UJI DIAGNOSTIK NILAI BERSIHAN LAKTAT ARTERI JAM-0 KE JAM-24 SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS BERAT DI UNIT PERAWATAN INTENSIF
RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN
OLEH
dr. RAKA JATI PRASETYA NIM : 087114014
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS DEPARTEMEN /SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/
RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN
2013
Judul Tesis : UJI DIAGNOSTIK NILAI BERSIHAN LAKTAT ARTERI JAM-0 KE JAM-24 SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS BERAT DI UNIT PERAWATAN INTENSIF RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN
Nama : Raka Jati Prasetya
NIM : 087114013
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dekan,
Prof.dr.Gontar A.Siregar,SpPD-KGEH Ketua Program Studi,
Prof.dr.Chairuddin P,Lubis,DTM&H,SpA(K) Prof. dr. Achsanuddin Hanafie SpAn, KIC ,KAO
Ketua Dr. dr. Nazaruddin Umar SpAn, KNA Anggota
Tanggal lulus :
Telah diuji pada tanggal :
PENGUJI TESIS
1. dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP, KMN
2. dr. Chairul Mursin SpAn, KAO
3. dr. Yutu Solihat SpAn, KAKV
UJI DIAGNOSTIK NILAI BERSIHAN LAKTAT ARTERI JAM-0 KE JAM-24 SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS BERAT DI UNIT PERAWATAN INTENSIF
RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Oleh
dr. RAKA JATI PRASETYA NIM : 087114013
Pembimbing I : Prof. dr. Achsanuddin Hanafie SpAn, KIC, KAO Pembimbing II : Dr. dr. Nazaruddin Umar SpAn, KNA
Tesis Ini Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif pada Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/
RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan masalah ... 7
1.3. Hipotesa ... 7
1.4. Tujuan Penelitian ... 7
1.4.1. Tujuan umum ... 7
1.4.2. Tujuan khusus ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II ... 10
TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. SEPSIS ... 10
2.1.1. Epidemiologi ... 10
2.1.2. Definisi ... 12
2.1.3. Patofisiologi ... 14
2.2. SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN ... 22
2.3 Laktat ... 24
2.3.1. Definisi ... 24
2.3.2. Metabolisme laktat ... 24
2.3.3. Produksi Laktat pada Kondisi Aerobik ... 27
2.3.4. Hiperlaktatemia ... 31
2.3.5. Produksi Laktat pada Kondisi Hipoksia ... 35
2.3.6. Laktat dan Syok ... 36
2.3.7. Laktat dan Sepsis ... 37
2.4. SISTEM SKOR DI UNIT PERAWATAN INTENSIF ... 38
2.4.1. Defenisi ... 39
2.4.2. Tujuan Penggunaan Sistem Skor ... 39
2.4.3. Klasifikasi Sistem Skor ... 40
2.5. Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) ... 40
2.5.1. Defenisi ... 40
2.5.2. Aplikasi Skor APACHE II... 41
2.6. KERANGKA TEORI ... 42
2.7. KERANGKA KONSEP ... 43
BAB III ... 44
METODOLOGI PENELITIAN ... 44
3.1. Desain ... 44
3.2. Tempat dan Waktu ... 44
3.2.1. Tempat ... 44
3.2.2. Waktu ... 44
3.3. Populasi dan sampel ... 44
3.3.1. Populasi ... 44
3.3.2. Sampel ... 44
3.4. Kriteria inklusi, ekslusi dan putus uji ... 44
3.4.1. Kriteria inklusi ... 44
3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 44
3.4.3. Kriteria putus uji ... 45
3.5 Perkiraan Besar Sampel ... 45
3.6. Alat dan Bahan ... 46
3.6.1. Alat... 46
3.6.2. Bahan ... 46
3.7 Cara Kerja ... 46
3.8. Kerangka kerja ... 47
3.9. Identifikasi Variabel ... 48
3.9.1. Variabel bebas ... 48
3.9.2. Varibel tergantung ... 48
3.10. Defenisi Operasional... 48
3.11. Rencana manajemen dan analisis data ... 53
3.12. Masalah Etika ... 54
BAB IV ... 55
HASIL PENELITIAN ... 55
4.1. Karakteristik sampel penelitian ... 55
4.2. Perbandingan kelompok hidup dan kelompok meninggal ... 56
4.3. Perbandingan rata-rata laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24, bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 pada kelompok hidup dan meninggal. ... 58
4.4. Perbandingan rata-rata skor APACHE II pada kelompok hidup dan kelompok meninggal ... 60
4.5. Hubungan laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24 dan bersihan laktat dari jam ke-0 ke jam ke-24 dengan mortalitas ... 61
4.6. Korelasi dan regresi linier laktat arteri jam ke-0 dengan skor APACHE II ... 61
4.7. Korelasi dan regresi linier laktat arteri jam ke-24 dengan skor APACHE II. ... 62
4.8. Korelasi dan regresi linier bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dengan skor APACHE II. ... 62
4.9. Uji diskriminasi laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24 dan bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 ... 63
4.9. Positive Predictive Value (PPV) dan Negative Predictive Value (NPV) ... 64
BAB V ... 66
PEMBAHASAN ... 66
BAB VI ... 71
KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
6.1. Kesimpulan ... 71
6.2. Saran ... 72
Daftar Pustaka ... 73
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain ……… 11
Gambar 2.2 Respon inflamasi terhadap sepsis………...………... 16
Gambar 2.3 Respon prokoagulasi pada sepsis………...………... 17
Gambar 2.4 Proses glikolisis……….………... 18
Gambar 2.5 Siklus asam sitrat……….………...………... 20
Gambar 2.6 Rantai transport electron……….……….………... 22
Gambar 2.7 Metabolisme laktat………...………... 26
Gambar 2.8 Proses glikolisis………...………... 28
Gambar 2.9 Siklus Cori………...………... 29
Gambar 2.10 Proses metabolism piruvat………...……….... 31
Gambar 2.11 Mekanisme peningkatan produksi laktat pada sepsis……….... 38
Gambar 4.1 Grafik rata-rata laktat arteri jam ke-0 dan jam ke-24 pada kelompok hidup dan meninggal……… 58
Gambar 4.2. Perubahan laktat arteri jam ke-0 dan jam ke-24 pada kelompok hidup dan meninggal ………… 59
Gambar 4.3. Perubahan bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24………...……...…………... 60
Gambar 4.4. Grafik skor APACHE II pada kelompok hidup dan meninggal………... 60
Gambar 4.5. Grafik ROC laktat arteri jam ke-0………....………... 63
Gambar 4.6. Grafik ROC laktat jam ke-24………...………... 63
Gambar 4.7. Grafik ROC bersihan laktat arteri dar jam ke-0 ke jam ke-24……….………... 68
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Keganasan dan insiden sepsis……….. 12
Tabel 2.2 Definisi sepsis………... 12
Tabel 2.3 Definisi penyakit………... 13
Tabel 2.4 pola aliran mikrovaskular pada pasien sepsis……..……….. 19
Table 2.5 Surviving Sepsis Campaign bundles………... 23
Tabel 2.6 Klasifikasi penyebab hiperlaktatemia……… 33
Tabel 2.7 Peningkatan metabolisme dan kadar laktat………. 36
Tabel 2.8 Skor APACHE II dan tingkat mortalitas……… 41
Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian……….. 55
Tabel 4.2 Perbandingan kelompok hidup dan kelompok meninggal………. 56
Tabel 4.3 Uji korelasi laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24, dan berihan laktat dengan mortalitas… 61 Tabel 4.4. Analisa korelasi dan regresi linier laktat arteri jam ke-0 dengan skor APACHE II………... 61
Tabel 4.5. Analisa korelasi dan regresi linier laktat arteri jam ke-24 dengan skor APACHE II……… 62
Tabel 4.6. Analisa korelasi dan regresi linier bersihan laktat arteri dengan skor APACHE II ……… 63
Tabel 4.7. Luas daerah dibawah kurva ( Area Under Curve ) ROC……….. 64
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup 79
Lampiran 2. Jadwal Pertahapan Penelitian 80
Lampiran 3. Persetujuan Komite Etik 81
Lampiran 4. Lembar penjelasan mengenai penelitian 82 Lampiran 5. Lembar persetujuan setelah penjelasan 83
Lampiran 6. Skor APACHE II 84
Lampiran 7. Lembar observasi pasien 85
Lampiran 8. Rencana anggaran penelitian 87
Lampiran 9. Data pasien 88
KATA PENGANTAR
Assalamua’laikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT karena atas ridho, rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan menyusun serta menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif di universitas ini. Bapak Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Direktur RSUD Pirngadi Medan, Direktur RS Haji Medan, Direktur Rumkit Kesdam Tingkat II Bukit Barisan dan Direktur RSUD Blangkejeren yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakit.
Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC KAO sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H Adam Malik Medan. Terima kasih sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada dr.Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr.dr.Nazaruddin Umar, SpAn, KNA sebagai Sekretaris Departemen, dr.Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV sebagai Sekretaris Program Studi, dr.Ade Veronika, SpAn, KIC sebagai Kepala Instalasi Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP H.Adam Malik Medan.
Terima kasih saya sampaikan kepada guru saya Prof.dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO yang juga sebagai pembimbing I penelitian ini, Dr.dr.Nazaruddin Umar, SpAn, KNA sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan sehingga penelitian ini selesai. Terima kasih juga kepada Dr.Ir.Erna
Mutiara, M.Kes, sebagai pembimbing statistik yang banyak membantu dalam penelitian ini khususnya dalam hal metodologi penelitian dan analisa statistik.
Rasa hormat dan terima kasih kepada semua guru-guru kami, dr. A. Sani Parlaungan Nasution, SpAn, KIC, dr.Chairul M. Mursin, SpAn, KAO, dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP,KIC, dr.Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP, KMN, dr.Akhyar H.Nasution, SpAn KAKV, dr.Yutu Solihat, SpAn, KAKV, dr.Ade Veronika , SpAn, KIC, Alm. dr.Nadi Zaini, SpAn, dr.Soejat Harto, SpAn, KAP dr.Muhammad AR, SpAn, dr.Syamsul Bahri, SpAn, dr. Walman Sitohang, SpAn, dr.Tumbur, SpAn, dr.Ester Manurung SpAn, dr. Susi Sembiring, SpAn, dr.Nugroho K.S, SpAn, dr. Dadik Wahyu Wijaya, SpAn, dr. M.Ihsan, SpAn,KMN, dr. Guido M.Solihin, SpAn, dr. Qadri F. Tanjung, SpAn, KAKV, dr.Rommy F.Nadeak, SpAn yang telah banyak memberikan bimbingan baik secara teori dan ketrampilan yang sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.
Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP,KIC dan Ibunda tercinta Nazmellaily yang dengan segala upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak saya kecil hingga saya dewasa. Terima kasih juga kepada adik saya dr. Indah Ayu Pratiwi yang telah memberikan bantuan moril dan materil serta dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.
Yang terhormat kedua mertua saya, Alm. Drs. Dharma Satya dan Dra. Syarifah Salmi serta kakak ipar saya yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga tesis ini dapat selesai.
Terima kasih kepada istriku tercinta, dr. Ade Andriany atas dukungan, pengorbanan, kesabaran dan kesetiaannya mendampingiku selama pendidikan spesialis dan dalam menyelesaikan tesis ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan Terapi Intensif dr .M.Jalaluddin AC. MKed An, SpAn, dr .Kulsum MKed An, SpAn, dr Boyke M. Simbolon MKed An, SpAn, dr. Adhi Setia Putra, dr .M. Hamonangan Pane, dr. Boynardo S, dr. David M.Silalahi, dr. Abraham DS, dr. Haryo, dr. Tasrif H.
dan teman-teman yang lain yang tidak bisa saya sebutkan namanya sehingga terjalin persaudaraan yang erat diantara kita. Terima kasih kepada teman-teman residen ilmu
bedah, ilmu kebidanan dan kandungan, THT, penyakit mata dan bidang ilmu kedokteran lainnya yang banyak berhubungan dengan bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif. Terima kasih kepada rekan-rekan kerja perawat dan penata Anestesiologi, perawat ICU dan perawat lainnya yang banyak berhubungan dengan kami. Terima kasih juga kepada seluruh pasien dan keluarganya sebagai “guru” kedua kami dalam menempuh pendidikan spesialis ini.
Akhirnya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita berserah diri dan memohon rahmat dan pengampunan. Mudah-mudahan ilmu yang didapat, bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat, agama, bangsa, dan negara.
Medan, September 2013
dr. Raka Jati Prasetya
ABSTRAK
Latar belakang dan objektif : Tingkat kematian di UPI akibat sepsis berat masih tinggi, sehingga dibutuhkan suatu instrument objektif untuk menentukan keparahan penyakit dan memprediksi kematian pasien sepsis berat di UPI. Laktat arteri telah menjadi salah satu marker yang sederhana dan murah di UPI untuk menilai tingkat keparahan penyakit dan prediksi kematian pada pasien sakit kritis selain skor APACHE II yang membutuhkan banyak pemeriksaan laboratorium dan biaya mahal.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan apakah bersihan laktat arteri dapat dijadikan metode alternatif yang lebih sederhana, mudah, dan murah sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di UPI selain skor APACHE II.
Metode : Setelah mendapat persetujuan dari komite etik FK-USU, suatu studi uji diagnostik selama periode bulan Mei 2013 sampai Agustus 2013 dilakukan di UPI bedah-medik. Data dikumpulkan dari 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data dasar yang diambil adalah nilai laktat arteri pada jam ke-0 dan laktat arteri jam ke-24, bersihan laktat arteri dari jam 0 ke jam ke-24 dan skor APACHE II dalam 24 jam pertama. Sampel diikuti selama 28 hari dan dicatat mortalitas di UPI.
Analisa statistik menggunakan korelasi dan regresi linier. Receiver Operating Curve (ROC) dibuat, titik potong optimal ditentukan dan luas daerah dibawah kurva dihitung untuk mendapatkan nilai prognostik laktat arteri jam ke-0 dan laktat arteri jam ke-24, bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 serta skor APACHE II.
Hasil : Dari 30 pasien yang memenuhi kriteria menjadi sampel penelitian sebanyak 27 pasien (15 laki-laki dan 12 perempuan) dan 3 pasien mengalami putus uji. Dengan rata-rata umur pada kelompok hidup 29±11,77 tahun sedangkan rata-rata umur pada kelompok meninggal 49,8±16,36 tahun, dengan nilai p = 0,005. Lama rawatan pada kelompok hidup rata-rata 19±9,22 hari, sedangkan pada kelompok meninggal rata- rata 3,85±2,49 hari, dengan nilai p =0,0001. Pada kelompok hidup rata-rata skor APACHE II adalah 18,43±4,15, sedangkan kelompok meninggal rata-rata skor APACHE II adalah 23,25±7,34 debgan nilai p 0,115. Didapati bersihan laktat arteri dari jam-0 ke jam-24 pada kelompok hidup rata-rata 0,86%±64,03%, sedangkan kelompok meninggal rata-rata -46,25%±190,19%, dengan nilai p=0,570 Pada penelitian ini dilakukan uji diskriminasi, didapati bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 memiliki luas area under curve (AUC) sebesar 0,579 yang dinilai buruk dalam memprediksi skor, dgn cut off point 27,25,dengan sensitifitas 0,500 dan spesifisitas 0,500.
Kesimpulan : bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 tidak dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di UPI RSHAM.
Kata kunci : laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24, bersihan laktat dari jam ke- 0 ke jam ke-24, skor APACHE II dan mortalitas UPI.
ABSTRACT
Background and objective: ICU mortality rates in severe sepsis remains high, so it takes an objective instrument for determining the severity of disease and predict mortality in ICU patients with severe sepsis. Arterial lactate has become one of the simple and inexpensive marker in the ICU to assess disease severity and prediction of mortality in critically ill patients than APACHE II score that requires a lot of expensive laboratory tests and costs. The purpose of this study is to obtain arterial lactate clearance can be used as an alternative method that is simpler, easier, and cheaper as a predictor of mortality in ICU patients with severe sepsis than APACHE II score.
Methods: After obtaining approval from the ethics committee of FK-USU, a diagnostic test study during the period from May 2013 until August 2013 performed at the surgical-medical ICU. Data were collected from 30 patients who met the inclusion and exclusion criteria. The data base is taken at the value of arterial lactate hour-0 and arterial lactate to hour-24th, arterial lactate clearance from hour-0 to the hour-24th and the APACHE II score in the first 24 hours. Sample followed for 28 days and mortality recorded in the ICU. Statistical analysis using correlation and linear regression.
Receiver Operating Curve (ROC) was made, the optimal cut-off point is determined and the area under the curve was calculated to obtain the prognostic value of arterial lactate at hour-0, arterial lactate hour -24th, arterial lactate clearance from hour-0 to the hour-24th and APACHE II score.
Results: Of the 30 patients who met the criteria to sample as many as 27 patients (15 men and 12 women) and 3 patients dropped out of trials. With the average age of the group live 29 ± 11.77 years, while the average age of the group died of 49.8 ± 16.36 years, with a value of p = 0.005. Length of stay group lived an average of 19 ± 9.22 days, whereas in the group died on average 3.85 ± 2.49 days, with a value of p = 0.0001. In the group lived an average APACHE II score was 18.43 ± 4.15, while the group died on average APACHE II score was 23.25 ± 7.34 with a value of p = 0.115.
Found arterial lactate clearance from hour-0 to hour-24th in the group lived an average of 64.03% ± 0.86%, while the group died on average -46.25% ± 190.19%, with a value of p = 0.570 In this research, discrimination testing, arterial lactate clearance is found from hour-0 to hour-24th has an area under the curve (AUC) of 0.579 is considered bad in predicting the score, with the cut-off point of 27.25 and with a sensitivity of 0.500 and specificity 0,500.
Conclusions: arterial lactate clearance from hour-0 to hour-24th can not be used as a predictor of mortality in severe sepsis patients UPI RSHAM.
Key words: arterial lactate at hour-0, arterial lactate at hour-24th, arterial lactate clearance from hour-0 to hour-24th, APACHE II score and ICU mortality
ABSTRAK
Latar belakang dan objektif : Tingkat kematian di UPI akibat sepsis berat masih tinggi, sehingga dibutuhkan suatu instrument objektif untuk menentukan keparahan penyakit dan memprediksi kematian pasien sepsis berat di UPI. Laktat arteri telah menjadi salah satu marker yang sederhana dan murah di UPI untuk menilai tingkat keparahan penyakit dan prediksi kematian pada pasien sakit kritis selain skor APACHE II yang membutuhkan banyak pemeriksaan laboratorium dan biaya mahal.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan apakah bersihan laktat arteri dapat dijadikan metode alternatif yang lebih sederhana, mudah, dan murah sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di UPI selain skor APACHE II.
Metode : Setelah mendapat persetujuan dari komite etik FK-USU, suatu studi uji diagnostik selama periode bulan Mei 2013 sampai Agustus 2013 dilakukan di UPI bedah-medik. Data dikumpulkan dari 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data dasar yang diambil adalah nilai laktat arteri pada jam ke-0 dan laktat arteri jam ke-24, bersihan laktat arteri dari jam 0 ke jam ke-24 dan skor APACHE II dalam 24 jam pertama. Sampel diikuti selama 28 hari dan dicatat mortalitas di UPI.
Analisa statistik menggunakan korelasi dan regresi linier. Receiver Operating Curve (ROC) dibuat, titik potong optimal ditentukan dan luas daerah dibawah kurva dihitung untuk mendapatkan nilai prognostik laktat arteri jam ke-0 dan laktat arteri jam ke-24, bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 serta skor APACHE II.
Hasil : Dari 30 pasien yang memenuhi kriteria menjadi sampel penelitian sebanyak 27 pasien (15 laki-laki dan 12 perempuan) dan 3 pasien mengalami putus uji. Dengan rata-rata umur pada kelompok hidup 29±11,77 tahun sedangkan rata-rata umur pada kelompok meninggal 49,8±16,36 tahun, dengan nilai p = 0,005. Lama rawatan pada kelompok hidup rata-rata 19±9,22 hari, sedangkan pada kelompok meninggal rata- rata 3,85±2,49 hari, dengan nilai p =0,0001. Pada kelompok hidup rata-rata skor APACHE II adalah 18,43±4,15, sedangkan kelompok meninggal rata-rata skor APACHE II adalah 23,25±7,34 debgan nilai p 0,115. Didapati bersihan laktat arteri dari jam-0 ke jam-24 pada kelompok hidup rata-rata 0,86%±64,03%, sedangkan kelompok meninggal rata-rata -46,25%±190,19%, dengan nilai p=0,570 Pada penelitian ini dilakukan uji diskriminasi, didapati bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 memiliki luas area under curve (AUC) sebesar 0,579 yang dinilai buruk dalam memprediksi skor, dgn cut off point 27,25,dengan sensitifitas 0,500 dan spesifisitas 0,500.
Kesimpulan : bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 tidak dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di UPI RSHAM.
Kata kunci : laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24, bersihan laktat dari jam ke- 0 ke jam ke-24, skor APACHE II dan mortalitas UPI.
ABSTRACT
Background and objective: ICU mortality rates in severe sepsis remains high, so it takes an objective instrument for determining the severity of disease and predict mortality in ICU patients with severe sepsis. Arterial lactate has become one of the simple and inexpensive marker in the ICU to assess disease severity and prediction of mortality in critically ill patients than APACHE II score that requires a lot of expensive laboratory tests and costs. The purpose of this study is to obtain arterial lactate clearance can be used as an alternative method that is simpler, easier, and cheaper as a predictor of mortality in ICU patients with severe sepsis than APACHE II score.
Methods: After obtaining approval from the ethics committee of FK-USU, a diagnostic test study during the period from May 2013 until August 2013 performed at the surgical-medical ICU. Data were collected from 30 patients who met the inclusion and exclusion criteria. The data base is taken at the value of arterial lactate hour-0 and arterial lactate to hour-24th, arterial lactate clearance from hour-0 to the hour-24th and the APACHE II score in the first 24 hours. Sample followed for 28 days and mortality recorded in the ICU. Statistical analysis using correlation and linear regression.
Receiver Operating Curve (ROC) was made, the optimal cut-off point is determined and the area under the curve was calculated to obtain the prognostic value of arterial lactate at hour-0, arterial lactate hour -24th, arterial lactate clearance from hour-0 to the hour-24th and APACHE II score.
Results: Of the 30 patients who met the criteria to sample as many as 27 patients (15 men and 12 women) and 3 patients dropped out of trials. With the average age of the group live 29 ± 11.77 years, while the average age of the group died of 49.8 ± 16.36 years, with a value of p = 0.005. Length of stay group lived an average of 19 ± 9.22 days, whereas in the group died on average 3.85 ± 2.49 days, with a value of p = 0.0001. In the group lived an average APACHE II score was 18.43 ± 4.15, while the group died on average APACHE II score was 23.25 ± 7.34 with a value of p = 0.115.
Found arterial lactate clearance from hour-0 to hour-24th in the group lived an average of 64.03% ± 0.86%, while the group died on average -46.25% ± 190.19%, with a value of p = 0.570 In this research, discrimination testing, arterial lactate clearance is found from hour-0 to hour-24th has an area under the curve (AUC) of 0.579 is considered bad in predicting the score, with the cut-off point of 27.25 and with a sensitivity of 0.500 and specificity 0,500.
Conclusions: arterial lactate clearance from hour-0 to hour-24th can not be used as a predictor of mortality in severe sepsis patients UPI RSHAM.
Key words: arterial lactate at hour-0, arterial lactate at hour-24th, arterial lactate clearance from hour-0 to hour-24th, APACHE II score and ICU mortality
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepsis adalah kondisi medis yang mengancam jiwa yang ditandai oleh infeksi luar biasa dan respon inflamasi tubuh terhadap infeksi tersebut. Sepsis juga merupakan kondisi umum di unit perawatan intensif (UPI) yang berhubungan dengan mortalitas, morbiditas, dan biaya yang tinggi.1Insiden sepsis telah meningkat pesat sejak akhir 1970-an. Pada tahun 2000, jumlah pasien dengan diagnosis sepsis adalah sekitar 660.000 orang, meningkat sekitar 9 % per tahun sejak tahun 1979. Terdapat 1-2 % pasien sepsis pada rawatan rumah sakit, dan lebih dari 50 % pasien dirawat di UPI. Pengobatan suportif yang baik dan pemberian antibiotik, menunjukkan penurunan angka mortalitas sekitar 20 % di rumah sakit dari waktu ke waktu, namun jumlah kematian terus meningkat, dan menjadikan sepsis sebagai penyebab kesepuluh utama kematian di Amerika Serikat. Sepsis memiliki hubungan signifikan antara morbiditas dan biaya ekonomi. Di Amerika, rawatan pasien dengan sepsis berat memakan biaya hampir 17 miliar dollar Amerika Serikat per tahun, dengan estimasi biaya sebanyak 50.000 dollar Amerika Serikat per pasien. Pada suatu studi tahun 2004, dilaporkan berbagai pendekatan untuk memperkirakan kejadian sepsis berat. Studi tersebut melaporkan kejadian sepsis berat sekitar 10±4 % dari pasien UPI dengan kejadian populasi 1±0,5 kasus per 1000.2 Oleh karena masih tingginya tingkat mortalitas di UPI yang disebabkan oleh sepsis, dibutuhkan instrumen objektif yang
dapat menentukan keparahan penyakit dan menilai prediksi mortalitas pasien sepsis yang masuk di UPI.
Secara umum sistem skor yang digunakan di UPI dapat digolongkan menjadi sistem skor model prognostik dan skor disfungsi organ. Ada 4 generasi sistem skor prognostik. Generasi pertama adalah Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation I (APACHE I). Generasi kedua terdiri dari APACHE II, Simplified Acute Physiology Score I (SAPS I) dan Mortality Probability Model I (MPM I). Generasi ketiga adalah APACHE III, SAPS II, dan MPM II. Generasi terakhir adalah APACHE IV, SAPS III, dan MPM III.3 Skor APACHE II telah banyak dilaporkan dapat memprediksi mortalitas pasien kritis, dengan alasan ini maka sistem skor ini paling banyak digunakan. Penggunaan sistem skor ini terutama pada pasien dengan infeksi, uji klinis, pemanfaatan sumber daya, peraturan pelayanan kesehatan, dan pada Surviving Sepsis Campaign.4
Keempat generasi sistem skor prognostik ini dihitung berdasarkan nilai parameter klinis dan laboratorium. Kendala yang dapat dihadapi dalam menerapkan sistim skor tersebut adalah banyaknya parameter laboratorium yang mungkin tidak tersedia di semua unit perawatan intensif (UPI) di Indonesia. Selain itu dengan banyaknya parameter laboratorium yang diperiksa juga akan meningkatkan pembiayaan bagi pasien-pasien yang dirawat di UPI. Oleh karena itu dibutuhkan parameter lain yang lebih sederhana dan biaya murah dimana dapat menggantikan sistem skor tersebut. Saat ini ada berbagai parameter independen yang telah diteliti untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di UPI seperti pH, defisit basa, laktat, anion gap, strong ion difference (SID) dan strong ion gap (SIG).5
Perawatan pasien sakit kritis terutama sepsis memerlukan perhatian khusus secara terus-menerus, pendekatan yang rumit dan multifaktor, yang pada akhirnya
membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Beban biaya tersebut sering kali harus ditanggung oleh pasien dan keluarganya. Hal ini menyebabkan pasien membutuhkan penjelasan yang tepat mengenai prognosis hasil perawatan yang akan dilakukan.
Selain itu ditengah perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat, khususnya dalam penanganan pasien kritis di UPI menimbulkan kebutuhan akan adanya suatu jaminan mutu yang handal, bagi kepentingan konsultan perawatan intensif, pihak rumah sakit dan tentunya kepentingan pasien.
Kadar laktat adalah salah satu prediktor prognosis yang digunakan di UPI.
Pada pasien sepsis adanya peningkatan kadar laktat dalam darah diduga karena adanya gangguan atau gagal perfusi jaringan.6,7
Kadar laktat yang normal dapat terjadi meskipun produksi laktat meningkat. Hal ini dapat terjadi jika terjadi peningkatan metabolisme di hati. Laktat diketahui merupakan zat metabolit yang tidak toksik dan dapat diproduksi oleh otot, kulit, otak, saluran cerna dan sel darah merah. Secara umum kadar laktat dalam keadaan normal adalah <2 mmol/L dengan produksi 0,8 mmol/kg/jam.7
Hipoperfusi akut dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dengan penghantar oksigen ke jaringan. Hipoperfusi merupakan resiko besar yang dapat mengakibatkan gagal organ. Secara eksperimen dan klinis telah diketahui bahwa ketika oksigenasi tidak adekuat ke jaringan normal, maka kadar laktat darah akan meningkat. Kadar laktat darah berhubungan erat dengan hasil akhir pada pasien kritis. 8 Beberapa studi memperlihatkan adanya peningkatan kadar laktat pada pasien- pasien kritis walaupun tidak ditemukan tanda-tanda syok. Hal ini diduga karena adanya hipoperfusi yang sedikit.8,9 Studi lain terhadap pasien-pasien trauma yang terdapat sedikit hipoperfusi terjadi peningkatan angka morbiditas-mortalitas dan perbaikan dini hipoperfusi tersebut dapat memperbaiki hasil akhir. Sedangkan
penelitian lain melaporkan, pasien-pasien yang dirawat dengan indeks jantung dan pengiriman oksigen relatif rendah tetap terdapat hipoperfusi jaringan.10,11 Konsentrasi laktat menggambarkan beratnya gangguan perfusi dan berhubungan dengan keberhasilan perawatan. Penggunaan indikator prognosis sebagai prediktor keberhasilan merupakan pendukung tambahan yang penting dalam perawatan pasien kritis.12
Banyak studi menargetkan deteksi dini dan eradikasi terhadap hipoksia jaringan global bahkan setelah normalisasi tanda-tanda vital tradisional (denyut jantung, tekanan darah dan urin) yang disadari menyebabkan kematian yang signifikan pada sepsis berat dan syok septik.13 Sebagai ukuran terhadap hipoksia jaringan dan stratifikasi risiko, pengukuran laktat kini telah dimasukkan ke dalam protokol pengobatan dan perawatan bundle.4 Sebelumnya telah dilaporkan bahwa hipoksia jaringan global yang belum terselesaikan dapat tercermin dari bersihan laktat yang tidak adekuat selama fase awal resusitasi yang menyebabkan disfungsi organ dan peningkatan mortalitas pada sepsis berat dan syok septik.6
Terhadap 76 pasien dengan trauma multipel, Abramson dkk, melaporkan bahwa kadar laktat serum merupakan faktor prognostik yang penting untuk kelangsungan hidup pada pasien trauma multipel.14 Manikis dkk melaporkan bahwa pengukuran serial laktat merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk morbiditas dan mortalitas terhadap pasien trauma.15 Bannon dkk, melaporkan 40 pasien dengan cedera ekstremitas bawah yang akan dilakukan operasi, melaporkan bahwa, defisit basa arteri dan laktat dapat dijadikan indikator keberhasilan resusitasi yang lebih baik daripada ScvO2.16 Jan Bakker dkk, melakukan penelitian terhadap 87 pasien syok septik, dengan mengukur laktat awal dan laktat akhir (sebelum pemulihan atau kematian) mendapati bahwa pemeriksaan serial kadar laktat darah adalah prediktor
yang baik untuk terjadinya gagal organ multipel.17 Moomey dkk melaporkan bahwa laktat arteri adalah indeks yang lebih baik setelah resusitasi pada pasien trauma perdarahan dibandingkan defisit basa dan variabel hemodinamik.18 Slomovitz dkk melaporkan bahwa pemeriksaan kadar laktat awal merupakan prediktor akurat terhadap keparahan cedera dan mortalitas pada pasien trauma.19 Trzeciak dkk melaporkan bahwa pengukuran laktat pada pasien dengan infeksi dan sepsis dapat mempengaruhi penilaian risiko, pemeriksaan laktat awal dengan nilai ≥ 4,0 mmol / l secara substansial meningkatkan nilai mortalitas pasien.20 Arnold RC dkk melaporkan bahwa bersihan laktat dini dapat dijadikan sebagai keberhasilan resusitasi pada pasien sepsis dibandingkan dengan ScvO2.21 Terhadap 37 pasien dengan pemfigus vulgaris, 22 pasien dengan sepsis berat dan 15 pasien tanpa sepsis ,Tirado-Sánchez A dkk melaporkan bahwa pemeriksaan laktat dini dikaitkan dengan tingkat mortalitas pada pasien dengan pemfigus vulgaris dengan sepsis berat. Pasien dengan sepsis berat dan dengan tingkat laktat yang tinggi dalam darah (≥4 mmol/L) memiliki mortalitas yang lebih tinggi.22 Pada studi kohort, Mikkelsen ME dkk melaporkan 830 pasien dengan penilaian 28 hari kematian dan variabel faktor risiko adalah pemeriksaan laktat vena (mmol / L), dan dikategorikan sebagai nilai rendah (<2), nilai menengah (2-3,9), atau nilai tinggi (> atau = 4). Kovariat meliputi umur, jenis kelamin, ras, disfungsi organ akut dan kronis, tingkat keparahan penyakit, dan inisiasi early goal directed therapy. Didapati hasil kematian pada 28 hari adalah 22,9 % dan nilai median serum laktat adalah 2,9 mmol/L. Nilai menengah (rasio odds [OR] = 2,05, p = 0,024) dan tingkat laktat darah yang tinggi (OR = 4,87, p <0,001) dikaitkan dengan nilai mortalitas pada subkelompok nonsyok. Dalam subkelompok syok, nilai menengah (OR = 3,27, p = 0,022) dan tingkat laktat darah yang tinggi (OR = 4,87, p
= 0,001) juga dikaitkan dengan nilai mortalitas. Dan didapati kesimpulan serum laktat
awal dikaitkan dengan mortalitas independen terhadap disfungsi organ dan syok pada pasien dengan sepsis berat. Nilai menengah dan nilai tinggi kadar laktat serum secara independen dikaitkan dengan mortalitas.23 Nguyen melakukan penelitian terhadap pasien sepsis berat atau syok septik dengan penatalaksanaan pasien sesuai dengan Society of Critical Care Medicine untuk sepsis melalui parameter hemodinamik seperti resusitasi kristaloid atau koloid untuk mempertahan tekanan vena sentral 8-12 mmHg, pemberian obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan arteri rerata >65 mmHg dan produksi urin >0,5 cc/jam. Bersihan laktat awal saat pasien masuk ke rumah sakit menunjukkan terjadinya hipoksia jaringan global dan berhubungan dengan tingkat penurunan mortalitas. Dan didapati pasien dengan bersihan laktat yang lebih tinggi setelah 6 jam resusitasi memiliki hasil prognosis yang lebih baik.6 Kamolz dkk dalam penelitian terhadap pasien luka bakar mengatakan bahwa pada pasien memiliki harapan hidup yang lebih baik jika kadar laktat kembali normal dalam 24 jam.24 Blow dkk meneliti pada pasien trauma, tidak ada yang meninggal pada pasien yang terkoreksi laktatnya dalam 24 jam.25 Husain dkk meneliti pasien bedah yang dirawat di UPI, mengatakan bahwa kadar laktat inisial meningkat secara bermakna pada pasien yang meninggal. Dengan rasio kematian 10% pada kadar laktat yang kembali normal dalam 24 jam, 24% pada kadar laktat yang kembali normal >48 jam dan 67%
jika kadar laktat tidak kembali normal.74 Mcnelis dkk dalam penelitiannya mengatakan pasien dengan kadar laktat yang tidak dapat kembali normal memungkinkan meningkatnya rasio kematian di rumah sakit. Rasio kematian 42,5% terdapat pada pasien yang mencapai nilai normal antara 48-96 jam. Pasien dengan kadar laktat yang kembali normal 24-48 jam memiliki rasio mortalitas 13,3% dan pasien yang kembali ke nilai normal kurang dari 24 jam memiliki rasio mortalitas 3,9%.26 Micheal Berkat dalam penelitiannya di UPI RSCM Jakarta mendapati angka kejadian pasien dengan
bersihan laktat dini tinggi adalah 49,2% dengan angka mortalitas rendah (3,22%) sehingga bersihan laktat dini tidak dapat dijadikan prediktor mortalitas pada pasien paska bedah dengan hiperlaktatemia yang dirawat di UPI.27
Namun sampai saat ini belum ada penelitian mengenai nilai bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 sebagai prediktor terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM. Berdasarkan latar belakang diatas inilah, peneliti ingin mengetahui apakah nilai bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dapat digunakan sebagai prediktor alternatif dari skor APACHE II terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
1.2. Rumusan masalah
Apakah nilai bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dapat digunakan sebagai prediktor terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
1.3. Hipotesa
Bersihan nilai laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dapat digunakan sebagai prediktor terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan umum
Mendapatkan metode lain yang lebih sederhana, mudah dan murah sebagai prediktor mortalitas selain skor APACHE II terhadap pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
1.4.2. Tujuan khusus
1. Mendapatkan nilai laktat arteri pada jam ke-0, laktat arteri jam ke-24 dan bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 pada pasien sepsis berat yang di UPI RSHAM.
2. Mendapatkan nilai skor APACHE II pada pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
3. Mendapatkan cut off point dari laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke- 24 dan bersihan laktat dari jam ke-0 ke jam ke 24 sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat di UPI RSHAM.
4. Mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas dari laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24 dan bersihan laktat dari jam ke-0 ke jam ke-24 sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat di UPI RSHAM.
5. Mendapatkan positive predictive value dan negative predictive value dari laktat arteri jam ke-0, laktat arteri jam ke-24 dan bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat di UPI RSHAM.
6. Mendapatkan hubungan linier nilai laktat arteri pada jam ke-0, laktat arteri jam ke-24 dan bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dengan skor APACHE II sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di UPI RSHAM.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat AkademikBila nilai bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, maka nilai bersihan laktat laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dapat dijadikan sebagai prediktor
alternatif dari skor APACHE II terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
Manfaat PelayananDapat memberi kemudahan dalam melakukan prediksi mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
Pengembangan penelitianSebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SEPSIS
2.1.1. Epidemiologi
Dalam salah satu studi pertama epidemiologi besar terhadap sepsis, yang diterbitkan pada tahun 2001, Angus dkk, memperkirakan kejadian sepsis sebanyak 751.000 kasus (3,0 per 1.000 penduduk dan 2,26 per 100 pasien rumah sakit). Dalam studi tersebut, lebih dari setengah pasien yang menerima perawatan di ICU dan insiden sepsis pada orang dewasa meningkat secara substansial terhadap usia (mulai dari 5,3 / 1.000 untuk usia 60 sampai 64 tahun menjadi 26,2 / 1.000 untuk usia ≥ 85 tahun). Secara keseluruhan, mortalitas yang terjadi adalah 26,6% dan peningkatan substansial dalam kematian akibat sepsis dikaitkan dengan usia.2 Studi berikutnya menunjukkan perkiraan yang konsisten yaitu 0,51-2,4 kasus per 1.000 penduduk.28,29 Dalam penelitian lain, para peneliti menguji hubungan antara umur dan sepsis dan menunjukkan bahwa pada usia 65, risiko relatif untuk sepsis bagi mereka lebih tua dari 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi d ibandingkan mereka yang lebih muda dari 65 tahun. Secara keseluruhan, individu ≥ 65 tahun menyumbang 64,9% dari total kasus sepsis.30Menariknya, ada 215.000 kematian selama periode penelitian, yang sebenarnya mewakili 9,3% dari semua kematian di Amerika Serikat. Sebuah penelitian selanjutnya menggunakan data nasional di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kejadian sepsis meningkat dari tahun 1979 (0,83 / 1,000) dengan tahun 2000 (2,4 / 1.000) tetapi ada sedikit penurunan angka kematian 27,8-17,9%.29 Insiden sepsis meningkat karena populasi umur tua, bertambahnya jumlah pasien immunocompromised, dan meningkatnya tindakan invasive procedure, dan antibiotik
yang resisten terhadap kuman. Di Amerika Serikat, hampir 17 miliar dolar dihabiskan untuk mengobati pasien sepsis. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan, lebih dari 210.000 pasien meninggal dengan sepsis berat tiap tahunnya. Dan terdapat perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain (gambar 2.1).2
Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain. (Dikutip dari Angus DC dkk, Crit Care Med. 2001)
Pasien dengan keganasan yang terdiagnosis dengan sepsis, memiliki resiko relatif peningkatan sampai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan mereka yang tidak terkena kanker. Kanker pankreas memiliki risiko yang terkait tertinggi sepsis, diikuti oleh multipel myeloma, leukemia, dan kanker paru-paru, sedangkan kanker saluran cerna dan keganasan payudara berhubungan dengan kecenderungan yang jauh lebih rendah untuk sepsis (Tabel 2.1).30
2.1.2. Definisi
Definisi sepsis yang diambil dari konfrensi Internasional tentang Definisi Sepsis tahun 2001 (tabel 2.2).31
Infection Sebuah proses patologis yang disebabkan invasi terhadap jaringan steril atau cairan oleh mikroorganisme patogen atau yang berpotensi patogen.
Sepsis Kejadian infeksi, yang terlihat atau sangat dicurigai, dengan respon inflamasi sistemik, yang telah ditunjukkan oleh adanya beberapa tanda infeksi
Severe sepsis Sepsis yang diperberat dengan keberadaan disfungsi organ
Septic shock Sepsis berat yang diperumit oleh kegagalan akut sirkulasi yang ditandai dengan hipotensi arteri secara terus-menerus, meskipun volum resusitasi cukup, dan sebab lainnya yang tidak dapar dijelaskan
(Diambil dari Jonathan M. Siner, MD Sepsis: Definitions, Epidemiology, Etiology and Pathogenesis PCCSU 2009) (31)
Tabel 2.1
Di bawah ini akan dipaparkan defenisi penyakit yang berkaitan dengan sepsis menurut jurnal dari Lancet tahun 2005 (tabel 2.3).32
Tabel 2.3. Defenisi Penyakit
Systemic inflammatory response syndrome
Dua atau lebih :
Suhu tubuh > 38.5°C atau < 36.0°C
Laju nadi > 90 kali per menit
Laju nafas > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32 mmHg atau membutuhkan ventilasi mekanik
Jumlah sel darah putih > 12000/mm3 atau < 4000/mm3 atau bentuk immature > 10%
Sepsis Systemic inflammatory response syndrome dan ada infeksi (kultur atau gram stain of blood, sputum, urin atau cairan tubuh yang normalnya steril positif terhadap mikroorganisme patogen ; atau fokus infeksi diidentifikasi dengan penglihatan spt: ruptured bowel dengan free air atau bowel contents didapati pada abdomen saat pembedahaan, luka dengan purulent discharge)
Severe sepsis Sepsis dengan minimal satu tanda dari hipoperfusi atau disfungsi organ :
Areas of mottled skin
Capillary refilling time ≥ 3detik
Urin output < 0.5mL/kg dalam 1 jam atau renal replacement therapy
Laktat > 2mmol/L
Perubahan kesadaran tiba-tiba atau electroencephalogram tidak normal
Jumlah trombosit < 100000/mL atau disseminated intravascular coagulation
Acute lung injury - acute respiratory distress syndrome
Cardiac disfunction ( echocardiography )
Septic shock Severe sepsis dan salah satu :
Systemic mean blood pressure < 60mmHg (< 80mmHg jika ada hipertensi sebelumnya) setelah pemberian 20-30 mL/kg starch atau 40-60 mL/kg normal salin, atau pulmonary capillary wedge pressure antara 12 dan 20 mmHg
Butuh dopamin > 5µg/kg per menit atau norepinephrine atau epinephrine < 0.25µg/kg per menit untuk mempertahankan mean blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )
Refractory septic shock
Butuh dopamin > 15µg/kg per menit atau norepinephrine atau epinephrine > 0.25µg/kg permenit untuk mempertahankan mean blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )
(Tabel dikutip dari Annane dkk. The Lancet 2005)
2.1.3. Patofisiologi
2.1.3.1. SIRS dan SEPSIS
SIRS merupakan kondisi yang menyebabkan disfungsi organ multipel dan merupakan penyebab kematian tertinggi di unit perawatan intensif. Kejadian sepsis di Amerika diperkirakan sekitar 500.000 kasus per tahun dengan angka kematian sebesar 35 %. Sepsis terletak diurutan ke-13 penyebab utama kematian di Amerika Serikat.33 Meskipun pemahaman tentang patofisiologi dari SIRS meningkat namun angka kematian akibat SIRS belum menurun. Hal Ini mungkin diakibatkan oleh semakin meningkatnya resistensi terhadap organisme, pasien yang immunocompromised dan pasien usia tua dengan penyakit kronis. Infeksi merupakan penyebab dari SIRS, yang didalamnya terdapat bakteri dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya sepsis. Bakteri yang teridentifikasi dapat berupa gram- negatif atau gram-positif, terutama Staphylococcus aureus dan enterococci.34 Endotoksin diproduksi oleh bakteri gram-negatif yang dapat memicu terjadinya peradangan. Meskipun infeksi yang dianggap sebagai penyebab mendasar mayoritas pasien dengan SIRS, organisme infektif sering tidak teridentifikasi juga dapat menyebabkannya.33 Terdapat banyak kondisi klinis non-infeksi yang dapat
menyebabkan SIRS; termasuk pankreatitis, trauma multipel, luka bakar, aspirasi, iskemia dan syok hemoragik. Dalam setiap kasus SIRS karena penyebab non-infeksi, sepsis tampaknya berkaitan erat dengan kejadian respon inflamasi yang berlebih.
Respon inflamasi merupakan kaskade yang melibatkan komponel sel dan molekul tubuh, dan banyak fungsinya yang tumpang tindih antar satu dan yang lainnya.
Terdapat regulasi dalam sistem ini, di samping adanya mediator pro-inflamasi, ada juga yang berfungsi sebagai anti-inflamasi. Respon tubuh bisa meningkatkan atau menurunkan regulasi sehingga toleransi dapat terjadi tergantung pada aktivasi inflamasi sebelumnya. Masalah ini lebih rumit disebabkan adanya variasi genetik dalam respon terhadap rangsangan pro-inflamasi. Oleh karena itu mungkin bukan hanya sifat genetik yang memulai terjadinya cidera tetapi juga respon inflamasi dari inang yang menentukan hasil akhirnya. Biasanya peradangan lokal dan penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa keadaan aktivasi kaskade inflamasi terjadi pada tingkat sistemik. Ini menimbulkan gambaran klinis SIRS.35 Biasanya peradangan terjadi secara lokal dan penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa keadaan tertentu aktivasi kaskade inflamasi terjadi pada tingkat sistemik. Hal ini menimbulkan gambaran klinis SIRS. Tingkat peradangan sistemik yang ringan mungkin akan bermanfaat bagi seorang individu yang memerangi penyakit. Namun, ketika proses inflamasi di luar kendali dan tidak lagi menguntungkan. Terjadi disregulasi proses inflamasi yang kemudian terjadi peradangan pada organ selain organ pro-inflamasi yang mengarah untuk terjadinya MODS. Respon anti-inflamasi dirancang untuk menurunkan regulasi peradangan dan mencegah efek merusak lainnya. Hal ini juga dapat menjadi tidak terkendali yang menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya infeksi dan dapat menyebabkan the compensatory anti- inflammatory response syndrome (CARS). Campuran aktivasi antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi dapat terjadi bersama-sama dan hal ini disebut the mixed antagonist response syndrome (MARS). Hanya jika tubuh mampu mengembalikan keseimbangan terhadap kekacauan imunologi ini. Dan pemulihan kemungkinan dapat terjadi.36
Systemic inflammatory respon syndrome (SIRS), apapun penyebabnya memiliki patofisiologi yang sama. Sindrom yang timbul pada SIRS merupakan pertahanan hidup. Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap penyebab non- spesifik, sedangkan kaskade inflamasi adalah proses kompleks yang melibatkan sistem imunologi seluler dan humoral, komplemen, dan kaskade sitokin.
Bone meringkaskan interaksi komplek ini menjadi 3 tahap proses :
Tahap I : setelah terjadi cedera jaringan, sitokin lokal diproduksi yang bertujuan untuk merangsang respon inflamasi sehingga mulai terjadi perbaikan luka dan pengaktifan sistem endotelial retikular.
Tahap II : sejumlah kecil sitokin lokal dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk memperbaiki respon lokal. Hal ini akan mengakibatkan rangsangan terhadap Growth factor dan pengerahan makrofag serta trombosit. Fase akut ini biasanya dapat terkendali dengan berkurangnya mediator proinflamasi dengan pelepasan antagonis endogen. Tujuannya adalah homeostatis.
Tahap III : jika homeostatis tidak tercapai, reaksi sistemik yang cukup signifikan akan terjadi. Sitokin yang dilepas akan bersifat merusak dari pada melindungi (proteksi). Konsekuensinya adalah pengaktifan sejumlah kaskade humoral dan pengaktifan sistem endotelial retikular, selanjutnya akan terjadi kehilangan integritas sirkulasi. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ.37
Gambar 2.2..Respon inflamasi terhadap sepsis (dikutip dari Russel JA
Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan yang bermakna, masih tetap tidak dimengerti (Annane dkk. 2001). Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan/atau produk mereka dan respon tuan rumah akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi, koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane dkk. 2005)38
Gambar 2.3. Respon prokoagulasi pada sepsis(41).TFPI : tissue factor pathway inhibitor, PAI-1: Plasminogen-activator inhibitor 1, t-PA:tissue plasminogen activator, EPCR:Endothelial protein C reseptor. (dikutip dari Russel JA)
2.1.3.2. Disfungsi mikrosirkulasi pada sepsis39 2.1.3.2.1. Penggunaan oksigen dan ATP
Disfungsi mitokondria selama sakit kritis telah diakui diketahui selama ini.
Disfungsi mitokondria yang disebabkan hipoksia pertama kali diidentifikasi oleh Barcroft dkk. pada tahun 1945. Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab hipoksia yang menyebabkan disfungsi mitokondria yaitu, penurunan tekanan oksigen arteri (hypoxic hypoxia), penurunan konsentrasi hemoglobin sistemik (anemia hypoxia), dan disfungsi mikrovaskuler yangmenyebabkan hipoperfusi (stagnant hipoxia). Namun, efek dari sepsis pada tingkat ATP selular tidak jelas. Hotchkiss dkk. menemukan bahwa sepsis menghabiskan ATP di sel pada otot rangka, bukan dari kekurangan oksigen melainkan karena kadar fosfat berenergi tinggi yang berkurang]. Sebaliknya, studi tentang otot dan hati oleh Brealey dkk. tidak menunjukkan deplesi dari ATP di sel. Yang paling penting, penyelidikan baru-baru ini jelas menunjukkan bahwa sepsis merusak produksi dari ATP.
Gambar 2.4 Proses Glikolisis
2.3.1.2.2. Mikrovaskuler disfungsi vs cytopathic hypoxsia
Penelitian awal mengenai mendorong klinisi untuk mengusulkan bahwa patofisiologi sepsis sebagai kunci untuk terjadinya disfungsi mikrovaskuler. Hal ini pertama kali dijelaskan oleh Weil dkk. pada tahun 1971 yang menemukan perubahan perfusi secara heterogen. Ketidakseimbangan perfusi akan mengakibatkan penggunaan oksigen di perifer gagal. Pada gambaran elektron juga menunjukkan terganggunya mikrosirkulasi pada pasien sepsis. Dengan menggunakan pendekatan ini, Ince dkk. menemukan bahwa perfusi kapiler pada sepsis dapat mengambil kombinasi dari lima bentuk (Tabel ). Fink dkk. melaporkan bahwa efek yang timbul adalah kegagalan pengiriman oksigen pada sepsis yang menyebabkan disfungsi mikrovaskuler bukan abnormalitas yang meyebabkan gangguan respirasi mitokondria selama sepsis. Namun sebaliknya, aliran mungkin normal atau bahkan berlebih akan tetapi kekacauan iintrinsik sel mempengaruhi metabolisme energi sel yang dapat menghalangi penggunaan oksigen. Cacat ini disebut cytopathic hypoxia dan hal ini didukung oleh pemeriksaan oksigen di tingkat jaringan dan pemeriksaan langsung respirasi di tingkat sel dan mitokondria. Mekanisme yang menjelaskan cytopathic hypoxia selama sepsis meliputi gangguan pengiriman piruvat , penghambatan enzim yang terlibat dalam siklus Krebs dan rantai transpor elektron, aktivasi dari poli-(ADP)- ribosylpolymerase (PARP) dan kegagalan pemeliharaan dari trans-mitochondrial membrane proton-gradient dengan ATP sintase yang tidak terikat.
Tabel 2.4 Pola aliran mikrovaskular pada pasien sepsis
2.3.1.2.3. Disfungsi piruvat dehydrogenase
Pyruvate dehydrogenase (PDH) E1 adalah enzim katalitik multimeric pyruvate dehydrogenase complex (PDC) yang bertanggung jawab untuk sintesis asetil - CoA dari piruvat. PDH diaktivasi oleh insulin, asam phosphoenolpyruvic dan AMP dan dihambat oleh ATP, NADH dan asetil - CoA. Inaktivasi PDC akan merusak produksi dari ATP. Disfungsi PDC digambarkan dengan peningkatan produksi laktat meskipun normal namun cenderung meningkat di aliran darah otot. Demikian pula dilaporkan Kantrow dkk. pada tikus yang dibuat oleh sepsis, ditemukan konsumsi oksigen yang menurun dan dikaitkan dengan produksi substrat ( glutamat , malat , suksinat ) untuk siklus Krebs atau rantai transport elektron. Fokus tehadap PDH dan unsur-unsur siklus Krebs telah berkurang telah beralih ke komponen rantai transpor elektron. Namun seperti yang akan dibahas bawah, kelainan pada transpor elektron mungkin adaptif.
Hal ini membuat semakin diperlukannya untuk mengidentifikasi kerusakan yang lainnya.
Gambar 2.5 Siklus asam sitrat
2.3.1.2.3. Gangguan oksidatif fosforilasi
Gangguan produksi ATP dapat terjadi akibat disfungsi dalam salah satu dari empat kompleks dari rantai transpor elektron. Hal ini membuat gradien proton menciptakan potensi energi yang digunakan oleh ATP sintase untuk mengubah ADP menjadi ATP. Siklus produksi dan konsumsi berlanjut asalkan glukosa tetap masuk ke dalam sistem dan fungsi respirasi tidak terhambat.
Sitokrom C oksidase, kompleks IV rantai transpor elektron, terdiri dari subunit 13 yang berbeda, tiga di antaranya menempati tempat aktif di mana O-2 bergabung dengan molekul 2 H+ untuk membentuk air. Reaksi ini juga membantu menghasilkan potensi antarmembran listrik untuk membentuk ATP. Tempat aktif tersebut ditandai dengan pusat dari rantai yang mengandung tembaga dan dua pusat heme (heme a, a3) di mana molekul oksigen terikat. Karena perannya sebagai akseptor akhir elektron dan rantai kompleks yang menggunakan oksigen, kompleks IV merupakan hal yang sangat penting dalam rantai transport elektron. Studi dalam terhadap mencit sepsis menunjukkan penghambatan non-kompetitif pembentukan sitokrom c. Pada waktu tertentu, konten heme akan hilang dan terjadi kegagalan pembentukan subunit I.
Subunit aktif dikodekan oleh mtDNA. Penurunan dari subunit ini cenderung menunjukkan kegagalan biogenesis dan disfungsi mitokondria yang ireversibel.
Telah diteliti bahwa sulit untuk memisahkan aktivitas Cof kompleks II dari Kompleks III. Beberapa penyelidikan menunjukkan sepsis terkait disfungsi kompleks II/ III. Brealey dkk. mempelajari transpor elektron kegiatan dengan menggunakan model tikus sepsis. Mereka tidak dapat mengidentifikasi cacat di Komplek II/III baik di hati atau otot rangka selama periode 72 jam. Namun, aktivitas Kompleks I dan Kompleks IV di hati menurun dari waktu ke waktu. Pada akhir waktu hewan septik tersebut, semua aktivitas kompleks protein tercatat jauh lebih rendah baik itu di hati dan jaringan otot.
Fredriksson dkk. mempelajari disfungsi metabolik mitokondria pada pasien sepsis di ICU yang membandingkan pasien sehat ini menjalani operasi elektif. Pada pasien sepsis yang menderita MODS, mereka mengamati penurunan dua kali lipat dalam semua aktivitas kompleks mitokondria dalam otot interkostal dan otot tungkai.
Penghambatan baik di Kompleks I atau Kompleks IV dapat meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) dan nitrit oksida (NO). Produksi radikal bebas ini meningkat seiring proses penuaan serta pada individu dengan imunitas yang
kurang. Kedua hal ini dihubungkan dalam patogenesis sepsis ketika produksi berlebih dapat memperberat mekanisme perlindungan endogen dan dapat merusak produksi bioenergi mitokondria. Produksi ROS dan NO yang berlebihan juga dapat menyebabkan apoptosis dari mitokondria.
Gambar 2.6 Rantai transport elektron
2.2. SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN40
Untuk menurunkan angka kematian akibat sepsis berat dan syok sepsis, kolaborasi dari the European Society of Intensive Care Medicine, the International Sepsis Forum dan The Society of Critical Care Medicine mengeluarkan panduan yaitu Surviving Campaign Guidelines (SSC) for management of Severe Sepsis and Septic Shock.
Pada tahun 2005, SSC bersama dengan Institute for Health-care Improvement (IHI) menyusun panduan pengelolaan pasien sepsis berat dan syok sepsis yaitu Severe Sepsis Bundles yang terdiri dari dua bundle. Pertama, The Sepsis Resusitation Bundle, resusitasi yang harus segera dimulai dan diselesaikan dalam 6 jam pertama sejak pasien didiagnosis sepsis berat atau syok sepsis. Kedua, The
Sepsis Management Bundle, harus segera dimulai dan selesai dalam 24 jam pada pasien dengan sepsis berat atau sepsis berat. Namun pada akhir tahun 2012, Dellinger dkk. menerbitkan kembali pembaruan terhadap Surviving Campaign Guidelines (SSC) yang terkahir di terbitkan pada tahun 2008.
Pedoman ini adalah praktek klinis yang merupakan revisi dari SSC tahun 2008 yang berisi tentang pengelolaan sepsis berat dan syok sepsis. Pedoman terbaru ini didasarkan pada pencarian literatur yang baru yang kemudian dikumpulkan sampai akhir musim gugur 2012.
Tabel 2.5.Surviving Sepsis Campaign Bundles 2012
Hal- hal yang harus dilakukan segera dan diselesaikan dalam 3 jam pertama sejak diagnosis sepsis ditegakkan :
1. Pemeriksaan kadar laktat serum
2. Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotika 3. Pemberian antibiotik spektrum luas
4. Pemberian cairan 30cc/kgBB kristaloid untuk hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L
Hal- hal yang harus diselesaikan pada waktu jam ke-6 :
5. Pemberian vasopressor (untuk hipotensi yang tidak respon terhadap resusitasi cairan) untuk menjaga tekana darah rerata (MAP) ≥ 65 mmHg
6. Pada kondisi hipootensi arterial yang menetap walaupun sudah dilakukan resusitasi volum (syok sepsis) atau laktat awal ≥ 4 mmol/L (36 mg/dL)
- Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)
- Pengukuran tekan oksigen saturasi vena sentral (Scv02) 7. Pengukuran laktat jika laktat awal meningkat
Target dari resusitasi yang termasuk dalam pedoman adalah CVP > 8 m Hg, ScvO2 >
70%, dan laktat yang menuju nilai normal
2.3 Laktat 2.3.1. Definisi
Laktat adalah senyawa kimia yang merupakan hasil proses glikolisis di dalam sel. Kadar laktat dalam plasma merupakan hasil kesimbangan antara produksi dan bersihan yang dipengaruhi beberapa faktor. Bila penyediaan oksigen tidak dapat mencukupi pasokan oksigen seperti pada hipoksia dan syok, maka sel akan melakukan mekanisme adaptasi untuk menghasilkan ATP sebagai sumber energi.
Pada kondisi tersebut laktat menjadi salah satu hasil metabolit perantara yang berperan untuk kelangsungan metabolisme dalam sel. Hiperlaktatemia pada kondisi sakit kritis dinilai sebagai penanda terjadinya metabolisme anaerob sel yang mengalami stres akibat ketersediaan oksigen yang tidak adekuat. Laktat merupakan penyebab utama terjadinya ketidakseimbangan asam basa dan 2/3 dari pasien kritis yang mengalami asidosis metabolik disebabkan hiperlaktatemia.
Peningkatan laktat dapat digunakan untuk menilai ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen, dimana intervensi yang tepat sesegera mungkin dapat mengembalikan fungsi sel kembali normal asalkan kondisi mitokondria masih utuh.41,42
2.3.2. Metabolisme laktat
Konsentrasi kadar laktat arteri tergantung dari keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Kadar normal laktat adalah < 18 mg/dL (2 mmol/L) dengan jumlah produksi 1500 mmol/L per hari. Secara fisiologis laktat diproduksi oleh semua jaringan tubuh, yang terbanyak adalah otot (25%), kulit (24%), otak (20%), usus halus (10%) dan sel darah merah yang tidak memliliki mitokondria (20%). Kadar laktat sering