• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan iklim global menimbulkan kecemasan masyarakat dunia karena akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Terbentuknya badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim, yaitu UNFCCC (UN Framework Convention on Climate Change), merupakan upaya nyata untuk mengantisipasi terjadinya perubahan iklim global. Berkenaan dengan hal tersebut maka Conference of the Parties (COP) yang merupakan salahsatu bagian dari UNFCCC pada tahun 1997, telah menghasilkan kesepakatan internasional untuk mengelola perubahan iklim global, dengan dokumen yang dikenal sebagai Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto berisikan kesepakatan legal pemerintah negara-negara

Annex I (pada umumnya negara industri) mengenai target kuantitatif pengurangan emisi gas rumah kaca untuk diterapkan pada periode 2008-2012. Emisi gas rumah kaca (green house gases) dianggap sebagai penyebab perubahan iklim global yang ditakutkan oleh banyak pihak. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan tersebut maka Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan emisi (emission trading), penerapan bersama (joint implementation), pemanfaatan rosot (sinks), dan mekanisme pembangunan bersih(clean development mechanism).

Protokol Kyoto (Murdyarso 2003) menyatakan bahwa melalui fasilitas mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang disediakannya memungkinkan negara berkembang seperti Indonesia untuk mendapatkan manfaat dalam bentuk aliran finansial maupun teknologi dari negara maju. Sidang selanjutnya COP-3 di Kyoto secara tegas telah berhasil mengikat kesepakatan negara-negara Annex-I

(sebagian besar negara industri, dengan Jepang serta negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia sebagai pelopornya) pada suatu target kuantitatif pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya karbondioksida. Inti kesepakatan adalah bahwa pada periode 2008-2012, negara-negara tersebut secara bersama-bersama (target pengurangan emisi yang dapat berbeda untuk masing-masing negara) harus bisa

mencapai pengurangan emisi karbondioksida sebesar 5 (lima) persen di bawah emisi karbondioksida mereka pada tahun 1990.

Pada pertemuan di Copenhagen tahun 2010 pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbondiaksida sebesar 26 persen, kendatipun di Indonesia pelaksanaan mekanisme pembangunan bersih masih memerlukan waktu yang cukup panjang karena kontribusinya relatif kecil. Hal ini dapat dilihat kurangnya kesungguhan dalam pengelolaan kebersihan lingkungan yang terkait dengan pencemaran udara akibat gas buang, pencemaran sungai dan tanah di perkotaan maupun persepsi masyarakat dalam memanfaatkan sampah sebagai resources, bukan sebagai limbah.

Pada dasarnya, pengelolaan kebersihan lingkungan di perkotaaan relatif lebih kompleks dibanding di perdesaan. Hal ini diduga sebagai akibat dari pengaruh pembangunan yang berbeda terhadap kehidupan di desa dan di kota. Pembangunan kota mengubah keadaan fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia sehingga lingkungan alam sulit dipertahankan kelestariannya dalam wujud aslinya. Pembangunan kota mengubah lingkungan sosial masyarakat yang semula hidup lebih akrab dan saling tolong-menolong dalam perikehidupan masyarakat kecil di kampung atau desa, menjadi lebih individualis di perkotaaan; perubahan menjadi kota mengakibatkan setiap orang harus berusaha memecahkan masalahnya sendiri-sendiri, terutama yang menyangkut keperluan akan air minum, energi, angkutan, pelayanan kesehatan dan lain-lain keperluan yang lazim disebut pelayanan umum (public utilities). Dalam hal ini peranan pemerintah seharusnya adalahb menyediakan berbagai keperluan pelayanan umum ini. Masalah yang dihadapi pemerintahan kota dalam hal ini adalah bagaimana memenuhi berbagai keperluan pelayanan umum tersebut dengan anggaran dana yang terbatas.

Munculnya sampah dan limbah, pencemaran udara, sungai, tanah, kebisingan suara dan lain-lain yang serupa, sebagai perwujudan dampak negatif dari perubahan lingkungan alam, memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti: sampai seberapa jauhkah fungsi lingkungan alam bisa diambil alih oleh lingkungan buatan manusia? Sampai seberapa jauhkah perubahan lingkungan alam mencapai titik krisis sehingga berpengaruh negatif terhadap perikehidupan

manusia? Masalah persampahan disebabkan beberapa hal, diantaranya, (1) pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat telah menyebabkan timbunan sampah pada perkotaan semakin tinggi, (2) kendaraan pengangkut sampah yang jumlah maupun kondisinya kurang memadai, (3) sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan, dan (4) belum diterapkannya pendekatan reduce, reuse, recycle dan replace (4 R). Besarnya timbulan sampah yang tidak dapat ditangani akan menyebabkan berbagai permasalahan baik langsung maupun tidak langsung bagi penduduk kota. Dampak langsung dari penanganan sampah yang kurang bijaksana diantaranya adalah timbulnya berbagai penyakit menular, penyakit kulit, dan gangguan yang disebabkan terhambatnya arus air di sungai karena terhalang timbunan sampah yang dibuang ke sungai (Wibowo dan Djajawinata 2003).

Salahsatu tantangan yang dihadapi oleh para pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Berdasarkan data BPS tahun 2000 (Bappenas 2002), dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, ternyata hanya sebesar 4,2 persen sampah yang dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 persen yang dibakar sebesar 37,6 persen, yang dibuang ke sungai 4,9 persen, dan yang tidak tertangani sebesar 53,3 persen. Sebagai perbandingan rata-rata volume sampah yang ditimbulkan oleh setiap penduduk perkotaaan, seperti kota Jakarta adalah sebanyak 0,8 kg/hari, Bangkok sebanyak 0,9 kg/hari, Singapore sebanyak 1,0 kg/hari, dan Seoul sebanyak 2,8 kg/hari.

Bandar Lampung sebagai ibu kota Propinsi dan salahsatu kota besar, dengan jumlah penduduk mencapai 844.608 jiwa menghasilkan sampah rata-rata sekitar 0,43 kg/hari/orang. Jumlah volume sampah per hari di kota Bandar Lampung adalah sejumlah 500-600 m3 yang dilayani oleh kendaraan operasional pengangkut sampah sebanyak 26 unit kendaraan dengan 61 rotasi per harinya Sampah yang terangkut sekitar 246,75m3, berarti kurang dari 50 persen sampah yang dapat dikelola. Pengelolaan sampah dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pasar, dan Satuan Organisasi Kebersihan Lingkungan (SOKLI) di tingkat kecamatan/kelurahan (Pemerintah Kota Bandar Lampung 2008).

Pesatnya pertambahan penduduk yang disertai derasnya arus urbanisasi telah meningkatkan jumlah sampah di perkotaan dari hari kehari. Keterbatasan kemampuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bandar Lampung, Dinas Pasar Kota Bandar Lampung, dan SOKLI dalam menangani permasalahan sampah tersebut menjadi tanda awal dari semakin menurunnya sistem penanganan permasalahan sampah tersebut. Kekurangpedulian dalam pengelolaan persampahan ini dapat terlihat dari terbatasnya anggaran yang disediakan untuk menangani permasalahan sampah. Sementara disisi lain, penghasilan yang diperoleh dari pelayanan persampahan masih jauh dari tingkat yang memungkinkan adanya penanganan secara mandiri dan berkelanjutan. Sistem tarif dalam bentuk retribusi masih konvensional dan tidak memungkinkan adanya insentif bagi operator. Hal ini semakin sulit karena adanya keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, dan terkendala dengan jumlah kendaraan serta kondisi peralatan yang telah tua. Belum lagi pengelolaan TPA yang kurang sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

Menyadari permasalahan yang dihadapi pemerintah kota dalam pengelolaan sampah maka pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat berperan aktif pada sektor publik dan sektor swasta. Pelibatan ini sangat penting terutama pada perencanaan dan pelaksanaan program. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya terbuka pada salahsatu sektor saja misalnya pengelolaan sampah, dimana terdapat kemungkinan melibatkan masyarakat dalam skala besar, tetapi juga pada sektor lain yang padat modal dimana masyarakat kemungkinan terkena dampaknya secara langsung, misalnya program energi terbarukan atau efisiensi energi. Pemberdayaan masyarakat diharapkan juga akan menjamin keberlanjutan (sustainability) pelaksanaan program pembangunan karena kemungkinan terdapat program berjangka panjang, sehingga masyarakat juga dapat memantau jalannya program tersebut.

Pemberdayaan (empowerment) merupakan suatu strategi pembangunan dalam paradigma yang berpusat pada manusia. Perspektif pembangunan ini menyadari betapa pentingnya kapasitas manusia dalam rangka meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumberdaya materi dan non materi.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah kota, baik keterbatasan fasilitas yang bersifat teknis maupun aspek kelembagaan yang bersifat yuridis, diperlukan penelitian untuk merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai mitra pemerintah kota dalam pengelolaan kebersihan lingkungan, termasuk mengatasi permasalahan sampah kota Bandar Lampung. Dalam perspektif pemberdayaan ini, masyarakat diberi wewenang untuk turut mengelola sumber daya pembangunan, baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain (termasuk dalam pengelolaan kebersihan lingkungan).

1.2. Kerangka Pemikiran

Meningkatnya volume sampah yang berasal dari kegiatan pasar dan industri disebut sebagai sampah publik dan yang berasal dari kegiatan rumah tangga disebut sebagai sampah domestik. Volume sampah sangat dipengaruhi oleh faktor kependudukan, khususnya tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan penduduk. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan dan semakin bertambah jumlah penduduk maka akan semakin membutuhkan barang, jasa, dan konsumsi yang lebih banyak, sehingga meningkatkan volume sampah.

Selain faktor kependudukan, faktor lingkungan juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan volume sampah. Lingkungan alami dan lingkungan buatan, khususnya tata kota dan permukiman turut memberikan kontribusi terhadap volume sampah. Tata kota yang kurang terencana dan pemukiman yang tumbuh tanpa memperhatikan faktor lingkungan alam akan mempersulit pengelolaan kebersihan lingkungan.Dalam hal ini, identifikasi dari karakteristik sampah yang ditimbulkan oleh masyarakat perlu dikenali dan dipahami agar dalam pemecahan masalah sampah yang dimulai dari strategi perencanaan dan kebijakan hingga proses pelaksanaan penanganan sampah dapat dilakukan dengan tepat dan benar. Dengan demikian, aspek teknis berupa sarana, prasarana, petugas kebersihan, dan teknis pengolahan sampah merupakan varabel penting dalam mewujudkan kebersihan lingkungan yang berkelanjutan.

Aspek kelembagaan, yang berupa kebijakan dan program pengelolaan sampah oleh dinas dan instansi pemerintah yang terkait, aktivitas pamong, lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan sampah, aspek anggaran dan manajemen harus teridentifikasi secara jelas. Karakteristik masyarakat yang

meliputi, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, jarak rumah, persepsi, sikap dan perilaku, dan harapan serta aktivitas masyarakat sehari-hari dalam memperlakukan sampah di lingkungannya sebagai suatu hal yang sangat penting untuk diketahui. Oleh sebab itu, aspek kelembagaan dan faktor karakteristik masyarakat merupakan peubah yang sangat strategis dalam program pengelolaan kebersihan lingkungan.

Pengelolaan sampah, sesungguhnya bukan hanya melibatkan pihak pemerintah, tetapi juga harus melibatkan pihak swasta, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pemerintah daerah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan badan usaha/pihak swasta dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah. Kemitraan sebagaimana dimaksud dapat berbentuk perjanjian antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan badan usaha atau pihak swasta yang bersangkutan. Lembaga swadaya masyarakat dapat memberikan masukan dan pendampingan kepada warga masyarakat untuk mengolah sampah sehingga mempunyai nilai estetis dan ekonomis; perguruan tinggi sebagai institusi yang memiliki Tri Dharma, salah satunya adalah pengabdian kepada masyarakat dapat berperan dalam memberikan alternatif teknologi pengelolaan sampah yang efisien dan efektif.

Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pasar, dan SOKLI saat ini selain berfungsi sebagai pengelola persampahan, juga berfungsi sebagai pengatur, pengawas, dan pembina dalam pengelolaan sampah. Tumpang tindihnya peran pengaturan dan pengawasan dari instansi tersebut dengan fungsi operator pemberi pelayanan, menyulitkan dalam melaksanakan reward dan punishment dalam pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, belum adanya model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kebersihan lingkungan, khususnya sampah kota.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Kegiatan rumah tangga Kesejahteraan penduduk Faktor kependudukan Buatan Alam Sampah domestik Pertumbuhan penduduk Daya Tampung TPA Kegiatan pasar & industri

Tata kota dan perumahan

Sampah publik

Air Tanah Udara

Volume sampah Kebijakan

dan program pengelolaan sampah

Sarana dan prasarana serta petugas kebersihan Aktivitas pamong dalam pengelolaan sampah Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

Daya tampung TPA

Tingkat pendapatan masyarakat Tingkat pendidikan masyarakat Badan Usaha/Swasta S I K A P D A N P E R I L A K U Jenis pekerjaan masyarakat Jarak rumah masyarakat Akademisi/ Perguruan Tinggi PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN Harapan masyarakat Faktor lingkungan

Gambar1 Kerangka pemikiran

Gambar 1 tentang kerangka pemikitan, memperlihatkan bahwa terwujudnya pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan sebagai tujuan yang hendak dicapai memerlukan kajian empirik tentang kebijakan dan program pengelolaan

kebersihan lingkungan, karakteristik dan harapan masyarakat serta peran

stakeholders (pemerintah, warga masyarakat, pihak swasta, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat) sehingga dapat disusun suatu konsep pemberdayaan masyarakat sebagai mitra pemerintah daerah dalam pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan.

1.3. Perumusan Masalah

Hakikat dari konseptualisasi empowerment adalah berpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan merupakan tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Dengan demikian, konsep pemberdayaan masyarakat merupakan upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat (Ife 1995), antara lain adalah sebagai berikut (1) struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi struktural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang operasif, (2) pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya seseorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu rule of the game tertentu, (3) elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliansi dengan elit-elit tersebut, dan berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek serta struktur yang elitis, (4) post-strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah dan menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial.

Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengelolaan sampah sangat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain seperti kelembagaan yang ada, kebijakan dan program pemerint ah dalam pengelolaan sampah, sarana dan prasarana, petugas kebersihan, daya tampung Tempat Pembuangan Akhir (TPA), aktivitas pamong, dan lembaga swadaya masyarakat. Perguruan tinggi, dengan para akademisinya dapat memberikan masukan dan memberikan pendampingan dalam pemilihan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. Selain itu, faktor tingkat pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, jarak rumah, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat memberikan kontribusi yang besar dalam program pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan. Berdasarkan kerangka

pemikiran tersebut, disusun diagram perumusan masalah seperti tercantum pada Gambar 2. Volume sampah Kebijakan dan program Pengelolaan sampah

Sarana - prasarana dan petugas kebersihan

Aktivitas pamong dalam pengelolaan sampah

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

Daya tampung TPA

Tingkat pendapatan masyarakat Tingkat pendidikan masyarakat Pihak swasta / Badan Usaha S I K A P D A N P E R I L A K U Jenis pekerjaan masyarakat Jarak rumah masyarakat Akademisi/ Perguruan Tinggi KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN YANG IDEAL PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN SAAT INI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Harapan masyarakat

Gambar 2 Diagram perumusan masalah

Berdasarkan diagram perumusan masalah, dapat dirumuskan masalah pengelolaan sampah di Bandar Lampung yang dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Kurang efektif dan efisiennya kebijakan dan program pengelolaan kebersihan lingkungan di kota Bandar Lampung saat ini seiring dengan meningkatnya

volume sampah dan terbatasnya penyediaan sarana-prasarana, kapasitas daya tampung TPA, dan petugas kebersihan lingkungan.

2. Masih rendahnya tingkat keberdayaan, kesadaran dan kurangnya perhatian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan, khususnya dalam pengelolaan sampah kota Bandar Lampung.

3. Kurang berperannya perguruan tinggi, badan usaha/pihak swasta, pamong kelurahan dan lembaga swadaya masyarakat dalam mendukung kebijakan dan program pemerintah daerah terhadap pemberdayaaan masyarakat dalam pengelolaan sampah kota Bandar Lampung

4. Belum adanya konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kebersihan lingkungan, khususnya pengelolaan sampah kota Bandar Lampung.

Dari hasil identifikasi dan perumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan dan program pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan yang ada saat ini di kota Bandar Lampung, termasuk penyediaan sarana, prasarana, kapasitas daya tampung TPA, dan petugas kebersihan ?

2. Bagaimana hubungan antara karakteristik (tingkat pendidikan, jenis pekerjaan tingkat pendapatan, jarak rumah, persepsi, sikap dan perilaku) serta harapan masyarakat dengan kebersihan lingkungan, khususnya dalam pengelolaan sampah kota Bandar Lampung?

3. Bagaimana peran perguruan tinggi, badan usaha/pihak swasta, petugas/pamong kelurahan dan lembaga swadaya masyarakat dalam mendukung pemerintah daerah terhadap pemberdayaaan masyarakat dalam pengelolaan sampah kota Bandar Lampung?

4. Bagaimana konsep pemberdayaan masyarakat sebagai mitra pemerintah daerah dalam pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan, khususnya dalam program pengelolaan sampah kota Bandar Lampung?

1.4. Tujuan Penelitian