• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Tujuan investor menanamkan modalnya dalam bentuk saham adalah untuk memaksimumkan kekayaan melalui penerimaan dividen maupun melalui capital gain pada saat saham tersebut dijual. Tingkat keuntungan yang diharapkan haruslah lebih besar daripada tingkat bunga obligasi pemerintah maupun deposito. Bagi investor yang tidak menyukai risiko lebih menginginkan dividen daripada capital gain.

Kebijakan dividen adalah keputusan untuk menentukan besarnya bagian pendapatan (earning) yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan bagian yang akan ditahan di perusahaan (retained earning). Kebijakan dividen mempunyai dampak sangat penting bagi investor maupun bagi perusahaan yang membayar dividen.

Penetapan pembagian dividen menjadi masalah menarik karena akan memenuhi harapan investor, disisi lain kebijakan tersebut jangan sampai menghambat pertumbuhan apalagi mengancam kelangsungan hidup perusahaan.

Besar kecilnya dividen yang akan dibayarkan tergantung pada kebijakan dividen manajemen dari masing-masing perusahaan. Dengan demikian perlu bagi pihak manajemen untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen yang ditetapkan perusahaan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen menurut Alli (1993) dalam Suherly (2004) antara lain:

1. Faktor peraturan yang membatasi besaran dividen yang dibayarkan (legal restriction).

2. Posisi kas dan setara kas perusahaan, terkait dengan likuiditas perusahaan (liquidity position).

3. Perusahaan yang baru tumbuh disebabkan kebutuhan dana untuk aktivitas intern lebih besar dari pada untuk aktivitas pendanaan lain (absence or lack of other source og financing).

4. Ketidakstabilan perusahaan, akan menyebabkan sulitnya memprediksi laba dimasa depan sehingga manajemen tidak berani menetapkan dividen yang besar.

5. Pengawasan pemilik sebagai variabel penentu kebijakan pembayaran dividen (ownership control).

6. Faktor inflasi.

Penelitian tentang kebijakan dividen telah banyak dilakukan diantaranya Nuringsih (2005), meneliti pengaruh kepemilikan manajerial, kebijakan utang, ROA, dan ukuran perusahaan terhadap kebijakan dividen. Hasil penelitian tersebut menemukan : 1) managerial ownership berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen, 2) kebijakan utang berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen, dan 3) variabel ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen, tetapi tidak signifikan. Risanty (2004) menemukan bahwa tidak ada hubungan antara investment opportunity set terhadap kebijakan dividen.

Anand (2002) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen pada perusahaan di India menemukan bahwa kebijakan dividen sangat penting karena merupakan mekanisme signalling terhadap investor. Perusahaan juga mempunyai target pembayaran dividen tetapi lebih berkeinginan membayar dividen sesuai dengan tingkat pertumbuhan. Adelegan (2001), yang meneliti pengaruh prospek pertumbuhan, leverage, dan ukuran perusahaan terhadap perilaku dividen di Nigeria. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa seperti halnya negara berkembang bahwa kebijakan ekonomi negara sangat mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan. Travlos et al (2001), menemukan bahwa kebijakan dividen untuk bursa yang baru berdiri dipengaruhi latar belakang perbedaan struktur mikro pasar, pengurangan pajak, dan lingkungan pengendalian.

Elston et.al (2002) meneliti institutional ownership, agency costs, dan kebijakan dividen pada perusahaan go public di Jerman menemukan bahwa kepemilikan institusional maupun perbankan secara signifikan mempengaruhi kebijakan dividen. Mahadwartha (2002), menemukan hubungan yang positif antara kebijakan leverage dengan kebijakan dividen dalam perspektif agency theory.

Setianingsih (2003), menemukan bahwa laba dan arus kas secara signifikan mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan.

Sebuah konstruksi formal teori dividen terutama yang berkaitan dengan kebijakan dividen dari berbagai temuan penelitian yang telah dilakukan tersebut sebenarnya masih belum memadai. Hal ini dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian yang

masih cenderung tidak konsisten untuk waktu dan tempat yang berbeda. Beberapa di antaranya bahkan kontradiktif terhadap yang lainnya.

Dalam konteks permasalahan inilah, penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan pengkajian lebih lanjut temuan-temuan empiris kebijakan dividen. Jika laba, arus kas bebas, dan kebijakan hutang ini dapat mempengaruhi kebijakan dividen, temuan ini tentu merupakan pengetahuan yang cukup berguna bagi para pemakai laporan keuangan yang secara riil maupun potensial berkepentingan dengan suatu perusahaan.

Karena kesimpulan yang didapat masih tidak konsisten, maka penulis termotivasi untuk menelitinya lebih lanjut dengan mereplikasi penelitian dari Setianingsih (2003) dengan judul “Pengaruh Laba, Arus Kas Bebas, dan Kebijakan Hutang Terhadap Kebijakan Dividen pada Perusahaan Perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.

1.2. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang penelitian diatas, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: Apakah laba, arus kas bebas, dan kebijakan hutang mempengaruhi kebijakan dividen pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh laba, arus kas bebas, dan kebijakan hutang terhadap kebijakan dividen pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Peneliti

Sebagai bahan masukan apabila dikemudian hari dimintai pendapatnya mengenai pengaruh laba, arus kas bebas, dan kebijakan hutang terhadap kebijakan dividen khususnya pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

2. Bagi Investor

Sebagai bahan masukan dalam sebuah pengambilan keputusan investasi guna menentukan perusahaan yang dapat memberikan tingkat pengembalian investasi yang diharapkan.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan masukan bagi peneliti agar dapat dijadikan sebagai studi komparatif bagi peneliti yang mendalami masalah ini dimasa yang akan datang.

1.5. Originalitas Penelitian

Penelitian ini adalah replikasi dari penelitian Setianingsih (2003). Adapun perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu adalah:

1. Penelitian ini mengganti variabel arus kas dengan arus kas bebas dan menambahkan kebijakan hutang dalam variabel independen. Dari berbagai jurnal penelitian dan literatur yang dibaca oleh peneliti arus kas bebas dan kebijakan hutang belum banyak diteliti secara bersamaan dan hasilnya masih tidak konsisten.

2. Penelitian terdahulu meneliti semua perusahaan yang go public di Indonesia.

Penelitian ini hanya memfokuskan pada perusahaan jasa jenis perbankan, karena struktur modalnya yang cukup unik, yaitu setiap tahun harus menambah rasio kecukupan modalnya (Capital Adequation Ratio) sesuai peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia.

3. Tahun amatan penelitian terdahulu adalah 1998-2000 dan penelitian ini mengambil sampel tahun 2003-2008.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Kebijakan Deviden

Deviden adalah bagian dari laba bersih yang dibagikan kepada pemegang saham. Selain dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden, sebagian dari laba bersih itu ditahan di dalam perusahaan untuk membiayai operasi perusahaan pada periode berikutnya yang biasa disebut laba ditahan (retained earning).

Kebijakan deviden adalah keputusan untuk menentukan besarnya bagian pendapatan (earning) yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan bagian yang akan ditahan (retained earning) di perusahaan (Weston dan Copeland, 1992).

Kebijakan deviden adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran deviden oleh pihak perusahaan berupa penentuan besarnya deviden yang akan dibagikan dan besarnya saldo laba ditahan untuk kepentingan perusahaan (Sutrisno, 2001)

Sementara Lee dan Finerty (1990) mengartikan kebijakan deviden sebagai suatu keputusan perusahaan apakah akan membagikan laba yang dihasilkan kepada para pemegang saham atau akan menahan laba tersebut untuk kegiatan investasi perusahaan. Gitman (2003) mendefinisikan kebijakan deviden sebagai perencanaan tindakan perusahaan yang harus dituruti ketika keputusan deviden harus dibuat.

Kebijakan deviden mempunyai dampak yang sangat penting bagi investor maupun bagi perusahaan yang membayar deviden. Penetapan pembagian deviden menjadi masalah menarik karena akan memenuhi harapan investor, disisi lain kebijakan tersebut jangan sampai menghambat pertumbuhan apalagi mengancam kelangsungan hidup perusahaan.

Terdapat dua pertanyaan mendasar berkaitan dengan kebijakan deviden yang dilakukan perusahaan (Megginson, 1997) dalam Mahadwartha (2002) yaitu (1) apakah kebijakan deviden berpengaruh? Dapatkah nilai pasar saham perusahaan ditingkatkan atau turun dengan melakukan perubahan pada pembayaran deviden? Dan (2) bila kebijakan deviden berpengaruh, faktor apakah yang menentukan level payout optimal yang memaksimalkan nilai perusahaan dan meminimalkan biaya modal (cost of capital).

Rasio antara pemberian deviden dengan laba bersih disebut dividend payout ratio. Semakin kecil dividend payout ratio, maka akan semakin kecil deviden yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Namun semakin besar dividend payout ratio semakin besar pula deviden yang dibagikan kepada pemegang saham, dan semakin kecil laba yang ditahan untuk kegiatan operasional perusahaan berikutnya.

Selain dividend payout ratio ada juga yang disebut dengan dividend per share atau deviden per lembar saham. Yang membedakan antara dividend payout ratio dan dividend per share adalah, bahwa angka deviden per lembar saham diperoleh dari pembagian antara jumlah deviden yang dibayarkan dengan jumlah saham biasa yang beredar. Seperti halnya dividend payout ratio, semakin besar dividend per share,

berarti semakin besar pula deviden yang dibagikan kepada pemegang saham. Dalam hal ini diperlukan kebijakan didalam pemberian deviden.

Di dalam menentukan kebijakan deviden, perusahaan perlu memperhatikan tingkat bunga yang berlaku. Apabila tingkat bunga cenderung naik, maka perusahaan lebih menyukai pendanaan yang bersumber dari laba ditahan. Akan tetapi apabila tingkat bunga cenderung turun, maka pendanaan yang bersumber dari hutang lebih disukai perusahaan. Akibatnya kebijakan pemberian deviden perusahaan dapat berubah.

Terdapat berbagai pendapat atau teori mengenai kebijakan deviden antara lain (1) Teori deviden tidak relevan, (2) Teori the bird in the hand, dan (3) Teori perbedaan pajak.

1. Teori Deviden Tidak Relevan

Pendukung utama dari teori ini adalah Merton Miller dan Franco Modigliani (MM), dimana kebijakan deviden tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham maupun terhadap biaya modalnya. Miller dan Modigliani (MM) berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan deviden itu tidak akan mempengaruhi harga saham, sebab dalam pasar modal sempurna, para pemegang saham tidak membedakan antara deviden dan laba ditahan, apakah pemberian deviden lebih besar kepada pemegang saham, atau mengalokasikan sebagian besar keuntungan perusahaan kepada laba ditahan. Miller dan Modigliani (MM) menyatakan bahwa nilai suatu perusahaan tidak ditentukan dari besar kecilnya deviden pay out ratio,

2. Teori Bird in The Hand

Merton Miller dan Franco Modigliani (MM) berpendapat bahwa nilai perusahaan akan dimaksimalkan apabila rasio pembayaran deviden dinaikkan (Weston &

Brigham, 2001 : 67). Teori ini menyatakan bahwa investor lebih menyukai penerimaan deviden dari pada capital gain. Sebaliknya Myron Gordon dan John Lintner berpendapat sebaliknya, dimana nilai perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran deviden dinaikkan, karena para investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital gain) yang akan dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya mereka menerima deviden.

3. Teori Preferensi Pajak

Teori ini beranggapan bahwa investor lebih menyukai pembagian deviden yang rendah daripada yang tinggi. Hal ini disebabkan karena keuntungan modal dari capital gain dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pendapatan deviden. Untuk investor yang memiliki mayoritas saham akan lebih suka jika perusahaan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba yang akan menaikkan harga saham akan menghasilkan capital gain yang pajaknya lebih rendah dari pendapatan deviden.

Menurut Weston dan Copeland (1992) fakor-faktor yang mempengaruhi kebijakan deviden adalah:

1. Undang-undang

Undang-undang menentukan bahwa pembayaran deviden harus dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yng ada dalam pos laba ditahan (retained earnings) dalam neraca.

Peraturan pemerintah menekankan pada tiga hal (1) pengaturan laba bersih, (2) larangan pengurangan modal (capital impairment rule), dan (3) peraturan kepailitan (insolvency rule). Undang-undang ini penting karena merupakan kerangka untuk merumuskan kebijakan deviden. Akan tetapi, dalam batas-batas kerangka tersebut, faktor-faktor keuangan dan ekonomi mempunyai pengaruh yang penting pada kebijakan itu sendiri.

2. Poisis Likuiditas.

Laba ditahab tahun-tahun lalu sudah diinvestasikan pada pabrik dan peralatan, persediaan, dan aktiva lainnya; laba tersebut tidak disimpan dalam bentuk kas.

Jadi meskipun suatu perusahaan membukukan laba, perusahaan mungkin tidak dapat membayar deviden kas karena posisi likuiditasnya tidak memungkinkan.

3. Kebutuhan untuk Melunaskan Hutang.

Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan lain, perusahaan tersebut mengahadapi dua pilihan. Perusahaan dapat membayar hutang itu pada saat jatuh tempo atau menggantikannya dengan jenis surat berharga yang lain atau perusahaan dapat melunaskannya. Jika keputusannya adalah membayar hutang tersebut, maka ini biasanya memerlukan penyimpanan laba.

4. Larangan dalam Perjanjian Hutang.

Perjanjian hutang, khususnya apabila merupakan hutang jangka panjang, sering membatasi kemampuan suatu perusahaan untuk membayar deviden kas.

Larangan ini untuk melindungi kedudukan pemberi pinjaman, biasanya menyatakan bahwa (1) deviden pada masa yang akan datang hanya dapat dibayar dari laba sesudah penandatanganan perjanjian hutang (jadi, deviden tidak dapat dibayar dari laba ditahan tahun-tahun lalu), (2) deviden tidak dapat dibayar apabila modal kerja bersih berada dibawah suatu jumlah yang telah ditentukan.

5. Tingkat Ekspansi Aktiva.

Semakin cepat aktiva suatu perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya untuk membiayai ekspansi aktivanya. Kalau kebutuhan dananya di masa depan semakin besar, perusahaan akan cenderung menahan laba daripada membayarkannya.

6. Tingkat Laba.

Tingkat hasil pengembalian atas aktiva yang diharapkan akan menetukan pilihan relatif untuk membayar laba tersebut dalam bentuk deviden pada pemegang saham (yang akan menggunakan dana itu pada tempat lain) atau menggunakannya pada perusahaan tersebut.

7. Stabilitas Laba

cenderung membayarkan laba dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang labanya berfluktuasi.

8. Peluang ke Pasar Modal

Suatu perusahaan yang besar dan telah berjalan dengan baik, dan mempunyai catatan profitabilitas dan stabilitas laba, akan mempunyai peluang lebih besar untuk masuk ke pasar modal dan bentuk-bentuk pembiayaan eksternal lainnya.

Jadi, perusahaan yang sudah mapan cenderung untuk memberikan tingkat pembayaran deviden yang lebih tinggi dari pada perusahaan kecil atau baru.

9. Kendali (Controll)

Variabel penting lainnya adalah dampak dari pilihan sumber-sumber keuangan pada kendali situasi perusahaan. Sebagai suatu kebijakan, beberapa perusahaan melakukan ekspansi hanya sampai pada tingkat penggunaan laba internal saja.

Pentingnya pembiayaan internal dalam usaha mempertahankan kendali akan memperkecil pembayaran deviden.

10. Posisi Pemegang Saham sebagai Pembayar Pajak

Posisi pemegang saham sebagai pembayar pajak sangat mempengaruhi keinginannya untuk memperoleh deviden. Pada saat-saat tertentu akan terjadi konflik kepentingan antara pemegang saham yang terkena tarif pajak tinggi dengan pemegang saham yang terkena tarif pajak rendah. Yang pertama ingin menginginkan pembagian deviden yang rendah dan menahan laba yang tinggi dengan harapan meningkatkan modal saham perusahaan. Sementara yang kedua menginginkan pembagian deviden yang tinggi.

Gitosudarmo, (2002 : 227 ) menyatakan terdapat 2 (dua) pendekatan di dalam membahas masalah deviden yaitu :

1. Sebagai Kebijaksanaan Pembelanjaan Jangka Panjang

Pendekatan ini berpandangan bahwa semua laba sesudah pajak yang diperoleh perusahaan adalah merupakan sumber dana jangka panjang. Pengumuman atas pembagian laba sebagai deviden berarti pengurangan terhadap sumber dana jangka panjang yang dapat dipergunakan di dalam kegiatan perusahaan. Oleh karena itu pembagian deviden berakibat penekanan terhadap perkembangan usaha. Pendekatan ini berpendapat di dalam membentuk biaya kapital yang rendah didapat dari pembentukan struktur modal yang sebagian besar dana diperoleh dari modal sendiri.

2. Sebagai Kebijaksanaan Untuk Memaksimumkan Nilai Perusahaan

Pendekatan ini berpendapat bahwa kebijaksanaan deviden mempunyai pengaruh yang kuat terhadap harga pasar dari saham yang beredar. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk membagikan deviden sebagai realisasi dari harapan investor dalam mengeluarkan uangnya untuk membeli saham tersebut.

Walaupun semua perusahaan tampaknya hampir sama mempunyai kebijakan untuk membayar deviden dalam jumlah yang stabil, tetapi ini bukan merupakan satu-satunya kebijakan. Menurut Weston dan Copeland (1992) ada tiga macam bagan pembayaran deviden yang utama yaitu :

1. Jumlah yang stabil per saham.

Kebijakan untuk membayar jumlah yang stabil per saham dilakukan banyak perusahaan, merupakan kebijakan yang disebut kebijakan deviden stabil.

2. Rasio pembayaran konstan.

Hanya beberapa perusahaan yang melaksanakan kebijakan deviden berdasarkan persentase tertentu dari laba. Karena laba berfluktuasi, menjalankan kebijakan ini berarti jumlah deviden yang dibagi akan berfluktuasi. Kebijakan ini tidak akan memaksimumkan nilai saham perusahaan karena pasar tidak dapat mengandalkan kebijakan ini untuk memberikan informasi mengenai prospek perusahaan pada saat yang akan datang dan karena kebijakan ini mempengaruhi kebijakan investasi.

3. Deviden tetap yang rendah ditambah deviden ekstra.

Kebijakan membayar deviden tetap yang rendah ditambah deviden ekstra merupakan penggabungan antara kebijakan 1 dan 2. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas pada perusahaan, tetapi menyebabkan investor sedikit ragu-ragu tentang berapa besarnya pendapatan deviden mereka. Hal yang paling penting dari kebijakan deviden adalah apakah memungkinkan untuk mempengaruhi kekayaan pemegang saham dengan mengubah rasio pembayaran deviden yaitu kebijakan deviden.

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam penetapan besaran deviden yang dibagikan. Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai bentuk-bentuk kebijakan deviden yang akan diambil oleh suatu perusahaan. Menurut Awat (1998) dalam Dhailami (2006) ada empat macam bentuk-bentuk kebijakan deviden yaitu :

1. Kebijakan deviden yang stabil (stable devidend-per-share policy), yaitu jumlah pembayaran deviden sama besarnya dari tahun ke tahun.

2. Kebijakan dividend payout ratio yang tetap (constant devidend payout ratio policy). Jumlah deviden akan berubah-ubah sesuai dengan jumlah laba bersih

payout ratio yang konstan ditambah dengan persentase tertentu pada tahun-tahun yang mampu menghasilkan laba bersih yang tinggi.

4. Kebijakan deviden residual (residual devidend policy). Apabila suatu perusahaan mengahadapi suatu kesempatan investasi yang tidak stabil maka manajemen menghendaki agar deviden hanya dibayar ketika laba bersih perusahaan besar.

Kebijakan deviden juga dipengaruhi oleh biaya keagenan (agency cost), konflik yang timbul antara pemegang saham dengan dengan manajer perusahaan atau antara pemegang saham dengan pemberi hutang. Hal ini muncul karena manajer hanya mau menanggung sedikit dari biaya yang mereka keluarkan tetapi menikmati manfaatnya secara penuh. Salah satu cara untuk meminimalisasi biaya keagenan ini yaitu dengan membagikan deviden. Pembayaran deviden akan meningkatkan kebutuhan dana eksternal yang lebih besar. Jika ekuitas baru dikeluarkan, maka manajer akan diawasi oleh pemegang saham, manajer investasi, dan calon investor.

Kebijakan deviden penting bagi perusahaan dengan dua alasan sebagai berikut :1) pembayaran deviden mungkin akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari harga saham perusahaan tersebut, dan 2) laba ditahan biasanya merupakan sumber dana internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan perusahaan. Kebijakan deviden yang optimal adalah kebijakan deviden yang menciptakan keseimbangan di antara deviden saat ini dan pertumbuhan di masa datang sehingga memaksimumkan nilai perusahaan.

2.1.2. Laba

Laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode akuntansi dilaporkan dalam laporan keuangan. Laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai

perbedaan yang direalisasi dari transaksi periode tertentu dan biaya historis yang sepadan dengannya (Belkoui, 1987). Menurut Harahap (1993) laba akuntansi adalah perbedaan revenue yang direalisasi yang timbul dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tersebut.

Laba dianggap sebagai pedoman bagi kebijakan deviden dan penahanan laba (retained earnings). Laba itu diakui sebagai suatu indikator dari jumlah maksimum yang harus dibagikan sebagai deviden dan ditahan untuk perluasan usaha atau diinvestasikan kembali di dalam perusahaan. Namun lantaran adanya perbedaan antara akuntansi akrual dan akuntansi kas, sebuah perusahaan bisa mengakui suatu jumlah laba dan pada saat yang bersamaan tidak memiliki dana untuk membayar deviden.

Pengakuan laba itu sendiri tidak menjadi jaminan bahwa deviden akan dibayarkan.

Prospek likuiditas dan investasi adalah variabel tambahan yang diperlukan untuk menentukan kebijakan deviden.

Informasi utama yang terdapat dalam laporan laba rugi adalah profitabilitas perusahaan yang diperlukan oleh pihak yang berkepentingan sebagai dasar pengambilan keputusan ekonomis. Perhitungan laba rugi mencerminkan kemampuan atau keberhasilan perusahaan sebagai gambaran efisiensi manajemen dalam mengelola perusahaan, membuat proyeksi laba ke depan dan menilai profitabilitas modal yang diinvestasikan oleh pemilik.

Beberapa manfaat yang diperoleh dari laporan laba rugi:

1. Membantu para pemakai untuk memperkirakan arus kas masa depan

2. Menyediakan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi atas kinerja dan pencapaian perusahaan

3. Memberikan informasi tentang kemampuan perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa.

2.1.3. Arus Kas Bebas

Aliran kas bebas (free cash flow) aliran kas yang merupakan sisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif yang didiskontokan pada tingkat bunga yang normal (Jensen, 1986). White et al (1998) mengartikan free cash flow sebagai aliran kas diskresioner yang tersedia bagi perusahaan. Ketika arus kas bebas ini tersedia, manajer disinyalir akan akan menggunakan dana ini untuk investasi yang tidak menguntungkan bagi perusahaan sehingga terjadi inefisiensi dalam perusahaan (Smith dan Kim, 1994). Ross et al (2000) mendefinisikan arus kas bebas (free cash flow) dengan kas perusahaan yang dapat dibagikan kepada kreditur atau pemegeng saham yang tidak digunakan untuk modal kerja (working capital) atau investasi pada asset tetap. Jensen (1986) dalam Erlina (2007) mengemukakan bahwa biaya agensi berkaitan dengan arus kas bebas.

Manajemen akan berusaha untuk meningkatkan penggunaan arus kas bebas ini demi kepentingannya atau menggunakan arus kas bebas tersebut untuk melakukan investasi yang tidak memberikan net present value yang positif.

Arus kas bebas diwakili oleh rasio arus kas bebas dibagi dengan total aktiva.

Semakin kecil rasio ini menunjukkan semakin kecil laba perusahaan digunakan untuk

membiayai aktiva perusahaan. Menurut Jensen (1986) dalam Erlina (2007), sesuai dengan teori keagenan, apabila perusahaan mempunyai aliran arus kas bebas, manajer perusahaan mendapat tekanan dari pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk deviden. Hal ini dilakukan untuk mencegah pihak manajemen menggunakan arus kas bebas tersebut untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan cenderung merugikan pemegang saham.

membiayai aktiva perusahaan. Menurut Jensen (1986) dalam Erlina (2007), sesuai dengan teori keagenan, apabila perusahaan mempunyai aliran arus kas bebas, manajer perusahaan mendapat tekanan dari pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk deviden. Hal ini dilakukan untuk mencegah pihak manajemen menggunakan arus kas bebas tersebut untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan cenderung merugikan pemegang saham.

Dokumen terkait