Sepsis adalah kondisi medis yang mengancam jiwa yang ditandai oleh infeksi luar biasa dan respon inflamasi tubuh terhadap infeksi tersebut. Sepsis juga merupakan kondisi umum di unit perawatan intensif (UPI) yang berhubungan dengan mortalitas, morbiditas, dan biaya yang tinggi.1Insiden sepsis telah meningkat pesat sejak akhir 1970-an. Pada tahun 2000, jumlah pasien dengan diagnosis sepsis adalah sekitar 660.000 orang, meningkat sekitar 9 % per tahun sejak tahun 1979. Terdapat 1-2 % pasien sepsis pada rawatan rumah sakit, dan lebih dari 50 % pasien dirawat di UPI. Pengobatan suportif yang baik dan pemberian antibiotik, menunjukkan penurunan angka mortalitas sekitar 20 % di rumah sakit dari waktu ke waktu, namun jumlah kematian terus meningkat, dan menjadikan sepsis sebagai penyebab kesepuluh utama kematian di Amerika Serikat. Sepsis memiliki hubungan signifikan antara morbiditas dan biaya ekonomi. Di Amerika, rawatan pasien dengan sepsis berat memakan biaya hampir 17 miliar dollar Amerika Serikat per tahun, dengan estimasi biaya sebanyak 50.000 dollar Amerika Serikat per pasien. Pada suatu studi tahun 2004, dilaporkan berbagai pendekatan untuk memperkirakan kejadian sepsis berat. Studi tersebut melaporkan kejadian sepsis berat sekitar 10±4 % dari pasien UPI dengan kejadian populasi 1±0,5 kasus per 1000.2 Oleh karena masih tingginya tingkat mortalitas di UPI yang disebabkan oleh sepsis, dibutuhkan instrumen objektif yang
dapat menentukan keparahan penyakit dan menilai prediksi mortalitas pasien sepsis yang masuk di UPI.
Secara umum sistem skor yang digunakan di UPI dapat digolongkan menjadi sistem skor model prognostik dan skor disfungsi organ. Ada 4 generasi sistem skor prognostik. Generasi pertama adalah Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation I (APACHE I). Generasi kedua terdiri dari APACHE II, Simplified Acute Physiology Score I (SAPS I) dan Mortality Probability Model I (MPM I). Generasi ketiga adalah APACHE III, SAPS II, dan MPM II. Generasi terakhir adalah APACHE IV, SAPS III, dan MPM III.3 Skor APACHE II telah banyak dilaporkan dapat memprediksi mortalitas pasien kritis, dengan alasan ini maka sistem skor ini paling banyak digunakan. Penggunaan sistem skor ini terutama pada pasien dengan infeksi, uji klinis, pemanfaatan sumber daya, peraturan pelayanan kesehatan, dan pada Surviving Sepsis Campaign.4
Keempat generasi sistem skor prognostik ini dihitung berdasarkan nilai parameter klinis dan laboratorium. Kendala yang dapat dihadapi dalam menerapkan sistim skor tersebut adalah banyaknya parameter laboratorium yang mungkin tidak tersedia di semua unit perawatan intensif (UPI) di Indonesia. Selain itu dengan banyaknya parameter laboratorium yang diperiksa juga akan meningkatkan pembiayaan bagi pasien-pasien yang dirawat di UPI. Oleh karena itu dibutuhkan parameter lain yang lebih sederhana dan biaya murah dimana dapat menggantikan sistem skor tersebut. Saat ini ada berbagai parameter independen yang telah diteliti untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di UPI seperti pH, defisit basa, laktat, anion gap, strong ion difference (SID) dan strong ion gap (SIG).5
Perawatan pasien sakit kritis terutama sepsis memerlukan perhatian khusus secara terus-menerus, pendekatan yang rumit dan multifaktor, yang pada akhirnya
membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Beban biaya tersebut sering kali harus ditanggung oleh pasien dan keluarganya. Hal ini menyebabkan pasien membutuhkan penjelasan yang tepat mengenai prognosis hasil perawatan yang akan dilakukan.
Selain itu ditengah perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat, khususnya dalam penanganan pasien kritis di UPI menimbulkan kebutuhan akan adanya suatu jaminan mutu yang handal, bagi kepentingan konsultan perawatan intensif, pihak rumah sakit dan tentunya kepentingan pasien.
Kadar laktat adalah salah satu prediktor prognosis yang digunakan di UPI.
Pada pasien sepsis adanya peningkatan kadar laktat dalam darah diduga karena adanya gangguan atau gagal perfusi jaringan.6,7
Kadar laktat yang normal dapat terjadi meskipun produksi laktat meningkat. Hal ini dapat terjadi jika terjadi peningkatan metabolisme di hati. Laktat diketahui merupakan zat metabolit yang tidak toksik dan dapat diproduksi oleh otot, kulit, otak, saluran cerna dan sel darah merah. Secara umum kadar laktat dalam keadaan normal adalah <2 mmol/L dengan produksi 0,8 mmol/kg/jam.7
Hipoperfusi akut dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dengan penghantar oksigen ke jaringan. Hipoperfusi merupakan resiko besar yang dapat mengakibatkan gagal organ. Secara eksperimen dan klinis telah diketahui bahwa ketika oksigenasi tidak adekuat ke jaringan normal, maka kadar laktat darah akan meningkat. Kadar laktat darah berhubungan erat dengan hasil akhir pada pasien kritis. 8 Beberapa studi memperlihatkan adanya peningkatan kadar laktat pada pasien-pasien kritis walaupun tidak ditemukan tanda-tanda syok. Hal ini diduga karena adanya hipoperfusi yang sedikit.8,9 Studi lain terhadap pasien-pasien trauma yang terdapat sedikit hipoperfusi terjadi peningkatan angka morbiditas-mortalitas dan perbaikan dini hipoperfusi tersebut dapat memperbaiki hasil akhir. Sedangkan
penelitian lain melaporkan, pasien-pasien yang dirawat dengan indeks jantung dan pengiriman oksigen relatif rendah tetap terdapat hipoperfusi jaringan.10,11 Konsentrasi laktat menggambarkan beratnya gangguan perfusi dan berhubungan dengan keberhasilan perawatan. Penggunaan indikator prognosis sebagai prediktor keberhasilan merupakan pendukung tambahan yang penting dalam perawatan pasien kritis.12
Banyak studi menargetkan deteksi dini dan eradikasi terhadap hipoksia jaringan global bahkan setelah normalisasi tanda-tanda vital tradisional (denyut jantung, tekanan darah dan urin) yang disadari menyebabkan kematian yang signifikan pada sepsis berat dan syok septik.13 Sebagai ukuran terhadap hipoksia jaringan dan stratifikasi risiko, pengukuran laktat kini telah dimasukkan ke dalam protokol pengobatan dan perawatan bundle.4 Sebelumnya telah dilaporkan bahwa hipoksia jaringan global yang belum terselesaikan dapat tercermin dari bersihan laktat yang tidak adekuat selama fase awal resusitasi yang menyebabkan disfungsi organ dan peningkatan mortalitas pada sepsis berat dan syok septik.6
Terhadap 76 pasien dengan trauma multipel, Abramson dkk, melaporkan bahwa kadar laktat serum merupakan faktor prognostik yang penting untuk kelangsungan hidup pada pasien trauma multipel.14 Manikis dkk melaporkan bahwa pengukuran serial laktat merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk morbiditas dan mortalitas terhadap pasien trauma.15 Bannon dkk, melaporkan 40 pasien dengan cedera ekstremitas bawah yang akan dilakukan operasi, melaporkan bahwa, defisit basa arteri dan laktat dapat dijadikan indikator keberhasilan resusitasi yang lebih baik daripada ScvO2.16 Jan Bakker dkk, melakukan penelitian terhadap 87 pasien syok septik, dengan mengukur laktat awal dan laktat akhir (sebelum pemulihan atau kematian) mendapati bahwa pemeriksaan serial kadar laktat darah adalah prediktor
yang baik untuk terjadinya gagal organ multipel.17 Moomey dkk melaporkan bahwa laktat arteri adalah indeks yang lebih baik setelah resusitasi pada pasien trauma perdarahan dibandingkan defisit basa dan variabel hemodinamik.18 Slomovitz dkk melaporkan bahwa pemeriksaan kadar laktat awal merupakan prediktor akurat terhadap keparahan cedera dan mortalitas pada pasien trauma.19 Trzeciak dkk melaporkan bahwa pengukuran laktat pada pasien dengan infeksi dan sepsis dapat mempengaruhi penilaian risiko, pemeriksaan laktat awal dengan nilai ≥ 4,0 mmol / l secara substansial meningkatkan nilai mortalitas pasien.20 Arnold RC dkk melaporkan bahwa bersihan laktat dini dapat dijadikan sebagai keberhasilan resusitasi pada pasien sepsis dibandingkan dengan ScvO2.21 Terhadap 37 pasien dengan pemfigus vulgaris, 22 pasien dengan sepsis berat dan 15 pasien tanpa sepsis ,Tirado-Sánchez A dkk melaporkan bahwa pemeriksaan laktat dini dikaitkan dengan tingkat mortalitas pada pasien dengan pemfigus vulgaris dengan sepsis berat. Pasien dengan sepsis berat dan dengan tingkat laktat yang tinggi dalam darah (≥4 mmol/L) memiliki mortalitas yang lebih tinggi.22 Pada studi kohort, Mikkelsen ME dkk melaporkan 830 pasien dengan penilaian 28 hari kematian dan variabel faktor risiko adalah pemeriksaan laktat vena (mmol / L), dan dikategorikan sebagai nilai rendah (<2), nilai menengah (2-3,9), atau nilai tinggi (> atau = 4). Kovariat meliputi umur, jenis kelamin, ras, disfungsi organ akut dan kronis, tingkat keparahan penyakit, dan inisiasi early goal directed therapy. Didapati hasil kematian pada 28 hari adalah 22,9 % dan nilai median serum laktat adalah 2,9 mmol/L. Nilai menengah (rasio odds [OR] = 2,05, p = 0,024) dan tingkat laktat darah yang tinggi (OR = 4,87, p <0,001) dikaitkan dengan nilai mortalitas pada subkelompok nonsyok. Dalam subkelompok syok, nilai menengah (OR = 3,27, p = 0,022) dan tingkat laktat darah yang tinggi (OR = 4,87, p
= 0,001) juga dikaitkan dengan nilai mortalitas. Dan didapati kesimpulan serum laktat
awal dikaitkan dengan mortalitas independen terhadap disfungsi organ dan syok pada pasien dengan sepsis berat. Nilai menengah dan nilai tinggi kadar laktat serum secara independen dikaitkan dengan mortalitas.23 Nguyen melakukan penelitian terhadap pasien sepsis berat atau syok septik dengan penatalaksanaan pasien sesuai dengan Society of Critical Care Medicine untuk sepsis melalui parameter hemodinamik seperti resusitasi kristaloid atau koloid untuk mempertahan tekanan vena sentral 8-12 mmHg, pemberian obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan arteri rerata >65 mmHg dan produksi urin >0,5 cc/jam. Bersihan laktat awal saat pasien masuk ke rumah sakit menunjukkan terjadinya hipoksia jaringan global dan berhubungan dengan tingkat penurunan mortalitas. Dan didapati pasien dengan bersihan laktat yang lebih tinggi setelah 6 jam resusitasi memiliki hasil prognosis yang lebih baik.6 Kamolz dkk dalam penelitian terhadap pasien luka bakar mengatakan bahwa pada pasien memiliki harapan hidup yang lebih baik jika kadar laktat kembali normal dalam 24 jam.24 Blow dkk meneliti pada pasien trauma, tidak ada yang meninggal pada pasien yang terkoreksi laktatnya dalam 24 jam.25 Husain dkk meneliti pasien bedah yang dirawat di UPI, mengatakan bahwa kadar laktat inisial meningkat secara bermakna pada pasien yang meninggal. Dengan rasio kematian 10% pada kadar laktat yang kembali normal dalam 24 jam, 24% pada kadar laktat yang kembali normal >48 jam dan 67%
jika kadar laktat tidak kembali normal.74 Mcnelis dkk dalam penelitiannya mengatakan pasien dengan kadar laktat yang tidak dapat kembali normal memungkinkan meningkatnya rasio kematian di rumah sakit. Rasio kematian 42,5% terdapat pada pasien yang mencapai nilai normal antara 48-96 jam. Pasien dengan kadar laktat yang kembali normal 24-48 jam memiliki rasio mortalitas 13,3% dan pasien yang kembali ke nilai normal kurang dari 24 jam memiliki rasio mortalitas 3,9%.26 Micheal Berkat dalam penelitiannya di UPI RSCM Jakarta mendapati angka kejadian pasien dengan
bersihan laktat dini tinggi adalah 49,2% dengan angka mortalitas rendah (3,22%) sehingga bersihan laktat dini tidak dapat dijadikan prediktor mortalitas pada pasien paska bedah dengan hiperlaktatemia yang dirawat di UPI.27
Namun sampai saat ini belum ada penelitian mengenai nilai bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 sebagai prediktor terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM. Berdasarkan latar belakang diatas inilah, peneliti ingin mengetahui apakah nilai bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dapat digunakan sebagai prediktor alternatif dari skor APACHE II terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.