• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak adalah dambaan dari setiap pasangan suami istri karena anak merupakan anugerah dan aset besar dalam keluarga. Anak juga merupakan mahluk sosial yang nantinya akan melakukan interaksi baik secara langsung dan tidak langsung. “Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok- kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.” Dengan kata lain nantinya seseorang itu saling membutuhkan dan saling melengkapi. Untuk berinteraksi manusia yang membutuhkan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Anak itu diberi pengertian tentang bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi yang baik, kerena melalui pendidikan anak tidak hanya diajarkan tentang isyarat fisik yang diajarkan tetapi juga simbol-simbol. Simbol disini adalah sesuatu yang lepas. Maksudnya adalah manusia dapat berkomunikasi tentang objek dan tindakan jauh di luar batas dan waktu walaupun sebenarnya melalui keluarga mereka telah bersosialisasi (J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto 2004: 17).

Terlahir sebagai orang yang cacat bukan pilihan mereka namun suatu kenyataan yang harus diterima dan tetap disyukuri. Secara fisik memang mereka terlihat sudah mampu dalam berbagai hal, tapi pada kenyataannya mereka belum bisa mengontrol emosi mereka sendiri bahkan di umur yang sudah dianggap dewasa. Mereka yang memiliki cacat fisik namun dapat berfikir normal serta

memiliki mental yang baik, belum mampu melakukan aktivitas. Seperti contoh mereka yang tunanetra, bagaimana mereka dapat melalukan aktifitas sehari-hari jika mereka tidak dapat melihat. Mereka yang cacat ini biasanya mempunyai kesulitan untuk berinteraksi dan melalukan kegiatan sehari-hari mereka. Tidak jarang dari mereka yang cacat sulit untuk melanjutkan eksistensinya. Selain itu meraka juga membutuhkan pendidikan. Pendidikan tidak jauh dari kata belajar karena belajar adalah sosialisasi yang berlangsung secara terus-menerus melalui lingkungan dan orang lain.

Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah alam belajar, hanya saja masalah tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang masalah belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus dan sering di singkat dengan ABK (children with special

needs)merupakan istilah lain untuk menggantikan yang menandakan adanya

kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.ABK ini memiliki beberapa masalah diantaranya pada perkembangan kognitif, perkembangan akademik, perkembangan orientasi dan mobilitas serta perkembangan sosial dan emosi. ABK ini sendiri terdiri dari tunanetra, tunarungu,tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku dan anak berbakat. Mereka juga membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan keadaan mereka.

Pendidikan ABK merupakan kebutuhan bagi seluruh anak-anak, terkadang masyarakat awam memaknai bahwa anak ABK atau anak luar biasa hanya yang mempunyai kekurangan dalam fisiknya saja namun ada juga meraka yang genius

dan gifted, akan tetapi mereka juga berhak mendapatkan pendidikan dalam

pengembangan potensi mereka (http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=anak+berkebutuhan+khusus

source.ditplb.or.id).

Layanan pendidikan bagi ABK dikenal dengan Pendidikan Luar Biasa atau kini disebut juga Pendidikan Khusus (special education) atau ortopedogik. Berasal dari Bahasa Yunani, ortos yang berarti lurus, baik, normal, paedos yang berarti anak, dan agogos artinya pendidikan atau bimbingan. Jadi, pendidikan luar biasa berarti pendidikan yang bersifat menormalkan. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No.20 Tahun 2003 yaitu: Bab IV(pasal 5 ayat 1 ) dikatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,emosionl,mental,intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Bab V bagian 11 pasal 32, Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Berdasarkan undang-undang tersebut semua anak wajib mendapatkan pendidikan sembilan tahun, sehingga perlu ditegaskan semua anak berhak mendapatkan pendidikan. Sama halnya dengan anak berkebutuhan khusus ini

juga berhak mendapatkan pendidikan agar mereka tidak melakukan perilaku yang menyimpang dalam masyarakat. Mereka tidak mengerti bagaimana seharusnya berinteraksi, mereka sedikit sulit untuk belajar secara langsung dari lingkungan sekitar mereka sehingga perlu orang lain baik itu individu, kelompok bahkan lembaga yang nantinya dapat mendidik mereka guna melanjutkan kehidupan mereka. Sehingga ada jaminan kepada setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk memperoleh pelayanan pendidikan, baik sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan pendidik.

Tahun 2012 merupakan tahun didirikannya High Evel Meeting Equal Futures Partnership (EFP), dimana Linda Amalia Sari sebagai Ketua Delegasi Indonesia. Indonesia termasuk dari 13 negara pendirinya, dengan 12 negara lain yaitu AS, Australia, Belanda, Benin, Bangladesh, Denmarak, Finlandia, Peru, Senegal, Tunisia, Yordania dan Uni Eropa. EFP akan lebih memperhatikan pendidikan dan kesehatan ABK, karena mereka juga harus turut diperhitungkan dlam rencana pembangunan nasional. (Kompas, Jumat 4 oktober 2013)

Data mengenai anak berbutuhan khusus di Indonesia memang belum terdata secara akurat dan spesifik. Menurut BPS di Indonesia pada tahun 2008 jumlah ABK ada sekitar 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak berada dalam rentang usia 5-18 tahun, 351.000 anak berkebutuhan khusus berusia di bawah lima tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus yang belum

mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi (bisa disebut sebagai gabungan sekolah umum dan sekolah biasa). Selain secara populasi jumlahnya terus bertambah, ada persoalan mendesak yang perlu mendapat perhatian serius menyangkut keadaan tumbuh kembang dan kelanjutan pendidikan anak-anak spesial itu. Menurut data Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara Untuk Sumatra Utara ada 62.046 ABK dan di

Kabupaten Karo ada 1553 anak (http://sumut.bps.go.id/indexh.php?kdx=tstasek&kd=1626).

Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus (ABK) ini, tidak cukup hanya pendidikan reguler biasa yang terdapat pada pendidikan formal ataupun non formal. Mereka memerlukan perhatian khusus, karena mendidik mereka sedikit sulit dibandingkan anak normal lainnya. Biasanya mereka akan dimasukkan ke dalam panti atau yayasan yang menaungi anak cacat. Seperti contohnya Yayasan Kesejahteraan Penyandang Cacat (YKPC) GBKP “Alpha Omega“ Kab. Karo. Yayasan ini didirikan pada 21 juli 1988, yayasan ini berada di bawah naungan Gereja GBKP. Yayasan ini merupakan satu-satunya lembaga pendidikan untuk ABK.

Pada tahun 2013 ini Alpha Omega ini mendidik anak berkebutuhan khusus sebanyak 81. Alpha Omega menyediakan fasilitas yang gunanya untuk mendukung berlangsungnya proses belajar mengajar. Dimana di dalam panti itu mereka akan di didik secara khusus. Setiap anak akan dididik sesuai dengan keadaan mereka, karna pendidikan setiap anak itu mempunyai metode yang berbeda. Anak berkebutuhan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa

(SLB) sesuai dengan kecacatannyaa masing-masing. Penyandang dana terbesar dari Alpha Omega ini adalah GBKP dan juga dari luar negri seperti Persatuan Gereja Eropa.Alpha Omega sebagai yayasan ABK mampu mengembangkan sikap positif dari setiap anak. ABK merupakan anak yang memang dalam posisi yang lemah.Ada tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus, yaitu:

1. Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki

kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.

2. Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus.

3. Siswa ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.

Layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi harus didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak atau lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Pendidikan disini mengandung arti penguatan individu melalui penanaman nilai positif, penguatan intelektual agar ABK dapat mandiri dan berguna bagi lingkungannya. Oleh karena itu peneliti ingin melihat bagaimana bentuk pendidikan yang di terapkan di lembaga Alpha Omega ini.

Dokumen terkait