• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TRI UTAMI RATNA PURI C3407

1.1 Latar Belakang

Spirulina adalah mikroalga berukuran kecil, berwarna hijau, berbentuk spiral yang dapat hidup di perairan tawar dan laut. Mikroalga ini termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria). Spirulina termasuk organisme multiseluler. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang (Richmond 1988). Spirulina memiliki zat warna hijau daun (pigmen klorofil), sehingga mampu melakukan fotosintesis dengan bantuan air (H2O), CO2 dan sinar matahari yang dapat mengubah energi kinetik menjadi

energi kimiawi dalam bentuk biomassa atau yang lebih dikenal dengan karbohidrat. Ukuran Spirulina berkisar antara 3,5-10 mikron, sehingga diperlukan mikroskop untuk dapat melihatnya (Sugiyono dan Amini 2008).

Spirulina merupakan salah satu sumber protein yang terbaik di antara protein hewani dan nabati. Kandungan protein pada Spirulina lebih dari 60% (Tietze 2004), mikroalga ini juga mengandung 1,6% γ-asam linoleat (GLA) (Tanticharoen et al. 1994), asam amino esensial (Colla et al. 2004), vitamin B12 (Lorentz 1999), mineral dan tokoferol (Riyono 2008) dan klorofil sebesar 1% (Henrikson 2009). Spirulina juga terbukti mempunyai aktivitas antioksidan (Candra 2011) dan antiinflamasi (Rasool et al. 2006) yang sangat bermanfaat.

Cara yang paling efektif untuk memanfaatkan komponen yang terkandung di dalam Cyanobacteria ini adalah dengan mengkonsumsi langsung Spirulina sebagai tambahan makanan atau dalam bentuk kapsul (Saputra 2009). Spirulina telah lama dimanfaatkan sebagai makanan, pakan, suplemen, dan pangan fungsional (Gershwin dan Belay 2007).

Mie merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Masyarakat dewasa ini banyak mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pengganti beras, alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mengenyangkan. Harganya yang relatif murah dan terjangkau menyebabkan produk ini dapat dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat.

Mie basah (fresh noodle atau wet noodle) merupakan salah satu jenis

di Indonesia. Industri mie basah tersebar luas di banyak wilayah di Indonesia dan kebanyakan diproduksi oleh industri rumah tangga, dan industri kecil/menengah. Mie basah yang dikenal masyarakat terdapat dua jenis, yaitu mie mentah (raw noodle) dan mie rebus (cooked noodle). Kualitas, baik mutu organoleptik, fisikokimia, mikrobiologi maupun daya awet dari mie basah dapat bervariasi disebabkan oleh adanya perbedaan proses pengolahan dan penggunaan bahan tambahan. Mie basah dijual dalam bentuk segar baik dalam keadaan dikemas maupun curah, baik di pasar tradisional maupun supermarket.

Bahan-bahan utama pembuatan mie adalah terigu, air, dan garam, sehingga kandungan gizi tidak lengkap. Widaningrum et al. (2005) menyatakan mie basah yang beredar di pasaran memiliki kandungan gizi rendah dengan kadar air yang tinggi. Chamdani (2005) menyatakan bahwa mie basah dalam kondisi tidak ada penambahan bahan pengawet, umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang.

Spirulina dengan kandungan gizi yang sangat tinggi dan memiliki banyak manfaat merupakan salah satu bahan alami alternatif yang dapat digunakan untuk memperkaya kandungan gizi mie basah. Penambahan Spirulina ke dalam mie basah diharapkan mampu meningkatkan nilai gizinya, seperti protein, vitamin, dan serat. Spirulina juga mengandung klorofil yang dapat digunakan sebagai pewarna alami. Mie termasuk produk yang mudah rusak, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai penyimpanan mie basah dengan penambahan Spirulina pada suhu chilling.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain: 1 Menentukan formulasi mie basah Spirulina terpilih

2 Mempelajari karakteristik fisik dan kimiawi mie basah Spirulina

3 Mempelajari kerusakan yang terjadi pada mie basah Spirulina selama penyimpanan suhu chilling.

2.1 Spirulina

Spirulina adalah organisme mikroskopis dan merupakan prokariot berfilamen (Gershwin dan Belay 2007). Spirulina adalah organisme yang termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria). Organisme ini diberi nama Spirulina karena bentuk tubuhnya yang spiral, mempunyai ukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia. Spirulina dalam koloni yang besar berwarna hijau tua. Warna hijau tua ini berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Secara alami, Spirulina mampu tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan suhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis (Tietze 2004).

Secara taksonomi Spirulina (Garrity et al. 2001), diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Filum : Cyanobacteria Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscillatoriaceae Genus : Spirulina Gambar 1 Spirulina (Henrikson 2009)

Kultur Spirulina dilakukan dengan membiakkan bibit Spirulina dalam media, kemudian dilakukan pengaturan pH hingga mencapai 8,3 dengan penambahan HCl. Kultur diletakkan dekat sumber cahaya dan diberi aerasi atau pengadukan (Diharmi 2001; Arylza 2005). Besarnya nilai pH pada media

pertumbuhan Spirulina umumnya antara 8-11, namun ada beberapa jenis Spirulina yang dapat bertahan hidup pada lingkungan dengan pH mendekati 7 atau di atas 11 (Richmond 1988).

Kualitas Spirulina sangat dipengaruhi sinar matahari, mineral dan nutrisi dalam air. Kandungan beta karoten akan semakin tinggi apabila kuantitas sinar matahari yang diperoleh maksimum (Tietze 2004). Spirulina dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Suhu optimum pertumbuhannya 35-38 °C, dan suhu minimum untuk mempertahankan pertumbuhan adalah 15-22 °C, serta pH dan alkalinitas yang tinggi. Media yang umum digunakan adalah Zarouk yang terdiri dari natrium karbonat/bikarbonat, sumber nitrogen, fosfor, besi, dan trace element lainnya (Gershwin dan Belay 2007).

Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari media melalui filtrasi. Negara bagian Afrika yang sedang berkembang, yaitu Chad,

melakukan pemisahan Spirulina hanya menggunakan kain penyaring sederhana (Angka dan Suhartono 2000). Menurut Desmorieux dan Decaen (2006), Spirulina

segar dapat difiltrasi dengan filter berukuran 20 μm.

Desmorieux dan Decaen (2006), menyatakan bahwa pengeringan Spirulina dapat dilakukan dengan pemanasan yang dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-60 °C. Suhu pengeringan diatas 60 °C akan menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi Maillard. Kondisi pengeringan secara konveksi pada lapisan tipis yang paling optimum dilakukan pada kondisi suhu dibawah 40 °C. Penyimpanan Spirulina dilakukan dalam keadaan kering karena Spirulina kering tidak mudah terfermentasi (Angka dan Suhartono 2000). Hasil penelitian Mohammad (2007) menunjukkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap jumlah klorofil dan protein. Spirulina fusiformis yang dikeringkan pada suhu 25-30 °C memiliki kandungan klorofil dan protein terbesar, yaitu 0,063% dan 58,25%.

Kondisi kultur yang berbeda sangat berpengaruh pada komponen kimia yang terkandung dalam Spirulina. Achmadi et al. (2002) melakukan penelitian mengenai perbandingan produksi pigmen Spirulina platensis yang ditumbuhkan pada media lateks dan media sintetik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa S. platensis yang dikultivasi pada media lateks mengandung

klorofil a 0,61% (b/b), karotenoid 0,61% (b/b) dan fikosianin 19,85% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan sebesar 0,18 g/l, sedangkan

media sintetik mengandung klorofil a 0,54% (b/b), karotenoid 0,45% (b/b) dan fikosianin 14,17% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan

sebesar 0,28 g/l.

Olguin et al. (2001) melakukan penelitian terhadap biomassa kering yang dihasilkan dan protein yang terkandung di dalam Spirulina sp. yang dikultivasi pada media Zarouk dengan intensitas cahaya 66 µmol photon m-2s-1 dan 144 µmol photon m-2s-1 , dengan lama kultivasi 6 hari dan 12 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa biomassa dan protein tertinggi diperoleh dari kultivasi selama 12 hari dengan intensitas cahaya sebesar 144 µmol photon m-2s-1. Biomassa kering yang diperoleh sebesar 0,67 g/l, dan protein sebesar 0,42 g/l.

Cahaya merupakan faktor pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien dan temperatur. Ketersediaan cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel atau kepadatan

populasi (Tamiya 1957 diacu dalam Richmond 1988).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colla et al. (2007a) menunjukkan bahwa S. platensis yang dikultivasi dengan jumlah nitrogen dalam media dan temperatur yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap komponen fenol dan persen penghambatan terhadap pembentukan peroksidase. S. platensis yang dikultivasi dengan penambahan 2,5 g/l sodium nitrat dan suhu 35 °C mengandung komponen fenol dan persen penghambatan pembentukan peroksidase terbesar, masing-masing 4,9 µg/g dan 35%.

Spirulina telah lama dimanfaatkan sebagai makanan, pakan, suplemen, dan pangan fungsional, bahkan masyarakat di wilayah Chad telah lama mengonsumsinya (Gershwin dan Belay 2007). Spirulina mudah dicerna karena lapisannya berupa membran tipis, bukan seperti selusosa yang sulit dicerna. Membran tersebut merupakan gugus gula yang mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, Spirulina sangat bermanfaat walaupun dikonsumsi dalam jumlah yang kecil(Tietze 2004).

Adam (2005) menyebutkan bahwa Spirulina sebagai “superfood” menunjukkan efektifitas dalam penyembuhan dan pencegahan berbagai penyakit, seperti kanker, diabetes, obesitas, asma, tekanan darah tinggi, infeksi, peradangan, dan berbagai penyakit degeneratif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miladius et al. (2004) kepada olahragawan menunjukkan bahwa pemberian tiga tablet Spirulina per hari selama 14 hari dapat menurunkan berat badan dan lemak, serta menaikkan massa otot.

Spirulina mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Menurut Richmond (1988) hasil analisis asam amino dari

Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer ditemukan 18 asam amino. Protein Spirulina 65% lebih tinggi dibanding makanan alami

lainnya. Kelebihan Spirulina sebagai sumber protein adalah kandungan lemaknya 5%, dan sebagian besar merupakan lemak tidak jenuh. Hewan cenderung mengandung kolesterol dan lemak yang tinggi (Tietze 2004). Protein berfungsi sebagai pemberi kalori, bila jumah karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Berdasarkan sumbernya, protein terbagi menjadi dua, yaitu protein nabati dan protein hewani. Sumber protein hewani antara lain susu, ikan, daging dan telur. Sumber protein nabati antara lain kacangan-kacangan dan olahannya seperti tahu dan tempe (Muchtadi 2008). Salah satu sumber protein yang terbaik adalah Spirulina.

Kelebihan lain dari Spirulina yaitu kaya akan fitonutrien dan nutrisi fungsional yang menunjukkan efek positif bagi kesehatan (Henrikson 2009). Tietze (2004) menyebutkan bahwa Spirulina secara alami rendah kolesterol, kalori, lemak, dan sodium. Spirulina mengandung sembilan vitamin penting dan empat belas mineral yang terikat dengan asam amino. Hal ini memudahkan dan mempercepat proses asimilasi dengan tubuh.

Food and Drug Administration (1981) menyatakan bahwa Spirulina adalah sumber protein dan mengandung berbagai vitamin dan mineral yang telah digunakan sebagai suplemen (Henrikson 2009). Kandungan mineral Spirulina dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan mineral Spirulina

Sumber: Farms (1995) dalam Henrikson (2009)

Mikroalga seperti jenis Spirulina, Chlorella, Dunaliella, dan lainnya,

memegang peranan penting dalam dunia perairan, karena organisme air fotosintetik bersel tunggal menunjukkan kandungan protein yang tinggi.

Perbandingan kandungan protein Spirulina dengan mikroalga lain dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan protein beberapa jenis mikroalga

Jenis Mikroalga Protein

Chlorella 51-58 Dunaliella 57 Porphyridium 28-39 Scenedesmus 50-56 Spirulina 60-71 Sumber: Spolaore (2006)

Spirulina merupakan sumber terbaik vitamin B-12 (cobalamin) dibandingkan dengan hati sapi, tuna, telur, keju dan lain-lain. Kandungan vitamin B-12 besarnya lebih dari 300 µg per 100 g Spirulina. Kekurangan

vitamin B-12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa, degenerasi saraf dan lain-lain (Tietze 2004).

Spirulina platensis merupakan salah satu alga hijau biru yang banyak

tersebar di perairan tropis dan dapat tumbuh dengan baik di perairan laut. Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi saat ini menyimpulkan

bahwa Spirulina memiliki pengaruh baik terhadap sistem kekebalan tubuh. Mengacu sejumlah publikasi ilmiah, Spirulina mengandung antioksidan,

Komposisi Mineral (per 1 gr) Jumlah Kalsium Iron Magnesium Sodium Potasium Posfor Zinc Mangan Copper Chromium 7 mg 1 mg 4 mg 9 mg 14 mg 9 mg 0,03 mg 0,05 mg 12 mcg 2,5 mcg

antiinflamasi, serta neuroprotektif (Arlyza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Candra (2011), aktivitas antioksidan yang terkandung pada biopigmen Spirulina mendekati aktivitas antioksidan komersial BHT. S. platensis terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antikapang. Hasil penelitian Abedin dan Taha (2008) menunjukkan bahwa S. platensis mampu menghambat pertumbuhan mikroba antara lain Aspergillus flavus, Fusarium monilivorme, Candida albicans, Bacillus subtilis dan Pseudemonas aeruginosa.

2.2 Mie

Mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia. Sekitar 40% dari konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie. Di Indonesia pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie mencapai 60-70% (Kruger dan Matsuo 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia khususnya Indonesia.

Mie basah adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (BSN 1992). Berdasarkan cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah (contohnya mie ayam) dan mie basah matang (contohnya mie bakso), sedangkan berdasarkan jenis produk yang dipasarkan terdapat dua jenis mie yaitu mie basah dan mie kering. Perbedaan dari kedua produk ini adalah kadar air dan tahapan proses pembuatan (Pagani 1985). Syarat mutu mie basah menurut BSN (1992) disajkan pada Tabel 3.

Berdasarkan kadar air dan tahapan pengolahannya, Winarno dan Rahayu (1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima golongan, yaitu: (1) mie basah mentah yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah matang, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan dalam air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering, yaitu mie basah yang telah dikeringkan dengan kadar air 10%, (4) mie goreng, yaitu mie basah mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum dipasarkan, dan (5) mie instan, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami pengukusan dan pengeringan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng menjadi mie instan goreng.

Tabel 3 Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI01-2987-1992.

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992)

Mie basah umumnya terbuat dari tepung gandum (tepung terigu), air, dan garam dengan/tanpa penambahan garam alkali. Terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan mie basah. Fungsi terigu adalah sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur dan mengikat air. Garam alkali berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik (Astawan 1999).

Proses pembuatan mie basah matang meliputi pencampuran semua bahan menjadi adonan lalu dibentuk menjadi lembaran-lembaran tipis dengan mesin rollpress, diistirahatkan, kemudian dipotong menjadi benang-benang mie. Proses pencampuran bahan-bahan untuk menghasilkan adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga memicu terjadinya hidrasi tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna - Normal Normal Normal 2 Air % b/b 20-35

3 Abu (dihitung atas dasar bahan kering

% b/b Maks 3 4 Protein (Nx 6,25) dihitung

atas dasar bahan kering

% b/b Min 3 5 Bahan tambahan pangan

5.1 Boraks 5.2 Pewarna 5.3 Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes No.722/MenKes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

6 Cemaran Mikroba

6.1 Angka Lempeng Total 6.2 E.coli 6.3 Kapang Koloni/g APM/g Koloni/g Maks 1,0 x 106 Maks 10,0 Maks 1,0 x 104 7 Cemaran Logam : 7.1 Timbal (Pb) 7.2 Tembaga (Cu) 7.3 Seng (Zn) 7.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks 1,0 Maks 10,0 Maks 40,0 Maks 0,05 8 Arsen (As) mg/kg Maks 0,05

Pembentukan gluten sudah mulai terjadi pada proses pencampuran walaupun belum maksimal (Kruger dan Matsuo 1996).

Dokumen terkait