• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KOLAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KOLAKA"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KOLAKA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

OLEH :

TARA FATHIN RUSLI 105430018715

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2020

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Jika salah perbaiki Jika gagal, coba lagi

Tapi jika kamu menyerah, semuanya selesai. 

Saya persembahkan karya ini untuk:

Orang tua saya tercinta Bapak H. Rusli M dan ibu Hj. Najmiah K, saudara saya yang

tersayang Zainul Hasan Rusli, serta keluarga dan sahabat saya yang tiada hentinya selalu mendoakan, memotivasi dan membimbing dengan penuh kasih sayang sampai

terselesainya penyusunan skripsi ini.

(7)

vi ABSTRACK

TARA FATHIN RUSLI 2019. Implementasi Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian Di Pengadilan Agama Kolaka. Skripsi. Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Dr. Hidayah Quraisy, M.Pd dan Pembimbing II Dra. Jumiati Nur, M.Pd.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan yang mengetahui akan hak-haknya setelah bercerai karena adanya proses perubahan, dan perubahan itu sekarang bisa dilihat dari meningkatnya pendidikan prempuan untuk sekarang untuk sekarang ini. Hak-hak perempuan pasca perceraian, diantaranya adalah: mendapatkan mut‟ah yang layak baik berupa uang atau benda kecuali mantan istrinya yang belum digauli, dan mendapatkan hak asuh dan biaya hadhanah untuk anak yang belum mencapai 21 tahun. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (i) Bagaimana kesadaran perempuan terhadap hak-hak pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka (ii) Bagaimana implementasi hak-hak perempuan pasca percearaian di Pengadilan Agama Kolaka. Tujuan dalam penelitian ini adalah (i) Untuk mengetahui kesadaran perempuan terkait hak- haknya pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka (ii) untuk mengetahui hak- hak apa saja yang masih dimiliki perempuan pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan analisis deskritif. Teknik pengumpulan data dan Teknik Analisis Data menggunakan Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi.

Kata Kunci :implementasi hah-hak perempuan pasca perceraian

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan. Sholawat serta salam tetap tercurah kepada keharibaan pemimpin sang Ilahi Rabbi Nabi Besar Muhammad SAW, Sang revolusioner sejati, Sosok pemimpin yang terpercaya, jujur, dan berakhlak karimah yang telah bersusah payah mengeluarkan manusia dari kungkungan kebiadaban, sehingga sampai saat ini manusia mampu memposisikan diri sebagai warganegara yang senantiasa beriman dan bertaqwa dijalan Allah SWT.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah melibatkan berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik, meskipun terdapat hambatan dan kesulitan yang di hadapi dalam penyusunan skripsi ini, namun atas dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga semua dapat terselesikan dengan baik.

Untuk itu dengan hati yang tulus penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda H. Rusli M dan Ibunda Hj. Najmiah K yang telah mengasuh dan membesarkan dengan penuh kasih sayang, serta memberikan bantuan moril dan materil. Beliau telah banyak memberikan doa, nasehat, dorongan dan semangat, begitupun adik-adikku yang selalu menjadi penyemangat dan menjadi motivasi tersendiri buat penulis

(9)

sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Begitu pula penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih banyak disampaikan dengan hormat kepada :

1. Ucapan terima kasih pula yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya yang sangat banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, dan selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh pendidikan.

2. Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Dr. Erwin Akib, M.Pd., Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Dr. Muhajir M.Pd., Ketua Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

5. Dr. Hidayah Quraisy M.Pd., dan Dra. Jumiati Nur. M.Pd ,dosen pembimbing 1 Dan dosen pembimbing 2 yang telah memberikan kritik dan saran yang senantiasa menjadi arah dan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan khususnya kelas PPKn C yang telah banyak

(10)

memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti perkuliahan maupun dalam penulisan proposal ini.

7. Para dosen pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tidak bisa saya sebut satu persatu, terima kasih atas didikan dan ilmu yang diberikan selama perkuliahan.

8. Seluruh staf tata usaha pada lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

9. Seluruh informan penulis di Pengadilan Agama Kolaka yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan banyak informasi yang sangat bermanfaat kepada penulis.

10. Muhammad Surur, S.Ag selaku ketua di Pengadilan Agama Kolaka yang telah bersedia menerima penulis dengan baik.

11. Kamarlah sunusi S.H., M.H, selaku bapak hakim yang selalu memberikan bimbingan dan informasi kepada penulis.

12. Adik tersayang, Zainul Hasan yang selalu memberi semangat dan dukungan serta senantiasa mengalungkan doa dari dulu hingga saat ini yang tiada hentinya.

13. Kepada Winda K. Tundukan sahabat yang yang selalu ada untuk penulis dalam suka maupun duka selama masa perkuliahan sampai sekarang.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.

(11)

Akhir kata, penulismengucapkanpermohonanmaaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Terimakasih, Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.

Makassar, Oktober 2020

Tara Fathin Rusli

(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined.iii DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR GAMBAR ... Error! Bookmark not defined. BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D.Manfaat penelitian ... 6

BAB II ... 7

KAJIAN PUSTAKA ... 7

(13)

A. Kajian Teori ... 7

1. Pengertian Implementasi ... 7

2. Pengertian Kesadaran ... 7

3. Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian... 9

B. Pnelitian Yang Relevan ... 37

C. Kerangka Pikir ... 39

BAB III... 43

METODE PENELITIAN ... 43

A. Jenis Penelitian ... 43

B. lokasi dan waktu penelitian ... 43

C.Informan Penelitian ... 43

D. Sumber Data ... 44

E. Instrument Penelitian ... 45

F. Teknik Pengumpulan Data ... 46

G. Teknik Analisis Data ... 47

BAB IV ... 49

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Deksripsi Lokasi Penelitian ... 49

B. Hasil Penelitian... 53

C. Pembahasan ... 62

(14)

BAB V ... 75

PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

(15)

xii

DAFTAR TABEL

2.1Tabeldata informan...32

(16)

xiii

DAFTAR GAMBAR 1.1 Pengadilan Agama Kolaka

1.2 Visi Dan Misi Pengadilan Agama Kolaka 1.3 Role Mode Pengadilan Agama Kolaka 1.4 Salah Satu Perlengkapan Spanduk 1.5 Proses Sidang Perceraian

1.6 Grafik Perkara (2012-2017)

1.7 Wawancara kepada salah satu informan

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1), pernikahan itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Tujuan dari pernikahan adalah untuk untuk membentuk keluarga yang tentram kekal dan bahagia memperoleh keturunan yang sah. Selain itu pernikahan dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah (Rofiq, 1998: 69). Jadi pernikahan bukan hanya hubungan antara suami istri tetapi juga hubungan dengan Allah.

Tujuan sakral dari suatu pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan, penuh kasih sayang dan ketentraman, namun belum tentu tujuan tersebut dapat dirasakan oleh kedua belah pihak karena kebahagiaan tidak dapat dipaksakan.

Terkadang di dalam kehidupan rumah tangga terjadi percekcokan dan perselisihan, meskipun keduanya menginginkan adanya kesesuaian pandangan hidup. Hal ini mungkin saja terjadi sebab perbedaan pendapat, sifat maupun pandangan hidup. Jika masalah yang timbul dirasa sudah tidak ada solusi untuk menyatukan keduanya maka talak merupakan jalan satu-satunya.

Hukum positif mengatur mengenai cerai talak atau dalam istilah Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan, tata cara cerai talak diatur dalam pasal 38-41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 113-162.

(18)

Maka, sejak dikeluarkannya peraturan ini maka tata cara cerai talak harus dilakukam di depan Pengadilan Agama.

Selain rumusan hukum dalam Undang-Undang Pernikahan tersebut di atas, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI juga merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Pernikahan. Pasal 114 mengenai putusnya pernikahan yang disebabkan oleh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115 mempertegas Pasal 39 Undang-Undang Pernikahan yang sesuai dengan konsen KHI yaitu untuk orang Islam. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah,yang dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan disebutkan pada Pasal 19 cerai talak dapat terjadi karena alasan:

1. Salah satu pihak bebuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukam kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

(19)

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya pernikahan karena kehendak suami atau istri atau kehendak keduanya, karena adanya ketidakrukunan, disebut dengan istilah “perceraian”, yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban seabagai suami atau istri yang sebagaimana seharusnya menurut hukum pernikahan yang berlaku. Konkretnya, ketidakrukunan antara suami dan istri yang menimbulkan kehendak untuk memutuskan hubungan pernikahan dengan cara perceraian, antara lain pergaulan antara suami dan istri yang tidak saling menghormati, tidak saling menjaga rahasia masing-masing, keadaan rumah tangga yang tidak aman dan tentram, serta terjadi silang sengketa atau pertantangan pendapat yang sangat prinsip.

Kewajiban yang harus dilakukan mantan suami terhadap mantan istri yang bercerai karena talak diantaranya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149, antara lain:

a. Pemberian mut‟ah.

b. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah.

c. Melunasi mahar yang terhutang.

d. Memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum berumur 21 tahun.

Pemberian nafkah dari mantan suami kepada mantan istri ini dimaksudkan agar mantan istri dapat memenuhi semua kebutuhan selama masa iddah tanpa melanggar aturan iddah. Mengenai besar kecilnya nafkah (mut‟ah) yang diberikan harus melalui kesepakatan kedua pihak dan berdasarkan kemampuan

(20)

suami, jika terjadi perselisihan dalam menentukan jumlahnya maka Pengadilan Agama yang harus mengadili keduanya.

Akibat hukum yang ditimbulkan karena cerai talak berbeda dengan cerai gugat. Apabila pernikahan putus karena cerai gugat atau kehendak istri, maka sesuai Pasal 156 Inpres RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang belum mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah meninggal dunia. Apabila ibunya telah meninggal dunia maka hak perwalian dapat digantikan dengan kerabat ibu atau juga dapat berpindah ke ayah.

Anak merupakan anugerah dari Allah yang harus dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan nafkah anak, biasanya dalam hal ini merupakan kewajiban orang tua laki-laki sebagaimana kewajiban suami dalam keluarga. Ikatan yang terjadi antara orang tua dan anak tidak akan terputus meskipun rumah tangga sudah hancur. Undang-Undang melindungi hak-hak perempuan dan juga anak agar jika terjadi talak anak tetap tumbuh seperti anak-anak lain.

Perceraian yang terjadi karena talak maupun cerai gugat dapat menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi perempuan. Faktanya di Indonesia terjadi permasalahan pasca cerai talak, akibatnya perempuan yang menjadi korban. Karena orang tua perempuan lebih berhak terhadap hadhanah, sehingga jika otang tua laki-laki tidak bertanggung jawab justru memberikan beban financial bagi perempuan sendiri. Jika pihak keluarga mampu mungkin sajantidak akn memberikan beban yang berarti, namun bagi keluarga perempuan

(21)

yang tidak mampu akan memberatkan. Permaslahan ini sangat sering terjadi di masyarakat.

Pemikiran mantan suami yang menganggap bahwa setelah putusnya pernikahan maka lepas pula tanggung jawab nafkah membuat mereka enggan bertanggung jawab. Dalam menghadapi situasi yang demikian, seharusnya dapat menuntut melalui jalur hukum. Namun karena mayoritas masyarakat yang kurang mengetahui hukum mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan tidak dapat melakukan apapun meskipun hak-hak mereka tidak terpenuhi.

Berdasarkan latar belakang bersebut tersebut, penulis tertarik mengkaji dalam proposal dengan judul “Implementasi Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian Di Pengadilan Agama Kolaka”

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah:

1. Bagaimana kesadaran perempuan terkait hak-hak pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka?

2. Bagaimana implementasi hak-hak perempuan pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kesadaran perempuan terkait hak-haknya pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka.

(22)

2. Untuk mengetahui hak-hak apa saja yang masih dimiliki perempuan pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian diatas maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan apat menjadi sumber yang bermanfaat untuk dipelajari bagi para pembacaan peneliti dalam menunjang pengetahuan khususnya dibidang perceraian.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada peneliti lainnya yang ingin mengembangkan lebih lanjut penelitian ini.

2. Manfaat praktis

a. Bagi perempuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kesadaran pada perempuan kota Kolaka dalam mengetahui hak-hak apa saja dimiliki pasca perceraian.

b. Bagi peneliti dapat dijadikan sumber pengetahuan baru terkait dengan hak perempuan dalam pasca perceraian.

(23)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Implementasi

Implementasi ini merupakan suatu penerapan atau juga sebuah tindakan yang dilakukan dengan berdasarkan suatu rencana yang telah/sudah disusun atau dibuat dengan cermat serta juga terperinci sebelumnya. Pendapat lain juga mengatakan bahwa pengertian implementasi merupakan suatu tindakan atau juga bentuk aksi nyata dalam melaksanakan rencana yang sudah dirancang dengan matang. Dengan kata lain, implementasi ini hanya dapat dilakukan apabila sudah terdapat perencanaan serta juga bukan hanya sekedar tindakan semata.Sesuatu tersebut dilakukan agar timbul dampak berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan serta kebijakan yang telah dibuat oleh lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara.

Dari penjelasan itu kita dapat melihat bahwa implementasi bermuara pada mekanisme suatu sistem. Penerapan implementasi itu harus sesuai dengan perencanaan yang sudah dibuat supaya hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan.

2. Pengertian kesadaran

Kesadaran adalah kesadaran akan perbuatan. Sadar artinya merasa, tau atau ingat (kepada keadaan yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya,

(24)

ingat kembali (dari pingsannya), siuman, bangun (dari tidur) ingat, tau dan mengerti. Adapun kesadaran menurut para ahli yaitu:

a. Menurut Sartre kesadaran adalah kekosongan. Alasannya, pertama, karena kesadaran adalah kesadaran diri. Kesadaran bisa melepaskan dirinya dari objek-objek sehingga menyadari bahwa dirinya bukan objek-objek tersebut. Kedua, kesadaran adalah kekosongan karena dunia seluruhnya berada di luar dirinya. Sartre mengungkapkan adanya tiga sifat kesadaran manusia. Pertama, kesadaran bersifat spontan. Artinya, ia dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain. Ia menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut. Artinya, kesadaran tidak menjadi objek bagi sesuatu yang lain. Ketiga, kesadaran bersifat transparan. Artinya, kesadaran mampu menyadari dirinya. Kesadaran diri merupakan eksistensi manusia yang membedakannya dengan eksistensi benda-benda.

b. Menurut Sigmun Freud bahwa kesadaran hanyalah sebagian kecil dari seluruh kehidupan psikis. Psikis diibaratkan fenomena gunung es di tangah lautan luas yang ada dalam alam sadar atau kesadaran, sedangkan yang berada dibawah permukaan air laut dan merupakan bagian terbesar adalah hal-hal yang tidak disadari atau ketidaksadaran. Menurut Freud di dalam ketidaksadaran inilah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi.

c. Menurut Maurice Bucke kesadaran diri adalah kesadaran tingkat sedang namun levelnya lebih tinggi dari sederhana kesadaran, perbedaannya adalah

(25)

jika sederhana kesadaran tidak mengetahui dan menyadari apa yang dilakukannya, kesadaran diri mengetahui dan menyadari apa yang dilakukannya. Contohnya manusia mengetahui informasi yang berada dilingkungannya dan menyadari apa yang dilakukannya.

3. Hak-Hak Perempuan Pasca Pereraian A. Perngertian Pernikahan

Pernikahan adalah upacarapengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan pernikahan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam.

Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia dan merupakan ibadah bagi seorang muslim untuk dapat menyempurnakan iman dan agamanya. Dengan menikah, seseorang telah memikul amanah tanggung jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap keluarga yang akan ia bimbing dan pelihara menuju jalan kebenaran. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya.

Kepentingan sosial itu yakni memelihara kelangsungan jenis manusia, melanjutkan keturunan, melancarkan rezeki, menjaga kehormatan,

(26)

menjagakeselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.

Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: "Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sesuai dengan rumusan itu, pernikahan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah pernikahan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

Dari segi agama Islam, syarat sah pernikahan penting sekali terutama untuk menentukan sejak kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan melakukan hubungan seksual sehingga terbebas dari perzinaan. Zina merupakan perbuatan yang sangat kotor dan dapat merusak kehidupan manusia. Dalam agama Islam, zina adalah perbuatan dosa besar yang

(27)

bukansaja menjadi urusan pribadi yang bersangkutan denganTuhan, tetapi termasuk pelanggaran hukum dan wajib memberi sanksi-sanksi terhadap yang melakukannya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran hukum masyarakatnya.

Agama Islam menggunakan tradisi pernikahan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu tampaknya sejalan dengan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya." Dari pasal tersebut sepertinya memberi peluang-peluang bagi anasir-anasir hukum adat untuk mengikuti dan bahkan berpadu dengan hukum Islam dalam pernikahan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara pernikahan adat yang masih kelihatan sampai saat ini adalah pernikahan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang atau disebut nikah siri. Pernikahan ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau ahli agama dengan memenuhi syariat Islam sehingga pernikahan ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang berwenang untuk itu.

B. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus

(28)

memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan dan kontrak. Dan bagaimana mereka menemukan biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka.Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat menyelesaikan kepengadilan.

Seperti dikutip dalam buku pengantar antropologi hukum yang ditulis oleh prof. H. Hilman Hadikusumah, S.H. 2004

“Jika terjadi perselisihan di dalam rumah tangga, maka pihak yang merasa diperlakukan secara kasar, atau merasa dirugikan, dapat mengadukan masalahnya kepada anggota kerabat yang terpandang misalnya yang mempunyai kedudukan tinggi, seperti kepala perkampungan atau pemegang jabatan lain, untuk dapat menyelesaikan perselisihan mereka dengan baik.”

Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai pengertian perceraian tetapi hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam pasal 113 sampai dengan pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan- alasan tersebut harus benar-benar menurut hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam(KHI) yang isinya sebagai berikut :"Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak."

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 seperti yang termaktub diatas maka yang dimaksud dengan perceraian perspektif

(29)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama.Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar persidangan, maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

1) Hukum bercerai

Talak meskipun secara umum diperbolehkan, namun hukum talak itu tidak tetap pada satu hukum saja, melainkan ada lima kemungkinan hukumnya, yaitu:

a. Wajib, adalah perceraian yang diajukan oleh dua penengah dari masing–

masing pihak setelah sebelumnya kedua bela pihak berselisihdan meminta ditengahi oleh perwakilan keluarganya, apabila kedua perwakilan tersebut sudah menetapkan agar suami istri itu bercerai maka perceraian pun menjadi wajib hukumnya.

b. Makruh, adalah perceraian yang tidak perlu dan tanpa alasan. Maka hukum perceraian seperti itu tidak diperbolehkan.

c. Mubah, adalah ketika cerai memang diperlukan akibat perbuatan istri yang tidak dapat menjaga perilakunya atau tidak dapat melayani suaminya dengan baik, ataupun tidak terpenuhinya maksud–maksud lainnya dari pernikahan itu sendiri. Sunnah nabi s.a.w pun menunjukkan kebolehan talak. Jadi, talak itu hukumnya mubah bagi setiap suami yang berkewajiban mahar, dan bagi siapa saja yang istrinya tidak terlepas dari kebaikan dan keburukan dalam satu keadaan.

(30)

d. Dianjurkan, adalah ketika istri sudah tidak dapat dinasehati lagi dan diajak untuk memenuhi hak Allah, misalnya tidak mau mengerjakan shalat atau semacamnya.

e. Terlarang, adalah kata cerai yang diucapkan oleh suami pada saat istrinya sedang haid, atau pada masa bersih namun diantara masa tersebut masih terjadi hubungan badan diantara keduanya. (Maryono. 2013:207).

2) Penyebab perceraian

Faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut:

a. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga

Alasan tersebut diatas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail..

b. Krisis moral dan akhlak

Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan oleh suami maupun istri, missal mabuk, berzina, terlibat tidak kriminal, bahkan utang piutang.

(31)

c. Perzinaan

Disamping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadi perceraian adalah perzinaan, yaitu hubungan seksual diluar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri.

d. Pernikahan tanpa cinta

Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri sebuah pernikahan adalah bahwa pernikahan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.

e. Adanya masalah – masalah dalam pernikahan

Dalam sebuah pernikahan pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam pernikahan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat lagi didamaikan secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan antara suami istri.

3) Syarat – syarat perceraian

Syarat – syarat termaktub dalam pasal 39 Undang-Undang pernikahan terdiri dari 3 ayat, yaitu:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(32)

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Putusan perceraian harus didaftarkan pada pegawai pencatatan sipil ditempat pernikahan itu telah dilangsungkan.Mengenai pernikahan yang dilangsungkan diluar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada pegawai pencatatan sipil dijakarta.Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim.Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh Undang – Undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut Undang – Undang pernikahan masih tetap berlangsung.

4) Bentuk – bentuk perceraian

Bentuk – bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya pernikahan yang diatur dalam hukum islam, yang dapat menjadi alasan – alasan hukum perceraiannya dan bermuara pada cerai talak dan cerai gugat yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 7 Tahun 1975, dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Talak

Secara harfiyah, talak berarti lepas dan bebas.Dihubungkan kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya pernikahan, karena antara suami dan istrisudah lepas hubungannya atau masing – masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan

(33)

rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.

Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa dalam hukum islam hak talak ini hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa pada umumnya suami lebih mengutamakan pemikiran dalamm empertimbangkan sesuatu dari pada istri (wanita) yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya perceraian lebih dapat diminimalisasi daripada jika hak talak diberikan kepada istri.

b. Syiqaq

Konflik antara suami istri itu ada beberapa sebab dan macamnya.

Sebelum koflik membuat suami mengalami keputusan berpisah yang berupa thalaq, maka konflik – konflik tersebut antara lain adalah syiqaq.Jalan yang paling baik untuk menyelesaikan konflik antara suami dan istri adalah musyawarah oleh keluarga besarnya, karena merekalah yang paling berkepentingan terhadap kebaikan seluruh keluarga besar.Jika jalan terang ini tidak dilalui, maka dapat mengakibatkan kerusakan, permusuhan, dan kebencian yang melanda banyak rumah tangga lalu menghacurkan akhlak dan adab, serta keharmonisan keluarga, kerabat dan masyarakat itu sendiri.

c. Khulu‟

Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya pernikahan, karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaiannya itu dari suaminya.Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fikih khulu‟

diartikan dengan putus pernikahan dengan menggunakan uang tebusan,

(34)

menggunakan ucapan talak atau khulu‟.Khulu‟ itu merupakan satu bentuk dari putusnya pernikahan itu, namun beda dengan bentuk lain dari putusnya pernikahan itu, dalam khulu‟ terdapat uang tebusan, atau ganti rugi atau

„iwadh.

d. Fasakh

Secara epistomologi, fasakh berarti membatalkan.Apabila dihubungkan dengan pernikahanfasakh berarti membatalkan pernikahan atau merusakkan pernikahan.Kemudian, secara terminologys fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama atau berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.

Hukum pelaksanaan fasakh pada dasarnya adalah mubah atau boleh, yakni tidak disuruh dan tidak pula dilarang.Namun, bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu, hukumnya bisa bergeser menjadi wajib, misalnya kelas dikemudian hari ditemukan adanya rukun dan syarat yang tidak dipenuhi oleh suami dan istri.

e. Fahisah

Fahisah menurut Alquran Surah An-Nisa‟ (4); 15 ialah perempuan yang melakukan perbuatan keji atau perbuatan buruk yang memalukan keluarga seperti perbuatan mesum, homo seksual, lesbian dan sejenisnya.Apabila terjadi peristiwa yang demikian itu, maka suami dapat bertindak mendatangkan 4 (empat) orang saksi laki-laki yang adil yang

(35)

memberikan kesaksian tentang perbuatan itu, apabila terbukti benar, maka kurunglah wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya.

f. Ta‟lik Talak

Pada prinsipnya ta‟lik talak, menurut penjelasan sudarsono adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami dan istri.Dalam kenyataan, hubungan suami istri menjadi putus berdasarkan ta‟lik talak dengan beberapa syarat, yaitu pertama, berkenaan dengan adanya peristiwa dimana digantungkan talak berupa terjadinya sesuatu seperti yang diperjanjikan. Misalnya: pernyaatan suami jika ia meninggalkan istri selama 6 bulan dengan tiada kabar dan tidak mengirim nafkah lahir batin atau suami berjanji bahwa ia tidak akan memukul istri lagi. Kedua, menyangkut ketidakrelaan istri.Apabila suami tenyata tetap melakukan pemukulan kepada istri, maka istri tidak rela.Ketiga, apabila istri sudah tidak rela, maka ia boleh menghadap pejabat yang berwenang menangani masalah ini, yang dalam hal ini Kantor Urusan Agama. Keempat, istri membayar „iwadl melalui pejabat yang berwenang sebagai pernyataan tidak senang terhadap sikap yang dilakukan suami terhadapnya.

g. Ila‟

Ila‟ berasal dari bahasa Arab, yang secara berarti kata berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau “sumpah”. Dalam artian definitif terdapat beberapa rumusan yang hampir atau berdekatan maksudnya. Definisi yang disepakati untuk mengartikan ila‟ adalah

(36)

sebagaimana yang terdapat dalam syarh minhaj al-Thalibin karya Jalal al- Dien al-Mahally (IV:8), yang berarti “sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya”.

h. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu baginya sama dengan punggung istrinya. Ibarat seperti ini erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Arab, apabila masyarakat Arab marah, maka ibarat/penymaan tadi sering terucap. Apabila ini terjadi berarti suami tidak akan menggauli istrinya.

i. Li‟an

Pernikahan dapat putus karena li‟an.Li‟an diambil dari kata la‟n (melaknat), karena pada sumpah kelima, suami berkata bahwa ia menerima laknat Allah bila ia termaksuk orang-orang yang berdusta. Perkara ini disebut li‟an,itli‟an (melaknat diri sendiri) dan mula‟anah(saling melaknat). Li‟an diambil dari firman Allah: “Dan (sumpah) yang kelima, bahwa lanat Allah atasnya, jika ia termaksuk orang-orang yang berdusta”.

j. Murtad (Riddah)

Syaik Hasan Ayyub menjelaskan apabila salah seorang suami istri murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka nikah terkena fasakh menurut pendapat mayoritas ulama.Dituturkan dari Abu Daud bahwa pernikahan tidak terkena fasakh sebab kemurtadan, karena menurut ketentuan dasar nikahnya tetap sah.Apabila kemurtadan terjadi setelah persetubuhan, maka dalam hal

(37)

ini ada dua pendapat.Satu mengatakan pendapat bahwa sertamerta terjadi perpisahan.Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.

Pendapat lain mengatakan bahwa perpisahan ditunda hingga berakhirnya iddah. Apabila yang murtad itu kembali masuk islam sebelum iddah berakhir, maka suami istri tetap dalam hubungan pernikahan. Apabila ia tidak masuk islam sampai akhir iddah berakhir, maka terjadi perpisahan sejak hari ia murtad. Ini adalah mahzab syafi‟i, riwayat kedua dari Ahmad dan Daud Azh Zhahiri berdasarkan ketentuan diatas mengenai kemurtadan sebelum terjadinya persetubuhan.

5) Bentuk cerai dalam hukum positif a. Cerai talak (cerai)

Seorang suamiyang diberi hak mutlak mentalak istrinya. Hak talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan dari Al-Qur‟an, sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang-undangan tentang pernikahan di Indonesia juga memberikan hak mutlah kepada suami untuk mentalak istrinya tetapi dengan ketentuan yang berlaku

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan perundang- undangan lainnya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam lebih tegas lagi menyebutkan bahwa bila mana pernikahan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan kepada bekas istrinya:

(1) Mut‟ah yang layak berupa uang atau barang

(2) Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan perlengakapan hidup (kiswah).

(3) Melunasi mahar yang belum lunas terbayar.

(38)

(4) Biaya hadhanah biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

b. Cerai Gugat

Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminyauntuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan yang di maksud sehingga putus hubungan penggunggat (istri) dengan tergugat (suami) pernikahan (Ali, 2006:77). Dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan,dalam hal teknis yang menyangkut kompetensi wilayah Pengadilan seperti dalam cerai talak mengalami perubahan.

C. Pengertian hak – hak individu dan hak – hak perempuan

Secara umum, pengertian hak adalah segala sesuatu yang mutlak menjadi milik seseorang dimana penggunaanya tergantung kepada orang tersebut dengan rasa tanggung jawab.Pendapat lain mengatakan bahwa arti hak adalah segala sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, bahkan sejak manusia tersebut masih didalam kandungan. Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan sesuatu yang harusnya diterima atau dilakukan oleh suatu pihak dan secara prinsip tidak dapat dituntut secara paksa oleh pihak lain.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengertian hak adalah sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, dan kekuasaan seseorang untuk berbuat sesuatu karena telah diatur oleh Undang–undang atau peraturan.

Penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi hak adalah sesuatu

(39)

yang mutlak menjadi milik kita penggunaan hak tersebut tergantung kepada diri kita sendiri. Adapun hak menurut para ahli yaitu :

1. Pengertian Hak Menurut Menurut Srijanti Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. (Srijanti,2007:121)

2. Pengertian Hak Menurut Prof. Dr. Notonegoro Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh pihat lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.

(Prof. Dr. Notonegoro, 2010:30)

Hak-hak perempuan terdiri dari beberapa jenis yaitu : a. Hak–hak utama perempuan

Perempuan sering kali termarjinalkan oleh konsepsi sosial budaya di masyarakat yang cenderung patriarkis tanpa melihat hak. Perlakuan diskriminatif kerap kali diterima perempuan Indonesia, baik dalam kehidupan sosial maupun dunia professional. Adapun 5 hak–hak perempuan yaitu:

1) Hak dalam ketenagakerjaan

Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. Hak ini meliputi kesempatan yang sama dari proses seleksi, fasilitas kerja, tunjangan, dan hingga hak untuk menerima upah

(40)

yang setara. Selain itu, perempuan berhak untuk mendapatkan masa cuti yang dibayar, termasuk saat cuti melahirkan.Perempuan tidak bisa diberhentikan oleh pihak pemberi tenaga kerja dengan alasan kehamilan maupun status pernikahan.

2) Hak dalam bidang kesehatan

Perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan, dan hak tersebut harus diupayakan oleh Negara.Negara juga menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.

3) Hak yang sama dalam pendidikan

Seperti salah satu poin perjuangan RA Kartini, setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat dasar hingga universitas. Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk pendidikan, termasuk kesempatan yang sama untuk mendapatkan beasiswa.

4) Hak dalam pernikahan dan keluarga

Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki dalam pernikahan. Perempuan punya hak untuk memilih suaminya secara bebas dan tidak boleh ada pernikahan paksa. Pernikahan yang dilakukan harus berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak dalam keluaga, perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami istri.

(41)

5) Hak dalam kehidupan publik dan politik

Dalam kehidupan publilk dan politik, setiap perempuan berhak untuk memilih dan dipilih. Setelah berhasil terpilih melalui proses yang demokratis, perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah hingga implementasinya.

b. Hak perempuan dalam perkawinan

Hak–hak perempuan dalam perkawinan diantaranya yaitu:

1) Hak perempuan untuk memilih calon suami

Islam memberikan hak kepada perempuan untuk menerima pilihannya dan menolak yang tidak disukainya dalam perkawinan.Islam melarang wali menikahkan secara paksa dan anak gadis dan saudara perempuannya dengan orang yang tidak mereka sukai. Islam menganggap pemaksaan dalam menentukan suami sebagai suatu kezaliman karena disamping melanggar hak asasi kaum perempuan juga akan menimbulkan permusuhan dan perpecahan antara keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki – laki bila terjadi ketidakcocokan dalam perkawinan.

Dalam hal ini, orangtua hanya mempunyai hak untuk menganjurkan atau menasehati atau memberikan arahan mana yang terbaik bagi anaknya untuk memilih calon suami. Hal ini menegaskan bahwa hak menentukan calon mutlak ada ditangan masing–masing calon.

(42)

2) Hak perempuan untuk menerima mahar

Salah satu keistimewaan sayarat islam dalam perlindungan dan penghormatan kepada kaum perempuan dari semua ketentuan syarat adalah adanya ketentuan mahar yang harus ditentui harus dipenuhi pihak laki–laki sebelum rumah tangga itu ditegakkan. Mahar (mas kawin) adalah semacam pemberian atau hadiah yang diberikan oleh mempelai laki–laki pada waktu akad nikah. Pemeberian ini sesuai dengan kemampuan yang memberi, karena itu tidak terlarang kalau pemberian itu sedikit atau banyak, selama masih dalam batas–batas kemampuan.

3) Hak perempuan untuk memdapatkan nafkah

Seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah secara penuh kepada istrinya yang sesuai dengan kondisi sosial istri dan kemampuan financial suami. Adapun unsur yang termaksuk biaya nafkah adalah biaya susuan, nafkah makan dan minum (pangan), pakaian (sandang), pembantu rumah tangga, tempat tinggal (papan), dan kebutuhan seks.Nafkah hanya diwajibkan atas suami terhadap istinya.Nafkah hanya diwajibkan atas suami karena tuntutan akad nikah dank arena keberlangsungan bersenang – senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami selalu meyertainya, mengatur rumah tangga dan mendidik anak–

anaknya.

(43)

4) Hak reproduksi perempuan

Sejalan dengan fungsi reproduksi yang dimilikinya perempuan mempunyai tugas mengandung anak (alhamalah), melahirkan (alwiladah),menyusui (alradla‟aha), mengasuhnya (tarbiyah al‟athfal).

Tugas–tugas ini sering dikesankan sebagai tugas perempuan, sementara pada saat bersamaan hak–hak yang terkait dengan fungsi–fungsi reproduktif tersebut sering diabaikan. Sebagai pengemban fungsi reproduksi, peremouan (ibu) memiliki hak – hak yang harus dipenuhi ayah (suami) diantarnya itu:

a) Hak jaminan keselamatan dan kesehatan b) Jaminan kesejahteraan

c) Hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya yang berkaitan dengan proses reproduksi

5) Hak menikmati hubungan seks

Dalam relasi seksual islam juga memberikan perempuan hak kenikamatan seksual sebagai mana yang dinikmati laki–laki. Seorang suami memiliki kewajiban untuk menggauli istrinya, dan mereka putuskan batas maksimal yang diwajibkan kepada suami untuk menggauli istrinya adalah sebanyak 1 (satu) kali 4 (empat).Maka seorang suami memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan biologis istrinya, sebagaimana halnya istri juga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan suaminya.

(44)

6) Hak perempuan untuk medapatkan perlakuan baik

Diantara hak perempuan dalam perkawinan adalah untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari suami dalam pergaulan hidup berumah tangga. Perlakuan yang baik meliputi tingkah laku, tindakan dan sopan santun yang harus dilakukan suami terhadap istri. Bergaul dengan baik antara suami istri untuk membina rumah tangga adalah merupakan syarat dari suatu perkawinan yang akan mencapai tujuan dan hikmah berumah tangga.

7) Hak perempuan dalam memutuskan perkawinan

Islam memberikan hak kepada kaum perempuan untuk menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu‟ bila suami tidak mau atau tidak mampu member nafkah, berbuat serong, tidak menggaulinya dengan baik atau pemabuk dan sebagainya.Khulu‟ adalah gugatan perceraian dari istri kepada pengadilan agama dengan penyerahan iwad atau uang tebusan.

D. Hak-hak perempuan pasca perceraian

Putusnya pernikahan menurut pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 megaskan bahwa putusnya suatu ikatan pernikahan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, karena kematian; kedua, karena perceraian dan ketiga, karena putusan pengadilan. Putusnya suatu ikatan pernikahan yang disebabkan karena perceraian dalam hal ini meliputi dua hal, yaitu, cerai talak yang dilakukan suami dan cerai gugat yang dilakukan istri yang mengajukan gugatan perceraian. Sedangkan maksud dari putusnya

(45)

pernikahan karena putusan pengadilan adalah pembatalan pernikahan.

Semua bentuk dan macam perceraian tersebut mempunyai konsekuensi hukum tersendiri baik mengenai hak dan kewajiban mantan suami maupun hak dan kewajiban mantan isteri, yang penting dibahas disini adalah perceraian yang terkait dengan hak dan kewajiban nafkah, mut„ah, maskan, kiswah, hadhanah, dll.

Putusnya perkawinan karena suami mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama, maka kewajiban mantan suami adalah :

1. Memberikan mut„ah yang layak kepada mantan istrinya baik berupa uang atau benda, kecuali mantan isteri tersebut qobla al-dukhul.

2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isteri selama dalam

„iddah, kecuali mantan isteri telah dijatuhi talak ba„in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-dukhul, dan memeberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Konsekuensi hukum lainnya akibat dari putusnya perkawinan terhadap mantan suami adalah kewajiban memberikan biaya hadhanah dan nafkah anak serta biaya pendidikan anak. Selain kewajiban tersebut, anak juga berhak mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Berikut ini kewajiban mantan suami terhadap isteri sebagai akibat hukum dari dikabulkannya cerai talak, yaitu:

a. Kewajiban Memberikan Mut„ah

(46)

Kata mut„ah Merupakan bentuk lain dari kata al-mata‟, yang berarti sesuatu yang dijadikan obyek bersenang-senang. Secara istilah, mut„ah ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai penghibur selain nafkah sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban suami agar membayar mut„ah terhadap isterinya yang dicerai (ditalak) ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran Surat AlBaqarah: 236 dan 241. Selain itu, ditegaskan pula dalam Surat al-Ahzab: 49.

Menurut pendapat mayoritas Ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut„ah itu wajib untuk semua isteri yang ditalak. Sebagian Ulama Malikiyyah, seperti Ibnu Shihab berpendapat semua perempuan yang ditalak berhak mendapat mut„ah. Imam Syafi‟i yang juga dipertegas oleh al-Syarbaini menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat yang diketahuinya, berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an di atas menegaskan bahwa yang berhak mendapat mut„ah adalah semua perempuan yang ditalak.

Menurut hukum positif Indonesia dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa putusnya perkawinan karena talak mengakibatkan mantan suami wajib memberikan mut„ah yang layak kepada mantan isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan isteri tersebut qobla dukhul. Sedangkan pada pasal berikutnya, yaitu pasal 158 Kompilasi Hukum Islam, selain syarat qabla al-dukhul syaratmut„ah wajib diberikan oleh mantan suami apabila belum ditetapkan mahar bagi isteri tersebut dan perceraian itu atas kehendak suami atau cerai talak.

(47)

Apabila tidak memenuhi kedua syarat tersebut maka hukum pemberian mut„ah oleh suami hukumnya sunnah. Adapun mengenai besarnya nilai mut„ah tidak ditentukan secara mutlak, akan tetapi disesuaikan dengan kemampuan suami artinya bahwa kemampuan suami tersebut harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi/pekerjaan sang suami dan disesuaikan juga dengan kepatutan artinya bahwa besarnya mut„ah itu dilihat dari kebiasaan masyarakat setempat dalam mendapatkan mahar dari suaminya.

b. Kewajiban Memberikan Nafkah „iddah, Maskan, dan Kiswah selama dalam

„iddah

Kata nafkah merupakan bentuk kata dasar/kata benda (masdar/ noun) dari kata kerja na-fa-qa yang berarti perbuatan memindahkan dan mengalihkan sesuatu. Maka nafkah sebagai kata dasar/kata bendanya, akan berarti sesuatu yang dipindahkan/dialihkan dan dikeluarkan untuk suatu hal dan tujuan tertentu.

Kata „iddah dalam bahasa arab berasal dari akar kata „addaya‟uddu–

„idatan dan jamaknya adalah „idad yang secara arti kata (etimologi) berarti menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud „iddah karena dalam bahasa itu si perempuan yang ber-‟iddah menunggu berlalunya waktu.

Sedangkan secara istilah, „iddah artinya sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu

(48)

dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain. Menurut ulama Hanafiyah menyatakan bahwa yang menjadi alasan mengapa seorang suami diwajibkan menafkahi isterinya adalah sebagai imbalan dari hak suami membatasi kebebasan gerak-gerik isteri dan isteri memberikan loyalitasnya kepada ketentuan suami.

Setelah akad nikah diucapkan secara sah, maka kebebasan seorang isteri menjadi menjadi tidak seperti halnya ketika ia masih lajang. Di samping isteri berkewajiban memberikan loyalitasnya kepada suamisesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum Islam, isteri wajib secara sukarela menyerahkan dirinya kepada suami untuk diperlakukan sebagai seorang isteri. Hak suami untuk membatasi kewenangan isteri merupakan konsekwensi dari kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga, dan kewajiban isteri untuk memberikan loyalitasnya adalah konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang isteri. Atas dasar itu pihak isteri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

Dengan sebab dan alasan tersebut diatas maka kewajiban bagi suami memberikan nafkah tetap dibebankan atas diri suami untuk isteri selama hal yang menjadi sebab itu dimilikinya. Atas dasar itu suami wajib menafkahi isteri yang sedang dalam masa „iddah baik disebabkan cerai talak atau bukan, baik dengan talaq raj„i maupun talak ba„in baik dalam keadaan hamil atau tidak. Baik perceraian yang disebabkan alasan yang datang dari suami atau dari isteri selain perceraian yang disebabkan karena isteri melakukan zina. Akan tetapi menurut pendapat Hanafiyah kewajiban nafkah gugur

(49)

ketika isteri tidak lagi memberikan loyalitasnya kepada suami. Nusyuz (keluar dari ketaatan) merupakan salah satu dari penyebab gugurnya hak nafkah bagi isteri.

Menurut mayoritas ulama kalangan Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa alasan mengapa pihak suami diwajibkan menafkahi isterinya adalah karena adanya hubungan timbal balik antara suami isteri (al-„alaqat al-zawjiyat) artinya bahwa yang menjadi penyebab wajibnya nafkah karena akibat dari akad pernikahan yang sah yang masing- masing pihak kemudian terikat satu sama lain dengan hak dan kewajiban yang telah diatur oleh hukum agama. Selama masih ada hubungan kerja sama antara suami dengan isteri maka selama itu pula kewajiban untuk memberi nafkah dipikul dipundak suami.

Oleh karena dianggap masih ada hubungan suami isteri, maka wanita yang sudah ditalak dengan talaq raj„i masih wajib dinafkahi oleh suami.

Adapun wanita yang yang ditalak ba„in tidak wajib dinafkahi karena sudah dianggap sama sekali putus hubungan suami isteri terlepas dari masalah apakah mantan isterinya sedang hamil atau tidak. Sedangkan menurut pendapat Malikiyah dan Syafi‟iyah isteri yangsedang hamil dan ditalak ba„in maka suami hanya berkewajiban memberikan tempat tinggal tanpa wajib memberikan nafkah kepadanya.

Selanjutnya, dalam hukum positif Indonesia bahwa akibat dari putusnya perkawinan mengakibatkan mantan suami wajib Memberi nafkah, maskan, dan kiswah, kepada mantan isteri selama dalam „iddah, kecuali

(50)

mantan isteri telah dijatuhi talak ba„in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Adapun yang dimaksud dengan nusyuz adalah yaitu ketika pihak isteri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang isteri untuk berbakti lahir dan batin kepada suami sesuai dengan hal-hal yang dibenarkan oleh hukum Islam. Hal itu berarti yang patut dijadikan tolak ukur dalam menentukan nusyuz atau tidaknya adalah berdasarkan pada fakta atas pembuktian yang sah dipersidangan terkait dengan sikap dan perilaku nusyuz selama keduanya menjalani rumah tangga bukan siapa yang mengajukan perceraian.

Kemudian menurut pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur akibat perceraian, menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri. Bahkan dalam pasal 81 Kompilasi Hukum Islam tanpa mengaitkan dengan ada atau tidaknya nusyuz dari mantan isteri, suami berkewajiban memberikan tempat kediaman (maskan) bagi mantan isterinya selama ia menjalani masa „iddah.

c. Kewajiban Memberi Nafkah dan Biaya Pendidikan Anak

Mengenai nafkah anak, para ulama sepakat (ijma‟) atas wajibnya menafkahi anak. Dasar hukum yang digunakan dalam pembebanan kewajiban nafkah kepada ayah adalah menurut dasar hukum al-Quran dan al-Hadits. Dalil yang dijadikan dasar hukum dalam al-Quran adalah Surat al-Talaq: 6 yang artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak- anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”.

(51)

Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan seorang ayah untuk memberi upah kepada istrinya atas pemberian air susu ibu kepada anaknya. Karena menafkahi anak itu kewajiban ayah. Selain dasar hukum di atas, kewajiban ayah menafkahi juga disebutkan dalam al-Quran Surat Al-Baqarah:33 yang berbunyi: “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”.

Selanjutnya dalil yang dijadikan dasar hukum dalam al-Hadits adalah hadits sahih riwayat Bukahri dan Muslim Rasulullah berkata pada Hindun binti 'Utbah, yang artinya: “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang baik”.

Hadits di atas dilatarbelakangi oleh suami Hindun binti 'Utbah ketika itu merupakan seorang yang pelit. Kemudian hal itu dilaporkan pada Nabi Muhammad saw, maka Nabi Muhammad saw membolehkan mengambil harta suaminya secara diam-diam secukupnya untuk kebutuhan istri dan anak.

Berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan anak. Nafkah dan biaya pendidikan anak wajib diberikan baik ketika tidak terjadi perceraian maupun setelah terjadi perceraian.

Selanjutnya, dalam tatanan hukum Indonesia tetap merujuk kepada Pasal 80 ayat (4) huruf c KHI yang menyatakan bahwa nafkah keluarga, di dalamnya termasuk nafkah kehidupan dan pendidikan anak, ditanggung oleh ayah. Pasal 80 KHI ini mengatur nafkah keluarga sebelum terjadi

(52)

perceraian, sedangkan Pasal 105 mengatur nafkah setelah terjadi perceraian.

Hal ini berarti tanggungan nafkah anak tetap ditanggung sepenuhnya oleh ayahnya baik ketika orang tua mereka berlum bercerai maupun setelah bercerai.

Selain pasal-pasal tersebut, disebutkan pula dalam KHI bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) dan pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Selain kewajiban-kewajiban yang tertulis di atas, kewajiban lainnya yang harus dilaksanakan oleh mantan suami adalah kewajiban melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al- dukhul. Kemudian mantan suami berhak melakukan rujuk kepada mantan istrinya yang masih dalam „iddah dan berhak mendapatkan setengah bagian dari harta bersama.

d. Nafkah terutang

Adapun yang dimaksud nafkah terutang yaitu, nafkah selama pernikahan yang selama ini tidak atau belum diberikan oleh suami kepada istrinya. Lalu dalam proses perceraian di Pengadilan, pihak istri mengajukan atau menuntut pihak suami untuk melunasi atau membayarkan nafkah selama ini dilalaikannya tersebut.

(53)

Adanya tuntutan nafkah terutang ini diajukan bersamaan dengan perkara pokok perceraian yang sedang berlangsung. Jika perkara tersebut merupakan permohonan cerai talak, maka pihak istri (termohon) dapat mengajukan gugatan rekonpensi. Dengan salah satu tuntutannya yaitu adanya pemenuhan nafkah terutang selama ini.

B. Penelitian yang relevan

Beberapa penelitian yang relevan dalam penelitian ini antara lain:

1. Hasil penelitian Surya Elhadi (2016), yang berjudul “Perlindungan Hak-Hak Istri Pasca Perceraian Menurut Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Pekanbaru)”.Menurut Ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti Ibadah, jika hubungan pernikahan antara suami istri tidak mungkin diteruskan, maka diperbolehkan perceraian.

Meskipun demikian harus terdapat alasan-alasan yang kuat utuk terlaksananya tujuan perceraian tersebut, dan hak cerai hanya dapat digunakan dalam keadaan yang sangat memaksa (genting), dan apabila terjadi perceraian maka Pengadilan Agama Pekanbaru merupakan tempat menerima, mengadili, memutus dan menyelesaikan masalah pernikahan, dan Pengadilan dalam memutuskan perkara Perceraian yakni menurut ketentuan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Dalam memutuskan kasus cerai thalak hakim di Pengadilan Agama Pekanbaru ada yang memutuskan dengan Verstek dan dengan putusan Deklatoir, kemudian Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru secara garis besar terbagi pada dua kategori yakni ada Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru tersebut yang melindungi hak-hak

(54)

mantan istri diantaranya hak nafkah, muta‟h, mahar dan hadhanah seperti yang diamanatkan dalam pasal 149 KHI dan ada yang belum melindungi hak-hak istri sesuai dengan pasal 149 KHI.

2. Hasil penelitian Arnita Marwing (2016), yang berjudul “Perlindungan Hak- Hak Perempuan Pasca Perceraian (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Palopo)”. Fakta menunjukkan bahwa cerai gugat tidak mudah dilakukan dengan capaian keadilan bagi perempuan. Banyak hasil putusan yang mengabulkan gugatan, sementara keadilan yang diinginkan perempuan melalui proses cerai gugat seringkali pupus bahkan berubah menjadi petaka ketika harus kehilangan hak nafkah, terpisahkan dari anak-anak karena hak perwalian dan stigma negatif di masyarakat karena predikat janda yang disandangnya. Kondisi ini seringkali terjadi lantaran keputusan perceraian dalam perkara cerai gugat bukan berada pada inisiatornya tetapi berada dalam pertimbangan hakim. Otoritas hakim menjadi sangat menentukan.

Perceraian dan akibat-akibatnya diputuskan berdasarkan kajian dan pertimbangan hakim terhadap kasus melalui tahapan-tahapan dalam persidangan. Pengadilan Agama memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan kebiasaan yang terjadi dalam hubungan hukum antara laki laki dan perempuan. Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antara laki-laki dan perempuan sebagai sepasang suami istri adalah bagian pokok dari kompetensi peradilan agama.

Peradilan agama dengan demikian merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun non-

(55)

material yang berkeadilan jender. Perkembangan mutakhir berkenaan dengan Peradilan Agama adalah upaya struktural untuk beranjak tak terbatas sebagai pengadilan keluarga. Hal ini antara lain ditandai dengan lahirnya ketentuan baru tentang perluasan cakupan yurisdiksi peradilan agama sebagaimana terdapat dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diperbarui lagi dengan UU No. 50 Tahun 2008.

C. Kerangka Pikir

Perceraian ialah hal yang menyedihkan dan memiliki implikasi sosial yang tidak kecil bagi pasangan terutama bagi yang telah memiliki keturunan. Terkadang hal tersebut tidak di fikirkan saat memutuskan untuk bercerai, banyak anak yang menjadi korban baik lahir maupun batin dikarenakan dalam perkara cerai maupun talak sering di jumpai termohon yang awam hukum, tidak menuntut mut‟ah dan nafkah kepada pemohon, Padahal pemohon cukup berkemampuan untuk memberikan materi.

Indonesia adalah negara hukum yang di atur oleh Undang–Undang dan memiliki prinsip untuk memberikan jaminan penyelenggaran kehakiman.

Baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata yang di selesaikan melalui pengadilan.

Bagi masyarakat Islam Indonesia telah tersedia seperangkat hukum positif yang mengatur tentang pernikahan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

(56)

tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”

dibantu dengan adanya KHI (Kompilasi Hukum Islam). Undang-Undang pernikahan di Indonesia merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk membuat regulasi tentang hukum pernikahan yang universal yang dapat diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 merupakan perwujudan dari falsafah pancasila dan cita-cita pembinaan hukum nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dan masyarakat. Selain itu, Undang- Undang ini juga merupakan respon dari pembaruan hukum keluarga demi mencapai tujuan pembaruan hukum yaitu unifikasi hukum, mengangkat status wanita dan menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat yang dinamis.

Selain rumusan hukum dalam Undang-Undang Pernikahan tersebut di atas, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI juga merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Pernikahan. Pasal 114 mengenai putusnya pernikahan yang disebabkan oleh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 mempertegas Pasal 39 Undang- Undang Pernikahan yang sesuai dengan konsern KHI yaitu untuk orang Islam. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dua hal pokok, yaitu (1) apa yang menjadi kedudukan dan kewenangan KPKNL dalam proses lelang dan (2) bagaimana akibat

Perlakuan pelapisan lilin lebah 9% dikombinasikan dengan ethepon 0 ppm menghasilkan buah dengan susut bobot terendah yaitu 16.6%, yang menunjukkan bahwa kombinasi

• Guru memberikan kesempatan kepada siswa atau kelompok lain untuk menanggapi dengan cara bertanya, menambahkan jawaban, atau memberi masukan.. • Guru mengapresiasi

NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI, MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI KEUANGAN, DAN MENTERI AGAMA TENTANG PENATAAN DAN PEMERATAAN GURU.. PEGAWAI

intraocular pressure reduction and changes in anterior segment. biometric parameters following cataract surgery

Cara belajar siswa yang kurang teratur dapat terlihat pada hasil pengisian kuesioner yang telah diberikan pada responden rata-rata adalah 30,05 yang berarti

Hasil uji statistik menggunakan Spearmank Rank dari hubungan dukungan instrumental keluarga dengan beban pada anggota keluarga yang mengalami skizofrenia di Poli

Dalam rangka program seleksi proposal program pengabdian kepada masyarakat di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :1.