• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Dalam dokumen FONETIK DAN FONOLOGI AL- (Halaman 31-35)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‟an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur‟an al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.1 Selain itu al-Qur‟an merupakan mukjizat terbesar yang diterima oleh Rasulullah SAW, ia memiliki keagungan yang sangat dahsyat, sehingga tiada seorangpun yang mampu menandinginya, tiada pula yang mampu membuat satu ayat yang

`semisal dengannya.2

Kemukjizatan al-Qur‟an dalam segala aspek, menyebabkan al-Qur‟an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, al-Qur‟an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang Arab atau biasa dikenal dengan Qira‟at. Imam atau guru Qira‟at itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang3 yaitu Zabban bin „Ala‟ bin „Ammar Mazini al-Basri (w 154 H), „Abdullah bin Katsir al-Makki (w 120 H), Abu Ruwaim Nafi‟ bin „Abdurrahman bin Abu Nu‟aim al-Laisi (w 169 H), „Abdullah bin

1 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an ( Bandung: Mizan, 2000), 3.

2 Katakanlah :”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur‟an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain,”QS.Al-Isra‟ 88

3 Manna‟ Kholil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an diterjemahkan oleh Drs. Mudzakkir As ( Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), 247-249.

„Amir al-Yahshubi (w 118 H), „`Ashim bin Abun Najud(w 127 H), Hamzah bin Habib bin „Imarah az-Zayyat al-Fardi at-Taimi (w 158 H) dan „Ali bin Hamzah (w 189 H)4 yang semuanya belajar kepada tabi‟in yang sanadnya bersambung kepada sahabat yang sampai pada Rosulullah.5 Qira‟at ditinjau dari segi para pembacanya (qurro‟) ada 3 yaitu Qira‟ah Sab‟ah, Qira‟ah Asyrah dan Qira‟ah Arba‟ata Asyrata.6 Tetapi sebagian umat muslim banyak yang menggunakan Qira‟at dari Imam „Ashim.

Dalam membaca al-Qur‟an pembaca harus memperhatikan adab yang dianjurkan. Salah satu adab yang dikenal dalam al-Qur‟an termaktub dalam surah al-Muzammil ayat 4:















“ Dan bacalah al-Qur‟an itu dengan perlahan-lahan”7

yaitu membacanya dengan tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan terang serta memberikan kepada setiap huruf akan haknya atau biasa dikenal dengan ilmu tajwid. Dalam kitab Ma‟a al-Qur‟an al-Karim disebutkan bahwa para ulama‟ sepakat bahwa al-Qur‟an mempunyai tata cara bacaan yang khusus. Setiap pembaca, menurut agama, wajib memperhatikan dan

4 Muhammad Maftuh, Fathul Mannan ( Surabaya: al-Ihsan, 1979), 4.

5 Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Samudra Ulumul Qur‟an ( Terjemahan al-Itqan fi Ulumil Qur‟an) (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006), 357.

6 Liliek Channa dan Syaiful Hidayat, Ulum al-Qur‟an dan Pembelajarannya (Surabaya: Kopertais IV Press, 2011), 344.

7 Manna‟ Kholil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, 270. Bandingkan Ghoyah al-Murid fi „Ilmi al-Tajwid (Riyadh: Dar al-Taqwa, 1992), 14. Nihayah al-Qaul al-Mufid fi „Ilmi al-Tajwid (Surabaya: Dar al-„urabaya: al-Hidayah), 2.

menaati tata cara tersebut.8 Juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Ya‟la dari „Aisyah ra,

مِا وْ سُ وْ مِ اللَّه قَ قَ قَ وْلقَ وْ قَ اللَّه مِ قَ وْلقَ لصو يلص لص اللَّه سُاوْ سُوقَ قَا قَ

“Barang siapa yang tidak melagukan al-Qur‟an, dia bukan termasuk golongan kita.”9

Maksud dari melagukan al-Qur‟an adalah membacanya dengan tartil, bukan dengan lagu tertentu atau memakai irama-irama tertentu, karena hal itu sangat dibenci (makruh).10

Ilmuwan Islam sejak dini telah mencurahkan perhatian yang sangat besar terhadap pemeliharaan al-Qur‟an agar terhindar dari distorsi, baik bacaan maupun makna. Di antara upaya yang mereka lakukan adalah mendiskripsikan makhraj dan sifat bunyi-bunyi al-Qur‟an dengan sangat detail, melebihi deskripsi yang dilakukan ilmuwan lain sampai sekarang. Ilmu bunyi al-Qur‟an tersebut mereka populerkan dengan nama ilmu tajwid dan ilmu qiraat.11

Ilmu tajwid dan qiraat adalah termasuk ilmu yang pertama lahir setelah lahirnya Islam, yaitu pada abad III Hijriah ketika Abu Ubaid Qasim bin Salam (wafat 224 H) meluncurkan bukunya yang berjudul al-Qira‟at . Kemudian disusul oleh Musa bin Abdullah bin Yahya al-Haqani ( w 325 H) dengan

8 Ahmad al-Syarbasi, Ensiklopedia Apa dan Mengapa dalam Islam jld 8 ,Penerjemah Ali Yahya dalam judul a

sli Yas‟alunaka fi al-Din wa al-Hayah (Jakarta: Kalam Publika, 2009), 1075 .

9 Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhori al-Ja‟fy, al-Jami‟ al-Shahih al-Mukhtashar Juz 6, 2737.Tahqiq ; Mustofa Dib al-Bugha, (Bairur: Dar Ibn Kathir).Juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Nasa‟i, Ibn Majjah, Ibn Hibban dan Hakim dan dishohihkan dari Hadits Bara‟Ibn

„Azib ra. Yang ditulis dalam buku karangan Nashrulloh, Lentera Qur‟ani (Malang: UIN Maliki Press, 2012), 103.

10 Wahbah Zuhaili dkk, Ensiklopedia Qur‟an, Penerjemah Tim Kuwais dalam judul asli al-Mausu‟atul Qur‟aniyyatul Muyassarah (Jakarta: Gema Insani, 2007), 613.

11 Ahmad Sayuti Anshari Nasution, Fonetik dan Fonologi al-Qur‟an ( Jakarta: Amzah, 2012),4.

meluncurkan kumpulan syairnya yang diberi nama Qashidah al-Haqaniyyah yang berisikan bunyi-bunyi al-Qur‟an. 12

Beberapa abad setelah al-Haqani wafat, perhatian ulama terhadap ilmu tajwid sangat besar, namun setelah itu kurang mendapat perhatian karena kesakralan objeknya, yaitu al-Qur‟an. Ilmu tajwid dan ilmu qiraat mengalami kemandekan selama beberapa dekade, sehingga ilmu ini tertinggal dibandingkan sarana teknologi informasi. Oleh sebab itu, ilmu tajwid dan ilmu qiraat perlu diadakan pemutakhiran demi pelestarian kedua ilmu tersebut.13

Dengan adanya permasalahan diatas dan didorong dengan perasaan yang kuat untuk menyelaraskan fonetik dan fonologi dengan ilmu tajwid dan ilmu qiraat yang terkesan berseberangan. Semangat untuk melestarikan al-Qur‟an sangat terpatri di Kabupaten Jember terbukti dengan banyaknya pondok pesantren yang didirikan. Pada tahun 2002 sebanyak 450 pesantren dan 8 diantaranya merupakan pondok pesantren Tahfizh al-Qur‟an, sehingga Kabupaten Jember bisa dianggap sebagai kota santri berdasarkan laporan diatas.14 Oleh sebab itu, peneliti memilih objek kajian di Jember. Sedangkan untuk pemilihan penelitian kami meneliti PPTQ Nahdhotut Tholabah karena Pondok Pesantren tersebut peneliti anggap relevan dan cukup mewakili diantara 8 pondok pesantren tahfizh al-Qur‟an dengan judul yang diteliti, maka untuk melengkapi tugas akhir studi program sarjana I, Penulis tertarik untuk

12 Ibid, 5.

13 Ibid, 5.

14 Mawardi Abdullah, Peran Pesantren Nahdhotuth Tholabah Wuluhan Jember Dalam Menciptakan Religiusitas Masyarakat (Penelitian DIPA, P3M STAIN Jember, 2006).

mengambil judul “ Fonetik dan Fonologi al-Qur‟an (Studi Kasus PPTQ Nahdhotut Tholabah Wuluhan Jember)” sebagai skipsi.

Dalam dokumen FONETIK DAN FONOLOGI AL- (Halaman 31-35)

Dokumen terkait