kenyataan lapangan dengan rumusan tujuan, dan menyusun penafsiran secara rasional. Analisis produk ini diperlukan pembanding antara tujuan, yang ditetapkan dalam rancangan dengan hasil program yang dicapai. Hasil yang dinilai berupa skor tes, presentase, data observasi, diagram data, sosiometri, dan lain- lain, yang dapat ditelusuri kaitannya dengan tujuan penelitian ( Sanders,1984).

2.2.3 Kinerja

Menurut Rivai (2004) kinerja merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh seseorang sesuai dengan perannya dalam pekerjaannya.

Menurut Sulistiyani (2009) kinerja merupakan kombinasi kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Usaha tersebut merupakan kontribusi-kontribusi dari individu dalam suatu organisasi atau instansi menyangkut pelaksanaan dan penyelesaian tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Penilaian kerja pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermamfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara

keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja seseorang (Simamora, 2004).

Dalam menyusun indikator kinerja perlu untuk mempertimbangkan kriteria indikator kinerja SMART sebagai berikut:

a. Specific/Spesifik (S)

Terdefinisikan dengan jelas dan fokus sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Hanya mengukur unsur indikator (output, outcome, atau dampak) yang memang ditujukan untuk mengukur dan tidak ada unsur-unsur lain dalam indikator tersebut.

b. Measurable/Terukur (M)

Dapat diukur dengan skala penilaian tertentu (kuantitas atau kualitas). Untuk jenis data dalam bentuk kualitas dapat dikuantitatifkan dengan persentase atau nominal. Terukur juga berarti dapat dibandingkan dengan data lain dan jelas mendefinisikan pengukuran, artinya data yang dikumpulkan oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda adalah konsisten.

c. Attributable/Achievable/Accountable/Attainable (A)

Dapat dicapai dengan biaya yang masuk akal dan dengan metode yang sesuai, serta berada di dalam rentang kendali/akuntabilitas dan kemampuan unit kerja dalam mencapai target kinerja yang ditetapkan. Kredibel dalam kondisi yang diharapkan. Indikator dapat diperoleh dengan program atau kegiatan itu sendiri dan tidak bergantung pada data eksternal. Indikator harus diterapkan dan dicapai oleh sumber daya internal program atau kegiatan. Indikator juga harus sudah disepakati dalam pengertian umum.

d. Result-Oriented/Relevant (R)

Terkait secara logis dengan program/kegiatan yang diukur, tupoksi serta realisasi tujuan dan sasaran strategis organisasi.

e. Time-Bound (T)

Memperhitungkan rentang waktu pencapaian, untuk analisa perbandingan kinerja dengan masa-masa sebelumnya. Dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. 2.2.4 Metode Penyuluhan Partisipatif

Kegiatan penyuluhan pertanian merupakan salah satu dari sekian banyak variabel yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku pada petani dan perubahan yang terjadi menjadi tujuan akhir dari penyuluhan pertanian (Mardikanto, 1993).

Penyuluhan partisipatif merupakan pendekatan penyuluhan dari bawah ke atas (bottom up) untuk memberikan kekuasaan kepada petani agar dapat mandiri, yaitu kekuasaan dalam peran, keahlian, dan sumberdaya untuk mengkaji desanya sehingga tergali potensi yang terkandung, yang dapat diaktualkan, termasuk permasalahan yang ditemukan (Suwandi, 2006).

Penyuluhan pertanian partisipatif yaitu masyarakat berpartisipasi secara interaktif, analisis-analisis dibuat secara bersama yang akhirnya membawa kepada suatu rencana tindakan. Partisipasi disini menggunakan proses pembelajaran yang sistematis dan terstruktur melibatkan metode-metode multidisiplin, dalam hal ini kelompok ikut mengontrol keputusan lokal (BBPP Lembang). Berdasarkan atas Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian , Perikanan dan Kehutanan ( SP3K) Pasal 26 Ayat 3, dikatakan bahwa "Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja

dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha".

Dengan pelatihan metode penyuluhan pertanian partisipatif, para penyuluh pertanian akan termotivasi untuk menggali keberadaan sumber informasi pertanian setempat yang mudah diakses oleh yang memerlukan, baik penyuluh maupun petani. Pelatihan juga akan mendorong inisiatif positif para penyuluh pertanian dan petani, melalui pendekatan partisipatif untuk mendapatkan solusi permasalahan usahatani di lapangan (BBPP Lembang, 2009).

Untuk menyelenggarakan penyuluhan partisipatif, perlu terlebih dahulu disamakan persepsi atau interpretasi terhadap partisipasi. Persepsi dan interpretasi oleh berbagai pihak tentang pengertian partisipasi masih berbeda – beda. Partisipasi memungkinkan perubahan – perubahan yang lebih besar dalam cara berfikir manusia. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih sedikit terjadi dan perubahan – perubahan ini tidak akan bertahan jika mereka menuruti saran – saran agen penyuluhan dengan patuh daripada bila mereka ikut bertanggung – jawab (Van den Baan dan Hawkins, 1999).

Tingkat partisipasi petani dalam penerapan metodologi penyuluhan pertanian partisipatif mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dirasakan masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini dapat dimaklumi karena konsep ini merupakan paradigma baru penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Namun bagi petani yang telah mengikuti kegiatan ini membawa dampak yang positif bagi pengembangan usahataninya (Sirait, 2006).