• Tidak ada hasil yang ditemukan

TABEL 2 Fasilitas Umum

1.1. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mengambil topik mengenai implementasi deteksi dini kanker

serviks di Klinik Bidan Praktik Swasta “MANDA” yang terletak di Jalan Karya Cilincing Gang Ciliwung No.22, Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Paradigma pembangunan kesehatan di Indonesia semula memusatkan perhatian pada penyembuhan penderita. Namun dalam perkembangannya, paradigma tersebut secara berangsur-angsur telah diubah kearah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh, menyangkut upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Semua masyarakat menjadi sasaran pembangunan kesehatan. Tidak hanya yang sakit, tetapi juga mereka yang sehat. Sesuai UU No.23 Tahun 19921 tentang kesehatan.

Dari perspektif kesehatan, perbaikan kualitas sumberdaya manusia diyakini harus dimulai sedini mungkin, sejak janin tumbuh dalam tubuh ibu. Peran ibu sebagai

1

yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian, seseorang

dikatakan sehat tidak saja memiliki tubuh dan jiwa yang sehat, tetapi juga dapat bermasyarakat secara

penerus keturunan, pengasuh dan pendidik anak, pengatur rumah tangga dan pendamping suami dan anggota masyarakat dapat terlaksana dengan baik apabila ibu berada dalam keadaan sejahtera, sehat fisik, mental dan sosialnya. Dengan kata lain, peningkatan mutu sumberdaya manusia yang diupayakan dapat dilakukan sedini mungkin, sangat bergantung pada kesejahteraan ibu, termasuk kesehatan dan keselamatan reproduksinya (Sidhi, 1989 : 2).

Kesehatan reproduksi merupakan salah satu konsep dalam pembangunan kesehatan yang lahir sebagai reaksi dalam konteks kependudukan dan perluasan program keluarga berencana. Konsep ini mulai gencar disosialisasikan karena dinilai sangat nyata pengaruhnya bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi dalam buku Pemahaman Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi (2007) mengatakan bahwa Kesehatan reproduksi sebagaimana didefinisikan Kongres Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo pada tahun 1994 merupakan keadaan kesehatan fisik, mental dan sosial menyeluruh dan tidak adanya penyakit atau keadaan lemah. Kesehatan reproduksi mengandung arti bahwa orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan mereka ingin atau tidaknya melakukan, kapan dan frekuensinya.

Di Indonesia, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan kesadaran dan kemandirian dalam mengatur fungsi dan peran reproduksi, termasuk disini kehidupan seksual, sehingga hak-hak reproduksi dapat terpenuhi yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidup (Departemen

Kesehatan RI, 2001). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pengertian kesehatan reproduksi, Pertama, pengertian sehat bukan berarti semata-mata sebagai pengertian kedokteran (klinis), tetapi juga sebagai pengertian sosial (masyarakat). Seseorang dikatakan sehat tidak saja memiliki tubuh dan jiwa yang sehat, tetapi juga dapat bermasyarakat secara baik. Kedua, kesehatan reproduksi bukan merupakan masalah seseorang saja, tetapi juga menjadi kepedulian keluarga dan masyarakat (Baso dan Rahardjo, 1997 : 19).

Dalam konteks kesehatan reproduksi, kaum perempuan sebenarnya diharapkan tampil menjadi subjek utama yang mengontrol kesehatan reproduksinya, karena perempuanlah yang memiliki rahim. Di Indonesia, sosialisasi tentang kesehatan reproduksi yang menitikberatkan pentingnya perempuan memahami dan menerapkan sesuatu yang menjadi haknya tersebut saat ini sangat gencar dilakukan oleh banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di berbagai Kota di Indonesia, termasuk badan kesehatan dunia seperti World Health Organization (WHO) (Sidhi, 1989 : 25).

Menurut Arivia (Kompas, 15 November 2000), tidak mudah untuk menjelaskan kepada perempuan Indonesia bahwa mereka mempunyai tubuhnya sendiri, karena mereka terlanjur meyakini bahwa tubuhnya adalah milik sesuatu di luar mereka, entah medis, hukum, agama, kebudayaan dan lainnya. Padahal, akibat rendahnya pemahaman perempuan tentang kesehatan reproduksi, berimplikasi antara lain terhadap tingginya angka kematian ibu yang melahirkan dan menurunnya gizi ibu dan anak.

Kesehatan reproduksi sering dianggap sebagai sinonim dari keluarga berencana, sedangkan aspek-aspek lain dari kesehatan reproduksi kurang diperhatikan. Selain itu, ada juga masyarakat yang mencampuradukkan konsep kesehatan reproduksi dengan konsep kesehatan seksual dan tidak bisa membedakan antara keduanya. Secara singkat bisa dikatakan bahwa konsep kesehatan reproduksi terdiri atas beberapa elemen pokok, yaitu perilaku reproduksi selama usia subur, untuk perempuan usia subur mulai dari menstruasi pertama sampai menopause, sedangkan untuk laki-laki dimulai sejak ejakulasi pertama dan dapat sampai akhir hidup, perilaku seksual, perawatan sebelum dan pasca kehamilan serta penghentian melahirkan, perawatan kesehatan ibu, penanganan ketidaksuburan (infertilitas), penghapusan aborsi yang tidak aman, penanganan infeksi dan penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seks yang tidak aman, pencegahan dan pengobatan keganasan di alat-alat reproduksi, akses pada pelayanan kontrasepsi yang aman dan penghormatan hak-hak reproduksi.2

Sejauh ini penulis melihat masalah kesehatan reproduksi lebih banyak didekati dari aspek klinis saja sehingga berkembang anggapan bahwa masalah-masalah kesehatan reproduksi hanya dapat dipelajari dan dipecahkan oleh ahli-ahli kedokteran. Sementara itu, terdapat banyak bukti bahwa inti persoalan kesehatan reproduksi sesungguhnya terletak pada konteks sosial, ekonomi dan kebudayaan yang

2

Lebih khusus, hak-hak konsumen dalam program keluarga berencana adalah: hak untuk

mendapatkan informasi, hak untuk mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan reproduksi;hak memilih antara metode-metode kontrasepsi;hak untuk mendapatkan pelayanan yang aman;hak untuk kepribadian;hak atas konfidensialitas;hak untuk kehormatan;hak untuk meneruskan pelayanan;hak untuk mengekpresikan opini (PKBI 1989).

sangat kompleks. Kesehatan reproduksi dipengaruhi dan mempengaruhi sistem politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan gender.

Kesehatan reproduksi juga berhubungan dengan Angka Kematian Ibu (AKI). Angka Kematian Ibu di Indonesia tercatat merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara atau keempat di Wilayah Asia Pasifik, yakni mencapai 334 orang per 100.000 kelahiran hidup (Departemen Kesehatan RI, 2001)3. Penyebab langsung kematian ibu tersebut terutama adalah pendarahan , infeksi, eklamsia, partus lama dan aborsi yang terkomplikasi. Persoalannya, meski perempuan merupakan key-person dari efektivitas pelaksanaan kesehatan reproduksi yang sangat penting artinya bagi peningkatan

kualitas sumberdaya manusia, dalam kenyataannya perempuan di Indonesia “belum dapat” sepenuhnya mengambil keputusan sendiri meski itu menyangkut dirinya.

Faktor budaya masih cukup kental berperan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya, perempuan masih selalu tergantung pada orang di luar dirinya, seperti suami, orang tua, mertua maupun keluarga besarnya (Ford Foundation, 2002).

Berkaitan dengan hal ini, pemeliharaan kesehatan reproduksi bagi manusia sangatlah penting terutama bagi wanita. Salah satunya yaitu pencegahan kanker serviks yang merupakan penyakit yang menyerang sistem reproduksi wanita dan dapat menyebabkan kematian. Kanker bukanlah semata-mata masalah kesehatan, karena dampaknya lebih luas mencakup masalah sosial, ekonomi dan pembangunan serta berimplikasi terhadap hak asasi manusia. Berdasarkan data Patologi Anatomi

3

Yayasan Kanker Indonesia (YKI) pada tahun 2010, kanker serviks di Indonesia kerap disebut sebagai kanker leher rahim tercatat menduduki ranking kedua terbanyak yang menyerang wanita setelah kanker payudara.

Penyebabnya adalah virus yang menyerang leher rahim atau sebutan bahasa latinnya adalah Human Pappilloma Virus (HPV)4, infeksi HPV yang sering menyerang kaum perempuan ini umumnya yang berusia di atas 30 tahun, meski tidak menutup kemungkinan usia di bawah 30 tahun juga dapat terserang dan kadang tidak disadari oleh kaum perempuan. Penyebabnya adalah karena kurangnya pengetahuan tentang gejala, deteksi dini, proses terjadinya infeksi dan pengobatannya. Ditambah lagi dengan faktor kebersihan lingkungan, pola hidup bersih dan sehat serta lingkungan sosial yang menjadi pemicu kegiatan dan perilaku seks berisiko di luar pernikahan (Adi D.Tilong, 2012 : 12).

Data statistik dari Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah perempuan Indonesia yang berusia 30 sampai dengan 50 tahun berada pada kisaran 35 juta orang. Jumlah penduduk perempuan usia produktif tersebut perlu dikawal terus masalah kesehatan reproduksinya, satu diantaranya adalah pencegahan terhadap kanker serviks melalui upaya skrinning5 untuk deteksi dini kasus kanker serviks. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ditargetkan setiap 5 tahun minimal 80% perempuan

4

Virus yang dapat menyebabkan kutil di berbagai bagian tubuh, hidup pada sel-sel kulit dan memiliki lebih dari 100 jenis.

5 Proses pendeteksian kasus/kondisi kesehatan pada populasi sehat dalam kelompok tertentu sesuai dengan jenis penyakit yang akan dideteksi dini dengan upaya meningkatkan kesadaran pencegahan dan diagnosis dini bagi kelompok yang termasuk berisiko tinggi.

usia 30-50 tahun sudah melakukan skrinning. Hingga tahun 2012, jumlah perempuan yang di skrinning sudah lebih dari 550 ribu orang (Departemen Kesehatan RI, 2001).

Diperkirakan setiap satu jam, seorang wanita di Indonesia meninggal dunia karena kanker serviks. Tingginya angka kematian kaum wanita akibat kanker serviks antara lain disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang kanker serviks, terutama dalam mengenali gejala-gejalanya. Sehingga, mereka datang berobat dalam kondisi sudah parah.

Para wanita yang rawan mengidap kanker serviks, biasanya berusia antara 30-50 tahun, terutama yang aktif secara seksual sebelum usia 16 tahun. Hubungan seksual pada usia terlalu dini bisa meningkatkan risiko terserang kanker serviks dua kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang melakukan hubungan seksual setelah usia 20 tahun. Kanker serviks juga berkaitan dengan partner seksual. Semakin banyak partner seksual yang dimiliki oleh seorang wanita , semakin meningkat pula risiko

terjadinya kanker serviks. Sama halnya dengan jumlah partner seksual, jumlah kehamilan yang pernah dialami juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks.

Keikutsertaan masyarakat khususnya kaum wanita dan pemerintah daerah dalam penurunan jumlah penderita kanker serviks sangat diharapkan, karena sesungguhnya lebih dari 40% semua jenis kanker dapat dicegah bahkan dapat disembuhkan, asalkan program skrinning ditegakkan (Adi D.Tilong, 2012 : 17).

Atas dasar permasalahan diatas, penulis ingin mengetahui apa saja gejala kanker serviks? Bagaimana cara melakukan pencegahan dan deteksi dini terhadap kanker serviks yang berhubungan dengan sistem kesehatan dan sosial-budaya?. Di samping

itu penulis juga ingin mengetahui lebih jauh tentang implementasi deteksi dini terhadap kanker serviks di Kota Medan tepatnya di Klinik Bidan Praktik Swasta

“MANDA” yang berada di Jalan Karya Cilincing Gang Ciliwung No.22, Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. 1.2. Tinjauan Pustaka

Akhir-akhir ini semakin banyak ahli-ahli kesehatan yang menaruh minat pada ilmu Antropologi. Antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari manusia dan segala aspek kehidupannya, khususnya kebudayaannya. Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan dan karya yang dihasilkan dalam kehidupan masyarakat. Yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian, hampir setiap tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan masyarakat yang tidak dibiasakan dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi) maupun berbagai tindakan-tindakan yang sangat terbatas. Bahkan, berbagai tindakan yang merupakan nalurinya (makan, minum, berjalan) juga telah banyak dirombak oleh manusia sendiri sehingga menjadi tindakan berkebudayaan (Koentjaraningrat, 1985 : 180).

Dalam ilmu Antropologi Kesehatan istilah yang digunakan oleh ahli-ahli antropologi adalah untuk mendeskripsikan (1) Penelitian mereka yang tujuannya adalah definisi konfrehensif dan interpretasi tentang hubungan timbal-balik bio-budaya, antara tingkah laku manusia di masa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit tersebut serta (2) Partisipasi professional mereka dalam

program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik (Foster dan Anderson 1986 : 11).

Dengan adanya hal ini, maka ada anggapan bahwa faktor kebutuhanlah yang mendorong mereka untuk memanfaatkan antropologi guna mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam praktik medis. Para dokter dimanapun semuanya bekerja setelah memperoleh pendidikan kedokteran. Pendidikan tersebut bertujuan agar mereka mampu mendiagnosis secara cepat dan cermat semua penyakit-penyakit akut yang membahayakan jiwa manusia atau pasiennya. Sejak mulai membuka praktik sendiri, mereka menghadapi berbagai persoalan antara lain seperti yang sering

didengar dari mulut para dokter, “Mengapa rakyat tidak mau datang kepada kami?”Kalau mereka sudah mau datang, mereka tetap curiga terhadap kami, padahal

kami tahu benar apakah sakit dan sehat itu, dan kami beri’tikad baik terhadap

mereka” (Koentjaraningrat, 1982 : 1) .

Kerisauan terhadap orang-orang yang enggan berobat ke rumah sakit atau dokter (menurut survai kesehatan rumah tangga tahun 1980) 34,8% mengobati sendiri penyakitnya dan 6,0% pergi ke dukun, memang merupakan persoalan tersendiri bagi para ahli kesehatan yang membutuhkan penjelasan-penjelasan antropologis untuk mencari cara pemecahannya. Namun barangkali yang paling perlu dikaji adalah persoalan-persoalan yang terdapat pada praktik medis itu sendiri, baik di rumah sakit, puskesmas maupun praktik perseorangan (Koentjaraningrat, 1982 : 3).

Tujuan penerapan antropologi dalam bidang kedokteran dan kesehatan, antara lain untuk menambah kemampuan para dokter dalam melakukan penilaian klinis secara lebih rasional, menambah kemampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dialami dalam praktik, mampu memahami dan menghargai perilaku pasien, kolega serta organisasi dan menambah kemampuan dan keyakinan dokter dalam menangani kebutuhan sosial dan emosional pasien, sebaik kemampuan yang mereka miliki dalam menangani gangguan penyakit yang diderita pasiennya.

Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, pada dasarnya menyangkut dua aspek utama. Yang pertama ialah aspek fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit. Sedangkan yang kedua adalah aspek non-fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari respon seseorang terhadap stimulus/objek yang berkaitan dengan sehat/sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat. Perilaku kesehatan berupa perilaku preventif (pencegahan) adalah upaya memelihara kesehatannya dengan mencegah datangnya sakit dianggap mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat melalui tindakan medis seperti deteksi dini dan medical activities (Sarwono, 1993:25).

Hal ini merupakan salah satu kajian dari ilmu Antropologi Kesehatan dimana dalam upaya memahami suatu gejala sosial dalam masyarakat maka

studi-studi dalam Antropologi dilakukan dengan menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan emik dan etik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendekatan emik berusaha memahami perilaku individu/masyarakat dari sudut pandang si pelaku sendiri (individu tersebut atau anggota masyarakat yang bersangkutan), sedangkan pendekatan etik menganalisa perilaku atau gejala sosial dari pandangan orang luar serta membandingkannya dengan budaya lain. Dengan demikian maka pendekatan etik lebih bersifat obyektif, sementara pendekatan emik lebih bersifat subjektif (Foster, 1978 : 4).

Penelitian-penelitian antropologi harus memakai dua pendekatan diatas, selain itu juga harus menggunakan teori-teori yang berkaitan dan relevan dengan topik kajian penelitiannya. Di dalam penelitian ini, penulis memakai sebuah teori yang berhubungan dengan topik Implementasi Deteksi Dini Kanker Serviks di Klinik Bidan Praktik Swasta “MANDA”. Ada dua tes yang digunakan untuk mendeteksi dini kanker serviks di Klinik Bidan Praktik Swasta “MANDA”, yaitu : Pap Smear dan Inspeksi Visual Asam asetat (IVA).

Adi D.Tilong dalam buku Bebas dari Ancaman Kanker Serviks (2012) mengatakan bahwa kanker serviks merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh HPV atau Human Papilloma Virus onkogenik, mempunyai persentase yang cukup tinggi dalam menyebabkan kanker serviks, yaitu sekitar 99,7%. Kanker serviks adalah salah satu penyakit kanker yang paling banyak terjadi pada kaum wanita. Setiap satu jam, satu wanita meninggal di Indonesia karena kanker serviks. Fakta menunjukkan bahwa jutaaan wanita di dunia terinfeksi virus HPV, yang dianggap

penyakit lewat hubungan seks yang paling umum di dunia. Kanker serviks bisa menyerang dengan pendarahan pada vagina, tetapi gejala kanker serviks tidak terlihat sampai kanker memasuki stadium yang lebih jauh. Kanker serviks bisa dilihat dengan menggunakan suatu test, yaitu pap smear. Menurut Dr.A.M.Puguh,SpOG, Ahli kebidanan dan kandungan Rumah Sakit Husada Jakarta, di Indonesia, kanker serviks merupakan kanker nomor satu yang umum diderita oleh wanita. Semua wanita yang aktif secara seksual memiliki risiko terinfeksi kanker serviks atau tahap awal kanker serviks, tanpa memandang usia dan gaya hidup.

Kanker serviks terjadi pada bagian organ reproduksi wanita. Leher rahim adalah bagian yang sempit disebelah bawah antara vagina dan rahim. Di bagian inilah tempat terjadi dan tumbuhnya kanker serviks, penyakit serius yang menyerang kaum wanita yang jumlah penderitanya semakin meningkat beberapa tahun belakangan ini. Dari seluruh penderita kanker di Indonesia, sepertiganya adalah penderita kanker serviks (Alodokter 2015, diakses pada 15 Juli 2016).

Kanker serviks .dapat dideteksi secara dini dengan melakukan pemeriksaan sitologis leher rahim. Pemeriksaan sitologis ini populer dengan nama Pap Smear Test atau papanicolaou smear dan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat). Pap Smear pertama kali dicetuskan oleh seorang dokter berkebangsaan Yunani yang bernama George Nicholas Papanicolaou yang memulai studi tentang sitologi vagina pada tahun 1920. Papanicolaou test atau Pap smear adalah metode skrining ginekologi, untuk menemukan proses-proses premalignant dan malignant di ectocervix, dan infeksi dalam endocervix dan endometrium.

Pap smear digunakan untuk mendeteksi kanker rahim secara dini yang disebabkan oleh human papillomavirus atau HPV. Pemeriksaan pap smear dilakukan dengan mengambil contoh sel-sel leher rahim, kemudian dianalisa untuk mendeteksi dini kanker leher rahim. Selain itu, dengan tes ini kita juga bisa menemukan adanya infeksi atau sel-sel yang abnormal yang dapat berubah menjadi sel kanker sehingga kita bisa segera melakukan tindakan pencegahan. Pap smear sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap wanita, terutama mereka yang telah berkeluarga dan sudah pernah melahirkan. Wanita yang aktif secara seksual disarankan menjalani pap smear sekali setahun.

Pap smear dapat mendeteksi kondisi kanker dan prakanker dalam serviks. Biopsi (pengambilan jaringan) serviks umumnya dilakukan saat pap smear bila ada indikasi kelainan signifikan, atau bila ditemukan kelainan selama pemeriksaan dalam rutin, untuk mengidentifikasi kelainan tersebut. Hasil pap smear dinyatakan positif, bila menunjukkan perubahan-perubahan sel serviks. Biopsi (pengambilan jaringan) mungkin tidak perlu dilakukan segera, kecuali individu dalam kategori risiko tinggi. Untuk perubahan sel yang minor, umumnya direkomendasikan untuk mengulang pap smear dalam 6 bulan ke depan.

Alasan Harus melakukan pap smear, yaitu : Menikah pada usia muda (dibawah 20 tahun), pernah melakukan senggama sebelum usia 20 tahun, pernah melahirkan lebih dari 3 kali, pemakaian alat kontrasepsi lebih dari 5 tahun, terutama IUD atau kontrasepsi hormonal, mengalami pendarahan setiap hubungan seksual,

mengalami keputihan atau gatal pada vagina, sudah menopause dan mengeluarkan darah dari vagina karena berganti-ganti pasangan dalam senggama.

Pemeriksaan pap smear dapat dilakukan kapan pun, kecuali pada masa haid, sedang hamil dan baru saja melakukan hubungan seksual. Pemeriksaan pap smear dianjurkan bagi perempuan yang sudah menikah atau sudah pernah melakukan hubungan seksual minimal sekali setahun. Pelaksanaan pap smear dilakukan 10 hari setelah bersih menstruasi dan 2 x 24 jam. Dalam pelaksanaannya, sebelum dilakukan pap smear wanita tersebut dilarang melakukan hubungan seksual karena akan mengaburkan hasil pemeriksaan.

Sejak ditemukannya metode pap smear, maka jumlah kematian akibat kanker serviks menurun. Meskipun demikian, untuk menurunkan risiko terkena kanker serviks, setiap wanita sebaiknya melakukan pap smear secara rutin (Adi D.Tilong, 2012 :39).

Gambar 1.1 Tes Pap Smear Sumber : http://alodokter.com

Sementara itu, pemeriksaan IVA diperkenalkan oleh Hans Hinselmann pada tahun 1925. IVA merupakan metode deteksi dini kanker serviks dengan mengoleskan asam asetat (cuka) 5% dan larutan iodium lugol ke dalam leher rahim. Bila terdapat lesi kanker, maka akan terjadi perubahan warna menjadi agak keputihan pada leher rahim yang diperika. Jika tidak ada perubahan warna, maka dapat dianggap tidak ada infeksi pada serviks (Rasjidi, 2010 : 4).

Di Indonesia, khususnya di Kota Medan, IVA sedang dikembangkan dengan melatih tenaga kesehatan, termasuk bidan. Sekarang IVA dapat dilakukan di puskesmas atau klinik kebidanan dengan harga yang relatif murah bahkan gratis. IVA dilakukan hanya untuk deteksi dini. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus kanker serviks di Kota Medan semakin diperparah disebabkan lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit berada pada stadium lanjut. Untuk itu diperlukan tindakan pencegahan dan deteksi dini agar bisa dilakukan pemeriksaan dan pengobatan kanker serviks yang lebih baik, sehingga mortalitas (kematian) akibat penyakit ini dapat menurun (Bidanshop 2013, diakses 12 Juni 2016).

Gambar 1.2. Tes IVA Sumber : http://alodokter.com

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis menggunakan sebuah teori untuk mengkaji topik penelitian ini, yaitu :

Dokumen terkait