• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

C. Pengawasan Merupakan Prinsip Penyempurna Musyawarah

Di antara perkataan para fukaha juga: "rakyat boleh memberhentikan pemimpin dan memcatnya dengan satu sebab yang mengharuskan hal itu, misalnya dia terbukti melakukan sesuatu yang menimbulkan kekacauan pada kaum muslimin dan menjelekkan agama, sebagaimana mereka juga berhak mengangkat pemimpin dan menobatkannya karena dia melakukan reformasi pada kaum muslimin dan menjunjung tinggi perkara agama.14

Adapun yang dimaksud dengan musyawarah dalam istilah politik adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Jika hak partisipasi rakyat ini tidak ada dalam masalah-masalah hukum, maka sistem hukum itu adalah sistem hukum diktatorial atau totaliter. Jika dinisbatkan kepada system Islam, maka kediktatoran itu diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan akidah dan syariat.

Ibnu Taimiyah berkata : "Pemimpin tidak boleh meningglakan musyawarah, sebab Allah SWT memrintahkan Nabi-Nya dengan hal itu."

Al-Qurthubi menukil dari Ibnu Athiyah sebagaimana dinukilkan juga oleh Ibnu Hayyan dalam Al-Bahru Al-Muhith: "Musyawarah termasuk salah satu kaidah-kaidah syariat dan sendi-sendi hokum. Pemimpin yang bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka wajib diberhentikan. Hal ini ketentuan yang tidak ada yang membantahnya."15 Sangat benar bahwa politik pada hakikatnya tidak lain kecuali partisipasi bersama pemimpin serta memberikan arahan kepadanya, dan inilah kandungan amarma'ruf nahi munkar.

C. Pengawasan Merupakan Prinsip Penyempurna Musyawarah

Pada hakikatnya tersimbol dalam tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan, berarti mewujudkan partisipasi politik rakyat dalam segala perkara-perkara umum dan juga dalam hokum, berawal dari kewajiban memberikan nasihat (yang tulus) yang mana telah diperintahkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadist yang masyhur;

13

Ibid., h. 295 14

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Sinar Ggrafika Offset, 2005), h. 38. 15

9

Apabila mereka bernasihat dengan ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya… (QS. At-Taubah (9): 91)

Lalu seterusnya melewati fase-fase mengubah yang mungkar sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw. Dalam sabda beliau: Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengantangannya. Jika dia tidak sanggup maka ubahlah dengan lisannya, lalu jika dia tidak sanggup juga maka ubahlah dengan hatinya, dan sikap itu adalah selemah-lemah iman.17

Partisipasi berpolitik di sini, yakni di bidang pengawasan atas kerja pemerintah, tugas mengubah yang harus dipikul oleh rakyat, sebagai amanah di atas pundakmereka saat pemimpin mereka sudah mulai menyimpang dan keadaan sudahmulai rusak sebagi refleksi undang-undang Ilahi dalam tanggung jawab perubahan yang dipikulkan kepada rakyat dalam kapasitasnya sebagai "umat pemelihara syariat, bukan pemimpin".

Begitu juga hak pilih rakyat untuk para wakilnya pada Ahlu Halli wal Aqdi, yakni lembaga yang mewakili mereka untuk melaksanakan tugas pengawasan atas mereka yang memiliki kekuasaan.

Lembaga itu (dewan eksekutif dan legislatif) saling menyempurnakan (integreted) dalam mewujudkan tujuan dua ayat yang diturunkan tentang perihal para pemimpin dan perihak rakyat, dalam surah An-Nisa yangmenjadi landasan Ibnu Taimiyah dalammenyusun bukunya yang berjudul Ar-Risalah Asy-Syar'iyyah fi Ishlah Ar-Ra'I wa Ar-Ra'iyah.18

Apabila seorang waliyyul-amri bermusyawarah dengan mereka, sementara sebagian mereka menegurnya, bahwa apa yang harus diikuti dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya

16

HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitabul Iman, juz 1, hlm.54. 17

HR. Muslim dalamShahih-nya. Lihat: Mukhtshar Shahih Muslim, Al-Hafizh Al-Mundziri, juz 1, hlm. 16.

18

10

Sunnah Rasul-Nya, meskipun dia berkedudukan tinggi dan mempunyai status sosial yang mapan di dunia. Allah SWT. berfirman, "

Artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri dari golonganmu." (Q.S. an-Nisa : 59)

Apabila ada permasalahan yang diperselisihkan oleh kaum Muslimin, maka hendaklah setiap orang dari mereka mengeluarkan pendapatnya yang terarah dan tepat yang mengacu pada al-Qur'an dan as-Sunnah. Oleh karenanya, setiap pendapat yang mempunyai kesamaan dengan apa yang tertera dalam al-Qur'an dan as-Sunnah haruslah diperhitungkan untuk dipakai sebagaimana firman Allah, "Maka jika engkau berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul apabila engkau beriman kepada Allah dan Hari Akhir." (Q.S. an-Nisa' : 59).

Ada dua golongan yang masuk kategori ulil amri, yakni ulama dan umara. Jika keduanya saleh, seluruh umat tentu saja akan menjadi saleh juga. Oleh karena itu, keduanya harus berhati-hati dalam berucap dan bertindak sebagai realisasi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti (berittiba') kepada Kitab-Nya. Maka jika dalam masalah-masalah yang musykil memungkinkan baginya untuk merujuk pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dia pun wajib menerapkannya. Tetapi bila tidak memungkinkan karena sempitnya

11

Akhirnya, suatu hal penting yang perlu diperhatikan dalam prinsip musyawarah ini ialah bahwa dari segi hukum Islam manusia dibenarkan melakukan musyawarah hanya dalam hal yang ma'ruf atau kebaikan. Karena itu musyawarah dilarang untuk digunakan dalam hal-hal yang mungkar.

Kesimpulan

Di dalam al-Qur'an terdapat prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam Ketatanegaraan Islam, yaitu terdapat di dalam surah Asy-Syura/ 42:38 dan Ali Imran/3: 159.

Muyawarah merupakan suatu perintah dari Allah SWT sebagaimana digariskan dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.

Dalam sebuah penyelenggaraan kekuasaan negara umat Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan terutama dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan negara. Tujuannyauntuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum dan rakyat.

Musyawarah tidak mungkin dilaksanakan anatra seluruh rakyat, maka musyawarah dilaksanakan antar kelompok yang benar-benar mewakili rakyat yang dapat dipercaya dan merasa tenang dengan keputusan mereka. Mereka itu tidak lain melainkan Ahlul Halli wal Aqdi (Dewan Perwakilan Rakyat). Metode ini sekarang dinamakan dengan "Politik Kekuasaan Negara".

19

Rofi Munawwar (Ibnu Taimiyah), Siyasah Syar'iyyah: Etika Politik Islam, (Jakarta: Risalah Gusti, 2005), h. 223.

12

Tahir Azhary, Muhammad. Negara Hukum Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Yofia Mulia Offset, 2007.

Ridwan HR. Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan. Jakarta: FH UII Press, 2007. Abdul Khaliq, Farid. Fikih Politik Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005.

Munawwar, Rofi. Siyasah Syar'iyyah: Etika Politik Islam oleh Ibnu Taimiyah. Surabaya: Risalah Gusti, 2005.

Syarif, Mujar Ibnu dan Zada, Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga, 2008.

Dokumen terkait