• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan adalah suatu proses alami yang terjadi pada setiap makhluk hidup, yang dimulai sejak proses kelahiran terjadi didunia ini. Terutama setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh selain tidak berkembang lagi, bahkan terjadi penurunan fungsi.

Di bidang kedokteran ilmu berkembang dengan pesat, ini dibuktikan dengan lahirnya ilmu kedokteran terbaru yang mendalami tentang melawan efek penuaan dan meningkatkan kualitas hidup setiap individu Ilmu baru yang mendalami tentang anti penuaan atau Anti Aging Medicine merupakan ilmu yang dikembangkan awalnya oleh The American Academy of Anti Aging Medicine (A4M) pada tahun 1993 (Pangkahila, 2007).

Penuaan dianggap dan diperlakukan sebagai suatu penyakit yang dapat dicegah, diperlambat atau dihambat serta dapat diobati sehingga dapat mencapai keadaan semula yang optimal. Penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologis dari usia kronologis seseorang. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup sehingga proses penuaan seseorang dapat terjadi lebih dini atau lebih tergantung kesehatan individu masing-masing (Fowler, 2003).

1

dapat mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh sehingga dapat berfungsi kembali seperti pada usia muda, walaupun usia sebenarnya semakin bertambah.

Kesehatan dan kualitas hidup seseorang bisa lebih baik dibandingkan dengan usia yang sebenarnya. Anti Aging Medicine membagi usia manusia menjadi dua kategori, yaitu usia kronologis dan usia fisiologis. Usia kronologis merupakan usia sebenarnya sesorang yang disesuaikan dengan tahun kelahiran, sedangkan usia fisiologis seseorang adalah usia yang sesuai dengan fungsi organ atau sel tubuhnya. Pada kenyataanya di masyarakat dapat ditemukan orang yang memiliki usia kronologis yang tidak selalu sama dengan usia fisiologisnya (Pangkahila, 2007).

Penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologis dari usia kronologis seseorang. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup sehingga proses penuaan seseorang dapat terjadi lebih dini atau lebih tergantung kesehatan individu masing-masing (Fowler, 2003).

Proses penuaan berhubungan dengan perubahan yang terjadi secara terus menerus pada semua jaringan semua, termasuk jaringan kulit. Kulit dapat mengalami penuaan oleh karena faktor intrinsik dan diperberat oleh faktor ekstrinsik. Organ tubuh cukup kompleks termasuk kulit manusia merupakan organ yang kompleks dan dinamis, yang menunjukkan tanda – tanda penuaan secara nyata.

Salah satu perubahan mikroskopis yang terjadi pada lapisan dermis kulit adalah berkurangnya jumlah serat kolagen secara bermakna dengan bertambahnya usia setiap orang (Yaar dkk., 2008 ; Walker dkk., 2008).

Kolagen merupakan salah satu komponen serat yang dominan pada lapisan dermis kulit. Serat kolagen banyak berperan pada kekenyalan dan kekompakan kulit. Kolagen adalah protein yang sangat labil, banyak faktor yang mempengaruhinya dalam proses pembentukan maupun dalam proses degradasinya (Uito dkk., 2008 ; Walker dkk., 2008). Untuk lebih memahami tentang hubungan MMP-1, kolagen dan luka pada proses penuaan kulit, maka kita harus memahami bahwa kulit mengalami penuaan dan berpengaruh pada proses penyembuhan luka.

Sel fibroblast bertanggung jawab terhadap produksi kolagen, serat retikulin, serat elastik dan jaringan penyangga dari dermis. Selain itu fibroblast juga dapat menghilangkan serat-serat tersebut dengan mensekresikan enzim seperti collagenase (Matriks Metalloproteinase-1 atau MMP-1) dan elastase (Junqueiradkk., 1997; Obagi, 2000).

Proses perubahan kolagen III menjadi I yang terjadi di dalam dermis dikontrol oleh interaksi yang melibatkan sintesis kolagen yang baru dengan melisiskan kolagen tua. Proses perubahan ini dipengaruhi oleh enzim metalloproteinase-1 terutama kolagenase.

Peningkatan MMP mempengaruhi sintesis kolagen, dimana dengan bertambahnya umur maka level MMP-1, 2, 9, dan 12 akan makin bertambah sementara ekspresi procollagen mRNA lebih rendah dibanding saat masih berusia muda (Chung dkk., 2004).

dengan menggunakan darah Fibrin Tissue Adhesive (FTA) dan Platelet Rich Plasma (PRP) karena pada FTA dan PRP diketahui terdapat banyak Growth Factor. Metode ini cukup banyak juga digunakan untuk peremajaan kulit wajah, PRP atau plasma kaya trombosit yang merupakan tindakan salah satu tindakan dengan menggunakan serum pasien dalam volume kecil. PRP mengandung 7 protein Growth Factor yang aktif dikeluarkan pada proses penyembuhan luka (Marx, 2004).

Teknologi medis semakin berkembang, salah satunya adalah perkembangan teknologi Nano yang merupakan teknologi terbaru yang mencakup pengembangan teknologi dalam skala nanometer, biasanya dengan ukuran 0,1 sampai 100 nm. Satu nanometer sama dengan seperseribu mikrometer atau sepersejuta milimeter atau satu per-milyar meter, yang berarti 50.000 lebih kecil dari ukuran rambut manusia. Nano digunakan untuk mencapai tujuan yaitu mencapai penyerapan lebih dalam pada kulit yaitu lapisan dermis kulit.

Pengabunggan teknologi Nano dan PRP dalam mengaplikasi PRP ke wajah atau luka diharapkan dapat mencapai lapisan dermis kulit tanpa melukai dengan suntikan atau alat roller yang biasa dipakai untuk menghilangkan bekas jerawat dengan mencapai hasil yang lebih baik dan lebih nyaman terutama dalam mempercepat pembentukan kolagen kulit dalam proses penyembuhan luka maupun dalam menghambat penuaan kulit.

Chitosan berasal dari bahasa yunani yaitu “Chiton“ yang berarti baju rantai besi. Kata ini menggambarkan fungsi dari material chitosan sebagai jaket

pelindung pada invertebrate. Chitosan adalah polisakarida linier tersusun atas residu N-asetil glukosamin dan memiliki 2000-3000 monomer dengan ikatan 1.4-b-gliksida berupa molekul glukosa dengan cabang mengandung nitrogen (Gagne dan Simoson, 2000).

Berdasarkan sifat biologi dan kimianya, maka chitosan memiliki sifat khas yaitu : mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran dan serat yang bisa dikombinasi dengan bahan lain sehingga bermanfaat dalam aplikasinya.

Dalam penelitian ini, chitosan diubah menjadi partikel nano, selanjutnya Growth Factor yang diambil dari serum darah PRP dimasukkan ke dalam nano chitosan tersebut sehingga terbentuklah gel Nanochitosan-PRP yang berfungsi untuk melepaskan Growth Factor secara bertahap dan dapat mencapai dermis kulit secara perlahan dan nyaman. Chitosan berfungsi untuk melakukan proses enkapsulisasi pada Growth Factor yang diambil dari Platelet Rich Plasma (PRP), tanpa harus diambil secara autologus. Sifat Chitosan yang unik dan dapat mengikat Growth Factor dari serum darah PRP, dan kondisi partikel yang telah dirubah menjadi nano diharapkan secara perlahan dan secara bertahap melepaskan Growth factor ke dalam jaringan kulit terutama dermis kulit .

Penelitian ini diharapkan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka dan secara tidak langsung dapat menghambat penuaan kulit melalui peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 pada proses penyembuhan luka. Pencapaian hasil yang lebih maksimal dikarenakan adanya teknologi nano yang menjadikan chitosan yang mengandung Growth factor

bertahap hingga ke dalam lapisan dermis kulit.

Luka adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas suatu jaringan karena adanya cedera atau pembedahan. Penyembuhan luka dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain semakin tua usia seseorang maka proses penyembuhan luka akan berlangsung lebih lama.

Penyembuhan luka adalah suatu istilah yang seharusnya hanya digunakan sesuai dengan konteks regenerasi. Pada proses penyembuhan luka bentuk dan susunan asli dari suatu organ atau bagian anatomi tubuh kembali seperti saat sebelum terjadinya luka. Pada manusia dan pada golongan vertebrata yang lebih tinggi penyembuhan terjadi melalui suatu proses perbaikan dimana hasil yang dicapai bukan berupa restorasi secara anatomi namun lebih kepada hasil yang fungsional (Falanga, 2007).

Seperti sirkulasi sel di dalam darah, PRP dibentuk dari stem sel di dalam sumsum tulang belakang. Mereka memulai hidup sebagai suatu sel yang disebut megakariosit. PRP dan darah normal berisi antara 120.000 sampai 600.000 per mikroliter. Mereka berbeda dengan sel darah putih mereka tidak memiliki inti dan tidak bisa membagi. Bagaimanapun mereka mempunyai peran yang utama di dalam banyak proses tubuh. Awal kerja menunjukkan bahwa platelet darah adalah pusat proses pembekuan tetapi itu secara berangsur-angsur menjadi jelas bahwa mereka mempunyai fungsi penting di dalam mediasi inflamasi dan pendukung proses penyembuhan (Roberts, 2010).

Kemajuan pengetahuan dan berbagai penelitian di bidang tersebut, terjadi antusiasme besar dalam penggunaan PRP yang mengeluarkan growth factor dalam jumlah sangat besar untuk menstimulasi penyembuhan pada luka yang tidak dapat sembuh. Selama 20 tahun terakhir ini penggunaan PRP autologus banyak didokumentasikan dan tidak hanya di bidang penyembuhan luka namun juga di bidang ortopedi, kedokteran olah raga, kedokteran gigi, THT, bedah saraf, mata, urologi, bedah jantung dan bedah plastik (Sampson dkk., 2008).

Pada proses penyembuhan luka, trombosit sangat dibutuhkan untuk membuat fibrin, mengeluarkan growth factor disertai dengan chemoattraction untuk menginduksi migrasi makrofag dan stem sel. Selanjutnya akan terjadi proliferasi serta mitosis dan diferensiasi stem sel untuk membentuk sel baru yang dibutuhkan (Green dkk., 2009).

Growth factor yang dikeluarkan oleh trombosit pada proses degranulasi, yaitu platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor (TGF), insulin like growth factor (IGF) dan epidermal growth factor (EGF) (Blair dan Flaumenhaft, 2009). Penelitian tentang manfaat PRP dalam penyembuhan luka dan dalam proses menghambat penuaan masih banyak yang perlu diteliti.

Penelitian di bidang PRP masih kontroversi, maka peneliti ingin membuktikan kegunaan dan manfaat PRP yang dienkapsulisasi oleh chitosan dan dibuat dengan teknologi Nano agar menjadi gel Nanochitosan – PRP yang dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka dan secara tidak langsung dapat menghambat proses penuaan kulit.

Dari uraian latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah pemberian gel Nanochitosan-Platelet Rich Plasma secara topikal dapat menurunankan ekspresi Matriks Metalloproteinase-1 pada jaringan luka tikus Wistar?

2. Apakah pemberian gel Nanochitosan-Platelet Rich Plasma secara topikal dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada jaringan luka tikus Wistar?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemberian gel Nanochitosan-Platelet Rich Plasma topikal dapat menghambat penuaan kulit dan dapat mempercepat penyembuhan jaringan luka.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan secara khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pemberian Nanochitosan-Platelet Rich Plasma topikal dapat menurunkan ekspresi Matriks Metalloproteinase-1 pada jaringan luka tikus Wistar.

2. Untuk mengetahui pemberian gel Nanochitosan-Platelet Rich Plasma topikal dapat meningkatan jumlah kolagen dermis pada jaringan luka tikus Wistar.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah

Dapat menambah wawasan dan memberi informasi ilmiah baru tentang peranan PRP pada proses penyembuhan luka melalui penggunaan gel Nanochitosan-Platelet Rich Plasma tanpa harus menggunakan darah secara autologus dan tanpa tindakan suntikan ke dalam lapisan dermis sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif terbaik dalam penanganan penyembuhan luka dan dalam menghambat penuaan kulit secara bertahap dan nyaman dengan hasil yang lebih maksimal.

1.4.2 Manfaat Praktis

Diharapkan dapat dipergunakan sebagai salah satu alternatif pengobatan penyembuhan luka dan terobosan baru dalam menghambat penuaan kulit.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Definisi Penuaan

Proses penuaan merupakan suatu akumulasi secara progresif berbagai perubahan patologis di dalam sel dan jaringan yang terjadi seiring dengan waktu.

Aging adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Rabe dkk., 2006).

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini tentunya banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ilmu yang sedang berkembang pesat saat ini adalah Ilmu Anti Penuaan. Penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).

10

2.1.2 Teori Penuaan

Ada empat teori pokok dari penuaan (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu 1. Teori Wear and Tear

Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

3. Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, di mana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental terentu. Penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita dapat hidup.

4. Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.

Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, di mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas.

2.1.3 Proses Penuaan

Proses terjadinya penuaan memiliki dua fenomena yang saling berkaitan dan sering tumpang tindih. Yang pertama adalah penuaan intrinsik dan yang kedua adalah penuaan ekstrinsik. Penuaan intrinsik berlangsung secara alamiah

disebabkan oleh berbagai faktor dari faktor fisiologis tubuh sendiri seperti faktor genetik, hormonal dan ras. Penuaan ekstrinsik antara lain disebabkan oleh berbagai bahan yang meningkatkan pembentukan radikal bebas dapat mempercepat penuaan kulit seperti: sinar X, sinar UV, polusi, gas N2O, freon, rokok, diet salah, bahan pengawet, pewarna dan pelezat. Penggunaan kosmetik yang tidak sesuai. Terlalu sering menggunakan sabun, detergen, pembersih berkadar alkohol tinggi pada jenis kulit normal atau kering akan mempercepat terjadi penuaan kulit (Chung dkk., 2003; Soepardiman, 2003).

Menurut Fowler (2003), aging adalah suatu penyakit dengan karakteristik yang terbagi menjadi tiga fase yaitu:

1. Tahapan subklinik (usia 25-35 tahun)

Di rentangan usia ini sebagian besar hormon dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon, dan estrogen.

Pembentukan radikal bebas mulai terjadi, namun kerusakan yang terjadi belum tampak dari luar. Sehingga pada tahapan ini individu masih merasa dan tampak normal, tanpa tanda dan gejala penuaan.

2. Tahap transisi (usia 35 -45 tahun)

Pada tahap ini kadar hormon menurun sebanyak 25%. Massa otot berkurang 1 kg setiap beberapa tahun, akibatnya tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Mulai muncul gejala penuaan seperti rambut mulai putih, elastisitas kulit menurun, pigmentasi kulit menurun, demikian juga halnya dengan pendengaran, penglihatan dan dorongan seksual. Kerusakan oleh radikal bebas mulai

orang akan mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.

3. Tahap klinik (Usia 45 th ke atas)

Penurunan kadar hormon terus berlanjut yaitu DHEA, melatonin, GH, testosteron, estrogen, dan tiroid. Terjadi penurunan sampai hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar 1 kg setiap tiga tahunnya, akibatnya terjadi ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Sistem organ mulai mengalami kegagalan, penyakit kronis menjadi lebih nyata. Ketidakmampuan menjadi faktor utama.

2.2 Luka

Penyembuhan luka adalah suatu istilah yang seharusnya hanya digunakan sesuai dengan konteks regenerasi, dimana bentuk dan susunan asli dari suatu organ atau bagian anatomi tubuh kembali seperti saat sebelum terjadinya luka atau injury. Beberapa binatang yang primitif, seperti amphibi dan reptil tetap mampu mengalami regenerasi seperti tersebut diatas. Pada binatang yang lebih besar dan komplek, regenerasi tidak dapat dilakukan. Pada manusia dewasa dengan pengecualian pada organ hati, regenerasi yang sebenarnya, tidak mungkin terjadi.

Oleh sebab itu pada manusia dan pada golongan vertebrata yang lebih tinggi penyembuhan terjadi melalui suatu proses perbaikan dimana hasil yang dicapai bukan berupa restorasi secara anatomi namun lebih kepada hasil yang fungsional (Falanga, 2007).

2.2.1 Jenis – Jenis Luka

Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan kedalaman dan luasnya, luka dapat dibagi menjadi:

1. Luka superfisial : terbatas pada lapisan epidermis.

2. Luka partial thickness : hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis dan lapisan bagian atas dermis.

3. Luka full thickness : hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis, dermis, dan fasia tapi tidak mengenai otot.

4. Luka mengenai otot, tendon dan tulang (Tawi, 2008).

Pada kebanyakan mekanisme perbaikan luka yang terjadi, tujuannya adalah menghasilkan suatu penutupan pada daerah luka tersebut. Sekali lagi, dari suatu proses terjadinya evolusi, maka manusia tidak seharusnya mengalami suatu penyakit degeneratif atau hidup lebih lama serta mempertahankan sistem arteri, vena, serta mencegah terjadinya dekubitus atau ulkus neuropati dari suatu penyakit diabetes.

Untuk itu manusia tidak disiapkan untuk mengalami keadaan ini (luka kronik), dan tidak ada mekanisme yang spesifik untuk mengatasinya secara efektif. Yang menjadi perhatian penting dalam hal ini adalah adanya perluasan dan kedalaman luka. Untuk itu, luka yang dangkal (luka saat bercukur) dimana komponen atau adneksa kulit (folikel rambut, kelenjar keringat dll) masih

tersebut masih ada.

Pada bagian lain, luka dengan fullthickness (punch biopsy) tergantung pada migrasi keratinosit dan proliferasi pada bagian tersebut. Tidak mengherankan bahwa pada luka fullthickness akan mengalami penyembuhan yang lama dan sering timbul jaringan parut (Falanga, 2007).

Journal of Investigative Dermatology (2007)127, 1018-1029

Gambar 2.1 Pembagian jenis luka berdasarkan lamanya luka ( Jurnal Investigasi Dermatology (2007)127 )

2.2.2 Proses Penyembuhan Luka

Terdapat empat fase dalam proses penyembuhan luka, yaitu: fase koagulasi, fase inflamasi, fase proliferasi – migrasi dan fase remodeling. Fase koagulasi dan inflamasi sering dikelompokkan menjadi satu, sehingga menyebabkan mediator yang dikeluarkan dari fase tersebut sering overlaping. Ini

menunjukan seluruh fase secara berurutan dan juga menerangkan hubungan secara linear mengenai penyembuhan luka mulai dari terjadinya luka sampai dengan terjadinya perbaikan, dimana hal ini tidak terdapat pada luka yang kronis, serta proses terjadinya melalui jalur yang pendek atau secara berulang. Yang menjadi perhatian adalah penjabaran mengenai seluruh proses perbaikan luka sulit dijelaskan atau digolongkan dalam fase-fase yang pasti dan hal ini harus menjadi pertimbangan karena fase–fase tersebut sering overlaping (Falanga, 2007).

1. Fase Inflamasi

Pertama fase penyembuhan luka dimulai dari segera setelah cedera dan dapat berlangsung sampai 4-6 hari (Broughton dkk., 2006). Dalam literatur lain, fase penyembuhan diklasifikasikan menjadi empat tahap dengan membedakan hemostasis sebagai fase pertama (Chin dkk., 2005), sementara itu umumnya diketahui sebagai bagian dari fase inflamasi.

Tahap awal yang alami untuk mengangkat jaringan debris dan mencegah infeksi yang invasif (Gurtner, 2007) dan ditandai oleh peningkatan permeabilitas vaskular oleh hemostasis trombin berikut, sekresi sitokin chemotactic yang memfasilitasi migrasi sel (Myers, 2007).

Kolagen selama luka membentuk pengaktivan kaskade pembekuan, baik intrinsik maupun jalur ekstrinsik (Broughton dkk., 2006) yang memuncak dalam pembentukan gumpalan fibrin dan hemostasis memulai fase inflamasi (Broughton dkk., 2006; Myers dkk., 2007) bekuan fibrin berfungsi sebagai scaffolding untuk sampai sel, seperti neutrofil, monosit, fibroblasts, dan endotel sel (Broughton dkk., 2006) polimorfonuklear leukosit dan makrofag adalah

matriks sementara juga berfungsi untuk memusatkan sitokin dan growth factor (Broughton dkk., 2006) yang dilepaskan oleh trombosit, trombin, dan fibronectin.

Penghapusan sementara matriks fibrin akan mengganggu penyembuhan luka (Gurtner, 2007). Neutrofil adalah respon pertama tekanan sinyal sel dan sinyal chemotactic (oleh sitokin) tiba ke dalam pembekuan fibrin (Broughton dkk., 2006). Selanjutnya darah di dekat pembuluh vasodilatasi dan neutrofil lebih ditarik ke daerah luka dengan interleukin (IL) -1, tumor nekrosis faktor (TNF)-α, faktor trombosit (PF)-4, mengubah faktor pertumbuhan (TGF)-β, trombosit berasal faktor pertumbuhan (PDGF) (Broughton dkk., 2006; Chin dkk., 2005) dan

"produk bakteri" (Broughton dkk., 2006).

Leukosit PMN mulai membersihkan menyerang bakteri dan seluler debris (Broughton dkk., 2006) Monosit akan tertarik ke daerah luka dan berubah menjadi makrofag dalam 48 sampai 72-96 jam setelah luka (Broughton dkk., 2006;

Gurtner, 2007) Makrofag phagocytose debris dan bakteri, tapi sangat penting untuk diatur produksi faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk produksi matriks ekstraselular oleh fibroblasts dan produksi pembuluh darah (Gurtner, 2007) .

Singkatnya, proses penyembuhan dimulai dengan hemostasis, deposisi trombosit, dan interaksi mediator larut dan faktor pertumbuhan dengan ekstraselular matrik (Chin dkk., 2005)

2. Fase Proliferasi

Fase ini ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam dasar luka, terdiri dari jaringan kapiler baru, fibroblast, dan makrofag dalam pengaturan struktur pendukung (Myers dkk., 2007). Kolagen dan jaringan ikat protein deposisi dan angiogenesis, epitelisasi juga fase utama (Broughton dkk., 2006;

Ueno dkk., 2006). Proses ini bagian dari penyembuhan luka.

Ueno dkk., 2006). Proses ini bagian dari penyembuhan luka.