• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1), pernikahan itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Tujuan dari pernikahan adalah untuk untuk membentuk keluarga yang tentram kekal dan bahagia memperoleh keturunan yang sah. Selain itu pernikahan dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah (Rofiq, 1998: 69). Jadi pernikahan bukan hanya hubungan antara suami istri tetapi juga hubungan dengan Allah.

Tujuan sakral dari suatu pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan, penuh kasih sayang dan ketentraman, namun belum tentu tujuan tersebut dapat dirasakan oleh kedua belah pihak karena kebahagiaan tidak dapat dipaksakan.

Terkadang di dalam kehidupan rumah tangga terjadi percekcokan dan perselisihan, meskipun keduanya menginginkan adanya kesesuaian pandangan hidup. Hal ini mungkin saja terjadi sebab perbedaan pendapat, sifat maupun pandangan hidup. Jika masalah yang timbul dirasa sudah tidak ada solusi untuk menyatukan keduanya maka talak merupakan jalan satu-satunya.

Hukum positif mengatur mengenai cerai talak atau dalam istilah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan, tata cara cerai talak diatur dalam pasal 38-41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 113-162.

Maka, sejak dikeluarkannya peraturan ini maka tata cara cerai talak harus dilakukam di depan Pengadilan Agama.

Selain rumusan hukum dalam Undang-Undang Pernikahan tersebut di atas, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI juga merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Pernikahan. Pasal 114 mengenai putusnya pernikahan yang disebabkan oleh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115 mempertegas Pasal 39 Undang-Undang Pernikahan yang sesuai dengan konsen KHI yaitu untuk orang Islam. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah,yang dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan disebutkan pada Pasal 19 cerai talak dapat terjadi karena alasan:

1. Salah satu pihak bebuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukam kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya pernikahan karena kehendak suami atau istri atau kehendak keduanya, karena adanya ketidakrukunan, disebut dengan istilah “perceraian”, yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban seabagai suami atau istri yang sebagaimana seharusnya menurut hukum pernikahan yang berlaku. Konkretnya, ketidakrukunan antara suami dan istri yang menimbulkan kehendak untuk memutuskan hubungan pernikahan dengan cara perceraian, antara lain pergaulan antara suami dan istri yang tidak saling menghormati, tidak saling menjaga rahasia masing-masing, keadaan rumah tangga yang tidak aman dan tentram, serta terjadi silang sengketa atau pertantangan pendapat yang sangat prinsip.

Kewajiban yang harus dilakukan mantan suami terhadap mantan istri yang bercerai karena talak diantaranya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149, antara lain:

a. Pemberian mut‟ah.

b. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah.

c. Melunasi mahar yang terhutang.

d. Memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum berumur 21 tahun.

Pemberian nafkah dari mantan suami kepada mantan istri ini dimaksudkan agar mantan istri dapat memenuhi semua kebutuhan selama masa iddah tanpa melanggar aturan iddah. Mengenai besar kecilnya nafkah (mut‟ah) yang diberikan harus melalui kesepakatan kedua pihak dan berdasarkan kemampuan

suami, jika terjadi perselisihan dalam menentukan jumlahnya maka Pengadilan Agama yang harus mengadili keduanya.

Akibat hukum yang ditimbulkan karena cerai talak berbeda dengan cerai gugat. Apabila pernikahan putus karena cerai gugat atau kehendak istri, maka sesuai Pasal 156 Inpres RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang belum mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah meninggal dunia. Apabila ibunya telah meninggal dunia maka hak perwalian dapat digantikan dengan kerabat ibu atau juga dapat berpindah ke ayah.

Anak merupakan anugerah dari Allah yang harus dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan nafkah anak, biasanya dalam hal ini merupakan kewajiban orang tua laki-laki sebagaimana kewajiban suami dalam keluarga. Ikatan yang terjadi antara orang tua dan anak tidak akan terputus meskipun rumah tangga sudah hancur. Undang-Undang melindungi hak-hak perempuan dan juga anak agar jika terjadi talak anak tetap tumbuh seperti anak-anak lain.

Perceraian yang terjadi karena talak maupun cerai gugat dapat menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi perempuan. Faktanya di Indonesia terjadi permasalahan pasca cerai talak, akibatnya perempuan yang menjadi korban. Karena orang tua perempuan lebih berhak terhadap hadhanah, sehingga jika otang tua laki-laki tidak bertanggung jawab justru memberikan beban financial bagi perempuan sendiri. Jika pihak keluarga mampu mungkin sajantidak akn memberikan beban yang berarti, namun bagi keluarga perempuan

yang tidak mampu akan memberatkan. Permaslahan ini sangat sering terjadi di masyarakat.

Pemikiran mantan suami yang menganggap bahwa setelah putusnya pernikahan maka lepas pula tanggung jawab nafkah membuat mereka enggan bertanggung jawab. Dalam menghadapi situasi yang demikian, seharusnya dapat menuntut melalui jalur hukum. Namun karena mayoritas masyarakat yang kurang mengetahui hukum mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan tidak dapat melakukan apapun meskipun hak-hak mereka tidak terpenuhi.

Berdasarkan latar belakang bersebut tersebut, penulis tertarik mengkaji dalam proposal dengan judul “Implementasi Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian Di Pengadilan Agama Kolaka”

Dokumen terkait