• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perempuan pada umumnya dalam tahap perkembangan akan mengalami masa dimana periode haid dan kemampuan melahirkan berhenti secara keseluruhan atau yang biasa dikenal dengan masa menopause. Bagi sebagian perempuan, masa menopause merupakan pengalaman positif dimana hilangnya perasaan khawatir tentang kehamilan dan bebas dari gangguan menstruasi (McKinlay & McKinlay, 1984 dalam Santrock, 1995). Akan tetapi, perempuan yang mengalami masa menopause merasa kehilangan kapasitas reproduksi, seksualitas, dan femininitas. Anggapan mengenai hilangnya femininitas atau kemampuan seksual yang terjadi ketika masa menopause

datang merupakan bentuk dari perasaan tertekan dan ketakutan sebagian perempuan akan rasa sakit secara fisik yang sangat besar.

Sikap dan perilaku seksual dalam tahap perkembangan usia akan mengalami berbagai perubahan. Memasuki usia dewasa madya, aktivitas seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan memiliki frekuensi lebih kecil dibandingkan ketika di usia dewasa awal. Penurunan aktivitas seksual dapat pula dipengaruhi oleh berbagai kepentingan yang dimiliki individu pada tahap perkembangan ini, misalnya karir, keluarga, kondisi kesehatan, dan aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan. Menurut Laumann et al. (1999)

masalah emosional dan stres memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kemampuan seksual pada perempuan.

Berdasarkan National Health and Social Life Survey (NHSLS) yang dilakukan oleh Laumann, Gagnon, Michael, & Michaels tahun 1994 pada 3.159 orang Amerika dengan rentang usia 18 sampai 59 tahun menghasilkan data dimana 79% respon terhadap masalah seksual meliputi (1) penurunan hasrat seksual, (2) kesulitan memunculkan hasrat seksual, (3) masalah pencapaian klimaks (ejakulasi), (4) kecemasan akan performansi seksual, (5) ejakulasi dini, (6) rasa sakit selama berhubungan seksual, (7) dan tidak terpenuhinya kenyamanan seksual (dalam buku Adult Psychopathology and Diagnosis Fifth Edition, 2007). Selain itu, berdasarkan National Probability Sample pada 987 perempuan Amerika yang berusia 20 sampai 65 tahun menghasilkan data, yaitu distress seksual berhubungan dengan penurunan kesehatan mental dimana kondisi kesehatan yang buruk memiliki kaitan dengan distress terhadap masalah seksualitas itu sendiri. Masalah-masalah seksual seperti masalah lubrikasi, rasa sakit genital, dan masalah orgasme memperlihatkan distress seksual. Pada usia dewasa madya, terjadi penurunan dalam melakukan aktivitas seksual namun tidak pada dorongan dan kebutuhan untuk melakukan aktivitas tersebut (Bancroft, Loftus, & Long, 2003).

Von Krafft-Ebing (1965) membahas hasrat seksual sebagai suatu kekuatan penuh dimana secara bersama-sama muncul aktivitas otak (misal: menggunakan imajinasi) dan sensasi-sensasi secara fisik yang menyenangkan berhubungan dengan aktivitas otak tersebut. Freud, menambahkan bahwa

hasrat seksual muncul sebagai suatu fakta biologi yang dibawa sejak lahir yang disertai dengan unsur motivasional. Pemikiran dan khayalan-khayalan yang muncul secara tidak sadar menunjukkan aspek motivasional dari pengalaman seksual dan hal tersebut merupakan gambaran tidak langsung dari hasrat seksual sendiri (Sherwin, 1988). Hasrat seksual yang timbul dalam diri individu mewakili harapan dan keinginan yang dimiliki individu tersebut.

Munculnya hasrat seksual pada perempuan dipengaruhi oleh hormon estrogen. Hormon estrogren harus memiliki jumlah yang tepat dalam memunculkan hasrat seksual dan jika tidak juga akan berpengaruh pada masalah kesehatan lainnya dalam tubuh. Hormon estrogen merupakan salah satu tipe dari estradiol yang diproduksi oleh kelenjar adrenalin dan indung telur (ovarium). Indung telur mengeluarkan lebih banyak hormon estrogen daripada produksi androgen yang akan menghasilkan hormon testosteron. Hormon estrogen tersebut bekerja dalam tubuh dan otak yang memunculkan hasrat seksual dan merespon stimulus seksual. Produksi hormon estrogen akan mengalami penurunan seiring bertambahnya usia. Pada usia dewasa madya hormon estrogen yang diproduksi tidak sebanyak pada usia dewasa awal sebelumnya. Berkurangnya produksi hormon estrogen pada perempuan akan mengakibatkan berkurangnya sensitivitas seksual dalam melakukan hubungan seksual.

Dorongan untuk tidak melakukan hubungan seksual tidak dapat disamakan dengan berkurangnya hasrat seksual. Apabila individu tidak mengalami kepuasan ketika melakukan hubungan seksual dapat

mengakibatkan hilangnya hasrat seksual. Hasrat seksual menghilang secara perlahan seiring bertambahnya usia, namun dapat terjadi secara tiba-tiba ketika perempuan mengalami kehamilan, menyusui, penyakit, dan menjalani operasi. Selain itu kehilangan hasrat seksual lebih mengarah pada perubahan yang terjadi dalam tubuh manusia.

Dilaporkan bahwa dalam suatu penelitian pada individu berusia 40 sampai 70 tahun, hasrat seksual dan frekuensi dari pikiran-pikiran seksual dan mimpi-mimpi seksual berkurang sesuai bertambahnya usia. Dalam studi Schiavi (1999) mengenai kesehatan manusia berusia 45 sampai 74 tahun yang masih melakukan hubungan seksual secara rutin mengalami penurunan hasrat seksual ketika usia mereka meningkat. Ketika memasuki usia dewasa madya, perempuan akan mengalami masa menopause. Masa menopause dianggap sebagai penghalang terhadap pemenuhan kebutuhan seksual. Ketika

menopause datang, perempuan memiliki ketakutan hasrat seksual akan hilang sehingga menghalangi mereka untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Ketakutan akan rasa sakit, tidak dapat mencapai orgasme, ketidakmampuan memuaskan pasangan, dan ketidaknyamanan dalam berhubungan sering muncul ketika perempuan mulai memasuki masa

menopause.

Bertambahnya usia tidak menandakan bahwa aktivitas seksual akan berakhir apalagi ketika mengetahui bahwa masa menopause akan dialami oleh setiap perempuan di masa dewasa madyanya. Masa menopause merupakan masa dimana berhentinya sistem peredaran hormon estrogren dan progesteron

yang mengontrol siklus sel-sel dalam tubuh namun tidak berpengaruh pada menurunnya aktivitas untuk melakukan hubungan seksual. Faktor utama yang memegang peranan penting dalam hubungan seksual adalah sikap terhadap hubungan seksual, kondisi kesehatan, dan status pernikahan. Kondisi psikis dan psikologis akan sangat berpengaruh terhadap berhasilnya hubungan seksual. Oleh karena itu, bertambahnya usia dan menopause seharusnya tidak menghalangi kenyamanan dalam hubungan seksual.

Hubungan seksual merupakan salah satu aktivitas seksual dan merupakan masalah seksualitas. Perspektif dalam masyarakat melihat seksualitas sebagai hal yang masih tabu dan tidak layak untuk dibicarakan secara terbuka. Hubungan seksual dipandang sah bagi masyarakat yang memiliki ikatan pernikahan. Masyarakat menganggap hubungan seksual yang di luar ikatan pernikahan tersebut adalah dosa dan tabu. Hal tersebut menarik perhatian peneliti untuk melihat mengapa masalah seksualitas masih dianggap tabu dan kurang terbuka untuk dibicarakan. Dalam penelitian ini, peneliti memilih janda sebagai partisipan karena janda masih merupakan anggota masyarakat yang mentabukan masalah seksualitas. Miranyala dalam artikel Nemesis: Janda whatever (2007) mengatakan bahwa masyarakat di Indonesia lebih menyukai penggunaan istilah ”janda” daripada ”single” atau ”single parent” untuk menyebut perempuan yang tidak lagi memiliki pasangan dalam kehidupan pernikahannya. Penyebutan istilah ”janda” sendiri secara tidak langsung mengarah pada kehidupan pernikahan sebelumnya yang terdapat kehidupan seksual di dalamnya. Masyarakat memandang seorang janda adalah

perempuan yang pernah memiliki kehidupan seksual. Perspekstif sosial yang menuntut janda untuk menunjukkan kesetiaan pada pasangan dan tanggung jawab terhadap anak membuat janda mempertimbangkan dan menghentikan aktivitas seksual walaupun mereka belum kehilangan hasrat seksual.

Perempuan dengan status janda berperan ganda sebagai ibu dan ayah. Dibanding pria berstatus duda, janda memiliki ketahanan hidup lebih tinggi tidak terbatas pada masalah seksual saja tetapi juga dalam kesetiaan terhadap pasangan dan rasa cinta kepada anak. Dalam perspektif sosial, status janda dituntut untuk memperlihatkan kesetiaannya terhadap pasangan dan pertimbangan dalam pengasuhan anak. Penilaian masyarakat lain juga menuntut terhadap tanggung jawab peran ganda dan meminimalkan kebutuhan seksual. Dapat dikatakan bahwa status janda dalam masyarakat pada saat ini lebih banyak mendapat pengaruh budaya dan dipandang melalui persepsi sosial.

Perempuan berstatus janda mengakui bahwa kehidupan mereka menjadi lebih baik bila menunggu dalam satu sampai beberapa tahun untuk memulai kehidupan pernikahan yang baru. Waktu tersebut digunakan untuk mengalami masa berkabung, menemukan kembali makna kehilangan pasangan, dan menyediakan waktu untuk hidup sendiri sampai siap memasuki kehidupan baru dengan orang lain. Dapat dikatakan bahwa walaupun perempuan dengan status janda menyediakan waktu untuk hidup sendiri, mereka tetap memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Perempuan dengan status janda memilih untuk hidup sendiri, memanfaatkan

waktu mereka dengan kewajiban-kewajiban terhadap anak, pekerjaan, dan relasi sosial dengan teman sebaya. Pada waktu itu juga, janda membangun suatu kehidupan sosial dengan semua orang dari segala jenis kelamin dan menjalin relasi dengan orang yang dapat diajak berkomunikasi secara terbuka dan saling membagikan pengalaman dari aktivitas-aktivitas mereka.

Fenomena yang banyak terjadi di masyarakat saat ini adalah bagaimana perempuan dengan status janda menghadapi kehidupan mereka sebagai seorang individu dan sebagai anggota masyakarat di lingkungannya. Perempuan dengan status janda menyadari bahwa status yang dimiliki akan mendapat perhatian dari masyarakat. Oleh karena itu, perempuan berstatus janda sangat menjaga sikap dan perilaku agar mendapat pandangan yang baik. Akan tetapi, ada pula perempuan berstatus janda yang merasa rugi terhadap pandangan negatif masyarakat yang mengatakan bahwa janda merupakan penggoda bagi para pria. Tidak semua perempuan yang berstatus janda dapat menerima status yang disandangnya tersebut.

Kematian pasangan biasanya menuntut individu untuk menghentikan perilaku seksual mereka (Rossi, 1994). Hal ini juga membuat para janda bertahan dengan statusnya daripada menikah kembali. Menurut Sanford (1998), perempuan dapat hidup lebih lama tanpa pasangan dalam suatu dekade. Selain itu, pernikahan sendiri merupakan aktivitas pengaturan seksual secara sosial yang paling umum berdasarkan norma yang berlangsung (Rossi, 1994; Schiavi, 1999). Norma sosial itulah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa perempuan berstatus janda memilih untuk hidup

sendiri untuk sementara waktu tanpa pasangan. Berdasarkan hasil survei, 40% perempuan berusia tua hidup sendiri dibandingkan dengan 16% pria berusia tua (AARP, 1997).

Menurut Masters et al. (1994), perempuan single termasuk janda memiliki minat yang rendah untuk melakukan hubungan seksual walaupun tersedia waktu yang diperlukan untuk aktivitas tersebut. Perempuan menggunakan mekanisme tersebut untuk menghindari frustrasi dan depresi karena tidak dapat melakukan hubungan seksual. Hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan subjektif hasrat seksual yang mendorong manusia untuk mencari pengalaman-pengalaman seksual. Ketidakhadiran pasangan mendorong perempuan single untuk menemukan pengalaman dari aktivitas seksual dalam bentuk lain.

Hasrat seksual memiliki batasan-batasan sosial. Faktor sosial menyumbang gagasannya melalui aspek budaya dengan mengatakan bahwa seksualitas diperlihatkan sebagai harapan-harapan, kepercayaan-kepercayaan, dan perilaku tentang hasrat seksual. Faktor-faktor sosial kultural tersebut berperan dalam memperkecil atau menyangkal keberadaan dan nilai seksualitas (Gott &Hinchliff, 2003). Janda merupakan perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi dari hasrat seksual. Akan tetapi, perspektif sosial dalam masyarakat menuntut janda untuk berperan ganda dalam rumah tangga dan meminimalkan kebutuhan seksual. Hal tersebut membuat janda

mempertimbangkan dan menghentikan aktivitas seksual walaupun mereka masih memiliki hasrat seksual.

Dokumen terkait