• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mie Basah Fortifikasi Spirulina dan Kerusakan Mikrobiologis pada Penyimpanan Suhu Chilling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mie Basah Fortifikasi Spirulina dan Kerusakan Mikrobiologis pada Penyimpanan Suhu Chilling"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Spirulina adalah mikroalga berukuran kecil, berwarna hijau, berbentuk spiral yang dapat hidup di perairan tawar dan laut. Mikroalga ini termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria). Spirulina termasuk organisme multiseluler. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang (Richmond 1988). Spirulina memiliki zat warna hijau daun (pigmen klorofil), sehingga mampu melakukan fotosintesis dengan bantuan air (H2O), CO2 dan sinar matahari yang dapat mengubah energi kinetik menjadi

energi kimiawi dalam bentuk biomassa atau yang lebih dikenal dengan karbohidrat. Ukuran Spirulina berkisar antara 3,5-10 mikron, sehingga diperlukan mikroskop untuk dapat melihatnya (Sugiyono dan Amini 2008).

Spirulina merupakan salah satu sumber protein yang terbaik di antara protein hewani dan nabati. Kandungan protein pada Spirulina lebih dari 60% (Tietze 2004), mikroalga ini juga mengandung 1,6% γ-asam linoleat (GLA) (Tanticharoen et al. 1994), asam amino esensial (Colla et al. 2004), vitamin B12 (Lorentz 1999), mineral dan tokoferol (Riyono 2008) dan klorofil sebesar 1% (Henrikson 2009). Spirulina juga terbukti mempunyai aktivitas antioksidan (Candra 2011) dan antiinflamasi (Rasool et al. 2006) yang sangat bermanfaat.

Cara yang paling efektif untuk memanfaatkan komponen yang terkandung di dalam Cyanobacteria ini adalah dengan mengkonsumsi langsung Spirulina sebagai tambahan makanan atau dalam bentuk kapsul (Saputra 2009). Spirulina telah lama dimanfaatkan sebagai makanan, pakan, suplemen, dan pangan fungsional (Gershwin dan Belay 2007).

Mie merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Masyarakat dewasa ini banyak mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pengganti beras, alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mengenyangkan. Harganya yang relatif murah dan terjangkau menyebabkan produk ini dapat dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat.

Mie basah (fresh noodle atau wet noodle) merupakan salah satu jenis

(2)

di Indonesia. Industri mie basah tersebar luas di banyak wilayah di Indonesia dan kebanyakan diproduksi oleh industri rumah tangga, dan industri kecil/menengah. Mie basah yang dikenal masyarakat terdapat dua jenis, yaitu mie mentah (raw noodle) dan mie rebus (cooked noodle). Kualitas, baik mutu organoleptik, fisikokimia, mikrobiologi maupun daya awet dari mie basah dapat bervariasi disebabkan oleh adanya perbedaan proses pengolahan dan penggunaan bahan tambahan. Mie basah dijual dalam bentuk segar baik dalam keadaan dikemas maupun curah, baik di pasar tradisional maupun supermarket.

Bahan-bahan utama pembuatan mie adalah terigu, air, dan garam, sehingga kandungan gizi tidak lengkap. Widaningrum et al. (2005) menyatakan mie basah yang beredar di pasaran memiliki kandungan gizi rendah dengan kadar air yang tinggi. Chamdani (2005) menyatakan bahwa mie basah dalam kondisi tidak ada penambahan bahan pengawet, umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang.

Spirulina dengan kandungan gizi yang sangat tinggi dan memiliki banyak manfaat merupakan salah satu bahan alami alternatif yang dapat digunakan untuk memperkaya kandungan gizi mie basah. Penambahan Spirulina ke dalam mie basah diharapkan mampu meningkatkan nilai gizinya, seperti protein, vitamin, dan serat. Spirulina juga mengandung klorofil yang dapat digunakan sebagai pewarna alami. Mie termasuk produk yang mudah rusak, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai penyimpanan mie basah dengan penambahan Spirulina pada suhu chilling.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain: 1 Menentukan formulasi mie basah Spirulina terpilih

2 Mempelajari karakteristik fisik dan kimiawi mie basah Spirulina

(3)

2.1 Spirulina

Spirulina adalah organisme mikroskopis dan merupakan prokariot berfilamen (Gershwin dan Belay 2007). Spirulina adalah organisme yang termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria). Organisme ini diberi nama Spirulina karena bentuk tubuhnya yang spiral, mempunyai ukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia. Spirulina dalam koloni yang besar berwarna hijau tua. Warna hijau tua ini berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Secara alami, Spirulina mampu tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan suhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis (Tietze 2004).

Secara taksonomi Spirulina (Garrity et al. 2001), diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Filum : Cyanobacteria Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscillatoriaceae Genus : Spirulina

Gambar 1 Spirulina

(Henrikson 2009)

(4)

pertumbuhan Spirulina umumnya antara 8-11, namun ada beberapa jenis Spirulina yang dapat bertahan hidup pada lingkungan dengan pH mendekati 7 atau di atas 11 (Richmond 1988).

Kualitas Spirulina sangat dipengaruhi sinar matahari, mineral dan nutrisi dalam air. Kandungan beta karoten akan semakin tinggi apabila kuantitas sinar matahari yang diperoleh maksimum (Tietze 2004). Spirulina dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Suhu optimum pertumbuhannya 35-38 °C, dan suhu minimum untuk mempertahankan pertumbuhan adalah 15-22 °C, serta pH dan alkalinitas yang tinggi. Media yang umum digunakan adalah Zarouk yang terdiri dari natrium karbonat/bikarbonat, sumber nitrogen, fosfor, besi, dan trace element lainnya (Gershwin dan Belay 2007).

Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari media melalui filtrasi. Negara bagian Afrika yang sedang berkembang, yaitu Chad,

melakukan pemisahan Spirulina hanya menggunakan kain penyaring sederhana (Angka dan Suhartono 2000). Menurut Desmorieux dan Decaen (2006), Spirulina

segar dapat difiltrasi dengan filter berukuran 20 μm.

Desmorieux dan Decaen (2006), menyatakan bahwa pengeringan Spirulina dapat dilakukan dengan pemanasan yang dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-60 °C. Suhu pengeringan diatas 60 °C akan menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi Maillard. Kondisi pengeringan secara konveksi pada lapisan tipis yang paling optimum dilakukan pada kondisi suhu dibawah 40 °C. Penyimpanan Spirulina dilakukan dalam keadaan kering karena Spirulina kering tidak mudah terfermentasi (Angka dan Suhartono 2000). Hasil penelitian Mohammad (2007) menunjukkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap jumlah klorofil dan protein. Spirulina fusiformis yang dikeringkan pada suhu 25-30 °C memiliki kandungan klorofil dan protein terbesar, yaitu 0,063% dan 58,25%.

(5)

klorofil a 0,61% (b/b), karotenoid 0,61% (b/b) dan fikosianin 19,85% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan sebesar 0,18 g/l, sedangkan

media sintetik mengandung klorofil a 0,54% (b/b), karotenoid 0,45% (b/b) dan fikosianin 14,17% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan

sebesar 0,28 g/l.

Olguin et al. (2001) melakukan penelitian terhadap biomassa kering yang dihasilkan dan protein yang terkandung di dalam Spirulina sp. yang dikultivasi pada media Zarouk dengan intensitas cahaya 66 µmol photon m-2s-1 dan 144 µmol photon m-2s-1 , dengan lama kultivasi 6 hari dan 12 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa biomassa dan protein tertinggi diperoleh dari kultivasi selama 12 hari dengan intensitas cahaya sebesar 144 µmol photon m-2s-1. Biomassa kering yang diperoleh sebesar 0,67 g/l, dan protein sebesar 0,42 g/l.

Cahaya merupakan faktor pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien dan temperatur. Ketersediaan cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel atau kepadatan

populasi (Tamiya 1957 diacu dalam Richmond 1988).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colla et al. (2007a) menunjukkan bahwa S. platensis yang dikultivasi dengan jumlah nitrogen dalam media dan temperatur yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap komponen fenol dan persen penghambatan terhadap pembentukan peroksidase. S. platensis yang dikultivasi dengan penambahan 2,5 g/l sodium nitrat dan suhu 35 °C mengandung komponen fenol dan persen penghambatan pembentukan peroksidase terbesar, masing-masing 4,9 µg/g dan 35%.

(6)

Adam (2005) menyebutkan bahwa Spirulina sebagai “superfood” menunjukkan efektifitas dalam penyembuhan dan pencegahan berbagai penyakit, seperti kanker, diabetes, obesitas, asma, tekanan darah tinggi, infeksi, peradangan, dan berbagai penyakit degeneratif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miladius et al. (2004) kepada olahragawan menunjukkan bahwa pemberian tiga tablet Spirulina per hari selama 14 hari dapat menurunkan berat badan dan lemak, serta menaikkan massa otot.

Spirulina mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Menurut Richmond (1988) hasil analisis asam amino dari

Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer ditemukan 18 asam amino. Protein Spirulina 65% lebih tinggi dibanding makanan alami

lainnya. Kelebihan Spirulina sebagai sumber protein adalah kandungan lemaknya 5%, dan sebagian besar merupakan lemak tidak jenuh. Hewan cenderung mengandung kolesterol dan lemak yang tinggi (Tietze 2004). Protein berfungsi sebagai pemberi kalori, bila jumah karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Berdasarkan sumbernya, protein terbagi menjadi dua, yaitu protein nabati dan protein hewani. Sumber protein hewani antara lain susu, ikan, daging dan telur. Sumber protein nabati antara lain kacangan-kacangan dan olahannya seperti tahu dan tempe (Muchtadi 2008). Salah satu sumber protein yang terbaik adalah Spirulina.

Kelebihan lain dari Spirulina yaitu kaya akan fitonutrien dan nutrisi fungsional yang menunjukkan efek positif bagi kesehatan (Henrikson 2009). Tietze (2004) menyebutkan bahwa Spirulina secara alami rendah kolesterol, kalori, lemak, dan sodium. Spirulina mengandung sembilan vitamin penting dan empat belas mineral yang terikat dengan asam amino. Hal ini memudahkan dan mempercepat proses asimilasi dengan tubuh.

(7)

Tabel 1 Kandungan mineral Spirulina

Sumber: Farms (1995) dalam Henrikson (2009)

Mikroalga seperti jenis Spirulina, Chlorella, Dunaliella, dan lainnya,

memegang peranan penting dalam dunia perairan, karena organisme air fotosintetik bersel tunggal menunjukkan kandungan protein yang tinggi.

Perbandingan kandungan protein Spirulina dengan mikroalga lain dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan protein beberapa jenis mikroalga

Jenis Mikroalga Protein

Chlorella 51-58

Dunaliella 57

Porphyridium 28-39

Scenedesmus 50-56

Spirulina 60-71

Sumber: Spolaore (2006)

Spirulina merupakan sumber terbaik vitamin B-12 (cobalamin) dibandingkan dengan hati sapi, tuna, telur, keju dan lain-lain. Kandungan vitamin B-12 besarnya lebih dari 300 µg per 100 g Spirulina. Kekurangan

vitamin B-12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa, degenerasi saraf dan lain-lain (Tietze 2004).

Spirulina platensis merupakan salah satu alga hijau biru yang banyak

tersebar di perairan tropis dan dapat tumbuh dengan baik di perairan laut. Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi saat ini menyimpulkan

bahwa Spirulina memiliki pengaruh baik terhadap sistem kekebalan tubuh. Mengacu sejumlah publikasi ilmiah, Spirulina mengandung antioksidan,

Komposisi

Mineral (per 1 gr)

(8)

antiinflamasi, serta neuroprotektif (Arlyza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Candra (2011), aktivitas antioksidan yang terkandung pada biopigmen Spirulina mendekati aktivitas antioksidan komersial BHT. S. platensis terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antikapang. Hasil penelitian Abedin dan Taha (2008) menunjukkan bahwa S. platensis mampu menghambat pertumbuhan mikroba antara lain Aspergillus flavus, Fusarium monilivorme, Candida albicans, Bacillus subtilis dan Pseudemonas aeruginosa.

2.2 Mie

Mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia. Sekitar 40% dari konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie. Di Indonesia pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie mencapai 60-70% (Kruger dan Matsuo 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia khususnya Indonesia.

Mie basah adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (BSN 1992). Berdasarkan cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah (contohnya mie ayam) dan mie basah matang (contohnya mie bakso), sedangkan berdasarkan jenis produk yang dipasarkan terdapat dua jenis mie yaitu mie basah dan mie kering. Perbedaan dari kedua produk ini adalah kadar air dan tahapan proses pembuatan (Pagani 1985). Syarat mutu mie basah menurut BSN (1992) disajkan pada Tabel 3.

(9)

Tabel 3 Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI01-2987-1992.

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992)

Mie basah umumnya terbuat dari tepung gandum (tepung terigu), air, dan garam dengan/tanpa penambahan garam alkali. Terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan mie basah. Fungsi terigu adalah sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur dan mengikat air. Garam alkali berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik (Astawan 1999).

Proses pembuatan mie basah matang meliputi pencampuran semua bahan menjadi adonan lalu dibentuk menjadi lembaran-lembaran tipis dengan mesin rollpress, diistirahatkan, kemudian dipotong menjadi benang-benang mie. Proses pencampuran bahan-bahan untuk menghasilkan adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga memicu terjadinya hidrasi tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna - Normal Normal Normal

2 Air % b/b 20-35

3 Abu (dihitung atas dasar bahan kering

% b/b Maks 3

4 Protein (Nx 6,25) dihitung atas dasar bahan kering

% b/b Min 3

5 Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks

5.2 Pewarna

5.3 Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes No.722/MenKes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

6 Cemaran Mikroba

6.1 Angka Lempeng Total 6.2 E.coli

6.3 Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks 1,0 x 106 Maks 10,0 Maks 1,0 x 104 7 Cemaran Logam :

7.1 Timbal (Pb) 7.2 Tembaga (Cu) 7.3 Seng (Zn) 7.4 Raksa (Hg)

mg/kg

(10)

Pembentukan gluten sudah mulai terjadi pada proses pencampuran walaupun belum maksimal (Kruger dan Matsuo 1996).

2.3 Serat Pangan (Dietary Fiber)

Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis dalam lambung dan usus kecil (Van Der Kamp 2004). Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat, yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin dan non karbohidrat misalnya polimer lignin, beberapa gumi dan mucilage. Dietary fiber pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan pada umumnya mengandung dietary fiber (Winarno 2008). Istilah serat pangan berbeda dengan serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat bahan pangan. Muchtadi (1989) menyatakan serat kasar adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang biasa digunakan untuk menentukan kadar serat kasar (asam sulfat dan natrium hidroksida), sedangkan serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan.

Serat pangan terbagi ke dalam dua kelompok yaitu serat pangan tak larut (insoluble dietary fiber) dan serat pangan larut (soluble dietary fiber). Serat pangan tidak larut contohnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang ditemukan pada serealia, kacang-kacangan dan sayuran. Serat pangan larut contohnya gum, pektin dan mucilago (Muchtadi 2001).

2.4 Kerusakan Mikrobiologis

(11)

dipecah menjadi gugusan peptida serta senyawa amida dan amoniak. Lemak dipecah menjadi asam-asam lemak dan gliserol (Muchtadi 2008).

Pertumbuhan mikroba terdiri dari beberapa fase, yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian dan fase kematian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba yang bersifat heterotrof adalah tempertur, tersedianya nutrient, air, oksigen dan adanya zat penghambat (Fardiaz 1992).

Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang, tekstur agak kenyal, tidak mudah putus. Akan tetapi, jika disimpan lama, mie akan mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Meunurut Hoseney (1998), jika mie basah mentah disimpan pada suhu lemari es, maka pada jam ke 50 hingga ke 60, warna mie basah mentah akan menjadi gelap.

Kerusakan mikrobiologis pada mie umumnya disebabkan oleh bakteri, kapang dan khamir. Tingginya kadar air pada mie, yaitu sekitar 20-35% pada mie basah mentah dan 52% pada mie basah matang (Sukowati 2007) menyebabkan mikroorganisme semakin mudah untuk tumbuh. Menurut Chamdani (2005), jumlah kapang pada mie basah mentah telah mencapai 3,8 x 104 koloni/g selama penyimpanan 48 jam. Jumlah maksimal kapang pada mie basah mentah adalah 1,0 x 104 koloni/g (BSN 1992).

Penggunaan bahan pengawet seperti formalin memang dapat memperpanjang umur simpan mie. Namun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (MenKes) Nomor 1168/MenKes/PER/X/1999, formalin merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang pada produk makanan.

2.5 Angka Kecukupan Gizi (AKG)

(12)

Almatsier (2003) menyebutkan bahwa perhitungan nilai energi makanan melalui perhitungan, dilakukan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut. Faktor Atwater merupakan angka konversi karbohidrat, lemak dan protein tiap gramnya dalam menghasilkan energi. Faktor Atwater untuk karbohidrat sebesar 4 kkal/g,

lemak sebesar 9 kkal/g dan protein sebesar 4 kkal/g.

Nilai energi= faktor Atwater x kadar gizi bahan pangan

(13)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November 2011 bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah Spirulina platensis yang diperoleh dari perusahaan di Jepara. Bahan utama lain

yaitu tepung terigu, garam, soda kue, margarin dan air. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain kertas saring, kapas bebas lemak, selenium, heksana, H2SO4, H3BO3 2%, NaOH 40%, HCl 0,1 N, akuades, bromcherosol green 0,1%, dan methyl red 0,1%. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi antara lain garam fisiologis, akuades, Nutrient Agar (NA) dan Potato Dextrose Agar (PDA). Bahan-bahan yang digunakan untuk uji serat antara lain etanol, akuades, Na2CO3 5%, reagen folin-ciocelteau 50% dan asam

galat.

Alat yang digunakan untuk pembuatan mie antara lain timbangan, baskom dan rollpress. Alat-alat yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain timbangan digital, cawan porselin, gegep, desikator, oven, kompor, tanur, pipet, bulb, labu kjeldahl, tabung sokhlet, labu lemak, desikator, buret, dan erlenmeyer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain timbangan digital, cawan petri, sudip, mortar, vortex, oven, inkubator, cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, erlenmeyer dan pipet volumetrik.

3.3 Metode Penelitian

(14)

perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG), pengukuran aktivitas air (aw), perhitungan TPC dan total kapang-khamir. Tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir metode penelitian. Bahan baku: tepung

terigu, margarin, air,

garam, soda kue Spirulina

Pembuatan mie basah dengan fortifikasi Spirulina (0%, 5%, 10% dan 15%)

Mie basah Spirulina

Pengujian organoleptik

Analisis proksimat: -Kadar air

-Kadar abu -Protein -Lemak

Formulasi terpilih

Penyimpanan mie basah Spirulina terpilih

dan mie kontrol pada suhu chilling (6-7°C)

selama 8 hari

Perhitungan AKG Analisis serat

Pengukuran kadar air Pengukuran

a

w
(15)

3.4 Pembuatan Mie Basah Spirulina

Mie basah yang dibuat pada penelitian ini diminimalisasi penggunaan bahan tambahan pangan. Bahan-bahan yang digunakan antara lain tepung terigu, margarin, air, garam dan natrium karbonat. Adapun komposisi masing-masing bahan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi mie basah (modifikasi Bogasari 2011)

Gambar 3 Diagram alir pembuatan mie basah (Bogasari 2011).

Metode yang digunakan dalam pembuatan mie basah mengacu pada Bogasari (2011). Pembuatan mie basah dimulai dengan menimbang terigu, kemudian pencampuran semua bahan-bahan dan aduk sampai rata. Saat adonan menjadi kalis, proses dilanjutkan dengan pembentukan lembaran. Setelah terbentuk lembaran, kemudian dilakukan penipisan lembaran hingga ketebalan

Komposisi Jumlah (gram)

Tepung terigu 100

Margarin 10

Air 28

Garam 1

Natrium karbonat 1

Pencampuran bahan

Pengadukan

Pembentukan lembaran

Penipisan lembaran

Pemotongan lembaran

(16)

yang diinginkan dan pemotongan lembaran. Persentase fortifikasi Spirulina yang ditambahkan sebesar 0%, 5%, 10% dan 15% (dihitung dari bobot terigu). Persentase tersebut ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan dengan persentase fortifikasi 2,5%. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan protein kecil, sehingga presentase dinaikkan. Penambahan Spirulina pada mie basah dilakukan saat pencampuran adonan. Sebelum dicampur, Spirulina dilarutkan dalam air terlebih dahulu agar homogen.

3.5 Penyimpanan Mie Basah Spirulina

Mie Spirulina terpilih disimpan pada suhu chilling, dalam lemari pendingin dengan suhu 6-7 °C. Kontaminasi dihindari dengan cara pengemasan mie dengan plastik mika. Penyimpanan mie dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Selama masa penyimpanan, dilakukan beberapa uji antara lain uji kadar air, aktifitas air, total bakteri, total kapang-khamir serta uji organoleptik. Pengujian dilakukan setiap dua hari sekali selama delapan hari penyimpanan.

3.6 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan untuk mendapatkan formulasi mie Spirulina terbaik meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan uji organoleptik. Mie Spirulina terpilih yang disimpan dilakukan analisis meliputi: serat pangan, total plate count (TPC), total kapang-khamir, aktivitas air (aw), dan

uji organoleptik.

3.6.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)

(17)

Perhitungan kadar air:

% kadar air = x 100 %

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

3.6.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Cawan abu porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram yang telah dihomomogenkan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 105 oC sampai tidak berasap. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 2-3 jam. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah itu cawan abu porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.

Perhitungan kadar abu: % Kadar abu: x 100 %

Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram) B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

3.6.3 Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Setengah butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan

(18)

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3)Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah (warna asam borat semula).

Perhitungan jumlah nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = x 100 %

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

3.6.4 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan

tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 oC dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:

(19)

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.6.5 Analisis serat pangan (dietary fiber) (Asp et al. 1983)

Analisis serat pangan dilakukan mengacu pada metode multi enzim (Asp et al. 1983). Serat pangan terdiri atas serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Analisis serat pangan diawali dengan menghaluskan sampel kemudian dihomogenkan dan diliofilisasi. Sampel yang akan digunakan adalah sampel dalam keadaan tanpa lemak dan air. Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi lemak dan pengeringan. Sampel tanpa lemak dan air ditimbang sebanyak 1 gram lalu ditambahkan 25 ml buffer phospat dan 0,1 ml enzim thermamil. Selanjutnya sampel dipanaskan pada suhu 80 °C selama 15 menit. Setelah dipanaskan, sampel didinginkan dan dilakukan pengaturan pH menjadi 1,5 dengan menggunakan HCl 4 N. Setelah dilakukan pengaturan pH, sampel ditambahkan suspensi pankreatin dan diinkubasi dalam suhu 37 °C selama 2 jam kemudian dilakukan pengaturan pH kembali dengan menggunakan HCl 4 N hingga diperoleh larutan sampel dengan pH 4,5.

1) Analisis serat pangan tak larut air (Insoluble Dietary Fiber)

Analisis serat pangan tak larut air dilakukan dengan menyaring larutan sampel pH 4,5 dengan kertas saring saring Whatman 40 hingga diperoleh filtrat dan residu. Residu yang diperoleh kemudian dibilas dengan akuades dan dicuci dengan 50 ml etanol 79%. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian kembali dengan menggunakan aseton lalu dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 °C selama 3 jam. Setelah dioven, sampel didinginkan dan ditimbang kemudian diarangkan dan ditanur dalam suhu 550 °C. Selanjutnya sampel didinginkan dan ditimbang lalu dilakukan perhitungan dengan rumus berikut.

(

) (

)

(

)

% 100 ) 100 / ( = − − − − × A blanko D E B C g g IDF Keterangan :

A = Berat sampel

B = Berat kertas saring kosong

C = Berat kertas saring + residu setelah dioven D = Berat cawan porselen kosong

(20)

2) Analisis serat pangan larut air (Soluble Dietary Fiber)

Analisis serat pangan larut air dilakukan dengan penambahan 400-500 ml etanol 95% pada filtrat yang diperoleh dari analisis serat pangan tak larut. Selanjutnya sampel dipanaskan hingga 60 °C dalam waterbath kemudian didiamkan selama 1 jam. Sampel disaring dengan kertas saring Whatman 40 hingga diperoleh residu dan filtrat. Residu yang diperoleh kemudian dibilas dengan akuades dan dicuci dengan 50 ml etanol 78% lalu dicuci kembali dengan aseton. Tahap selanjutnya sampel dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 °C selama 3 jam. Sampel didinginkan dan ditimbang kemudian diarangkan dan ditanur dalam suhu 550 °C. Sampel yang telah dingin selanjutnya ditimbang dan dilakukan perhitungan dengan rumus berikut.

(

) (

)

(

)

% 100 ) 100 / ( = − − − − × A blanko H I F G g g SDF Keterangan :

A = Berat sampel

F = Berat kertas saring kosong

G = Berat kertas saring + residu setelah dioven H = Berat cawan porselen kosong

I = Cawan porselen + abu setelah ditanur

3.6.6 Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992)

Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.

(21)

pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media Nutrient Agar merata.

Setelah Nutrient Agar membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 30 oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik. Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni percawan. Nilai TPC dapat dihitung dengan memakai rumus berikut:

Unit per ml atau gram = Jumlah koloni per cawan X

1

Faktor pengeceran Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:

1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

2) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.

3) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer.

4) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara jumlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua, maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah lebih besar dari dua, maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.

(22)

3.6.7 Total kapang-khamir (SNI 2332.7:2009)

Sebanyak 10 gram sampel yang dihaluskan terlebih dahulu, dilarutkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 90 ml larutan NaCl 0,85% (larutan garam fisiologis/garfis) sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml dari larutan tersebut dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan garam fisiologis untuk memperoleh pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan sampai didapat pengenceran 10-5. Dari setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media PDA merata.

Setelah PDA membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 30 oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik. Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 10-150 koloni per cawan. Nilai total kapang dan khamir dapat dihitung dengan memakai rumus berikut:

(

) (

)

[

n n

]

d

C N

× × + ×

=

2 1 0,1

1

Keterangan:

N : jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g

Σ C : jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung

n2 : jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung

d : pengenceran pertama yang dihitung

3.6.8 Pengukuran aktivitas air (

a

w) menggunakan aw-meter Shibaura WA-360

Alat yang digunakan untuk mengukur

a

w adalah

a

w-meter Shibaura WA-360. Mie diletakkan di dalam cawan sensor, kemudian cawan sensor dimasukkan ke dalam sensor

a

w-meter dan ditekan tombol Start untuk memulai pengukuran. Nilai A dapat dibaca pada layar setelah ada tulisan complete. Sebelum digunakan untuk mengukur mie, alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh. 3.6.9 Uji organoleptik/uji hedonik (Rahayu 2001)
(23)

adalah skala numerik dengan 9 skala. Pengujian organoleptik ini dilakukan untuk mendapatkan formulasi mie terbaik dan mengetahui perubahan penilaian panelis selama penyimpanan mie. Score sheet uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.7 Rancangan Percobaan dan Analisis Data a) Analisis proksimat (Steel dan Torry 1993)

Penelitian ini dilakukan dengan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model sebagai berikut :

Ŷij = µ + αi + εij Keterangan :

Ŷij = respon pengaruh konsentrasi pada taraf i ulangan ke-j µ = efek nilai tengah/nilai rata-rata sebenarnya

αi = pengaruh konsentrasi pada taraf ke-i

εij = pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j i = 0 %, 5 %, 10 %, dan 15 % ( penentuan formula mie terpilih )

Hipotesis yang diuji pada pembuatan mie basah dengan penambahan konsentrasi Spirulina adalah sebagai berikut :

H0 = Penambahan konsentrasi Spirulina yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik mie.

H1 =Penambahan Spirulina yang berbeda berpengaruh nyata terhadap karakteristik mie.

Data peubah yang diamati dianalisis secara statistik dengan analisis ragam. Pengujian lanjut Tukey dilakukan jika analisisnya berpengaruh nyata. b) Uji organoleptik (Steel dan Torry 1993; Daniel 1990)

Analisis non-parametrik yang dilakukan dalam pengujian adalah metode uji Kruskal-Wallis dan uji Dunn, yaitu :

a) Meranking data dari yang terkecil ke yang terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter.

(24)

Keterangan:

n = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan Ri = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i T = Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi

Keterangan:

Ri = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j K = Banyaknya ulangan

(25)

4.1 Penentuan Formulasi Mie Basah Spirulina Terpilih

Mie basah yang dibuat pada penelitian ini berbeda dengan mie basah yang telah ada di pasaran. Mie basah dibuat dengan penambahan Spirulina yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan gizi pada mie. Penelitian ini dibuat empat jenis mie dengan perlakuan penambahan konsentrasi Spirulina yang berbeda, yaitu sebesar 0%, 5%, 10% dan 15%. Mie basah dengan penambahan Spirulina 0%, 5%, 10% dan 15% dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Mie basah dengan penambahan Spirulina yang berbeda.

(26)

4.1.1 Komposisi kimia mie basah Spirulina

Bahan pangan yang baik yaitu bahan pangan yang mempunyai komposisi gizi yang lengkap meliputi air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Setiap komponen ini harus diketahui jumlahnya agar pemenuhan gizi dalam tubuh dapat terpenuhi secara tepat. Komposisi kimia ini dapat diketahui dengan cara analisis proksimat. Komposisi kimia Spirulina yang digunakan pada pembuatan mie Spirulina dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia Spirulina Komposisi kimia Jumlah (%)

Kadar air 5,86

Kadar abu 8,73

Protein 66,26

Lemak 2,40

Kadar air yang terkandung dalam Spirulina hanya sebesar 5,86%. Rendahnya kadar air ini karena pengeringan yang dilakukan menggunakan spray dryer dengan suhu 120 °C. Kadar abu dan lemak pada Spirulina masing-masing 8,73% dan 2,40%. Komposisi kimia yang terbesar dikandung oleh Spirulina adalah protein, yaitu sebesar 66,26%. Richmond (1988) menyatakan hasil analisis asam amino dari Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer ditemukan 18 asam amino. Berdasarkan hasil penelitian Choi et al. (2003) Spirulina yang dikultivasi selama 30 hari dengan urea sebagai sumber nitrogen memiliki kandungan asam amino tertinggi yaitu sebesar 173 mg/g berat kering.

(27)

Tabel 6 Komposisi kimia mie basah Spirulina.

Kode Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Mentah Matang Mentah Matang Mentah Matang Mentah Matang S0 31,04 59,82 1,38 0,50 9,53 5,74 5,67 2,17

S5 31,09 60,88 2,71 0,86 11,86 6,79 5,86 2,25

S10 29,78 60,62 2,82 0,89 12,41 7,60 6,10 2,43

S15 30,19 61,07 2,93 0,93 13,96 8,03 6,39 2,57 Keterangan:

S0 : mie dengan penambahan Spirulina 0%

S5 : mie dengan penambahan Spirulina 5%

S10 : mie dengan penambahan Spirulina 10%

S15 : mie dengan penambahan Spirulina 15%

Komposisi kimia mie basah Spirulina diuji dalam keadaan mentah dan matang. Mie basah Spirulina matang yaitu mie setelah direbus selama 2 menit pada suhu 100 °C. Pengujian komposisi kimia mie basah Spirulina matang dilakukan untuk mengetahui besarnya perubahan komposisi kimia mie basah Spirulina yang telah siap untuk dikonsumsi.

Penambahan Spirulina ke dalam mie basah secara umum memperlihatkan peningkatan terhadap komposisi gizi, terutama protein. Kandungan protein pada mie basah mentah meningkat cukup signifikan seiring dengan semakin banyaknya konsentrasi Spirulina yang ditambahkan yaitu sebesar 9,53% pada mie basah dengan penambahan Spirulina 0% dan 13,96% pada mie basah dengan penambahan Spirulina 15%. Hal yang sama terjadi pada mie basah yang telah matang. Semakin banyak Spirulina yang ditambahkan, semakin besar pula kandungan protein pada mie basah, yaitu sebesar 5,74% pada mie basah dengan penambahan Spirulina 0% dan 8,03% pada mie basah dengan penamban Spirulina 15%.

Besarnya peningkatan kandungan protein pada mie basah setelah penambahan Spirulina tidak sejalan peningkatan kadar air, kadar abu dan lemak. Hal ini karena kandungan air, abu dan lemak pada Spirulina yang ditambahkan tidak terlalu besar. Kadar air pada mie basah matang dengan penambahan Spirulina 0% dan 15% berturut-turut sebesar 31,04% dan 30,19%, sedangkan pada mie basah mentah berturut-turut 59,82% dan 61,07%.

(28)

dengan kadar abu mie basah tanpa penambahan Spirulina. Mie basah dengan penambahan Spirulina 15% memiliki kadar abu tertinggi, yaitu sebesar 2,93% pada kondisi mentah dan 0,86% setelah dimatangkan.

Kandungan lemak Spirulina hasil uji proksimat menunjukkan nilai yang terendah dibandingkan komposisi kimia yang lain. Hal ini menyebabkan penambahan Spirulina ke dalam mie basah tidak mengakibatkan perubahan kandungan lemak yang terlalu besar. Kadar lemak tertinggi terdapat pada mie basah dengan penambahan Spirulina 15%, yaitu sebesar 6,10% pada kondisi mentah dan 2,43% setelah dimatangkan.

1) Kadar air

Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Air merupakan komponen yang paling penting dalam bahan pangan, karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa bahan pangan. Kandungan air dalam bahan pangan juga menentukan daya terima, kesegaran, serta daya simpan bahan tersebut (Winarno 2008). Hasil analisis kadar air mie basah mentah dan matang dengan penambahan Spirulina yang berbeda disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kadar air mie basah Spirulina ( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar air dilakukan uji kenormalan untuk mengetahui

sebaran data. Data hasil analisis kadar air menyebar normal karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 (Lampiran 3), setelah diketahui bahwa data

(29)

(Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air yang terkandung di dalam mie basah. Hal ini terjadi baik pada mie basah mentah maupun pada mie basah matang. Besarnya kadar air yang terkandung pada mie basah matang berkisar antara 59,82%-61,07%, sedangkan mie basah mentah berkisar antara 29,78%-31,09%. Nilai ini sesuai dengan persyaratan mutu SNI 01-2987-1992 bahwa kadar air mie basah sekitar 20-35%. Besarnya kadar air pada mie basah mentah ini tidak jauh berbeda dengan kandungan air mie basah yang berada di pasaran. Menurut Widaningrum et al. (2005), kadar air mie basah di pasaran yaitu sebesar 31,2%.

Besarnya kadar air pada mie basah yang telah dimasak berkisar antara 59,82-61,07%. Adanya proses perebusan menyebabkan peningkatan kadar air sekitar 50%. Peningkatan ini disebabkan oleh sifat dari pati yang cenderung suka air (hidrofil). Winarno (1992) menyatakan apabila pati mentah dimasukkan ke air panas maka pati tersebut akan menyerap air dan membengkak (gelatinisasi). Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuannya untuk menyerap air sangat besar. Pemanasan menyebabkan air yang semula berada di luar granula bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, menjadi berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi. Hal itulah yang secara langsung mempengaruhi kadar air produk.

Kadar air pada masing-masing mie basah besarnya tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan penambahan air pada masing-masing adonan mie basah sama. Air merupakan bahan yang penting dalam pembuatan mie. Tanpa adanya air, pembentukan protein gluten yang elastis tidak dapat terjadi (Fu 2008).

2) Kadar abu

(30)
[image:30.595.123.477.90.284.2]

Gambar 6 Kadar abu mie basah Spirulina ( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar abu dilakukan uji kenormalan untuk mengetahui sebaran data. Data hasil analisis kadar abu tidak menyebar normal karena nilai p-value lebih kecil dari 0,05 (Lampiran 3), oleh karena itu dilakukan transformasi data dengan rumus (ln x)/234. Analisis ragam kemudian dilakukan setelah diketahui bahwa data menyebar normal. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05)

terhadap kadar abu mie basah, baik kondisi mentah maupun matang. Uji Tukey (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu mie basah, baik matang maupun mentah. Semakin besar penambahan Spirulina, semakin besar pula kadar abu di dalam mie basah. Kadar abu mie basah mentah pada penelitian ini berada pada rentang 1,38-2,93%. Nilai ini telah sesuai dengan persyaratan mutu berdasarkan SNI 01-2987-1992 yang menyatakan bahwa kandungan maksimal abu pada mie basah sebesar 3%. Kadar abu mie basah mentah yang dibuat pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mie basah yang berada di pasaran. Menurut Widaningrum et al. (2005), kadar abu pada mie basah yang berada di pasaran hanya mencapai 0,9%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan mineral pada mie basah komersial yang berada di pasaran lebih rendah.

(31)

hasil penelitian Lola (2009), perebusan menyebabkan penurunan kadar abu pada Solanecio biafrae dan Solanum nigrum hingga lebih dari 50%. Penurunan ini disebabkan oleh terlarutnya mineral pada saat proses perebusan. Penurunan kadar abu juga disebabkan oleh meningkatnya kadar air yang terkandung di dalam mie basah, sehingga rasio kadar abu menjadi rendah.

Kadar abu merupakan jumlah mineral yang terkandung di dalamnya. Kadar abu pada mie Spirulina lebih besar dibandingkan mie basah tanpa Spirulina. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan Spirulina dapat meningkatkan kadar abu. Henrikson (2009) menyatakan bahwa Spirulina mengandung mineral. Mineral yang terkadung dalam Spirulina antara lain kalsium, besi, magnesium, sodium, potasium, fosfor, seng, mangan, tembaga, dan krom. Kadar abu dalam bahan pangan seperti mie tidak boleh terlalu tinggi, karena kadar abu dalam mie dapat memberikan efek negatif terhadap warna mie (Hou dan Kruk 1998).

3) Kadar protein

(32)
[image:32.595.124.477.91.274.2]

Gambar 7 Kadar protein mie basah Spirulina ( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar protein dilakukan uji kenormalan untuk sebaran data. Data hasil analisis kadar protein menyebar normal karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 (Lampiran 3), setelah diketahui bahwa data menyebar normal, kemudian dilakukan analisis ragam. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein mie basah, baik kondisi mentah maupun matang. Uji Tukey (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein mie basah. Semakin banyak Spirulina yang ditambahkan semakin besar pula protein yang terkandung di dalam mie basah.

(33)

Kandungan protein mie basah mentah lebih besar bila dibandingkan mie basah matang (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa perebusan menyebabkan penurunan kandungan protein. Proses termal yang terjadi selama perebusan dapat menyebabkan protein terdenaturasi. Denaturasi merupakan proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbentuknya lipatan molekul (Winarno 1992). Menurut hasil penelitian Ju et al. (2001) suhu di atas 70 °C mengakibatkan denaturasi albumin, globulin, glutein, dan pati tepung beras. Kandungan protein di dalam mie basah selain meningkatkan mutu mie basah, juga akan menciptakan adonan yang liat sehingga tidak mudah putus (Fu 2008).

Banyak usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan kandungan gizi pada mie basah, salah satunya penambahan wortel ke dalam mie basah. Menurut Nasution et al. (2006) penambahan 50 g wortel (33,33% dari bobot terigu) hanya meningkatkan kandungan protein dari 23 g menjadi 23,5 g (2,17%). Penambahan 15% Spirulina mampu meningkatkan protein sebesar 4,43%, sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan Spirulina jauh lebih efektif dalam meningkatkan kandungan protein mie basah dibandingkan dengan wortel.

Spirulina yang digunakan pada penelitian ini mengandung protein sebesar 66,26%. Protein pada Spirulina tersusun dari beberapa asam amino. Hasil penelitian Choi et al. (2003) menunjukkan bahwa Spirulina yang dikultivasi selama 30 hari dengan urea sebagai sumber nitrogen mengandung asam amino yang terdiri dari leusin (15,6 mg), valin (13,2 mg), fenilalanin (8,7 mg), treonin (8,4 mg), lisin (7,0 mg), metionin (2,5 mg), dan triptofan (1,1 mg) yang dihitung per gram berat kering Spirulina. Protein memiliki fungsi penting di dalam tubuh antara lain berperan dalam pergantian sel-sel tua dengan sel-sel baru dan membantu mengatur tekanan osmosis dan keseimbangan pH pada cairan biologis (Hammond 2008). Protein juga berfungsi sebagai pemberi kalori, bila jumlah karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan tubuh (Muchtadi 2008).

4) Kadar lemak

(34)

lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal/g, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/g. Hasil analisis kadar lemak mie basah matang dan mentah dengan perlakuan penambahan Spirulina disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kadar lemak mie basah Spirulina ( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar lemak dilakukan uji kenormalan untuk sebaran data. Data hasil analisis kadar lemak menyebar normal karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 (Lampiran 3), setelah diketahui bahwa data menyebar normal, kemudian dilakukan analisis ragam. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak, baik kondisi mentah maupun matang. Uji Tukey (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak. Penambahan Spirulina menyebabkan kenaikan kadar lemak yang berbeda nyata kecuali pada mie basah dengan penambahan Spirulina 5% yang telah dimatangkan tidak berbeda nyata dengan mie basah tanpa penambahan Spirulina (0%).

(35)

penelitian Widaningrum et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah komersial yang berada di pasaran hanya mencapai 3,6%.

Spirulina mengandung asam lemak esensial (EFA) yang bermanfaat bagi tubuh. Asam lemak esensial (EFA) yang terkandung dalam setiap gram Spirulina sebesar 54,6 mg yang terdiri dari miristik (1 mg), palmatik (244 mg), palmitoleik (33 mg), heptadekanoik (2 mg), strearik (8 mg), oleik (12 mg), linoleik (97 mg), gamma-linolenic/GLA (135 mg) dan asam lemak lain (14 mg) (Henrikson 2009).

Kandungan lemak mie basah mentah lebih besar bila dibandingkan mie basah matang (Gambar 8). Perebusan mie basah menyebabkan turunnya kandungan lemak yang cukup besar. Menurut Winarno (2008) air merupakan salah satu penyebab turunnya kandungan lemak dari suatu bahan pangan. Air dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak. Hasil penelitian Domiszewski et al. (2011) menunjukkan bahwa kandungan lemak fillet ikan lele rebus (10,44%) lebih rendah di bandingkan filet ikan lele segar (12,14%). Jumlah lemak yang lebih rendah pada sampel yang direbus diduga sebagai akibat penyebaran lemak dalam air rebusan.

4.1.2 Penilaian organoleptik

Uji organoleptik pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu produk atau komoditi tertentu dapat diterima oleh konsumen. Oleh karena itu diperlukan panelis sebagai wakil dari konsumen.

Uji organoleptik dilakukan dengan cara memberikan penilaian menggunakan panca indra. Panca indra yang sering digunakan untuk menilai adalah panca indra penglihatan, penciuman, indra pengecap dan indra peraba. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah penampakan, aroma, tekstur dan warna.

1) Penampakan

Penampakan merupakan daya tarik awal suatu produk. Penilaian organoleptik penampakan merupakan penilaian secara keseluruhan konsumen terhadap suatu produk, dan umumnya konsumen cenderung memilih makanan yang memiliki penampakan yang menarik.

(36)

perlakuan penambahan Spirulina 0% sebesar 6,83 (agak suka), sedangkan nilai terendah pada perlakuan penambahan Spirulina 10% sebesar 5,27 (netral). Hasil pengujian penambahan Spirulina terhadap penilaian penampakan oleh panelis disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Nilai penerimaan panelis terhadap penampakan mie basah.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap penampakan mie basah. Perlakuan yang memberikan pengaruh nyata terhadap penampakan adalah penambahan 0% Spirulina dengan 5%, 10% dan 15%. Penampakan mie basah dengan penambahan Spirulina 5% tidak berbeda nyata dengan penambahan 10% dan 15% (Lampiran 6). Semakin banyak Spirulina yang ditambahkan, nilai penerimaan konsumen cenderung menurun. Hal ini dikarenakan makin banyak Spirulina yang ditambahkan, mie terlihat lebih gelap dibandingkan mie basah tanpa penambahan Spirulina.

2) Aroma

(37)
[image:37.595.131.462.89.257.2]

Gambar 10 Nilai penerimaan panelis terhadap aroma mie basah.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan uji Kruskal-Wallis yang dilakukan (Lampiran 7), aroma mie pada semua mie basah dengan penambahan Spirulina yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95% (P>0,05) dengan skor kesukaan berada pada selang 5,73 (netral) hingga 6,07 (agak suka). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan Spirulina pada mie basah tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma.

Aroma yang mendominasi mie basah tanpa penambahan Spirulina adalah aroma dari mentega. Hal ini berbeda dengan aroma pada mie basah dengan penambahan Spirulina, aroma Spirulina lebih dominan sehingga menutupi aroma mentega. Spirulina memiliki aroma khas karena kandungan proteinnya yang tinggi, menurut hasil penelitian Spolaore (2006) kandungan protein pada yaitu 60-71%. Namun perbedaan aroma ini ternyata tidak berpengaruh nyata pada nilai kesukaan panelis terhadap aroma mie.

3) Tekstur

(38)
[image:38.595.138.464.88.257.2]

Gambar 11 Nilai penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7), tekstur mie basah dengan penambahan Spirulina tidak memberikan pengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95% (P>0,05) dengan skor kesukaan berada pada selang 6,20 (agak suka) hingga 6,40 (agak suka). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan Spirulina pada mie basah tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tekstur.

Penambahan Spirulina meningkatkan penilaian panelis terhadap tekstur, namun kembali menurun pada penambahan sebanyak 15%. Tekstur mie basah tanpa penambahan Spirulina cenderung lebih lembek dibandingkan dengan mie basah yang ditambahkan Spirulina. Tekstur mie yang ditambahkan Spirulina lebih kenyal dan kompak. Spirulina yang ditambahkan memiliki kadar air yang sangat rendah karena dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Hal ini menyebabkan air yang terdapat di dalam mie tertarik oleh Spirulina sehingga tekstur mie menjadi lebih kenyal. Namun, penambahan Spirulina yang terlalu banyak menyebabkan tekstur mie menjadi lebih keras dan rapuh.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi tekstur adalah air. Tanpa adanya air, pembentukan glutein tidak akan terjadi (Fu 2008). Apabila glutein tidak terbentuk, maka tekstur mie tidak akan kaku dan tidak elastis. Namun selain air, garam juga berpengaruh pada tesktur mie.

4) Warna

(39)

mutu. Di antara produk-produk pangan, warna merupakan faktor yang paling cepat dan mudah memberikan kesan, tetapi sulit untuk diberi deskripsi dan sulit cara pengukurannya, sehingga penilaian secara subjektif masih sangat menentukan (Soekarto 1985).

[image:39.595.113.498.155.479.2]

Nilai penerimaan panelis terhadap warna mie berkisar antara 4,77 (agak tidak suka) sampai 6,93 (agak suka). Nilai penerimaan panelis tertinggi pada perlakuan penambahan Spirulina 0% sebesar 6,93 (agak suka), sedangkan nilai terendah pada perlakuan penambahan Spirulina 15% sebesar 4,77 (agak tidak suka). Hasil pengujian penambahan Spirulina terhadap penilaian warna oleh panelis disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Nilai penerimaan panelis terhadap warna mie basah.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) pada penilaian panelis terhadap warna. Hasil uji Dunn (Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Mie basah tanpa penambahan Spirulina (0%) berbeda nyata dengan penambahan 5%, 10% dan 15%.

(40)

Namun, panelis masih menyukai warna mie basah dengan penambahan Spirulina sebersar 5% yang terlihat dari nilai yang diberikan tidak berbeda nyata dengan mie basah tanpa penambahan Spirulina. Spirulina mengandung protein tinggi, hal ini dapat mengganggu tingkat kecerahan mie. Penambahan Spirulina lebih dari

5% menyebabkan warna mie menjadi hijau pekat (tidak cerah). Menurut Fu (2008) peningkatan kandungan protein dapat menurunkan nilai kecerahan mie. Warna yang semakin gelap dan tidak cerah ini menyebabkan penilaian panelis terhadap mie menjadi rendah.

Warna kuning pada mie basah tanpa Spirulina berasal dari pigmen alami yang berada pada gandum, yaitu xanthophylls. Tinggi rendahnya kandungan pigmen ini bergantung pada jenis gandum yang digunakan (Fu 2008). Warna hijau pada mie basah dengan fortifikasi Spirulina berasal dari pigmen alami Spirulina. Pigmen hijau alami tersebut adalah klorofil. Menurut

Bhattacharya dan Shivaprakash (2005) kandungan klorofil pada Spirulina platensis sebesar 12,7 mg/g, Spirulina laxissima sebesar 8,22 mg/g,

Spirulina lonar sebesar 11,73 mg/g. Kandungan klorofil pada Spirulina tidak selalu sama. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Chauhan dan Pathak (2010) dalam penelitiannya melaporkan S. platensis yang dikultivasi pada media Zarouk dengan suhu 28 °C dan intensitas cahaya 3,5 klux menunjukkan produksi biomassa dan klorofil terbaik bila dibandingkan dengan hasil pada media RM-6. Selain klorofil, Spirulina juga memiliki pigmen lain, yaitu karotenoid dan fikosianin yang potensial dijadikan sebagai pewarna alami.

Klorofil di dalam tubuh manusia memiliki peranan yang sama seperti hemoglobin yang berperan penting pada proses penyediaan oksigen ke seluruh sel dan jaringan tubuh (Astawan dan Kasih 2008).

4.2 Karakteristik Mie Spirulina Terpilih Dibandingkan dengan Mie Hijau Bayam Komersial

(41)

nyata dengan mie tanpa penambahan Spirulina. Selanjutnya mie basah dengan penambahan Spirulina 0% disebut sebagai mie kontrol. Mie basah mentah dengan penambahan Spirulina 5% mengadung kadar air sebesar 31,09%, kadar abu 2,71%, kadar protein 11,86% dan lemak sebesar 6,39%.

4.2.1 Komposisi kimia mie bayam

Mie hijau yang telah dipasarkan yaitu mie dengan penambahan bayam. Harganya yang relatif mahal dan penjualannya yang masih terbatas membuat mie ini hanya mampu dijangkau oleh kalangan tertentu saja. Karakter fisik mie bayam yaitu berwarna hijau pucat dengan tekstur kenyal. Aroma mie tidak tercium aroma bayam. Adapun komposisi kimia bayam disajikan pada Tabel 7 dan komposisi kimia mie bayam disajikan pada Tabel 8.

Tabel 7 Komposisi kimia bayam

Komposisi Jumlah (%)

Protein a) Lemak a) Karbohidrat a) Air a)

Serat pangan tidak larut b) Serat pangan larut b) Serat pangan total b)

3,50 0,50 6,50 86,90 5,68 0,56 6,24 Sumber: a) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)

b) Muchtadi (2000)

Tabel 8 Komposisi kimia mie bayam

Komposisi Kimia Mentah (%) Matang (%)

Kadar air 29,13 59,29

Kadar abu 2,06 0,62

Lemak 1,33 0,42

Protein 10,37 5,06

(42)
[image:42.595.126.478.86.224.2]

Gambar 13 Mie bayam komersil dan mie basah Spirulina terpilih.

Kandungan gizi mie basah Spirulina lebih besar dibandingkan dengan mie bayam karena kandungan gizi Spirulina jauh tebih tinggi dari bayam, khususnya protein. Besarnya penambahan bayam ke dalam mie bayam komersil yang telah diuji tidak diketahui jumlahnya, demikian juga komposisi bahan pembuatan mie bayam pun tidak diketahui. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan mie basah Spirulina hanya terdiri dari tepung terigu, mentega, Spirulina, air, garam dan soda kue, sehingga dapat dipastikan bahwa kandungan protein pada mie basah Spirulina hanya berasal dari Spirulina dan tepung terigu saja. Mie bayam komersial yang diuji memiliki warna hijau muda. Hal ini diduga bahwa penambahan bayam ke dalamnya hanya dalam jumlah sedikit. Kandungan protein mie bayam cukup tinggi, sedangkan kandungan protein pada bayam rendah, diduga protein pada mie bayam sebagian besar berasal dari telur yang digunakan sebagai bahan pembuat mie bayam.

4.2.2 Kadar serat pangan (dietary fiber)

(43)

Pengujian serat pangan dalam penelitian ini menggunakan metode multi enzim. Serat pangan yang diuji dalam penelitian ini meliputi serat pangan tak larut atau insoluble dietary fiber (IDF), serat pangan larut atau soluble dietary fiber (SDF) dan serat pangan total atau total dietary fiber (TDF). Kandungan serat pangan pada mie dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kandungan serat pangan mie basah

Jenis mie IDF (%) SDF (%) TDF (%)

Mie kontrol

Mie Spirulina terpilih Mie bayam komersil

0,93 1,50 0,65

0,89 2,56 1,00

1,82 4,04 1,65

Mie basah Spirulina terpilih mengandung serat pangan larut, serat pangan tak larut dan total serat pangan yang tertinggi dibandingkan mie bayam komersil dan mie kontrol. Perbedaan kandungan serat ini cukup besar. Penambahan Spirulina 5% mampu meningkatkan serat pangan tak larut sebesar 0,57%, serat pangan larut sebesar 1,67% dan total serat pangan sebesar 2,22%.

Total serat pangan yang terkandung pada bayam lebih tinggi bila dibandingkan dengan total serat pada Spirulina. Total serat pangan pada bayam sebesar 6,24% (Muchtadi 2000), sedangkan pada Spirulina sebesar 3,60% (Astawan dan Kasih 2008). Namun berdasarkan hasil uji total

serat pangan pada mie Spirulina terpilih lebih tinggi dibandingkan dengan mie bayam komersial. Hal ini diduga penambahan bayam pada mie bayam komersial hanya dalam jumlah sedikit.

Menurut Saragih et al. (2007) kandungan serat pada bahan pangan bersinergi dengan kadar air. Makin tinggi kandungan serat, makin tinggi pula kadar air yang terkandung di dalam mie. Hal ini dikarenakan serat mampu mengikat air sehingga kadar air yang terkandung di dalam mie meningkat.

(44)

Serat pangan banyak memberikan manfaat bagi tubuh. Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya keterkaitan antara konsumsi serat dengan resiko penyakit jantung koroner dan beberapa jenis kanker. Serat juga mampu menurunkan resiko diabetes dan obesitas (Lattimer dan Haub 2010; Burkitt dan Trowell 1977). Studi yang

dilakukan oleh Kendall et al. (2010) menunjukkan bahwa mengonsumsi makanan tinggi serat dan rendah gliceamic index (GI) tidak hanya dapat meningkatkan kontrol terhadap nilai gliceamic tetapi juga mampu menurunkan berat badan. Hasil penelitian Ou et al. (2001) menunjukkan bahwa SDF mampu menghambat difusi glukosa dan memperlambat penyerapan dan proses pencernaan karbohidrat, sehingga mampu menurunkan kadar glukosa dalam darah. IDF mampu menurunkan waktu transit pada usus dan meningkatkan massa feses (Schneeman, 1990)

4.2.3 Angka kecukupan gizi (AKG) mie Spirulina terpilih

Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal(Khomsan 2002). Widya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004), menyatakan bahwa kebutuhan minimal energi adalah 2000 kkal, karbohidrat 300 g, protein 60 g, dan lemak 62 g. Angka kecukupan gizi mie Spirulina disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Angka kecukupan gizi (AKG) mie basah Spirulina Takaran saji

Per sajian kemasan

45 g Energi total 149,24 kkal

Nutrisi Total nilai gizi % AKG

Protein Lemak Karbohidrat

4,33 g 0,97 g 23,22 g

4,33 1,45 9,29

* Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal.

(45)

dan fungsinya (Winarno 1992) karbohidrat memiliki persentase AKG tertinggi dibandingkan lemak dan protein, yaitu sebesar 9,29%. Karbohidrat terbesar berasal dari tepung terigu yang merupakan bahan utama yang presentasenya paling tinggi di bandingkan bahan lain yaitu sebesar 69%. Menurut Winarno (1992) karbohidrat sebagai sumber energi, banyak terdapat dalam bahan pangan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentose maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati.

Zat gizi makro tertinggi kedua setelah karbohidrat yang terkandung dalam mie Spirulina ada protein. Protein dalam mie basah Spirulina ini menyumbangkan 4,33% dari angka kecukupan gizi yang diperlukan oleh manusia. Protein dalam mie basah Spirulina ini paling berasal dari tepung terigu dan Spirulina. Menurut Hammond (2008) The Dietary Reference Intake (DRI) Committee Institute of Medicine’s Food and Nutrition Board merekomendasikan kebutuhan protein orang dewasa sekitar 0,8 g/kg atau 56 g/hari untuk orang dewasa dengan berat badan 70 kg. Kekurangan protein dapat menyebabkan kwashiorkor.

Lemak yang terkandung dalam mie basah Spirulina mampu memenuhi 1,45% dari angka kecukupan gizi yang diperlukan manusia. Bahan penyumbang lemak terbesar pada mie basah Spirulina adalah margarin. Adanya lemak pada bahan pangan mampu memperlambat sekresi asam lambung dan memperlambat pengosongan lambung sehingga mampu memberikan rasa kenyang lebih lama. Lemak juga mampu memperbaiki tekstur sehingga lebih disukai dan memberi kelezatan khusus pada makanan (Almatsier 2004).

Total energi yang dihasilkan mie basah Spirulina berdasarkan perhitungan nilai gizi bahan yaitu sebesar 149,24 kkal. Untuk memenuhi kebutuhan kalori per hari, dapat dilakukan dengan menambahkan bahan pangan lain seperti ayam, telur, sayur atau bahan lainnya dalam penyajian mie basah Spirulina.

4.3 Kerusakan Mie Basah Spirulina Terpilih pada Penyimpanan Suhu

Chilling

(46)

Selama penyimpanan, setiap dua hari dilakukan pengujian yang meliputi pengukuran aktivitas air (

a

w), pengukuran kadar air, pengujian total bakteri, pengujian kapang-khamir serta pengujian organoleptik.

4.3.1 Aktivitas air (

a

w) [image:46.595.114.504.147.579.2]

Aktivitas air merupakan derajat ketersediaan air yang digunakan oleh aktivitas mikroba (Fardiaz 1992). Nilai

a

w suatu bahan pangan menunjukkan jumlah air pada bahan pangan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk hidup atau pertumbuhannya. Nilai

a

w mie basah Spirulina terpilih dan mie kontrol selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Perubahan

a

w mie basah selama penyimpanan suhu chilling ( = mie kontrol; = mie basah Spirulina).
(47)

pengawet dan hidrokoloid mampu menurunkan nilai

a

w. Hasil penelitian Sukowati (2007) menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid CMC sebanyak 0,2%, pengawet Na-asetat 25% + Ca-propionat 50% + K-sorbat 25% mampu menurunkan nilai

a

w dari 0,90 menjadi 0,88.

Nilai aw mie basah berada pada rentang 0,85-0,95. Besarnya nilai

a

w ini menyebabkan mie basah sangat berpotensi untuk ditumbuhi mikroba khususnya bakteri dan khamir. Winarno (2002) menyebutkan bahwa berbagai mikrooganisme memiliki

a

w minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya

a

w bakteri sebesar 0,90,

a

w khamir 0,80-0,90 dan

a

w kapang 0,60-0,70.

4.4.2 Kadar air

[image:47.595.107.503.73.843.2]

Kadar air sangat menentukan sifat dari tekstur mie. Semakin rendah kadar air, semakin keras mie dan sebaliknya. Perubahan kadar air pada mie basah Spirulina dan mie kontrol dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Perubahan kadar air mie basah selama penyimpanan ( = mie kontrol; = mie basah Spirulina).

(48)

berbanding lurus dengan nilai

a

w. Penurunan kadar air mie menyebabkan tekstur mie menjadi lebih keras.

Mie basah yang disimpan, biasanya akan mengalami peningkatan kadar air sehingga mie menjadi basah. Hal ini tidak terjadi baik p

Gambar

Gambar 6  Kadar abu mie basah Spirulina
Gambar 7  Kadar protein mie basah Spirulina
Gambar 10  Nilai penerimaan panelis terhadap aroma mie basah.
Gambar 11  Nilai penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa karya ilmiah / skripsi yang berjudul, “PENGARUH SUHU SUHU DAN LAMA PENGERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN CABINET DRYER TERHADAP KADAR AIR, PROTEIN DAN LEMAK PADA

Berdasarkan uraian hasil perhitungan menggunakan model Arrhenius terhada nilai TVB dan pH daging sapi, maka suhu refrigerasi dapat memperpanjang masa simpan daging

(4) Konsentrasi pelapisan Aloe vera 75% dan suhu penyimpanan 10 o C memiliki pertumbuhan cendawan yang terendah pada akhir penyimpanan salak pondoh yaitu sebesar 1.3 x

Berdasarkan uraian hasil perhitungan menggunakan model Arrhenius terhada nilai TVB dan pH daging sapi, maka suhu refrigerasi dapat memperpanjang masa simpan daging

Komposisi asam lemak dari minyak kelapa mengandung ekstrak tomat dan minyak kontrol (tanpa ekstrak tomat) pada beberapa suhu pemanasan disajikan pada Tabel 4.. Minyak yang

Insersi teknologi hurdle pada industri rumah tangga pengolahan mie basah dengan kombinasi penambahan ekstrak kunyit 3% dan penyimpanan dingin mampu meningkatkan

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi suhu dan lama penyimapanan terhadap kualitas gizi pada ASI yaitu kadar laktosa, protein

lain tingginya populasi Bifidobacterium bifidum pada starter yang digunakan dan tingginya kandungan total bahan padat pada adonan es krim seperti kandungan gula , protein dan lemak