• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

B. Lembaga Musyawarah

Tradisi itu dilanjutkan oleh keempat Kalifah yang menggantikan Rasulullah. Yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Misalnya, masalah suksesi jabatan khalifah dipecahkan melalui musyawarah di antara tokoh-tokoh Madinah ketika itu yang pada umumnya adalah para sahabat Rasul.

Kemudian, dalam sejarah Islam di zaman pemerintahan Abbasiah ada suatu lembaga musyawarah yang disebut Dewan Syura sebagaimana dicatat oleh Abdul Malik al-Sayed. Anggota-anggota Dewan Syura ini adalah pilihan rakyat dan dewan ini pula yang memilih kepala pemerintahan propinsi.7

Pada masa kini musyawarah dapat dilaksanakan melalui suatu lembaga pemerintahan yang disebut dewan perwakilan atau apa pun namanya yang sesuai dengan kebutuhan pada suatu waktu dan tempat. Aplikasi musyawarah termasuk dalam bidang atau lingkup wilayah ijtihad manusia. Bagaimana bentuk dan cara musyawarah yang terbaik menurut suatu ukuran masa dan temapat, maka bentuk dan cara itulah yang digunakan. Baik al-Qur'an maupun tradisi Nabi sama sekali tidak menetukan hal ini. Ini mengandung suatau hikmah yang besar bagi manusia. Artinya, muyawarah sebagai suatu prinsip konstitusional yang digariskan dalam al-Qur'an dan diteladankan melalui tradisi nabi tidak perlu berubah. Namun aplikasi dan pelaksanaannya selalu dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat. Institusi-institusi politik dan negara dalam sejarah manusia selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Maka aplikasi musyawarah dalam nomokrasi Islam boleh mengikuti bentuk dan cara lembaga-lembaga politik dan negara yang selalu berubah dan berkembang itu sejauh tidak bertentangan atau menyimpang dari jiwa al-Qur'an dan tradisi Nabi.

B. Lembaga Musyawarah

Musyawarah sebagai salah satu prinsip Negara dan pemerintahan Islam memiliki kedudukan penting dan strategis dalam kehidupan umat manusia. Syura ini adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh

4

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1 h. 115. 7 Ibid., h. 116.

5

Menurut Muhammad Asad, kalimat bainahum, dalam ayat 38 dalam surat al-Syura di atas, merujuk pada seluruh masyarakat Islam dan karenanya Majelis Pemusyawaratan tidak bisa tidak harus mencerminkan kepentingan seluruh anggota masyarakat, pria maupun wanita. Sifat representative seperti ini, tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali dengan jalan pemilihan umum yang bebas, artinya para anggota majelis permusyawaratan itu harus dipilih melalui kebebasan hak (memilih) yang seluas mungkin diberikan kepada masyarakat baik pria maupun wanita, berdasarkan hak suara mereka.8

Dalam pelaksanaan musyawarah di suatu Negara yang heterogen dengan berbagai persoalan yang juga heterogen, mereka terlibat dalam musyawarah adalah mereka yang memiliki pendapat, tokoh pemikir dan para spesialis yang memiliki pandangan medalam tentang berbagai aspek kehidupan, mereka yang memiliki pemikiran yang jernih mengenai berbagai kemaslahatan umat yang beragam, seperti persoalan politik dalam negeri dan luar negeri atau persoalan peperangan dan perdamaian, masalah ekonomi, pertanian, perdagangan, peradilan, juga persoalan keagamaan dan lin-lain. Al-Qurthubi meriwayatkan dari Ibnu Khuwayz Mindad bahwa penguasa harus bermusyawarah dengan ulama mengenai masalah-masalah agama dan hukum, dengan ahli militer tentang urusan-urusan militer, dengan tokoh masyarakat mengenai kesejahteraan dan dengan materi, sekretaris, serta gubernur daerah mengenai pembangunan negeri. Gagasannya adalah adanya penasihat-penasihat yang ahli dalam berbagai bidang agama dan duniawi.

Meskipun musyawarah itu merupakan hal penting dalam suatu masyarakat, namun dalam QS:3;159,9 dan QS: 42;38,10 tidak ditemukan tentang bagaimana musyawarah itu dilaksanakan. Menurut Muhammad al-Ghazali, yang penting bukan syura macam apa yang harus kita jadikan pegangan. Tetapi bagaimana kita mempersiapkan jaminan-jaminan seerta

Ridwan HR., Fiqih Politik, (Jakarta: FH UII Press, 2007), Cet. Ke-1, h. 289. 8

9 "Maka disebabkan rahmat dari Allah- lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad , maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".

10

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka".

6

keberhalaan.

Telah jelas bahwa mekanisme musyawarah itu tidak ditentukan oleh al-Qur'an dan Hadis Nabi. Rasulullah sendiri kadang-kadang bermusyawarah dengan para sahabat pada saat etrtentu dan kadang-kadang pula memanggil tokoh-tokoh tertentu dari kalangansahabat, dan kadang-kadang hanya meminta pendapat dari salah seorang dari sahabat seperti Hubab bin al-Mundzir pada peristiwa perang Badar. Hal ini bearti tidak ada mekanisme tunggal dalam bermusyawarah yang dilakukan Rasulullah yang harus dijadikan rujukan, di samping itu tentu saja belum ada kebutuhan untuk membentuk lembaga khusus untuk pelaksanaan musyawarah. Dengan demikian, pelaksanaan musyawarah itu tergantung subyek dan materi, hal ini karena muyawarah dapat terjadi pada kelompok besar ataupun kecil, seperti antara suami dan istri, anggota keluarga, antar tetangga, anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kemaslahatan umat. Pada kelompok kecil, tentu dilakukan oleh anggota yang ada, sedangkan untuk kelompok besar akan lebih efektif jika dilakukan dengan perwakilan. Forum pertemuan para wakil ini kemudian diwujudkan dalam bentuk lembaga perwakilan atau majelis permusyawaratan, dan anggotanya disebut ahlul halli walaqdi.

Dengan menempatkan musyawarah sebagai prinsip penyelenggaraan negara dan pemerintahan Islam, keberadaan lembaga perwakilan atau majelis permusyawaratan ini sangat penting dan strategis serta dapat diposisikan dalam beberapa fungsi: pertama, fungsi bai'at, untuk pemilihan dan pengangkatan kepala negara, khususnya ketika pemilihan kepala negara itu berdasarkan system perwakilan; kedua, fungsi konsultatif begi kepala negara. Dalam hal ini pemerintah dapat meminta pertimbangan-pertimbangan wakil rakyat, ketika akan mengambil kebijakan-kebijakan yang menyangkut rakyat banyak; ketiga, fungsi legislasi,yang dalam hal ini kesepakatan dari hasil proses musyawarah yang berlangsung dalam lembaga ini akan menjadi peraturan perundang-undangan yang mengikat semua pihak, baik warga negara, pemerintah, maupun anggota lembaga legislatif. Khusus dalam hal kegiatan di bidang legislasi atau pembuatan peraturan perundang-undangan, terdapat tiga perinsip, yakni;

11

7

2. menyelaraskan hukum-hukum yang ada dengan al-Qur'an dan Sunnah;

3. membuat perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah.12

Di atas

Maududi mengatakan;

"sebagai konsekuensi logis dari kedaulatan ini, organisasi-organisasi politik negara Islam disebut khilafah. Manusia merupakan khalifah Tuhan di bumi dan sebagai seorang khalifah maka tugas hidupnya adalah melaksanakan dan menegakkan perintah dari emegang kedaulatan. Menurut QS: 2;30, khilafah berarti orang yang menikamti hak-hak dan kekuasaan tertentu yang bukan haknya sendiri, melainkan hak sebagai wakil atas kuasa Tuhannya. Dia tidak bebas melakukan apa pun yang dikehendakinya, tetapi harus bertindak sesuai dengan pengarahan dari prinsip-prinsipnya."

Berdasarkan pendapat Maududi ini tampak bahwa kedaulatan dalam suatu negara Islam itu hakikatnya milik Tuhan, dan dijalankan oleh umat Islam atas dasar delegasi. Atas dasar ini kemudian Maududi mengintrodusir konsep theodemokrasi, seperti telah di sebutkan di atas, yakni suatu system pemerintahan demokrasi Ilahi, karena, di bawah naungannya kaum Muslim telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Eksekutif yang terbentuk berdasarkan sistem pemerintahan semacam ini dibentuk berdasarkan kehendak umum kaum Muslim yang juga berhak menumbangkannya. An-Naim menyatakan, jika ummah merupakan wakil kolektif kedaulatan Tuhan, maka mereka berhak untuk menunjuk wakil-wakilnya untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan dan mempertanggungjawabkan kepada ummah sebagai agen kedaulatan Tuhan yang asli.

12

8

Di antara perkataan para fukaha juga: "rakyat boleh memberhentikan pemimpin dan memcatnya dengan satu sebab yang mengharuskan hal itu, misalnya dia terbukti melakukan sesuatu yang menimbulkan kekacauan pada kaum muslimin dan menjelekkan agama, sebagaimana mereka juga berhak mengangkat pemimpin dan menobatkannya karena dia melakukan reformasi pada kaum muslimin dan menjunjung tinggi perkara agama.14

Adapun yang dimaksud dengan musyawarah dalam istilah politik adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Jika hak partisipasi rakyat ini tidak ada dalam masalah-masalah hukum, maka sistem hukum itu adalah sistem hukum diktatorial atau totaliter. Jika dinisbatkan kepada system Islam, maka kediktatoran itu diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan akidah dan syariat.

Ibnu Taimiyah berkata : "Pemimpin tidak boleh meningglakan musyawarah, sebab Allah SWT memrintahkan Nabi-Nya dengan hal itu."

Al-Qurthubi menukil dari Ibnu Athiyah sebagaimana dinukilkan juga oleh Ibnu Hayyan dalam Al-Bahru Al-Muhith: "Musyawarah termasuk salah satu kaidah-kaidah syariat dan sendi-sendi hokum. Pemimpin yang bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka wajib diberhentikan. Hal ini ketentuan yang tidak ada yang membantahnya."15 Sangat benar bahwa politik pada hakikatnya tidak lain kecuali partisipasi bersama pemimpin serta memberikan arahan kepadanya, dan inilah kandungan amarma'ruf nahi munkar.

Dokumen terkait