Manfaat AkademikBila nilai bersihan laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, maka nilai bersihan laktat laktat arteri dari jam ke-0 ke jam ke-24 dapat dijadikan sebagai prediktor
alternatif dari skor APACHE II terhadap mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
Manfaat PelayananDapat memberi kemudahan dalam melakukan prediksi mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di UPI RSHAM.
Pengembangan penelitianSebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SEPSIS
2.1.1. Epidemiologi
Dalam salah satu studi pertama epidemiologi besar terhadap sepsis, yang diterbitkan pada tahun 2001, Angus dkk, memperkirakan kejadian sepsis sebanyak 751.000 kasus (3,0 per 1.000 penduduk dan 2,26 per 100 pasien rumah sakit). Dalam studi tersebut, lebih dari setengah pasien yang menerima perawatan di ICU dan insiden sepsis pada orang dewasa meningkat secara substansial terhadap usia (mulai dari 5,3 / 1.000 untuk usia 60 sampai 64 tahun menjadi 26,2 / 1.000 untuk usia ≥ 85 tahun). Secara keseluruhan, mortalitas yang terjadi adalah 26,6% dan peningkatan substansial dalam kematian akibat sepsis dikaitkan dengan usia.2 Studi berikutnya menunjukkan perkiraan yang konsisten yaitu 0,51-2,4 kasus per 1.000 penduduk.28,29 Dalam penelitian lain, para peneliti menguji hubungan antara umur dan sepsis dan menunjukkan bahwa pada usia 65, risiko relatif untuk sepsis bagi mereka lebih tua dari 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi d ibandingkan mereka yang lebih muda dari 65 tahun. Secara keseluruhan, individu ≥ 65 tahun menyumbang 64,9% dari total kasus sepsis.30Menariknya, ada 215.000 kematian selama periode penelitian, yang sebenarnya mewakili 9,3% dari semua kematian di Amerika Serikat. Sebuah penelitian selanjutnya menggunakan data nasional di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kejadian sepsis meningkat dari tahun 1979 (0,83 / 1,000) dengan tahun 2000 (2,4 / 1.000) tetapi ada sedikit penurunan angka kematian 27,8-17,9%.29 Insiden sepsis meningkat karena populasi umur tua, bertambahnya jumlah pasien immunocompromised, dan meningkatnya tindakan invasive procedure, dan antibiotik
yang resisten terhadap kuman. Di Amerika Serikat, hampir 17 miliar dolar dihabiskan untuk mengobati pasien sepsis. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan, lebih dari 210.000 pasien meninggal dengan sepsis berat tiap tahunnya. Dan terdapat perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain (gambar 2.1).2
Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain. (Dikutip dari Angus DC dkk, Crit Care Med. 2001)
Pasien dengan keganasan yang terdiagnosis dengan sepsis, memiliki resiko relatif peningkatan sampai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan mereka yang tidak terkena kanker. Kanker pankreas memiliki risiko yang terkait tertinggi sepsis, diikuti oleh multipel myeloma, leukemia, dan kanker paru-paru, sedangkan kanker saluran cerna dan keganasan payudara berhubungan dengan kecenderungan yang jauh lebih rendah untuk sepsis (Tabel 2.1).30
2.1.2. Definisi
Definisi sepsis yang diambil dari konfrensi Internasional tentang Definisi Sepsis tahun 2001 (tabel 2.2).31
Infection Sebuah proses patologis yang disebabkan invasi terhadap jaringan steril atau cairan oleh mikroorganisme patogen atau yang berpotensi patogen.
Sepsis Kejadian infeksi, yang terlihat atau sangat dicurigai, dengan respon inflamasi sistemik, yang telah ditunjukkan oleh adanya beberapa tanda infeksi
Severe sepsis Sepsis yang diperberat dengan keberadaan disfungsi organ
Septic shock Sepsis berat yang diperumit oleh kegagalan akut sirkulasi yang ditandai dengan hipotensi arteri secara terus-menerus, meskipun volum resusitasi cukup, dan sebab lainnya yang tidak dapar dijelaskan
(Diambil dari Jonathan M. Siner, MD Sepsis: Definitions, Epidemiology, Etiology and Pathogenesis PCCSU 2009) (31)
Tabel 2.1
Di bawah ini akan dipaparkan defenisi penyakit yang berkaitan dengan sepsis menurut jurnal dari Lancet tahun 2005 (tabel 2.3).32
Tabel 2.3. Defenisi Penyakit
Systemic
Sepsis Systemic inflammatory response syndrome dan ada infeksi (kultur atau gram stain of blood, sputum, urin atau cairan tubuh yang normalnya steril positif terhadap mikroorganisme patogen ; atau fokus infeksi diidentifikasi dengan penglihatan spt: ruptured bowel dengan free air atau bowel contents didapati pada abdomen saat pembedahaan, luka dengan purulent discharge)
Severe sepsis Sepsis dengan minimal satu tanda dari hipoperfusi atau disfungsi organ :
Areas of mottled skin
Capillary refilling time ≥ 3detik
Urin output < 0.5mL/kg dalam 1 jam atau renal replacement therapy
Laktat > 2mmol/L
Perubahan kesadaran tiba-tiba atau electroencephalogram tidak normal
Jumlah trombosit < 100000/mL atau disseminated intravascular coagulation
Acute lung injury - acute respiratory distress syndrome
Cardiac disfunction ( echocardiography )
Septic shock Severe sepsis dan salah satu :
Systemic mean blood pressure < 60mmHg (< 80mmHg jika ada hipertensi sebelumnya) setelah pemberian 20-30 mL/kg starch atau 40-60 mL/kg normal salin, atau pulmonary capillary wedge pressure antara 12 dan 20 mmHg
Butuh dopamin > 5µg/kg per menit atau norepinephrine atau epinephrine < 0.25µg/kg per menit untuk mempertahankan mean blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )
Refractory septic shock
Butuh dopamin > 15µg/kg per menit atau norepinephrine atau epinephrine > 0.25µg/kg permenit untuk mempertahankan mean blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )
(Tabel dikutip dari Annane dkk. The Lancet 2005)
2.1.3. Patofisiologi
2.1.3.1. SIRS dan SEPSIS
SIRS merupakan kondisi yang menyebabkan disfungsi organ multipel dan merupakan penyebab kematian tertinggi di unit perawatan intensif. Kejadian sepsis di Amerika diperkirakan sekitar 500.000 kasus per tahun dengan angka kematian sebesar 35 %. Sepsis terletak diurutan ke-13 penyebab utama kematian di Amerika Serikat.33 Meskipun pemahaman tentang patofisiologi dari SIRS meningkat namun angka kematian akibat SIRS belum menurun. Hal Ini mungkin diakibatkan oleh semakin meningkatnya resistensi terhadap organisme, pasien yang immunocompromised dan pasien usia tua dengan penyakit kronis. Infeksi merupakan penyebab dari SIRS, yang didalamnya terdapat bakteri dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya sepsis. Bakteri yang teridentifikasi dapat berupa gram-negatif atau gram-positif, terutama Staphylococcus aureus dan enterococci.34 Endotoksin diproduksi oleh bakteri gram-negatif yang dapat memicu terjadinya peradangan. Meskipun infeksi yang dianggap sebagai penyebab mendasar mayoritas pasien dengan SIRS, organisme infektif sering tidak teridentifikasi juga dapat menyebabkannya.33 Terdapat banyak kondisi klinis non-infeksi yang dapat
menyebabkan SIRS; termasuk pankreatitis, trauma multipel, luka bakar, aspirasi, iskemia dan syok hemoragik. Dalam setiap kasus SIRS karena penyebab non-infeksi, sepsis tampaknya berkaitan erat dengan kejadian respon inflamasi yang berlebih.
Respon inflamasi merupakan kaskade yang melibatkan komponel sel dan molekul tubuh, dan banyak fungsinya yang tumpang tindih antar satu dan yang lainnya.
Terdapat regulasi dalam sistem ini, di samping adanya mediator pro-inflamasi, ada juga yang berfungsi sebagai anti-inflamasi. Respon tubuh bisa meningkatkan atau menurunkan regulasi sehingga toleransi dapat terjadi tergantung pada aktivasi inflamasi sebelumnya. Masalah ini lebih rumit disebabkan adanya variasi genetik dalam respon terhadap rangsangan pro-inflamasi. Oleh karena itu mungkin bukan hanya sifat genetik yang memulai terjadinya cidera tetapi juga respon inflamasi dari inang yang menentukan hasil akhirnya. Biasanya peradangan lokal dan penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa keadaan aktivasi kaskade inflamasi terjadi pada tingkat sistemik. Ini menimbulkan gambaran klinis SIRS.35 Biasanya peradangan terjadi secara lokal dan penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa keadaan tertentu aktivasi kaskade inflamasi terjadi pada tingkat sistemik. Hal ini menimbulkan gambaran klinis SIRS. Tingkat peradangan sistemik yang ringan mungkin akan bermanfaat bagi seorang individu yang memerangi penyakit. Namun, ketika proses inflamasi di luar kendali dan tidak lagi menguntungkan. Terjadi disregulasi proses inflamasi yang kemudian terjadi peradangan pada organ selain organ pro-inflamasi yang mengarah untuk terjadinya MODS. Respon anti-inflamasi dirancang untuk menurunkan regulasi peradangan dan mencegah efek merusak lainnya. Hal ini juga dapat menjadi tidak terkendali yang menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya infeksi dan dapat menyebabkan the compensatory anti-inflammatory response syndrome (CARS). Campuran aktivasi antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi dapat terjadi bersama-sama dan hal ini disebut the mixed antagonist response syndrome (MARS). Hanya jika tubuh mampu mengembalikan keseimbangan terhadap kekacauan imunologi ini. Dan pemulihan kemungkinan dapat terjadi.36
Systemic inflammatory respon syndrome (SIRS), apapun penyebabnya memiliki patofisiologi yang sama. Sindrom yang timbul pada SIRS merupakan pertahanan hidup. Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap penyebab non-spesifik, sedangkan kaskade inflamasi adalah proses kompleks yang melibatkan sistem imunologi seluler dan humoral, komplemen, dan kaskade sitokin.
Bone meringkaskan interaksi komplek ini menjadi 3 tahap proses :
Tahap I : setelah terjadi cedera jaringan, sitokin lokal diproduksi yang bertujuan untuk merangsang respon inflamasi sehingga mulai terjadi perbaikan luka dan pengaktifan sistem endotelial retikular.
Tahap II : sejumlah kecil sitokin lokal dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk memperbaiki respon lokal. Hal ini akan mengakibatkan rangsangan terhadap Growth factor dan pengerahan makrofag serta trombosit. Fase akut ini biasanya dapat terkendali dengan berkurangnya mediator proinflamasi dengan pelepasan antagonis endogen. Tujuannya adalah homeostatis.
Tahap III : jika homeostatis tidak tercapai, reaksi sistemik yang cukup signifikan akan terjadi. Sitokin yang dilepas akan bersifat merusak dari pada melindungi (proteksi). Konsekuensinya adalah pengaktifan sejumlah kaskade humoral dan pengaktifan sistem endotelial retikular, selanjutnya akan terjadi kehilangan integritas sirkulasi. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ.37
Gambar 2.2..Respon inflamasi terhadap sepsis (dikutip dari Russel JA
Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan yang bermakna, masih tetap tidak dimengerti (Annane dkk. 2001). Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan/atau produk mereka dan respon tuan rumah akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi, koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane dkk. 2005)38
Gambar 2.3. Respon prokoagulasi pada sepsis(41).TFPI : tissue factor pathway inhibitor, PAI-1: Plasminogen-activator inhibitor 1, t-PA:tissue plasminogen activator, EPCR:Endothelial protein C reseptor. (dikutip dari Russel JA)
2.1.3.2. Disfungsi mikrosirkulasi pada sepsis39 2.1.3.2.1. Penggunaan oksigen dan ATP
Disfungsi mitokondria selama sakit kritis telah diakui diketahui selama ini.
Disfungsi mitokondria yang disebabkan hipoksia pertama kali diidentifikasi oleh Barcroft dkk. pada tahun 1945. Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab hipoksia yang menyebabkan disfungsi mitokondria yaitu, penurunan tekanan oksigen arteri (hypoxic hypoxia), penurunan konsentrasi hemoglobin sistemik (anemia hypoxia), dan disfungsi mikrovaskuler yangmenyebabkan hipoperfusi (stagnant hipoxia). Namun, efek dari sepsis pada tingkat ATP selular tidak jelas. Hotchkiss dkk. menemukan bahwa sepsis menghabiskan ATP di sel pada otot rangka, bukan dari kekurangan oksigen melainkan karena kadar fosfat berenergi tinggi yang berkurang]. Sebaliknya, studi tentang otot dan hati oleh Brealey dkk. tidak menunjukkan deplesi dari ATP di sel. Yang paling penting, penyelidikan baru-baru ini jelas menunjukkan bahwa sepsis merusak produksi dari ATP.
Gambar 2.4 Proses Glikolisis
2.3.1.2.2. Mikrovaskuler disfungsi vs cytopathic hypoxsia
Penelitian awal mengenai mendorong klinisi untuk mengusulkan bahwa patofisiologi sepsis sebagai kunci untuk terjadinya disfungsi mikrovaskuler. Hal ini pertama kali dijelaskan oleh Weil dkk. pada tahun 1971 yang menemukan perubahan perfusi secara heterogen. Ketidakseimbangan perfusi akan mengakibatkan penggunaan oksigen di perifer gagal. Pada gambaran elektron juga menunjukkan terganggunya mikrosirkulasi pada pasien sepsis. Dengan menggunakan pendekatan ini, Ince dkk. menemukan bahwa perfusi kapiler pada sepsis dapat mengambil kombinasi dari lima bentuk (Tabel ). Fink dkk. melaporkan bahwa efek yang timbul adalah kegagalan pengiriman oksigen pada sepsis yang menyebabkan disfungsi mikrovaskuler bukan abnormalitas yang meyebabkan gangguan respirasi mitokondria selama sepsis. Namun sebaliknya, aliran mungkin normal atau bahkan berlebih akan tetapi kekacauan iintrinsik sel mempengaruhi metabolisme energi sel yang dapat menghalangi penggunaan oksigen. Cacat ini disebut cytopathic hypoxia dan hal ini didukung oleh pemeriksaan oksigen di tingkat jaringan dan pemeriksaan langsung respirasi di tingkat sel dan mitokondria. Mekanisme yang menjelaskan cytopathic hypoxia selama sepsis meliputi gangguan pengiriman piruvat , penghambatan enzim yang terlibat dalam siklus Krebs dan rantai transpor elektron, aktivasi dari poli-(ADP)-ribosylpolymerase (PARP) dan kegagalan pemeliharaan dari trans-mitochondrial membrane proton-gradient dengan ATP sintase yang tidak terikat.
Tabel 2.4 Pola aliran mikrovaskular pada pasien sepsis
2.3.1.2.3. Disfungsi piruvat dehydrogenase
Pyruvate dehydrogenase (PDH) E1 adalah enzim katalitik multimeric pyruvate dehydrogenase complex (PDC) yang bertanggung jawab untuk sintesis asetil - CoA dari piruvat. PDH diaktivasi oleh insulin, asam phosphoenolpyruvic dan AMP dan dihambat oleh ATP, NADH dan asetil - CoA. Inaktivasi PDC akan merusak produksi dari ATP. Disfungsi PDC digambarkan dengan peningkatan produksi laktat meskipun normal namun cenderung meningkat di aliran darah otot. Demikian pula dilaporkan Kantrow dkk. pada tikus yang dibuat oleh sepsis, ditemukan konsumsi oksigen yang menurun dan dikaitkan dengan produksi substrat ( glutamat , malat , suksinat ) untuk siklus Krebs atau rantai transport elektron. Fokus tehadap PDH dan unsur-unsur siklus Krebs telah berkurang telah beralih ke komponen rantai transpor elektron. Namun seperti yang akan dibahas bawah, kelainan pada transpor elektron mungkin adaptif.
Hal ini membuat semakin diperlukannya untuk mengidentifikasi kerusakan yang lainnya.
Gambar 2.5 Siklus asam sitrat
2.3.1.2.3. Gangguan oksidatif fosforilasi
Gangguan produksi ATP dapat terjadi akibat disfungsi dalam salah satu dari empat kompleks dari rantai transpor elektron. Hal ini membuat gradien proton menciptakan potensi energi yang digunakan oleh ATP sintase untuk mengubah ADP menjadi ATP. Siklus produksi dan konsumsi berlanjut asalkan glukosa tetap masuk ke dalam sistem dan fungsi respirasi tidak terhambat.
Sitokrom C oksidase, kompleks IV rantai transpor elektron, terdiri dari subunit 13 yang berbeda, tiga di antaranya menempati tempat aktif di mana O-2 bergabung dengan molekul 2 H+ untuk membentuk air. Reaksi ini juga membantu menghasilkan potensi antarmembran listrik untuk membentuk ATP. Tempat aktif tersebut ditandai dengan pusat dari rantai yang mengandung tembaga dan dua pusat heme (heme a, a3) di mana molekul oksigen terikat. Karena perannya sebagai akseptor akhir elektron dan rantai kompleks yang menggunakan oksigen, kompleks IV merupakan hal yang sangat penting dalam rantai transport elektron. Studi dalam terhadap mencit sepsis menunjukkan penghambatan non-kompetitif pembentukan sitokrom c. Pada waktu tertentu, konten heme akan hilang dan terjadi kegagalan pembentukan subunit I.
Subunit aktif dikodekan oleh mtDNA. Penurunan dari subunit ini cenderung menunjukkan kegagalan biogenesis dan disfungsi mitokondria yang ireversibel.
Telah diteliti bahwa sulit untuk memisahkan aktivitas Cof kompleks II dari Kompleks III. Beberapa penyelidikan menunjukkan sepsis terkait disfungsi kompleks II/ III. Brealey dkk. mempelajari transpor elektron kegiatan dengan menggunakan model tikus sepsis. Mereka tidak dapat mengidentifikasi cacat di Komplek II/III baik di hati atau otot rangka selama periode 72 jam. Namun, aktivitas Kompleks I dan Kompleks IV di hati menurun dari waktu ke waktu. Pada akhir waktu hewan septik tersebut, semua aktivitas kompleks protein tercatat jauh lebih rendah baik itu di hati dan jaringan otot.
Fredriksson dkk. mempelajari disfungsi metabolik mitokondria pada pasien sepsis di ICU yang membandingkan pasien sehat ini menjalani operasi elektif. Pada pasien sepsis yang menderita MODS, mereka mengamati penurunan dua kali lipat dalam semua aktivitas kompleks mitokondria dalam otot interkostal dan otot tungkai.
Penghambatan baik di Kompleks I atau Kompleks IV dapat meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) dan nitrit oksida (NO). Produksi radikal bebas ini meningkat seiring proses penuaan serta pada individu dengan imunitas yang
kurang. Kedua hal ini dihubungkan dalam patogenesis sepsis ketika produksi berlebih dapat memperberat mekanisme perlindungan endogen dan dapat merusak produksi bioenergi mitokondria. Produksi ROS dan NO yang berlebihan juga dapat menyebabkan apoptosis dari mitokondria.
Gambar 2.6 Rantai transport elektron
2.2. SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN40
Untuk menurunkan angka kematian akibat sepsis berat dan syok sepsis, kolaborasi dari the European Society of Intensive Care Medicine, the International Sepsis Forum dan The Society of Critical Care Medicine mengeluarkan panduan yaitu Surviving Campaign Guidelines (SSC) for management of Severe Sepsis and Septic Shock.
Pada tahun 2005, SSC bersama dengan Institute for Health-care Improvement (IHI) menyusun panduan pengelolaan pasien sepsis berat dan syok sepsis yaitu Severe Sepsis Bundles yang terdiri dari dua bundle. Pertama, The Sepsis Resusitation Bundle, resusitasi yang harus segera dimulai dan diselesaikan dalam 6 jam pertama sejak pasien didiagnosis sepsis berat atau syok sepsis. Kedua, The
Sepsis Management Bundle, harus segera dimulai dan selesai dalam 24 jam pada pasien dengan sepsis berat atau sepsis berat. Namun pada akhir tahun 2012, Dellinger dkk. menerbitkan kembali pembaruan terhadap Surviving Campaign Guidelines (SSC) yang terkahir di terbitkan pada tahun 2008.
Pedoman ini adalah praktek klinis yang merupakan revisi dari SSC tahun 2008 yang berisi tentang pengelolaan sepsis berat dan syok sepsis. Pedoman terbaru ini didasarkan pada pencarian literatur yang baru yang kemudian dikumpulkan sampai akhir musim gugur 2012.
Tabel 2.5.Surviving Sepsis Campaign Bundles 2012
Hal- hal yang harus dilakukan segera dan diselesaikan dalam 3 jam pertama sejak diagnosis sepsis ditegakkan :
1. Pemeriksaan kadar laktat serum
2. Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotika 3. Pemberian antibiotik spektrum luas
4. Pemberian cairan 30cc/kgBB kristaloid untuk hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L
Hal- hal yang harus diselesaikan pada waktu jam ke-6 :
5. Pemberian vasopressor (untuk hipotensi yang tidak respon terhadap resusitasi cairan) untuk menjaga tekana darah rerata (MAP) ≥ 65 mmHg
6. Pada kondisi hipootensi arterial yang menetap walaupun sudah dilakukan resusitasi volum (syok sepsis) atau laktat awal ≥ 4 mmol/L (36 mg/dL)
- Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)
- Pengukuran tekan oksigen saturasi vena sentral (Scv02) 7. Pengukuran laktat jika laktat awal meningkat
Target dari resusitasi yang termasuk dalam pedoman adalah CVP > 8 m Hg, ScvO2 >
70%, dan laktat yang menuju nilai normal
2.3 Laktat 2.3.1. Definisi
Laktat adalah senyawa kimia yang merupakan hasil proses glikolisis di dalam sel. Kadar laktat dalam plasma merupakan hasil kesimbangan antara produksi dan bersihan yang dipengaruhi beberapa faktor. Bila penyediaan oksigen tidak dapat mencukupi pasokan oksigen seperti pada hipoksia dan syok, maka sel akan melakukan mekanisme adaptasi untuk menghasilkan ATP sebagai sumber energi.
Pada kondisi tersebut laktat menjadi salah satu hasil metabolit perantara yang berperan untuk kelangsungan metabolisme dalam sel. Hiperlaktatemia pada kondisi sakit kritis dinilai sebagai penanda terjadinya metabolisme anaerob sel yang mengalami stres akibat ketersediaan oksigen yang tidak adekuat. Laktat merupakan penyebab utama terjadinya ketidakseimbangan asam basa dan 2/3 dari pasien kritis yang mengalami asidosis metabolik disebabkan hiperlaktatemia.
Peningkatan laktat dapat digunakan untuk menilai ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen, dimana intervensi yang tepat sesegera mungkin dapat mengembalikan fungsi sel kembali normal asalkan kondisi mitokondria masih utuh.41,42
2.3.2. Metabolisme laktat
Konsentrasi kadar laktat arteri tergantung dari keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Kadar normal laktat adalah < 18 mg/dL (2 mmol/L) dengan jumlah produksi 1500 mmol/L per hari. Secara fisiologis laktat diproduksi oleh semua jaringan tubuh, yang terbanyak adalah otot (25%), kulit (24%), otak (20%), usus halus (10%) dan sel darah merah yang tidak memliliki mitokondria (20%). Kadar laktat sering
digunakan sebagai parameter dari metabolisme kerja otot karena otot merupakan organ yang paling besar pengaruhnya terhadap kadar laktat. Laktat dimetabolisme oleh tubuh di hati dan ginjal.43
Laktat diproduksi di sitoplasma, merupakan hasil metabolisme dari piruvat yang dikatalisasi oleh enzim laktat dehydrogenase (LDH) :
Piruvat + NADH + H+ LDH Laktat + NAD+
Reaksi ini menghasilkan laktat dengan rasio laktat banding piruvat 10 kali lipat dan 2 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat. Kadar laktat akan meningkat bila pembentukan piruvat melebihi penggunaannya di mitokondria. Piruvat dibentuk melalui proses glikolisis, sehingga kondisi apapun yang menyebabkan peningkatan glikolosis akan meningkatkan kadar laktat. Piruvat akan dimetabolisme di mitokondria melalui suatu reaksi oksidasi aerob oleh enzim piruvat dehydrogenase (PDH) dalam siklus krebs :
Piruvat + CoA + NAD PDH Asetil-CoA + NADH + H+ CO2
Reaksi tersebut menghasilkan 36 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat.
Laktat yang dihasilkan melalui jalur piruvat akan mengalami proses transaminase menjadi alanine atau proses karboksilasi menjadi oksaloasetat atau malat, atau secara langsung digunakan oleh sel hepatosit periportal hati (60%) untuk pembentukan glikogen dan glukosa melalui proses glikogenesis dan glukoneogenesis atau siklus Cori.
Laktat dipakai oleh sel otot yang bekerja sebagai substrat perantara reaksi oksidasi dalam jalur laktat (lactate shuttle). Sehingga laktat sekarang dianggap sebagai substrat perantara metabolisme yang mengalami oksidasi saat kebutuhan
energi tubuh meningkat atau sebagai substrat yang berperan penting dalam glukoneogenesis. Laktat terbukti dapat berfungsi sebagai molekul penanda (signaling) yang ikut mengatur fungsi selular dan sistemik.44,45,46,47
Teori jalur laktat (lactate shuttle) menunjukkan proses pembentukan senyawa laktat secara aerobik. Proses ini merupakan suatu mekanisme berbagai jaringan dan organ menggunakan sumber karbon yang sama untuk reaksi oksidasi atau glukoneogenesis.48
Gambar 2.7. Metabolisme laktat. F-6-P: fruktosa 6 fosfat, F-1,6-P: fruktosa 1,6 bifosfat, G-6-P: glukosa 6 fosfat, gliseraldehid 3-P: Gliseraldehid 3-fosfat, p:fosfat. (Dikutip dari Levy B)
2.3.3. Produksi Laktat pada Kondisi Aerobik
Aerobik adalah kondisi tersedianya oksigen yang cukup. Pembentukan laktat pada fase pertama glikolisis di sitosol adalah proses anaerobik. Pada proses anaerobik ini terjadi aktivitas pompa Na-K-ATPase dan proses ini tidak membutuhkan oksigen. Epinefrin melalui reseptor beta-2 adrenergik meningkatkan produksi cAMP yang akan merangsang proses glikolisis yang akan menghasilkan ATP, dan
Aerobik adalah kondisi tersedianya oksigen yang cukup. Pembentukan laktat pada fase pertama glikolisis di sitosol adalah proses anaerobik. Pada proses anaerobik ini terjadi aktivitas pompa Na-K-ATPase dan proses ini tidak membutuhkan oksigen. Epinefrin melalui reseptor beta-2 adrenergik meningkatkan produksi cAMP yang akan merangsang proses glikolisis yang akan menghasilkan ATP, dan