• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Lumbung Pangan

Lumbung pangan merupakan lembaga cadangan pangan di daerah perdesaan, berperan dalam mengatasi kerawanan pangan masyarakat. Lumbung pangan telah ada sejalan dengan budaya padi dan menjadi bagian dari sistem cadangan pangan masyarakat. Keberadaan lumbung pangan cenderung menurun karena beberapa sebab, yaitu: (a) penerapan revolusi hijau yang mengintroduksikan teknologi padi unggul, dan modernisasi pertanian dinilai tidak sesuai dengan lumbung tradisional masyarakat, (b) keberadaan Bulog yang berperan dalam stabilisasi pasokan dan harga pangan (gabah) di setiap wilayah pada setiap waktu menyebabkan tidak ada insentif untuk menyimpan gabah, (c) globalisasi yang menyebabkan terbangunnya beragam pangan, termasuk pangan

olahan sampai ke perdesaan, telah merubah pola konsumsi, dan (d) kegiatan pembinaan yang tidak konsisten dan cenderung orientasi proyek menyebabkan pembinaan yang dilakukan tidak efektif. Keberadaan lumbung pangan saat ini umumnya berada di daerah yang secara tradional telah mengembangkan lumbung pangan di daerah rawan pangan dengan kendala aksesibilitas. Lumbung pangan berperan mengatasi kerawanan pangan masyarakat di daerah rawan pangan kronis, namun belum mampu untuk mengatasi kerawanan pangan transien akibat kondisi tak terduga seperti bencana. Untuk mengatasi kerawanan pangan transien dibutuhkan penyediaan cadangan pangan oleh pemerintah yang memungkinkan mobilitas cadangan pangan antar wilayah sebagaimana dilakukan oleh Bulog.

Dengan menurunnya peran Bulog diperlukan pemikiran untuk mengembangkan kelembagaan cadangan pangan pada era otonomi daerah. Pengembangan kelembagaan cadangan pemerintah daerah tersebut dapat berupa BUMD, Lembaga Swasta atau kerjasama Pemda dengan Bulog dalam pengadaan cadangan pangan daerah. Penanganan kerawanan pangan juga sangat berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan. Untuk itu penanggulangan kerawanan pangan tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi dan penyediaan bahan pangan. Perbaikan kondisi kerawanan pangan dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.

Dalam upaya penyediaan pangan secara berkelanjutan, masyarakat desa biasanya menyimpan padi dalam lumbung. Bangunan lumbung dibuat secara khusus, yang dapat menggambarkan bahwa masyarakatnya sangat erat berkaitan dengan budaya bercocok tanam. Di berbagai daerah di Indonesia, bentuk, jenis

dan fungsi lumbung beragam sesuai dengan tradisi dan kearifal local masyarakatnya. Lumbung dapat dibuat terpisah dengan rumah dan biasanya ada upacara atas keberadaannya untuk menghormati dan bersyukur kepada dewa (Dewi Sri) sebagai penjaga dan pemelihara padi.

Program pembangunan sistem dan kelembagaan Lumbung Desa Modern merupakan upaya pemberdayaan petani untuk mengatasi gejolak harga gabah, dengan mengembangkan manajemen stok disertai distribusi secara optimal yang mempunyai tujuan antara lain :

1) Mengintegrasikan subsistem produksi dan pasar, sehingga menjamin adanya kepastian harga produk tanaman pangan yang dapat memperbaiki pendapatan petani,

2) Memasyarakatkan dan memperkuat sistem lumbung pangan untuk meningkatkan nilai tambah produk tanaman pangan dan ketahanan pangan,

3) Mengembangkan kerjasama kemitraan dengan pihak lain untuk mengembangkan agribisnis tanaman pangan.

Lumbung pangan dikenal sebagai cadangan pangan di pedesaan dan sebagai penolong selama masa paceklik. Hal ini sangat penting untuk daerah pertanian tadah hujan, lahan pertanian pangan hanya dapat berproduksi optimal pada musim hujan saja. Selain itu, langkanya dan mahalnya harga pupuk dan saprodi lainnya, memaksa para petani harus berhutang untuk dapat melaksanakan usahtaninya. Dengan keberadaan lumbung, diharapkan dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan masyarakat dalam skala kecil.

Keputusan Mendagri dan otonomi daerah No : 6 tahun 2001 tentang pengembangan lumbung pangan masyarakat / kelurahan menyatakan bahwa LPMD merupakan lembaga milik rakyat desa/kelurahan yang bergerak di bidang pendistribusian, pengolahan dan perdagangan bahan pangan yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat. Hal yang perlu dikaji adalah “Apakah LPMD harus memiliki lumbung secara fisik sebagai tempat menyimpan cadangan pangan atau hanya sebagai kelembagaan desa?”

Tradisi sebagian masyarakat di Indonesia adalah mensakralkan sesuatu dalam kegiatan hidupnya, termasuk “lumbung pangan”. Dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, telah banyak pergeseran/penghilangan perlakuan terhadap lumbung itu sendiri (pandangan mengenainya, struktur bangunan, metode pemeliharaan, dll). Struktur bangunan penyimpanan yang tradisional tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Bagaimana struktur bangunan lumbung sehingga dapat diketahui apa saja kelebihan dan kekurangannya sebagai sarana penyimpanan, hingga dapat disimpulkan apakah layak atau tidak.

Fenomena lumbung desa telah lama dikenal sebagai institusi cadangan pangan di pedesaan dan sebagai penolong petani di masa paceklik. Dengan fungsi konvensionalnya, lumbung desa telah membantu meningkatkan ketahanan pangan masyarakat dalam skala kecil. Sayangnya, sepanjang periode orde baru, akibat kebijakan pangan (beras) murah, terjangkau semua orang dan tersedia setiap saat, institusi yang sebetulnya hidup dan dipelihara turun-temurun itu lenyap ditelan waktu.

Masyarakat merasa tidak perlu lagi menyisihkan dan menyimpan sebagian panenya di lumbung desa. Cuma, gagasan untuk menghidupkan kembali institusi lumbung desa saat ini bukan pekerjaan mudah. Identifikasi kondisi lumbung pangan masyarakat desa (LPMD) di Jabar (Kabupaten Tasikmalaya, Cirebon dan Cianjur) dan Jateng (Banyumas, Purworejo dan Boyolali) oleh Departemen Pertanian (2001) menunjukkan jika LPMD belum bisa diandalkan sebagai lembaga yang mampu menyerap marketable plus di saat panen raya. Apalagi diharapkan sebagai stabilitas cadangan pangan masyarakat dan membantu mengamankan harga gabah dari kejatuhan. Di Jabar, marketable plus gabah mencapai 4.074 ribu ton, sementara kapasitas LPMD cuma 13.771 ton (0,59 persen). Sedangkan di Jateng, kapasitas seluruh LPMD hanya menyerap 0,92 persen marketable plus.

Modal awal LPMD hanya dihimpun sekali dalam bentuk natura (gabah).

Berikutnya tidak pernah ada aktivitas penyimpanan (setor), yang ada adalah jasa peminjaman dalam bentuk natura dan dikembalikan dalam bentuk natura.

Penggunaan jasa pinjaman selain untuk akumulasi modal, susut, dan jasa pengurus serta anggota, juga dipakai untuk kegiatan sosial seperti mengatasi musibah. Dengan kata lain, dalam pengelolaannya LPMD masih menggunakan sistem natura, dan bukan uang. Ciri lain yang melekat, hampir semua LPMD masih berorientasi sosial.

Seiring makin menurunnya peran Bulog dalam pembentukkan cadangan pangan nasional, maka langkah merevitalisasi LPMD menjadi institusi penyangga cadangan pangan menjadi amat strategis. Revitalisasi LPMD menjadi lembaga

perekonomian desa harus dilakukan secara bertahap. Mula-mula LPMD yang sudah ada dan bersifat sosial dapat ditingkatkan menjadi LPMD sederhana yang kokoh. Selanjutnya, LPMD itu harus difasilitasi menjadi lumbung pangan yang modern seperti yang ada di negara-negara maju.

Cikal-bakal lumbung pangan demikian sudah ada di Sumatera Selatan.

Dengan prinsip saling percaya. Pengusaha penggilingan padi memberikan fasilitas gudang gratis kepada petani. Lewat cara ini, pengusaha bisa menjaga pasokan beras sesuai kebutuhan pasar, sehingga harga gabah/beras terkendali. Ujung- ujungnya, bukan saja pengusaha yang untung, petani juga tidak merugi akibat kejatuhan harga di saat panen raya. Dengan bukti kepemilikan gabah di gudang, petani juga bisa mendapatkan kredit dari pengusaha dan pihak lain. Di Lampung jauh lebih maju. Dengan mengantongi sertifikat kepemilikan kopi di gudang dari surveyor, petani kopi di sana dengan mudah bisa mendapatkan fasilitas kredit off- shore berbunga ringan dari institusi perbankan.

Untuk mengembangkan lumbung pangan modern, yang penting bukan cuma institusi fisik, tapi juga soal manajemennya. Intinya, pengelolaan lumbung pangan modern menyangkut tiga hal penting, yaitu pengelolaan risiko, bursa komoditas, dan prinsip saling kepercayaan. Lumbung pangan itu bukan hanya untuk mengelola komoditas yang punya daya simpan panjang seperti beras dan kopi atau biji-bijian, tapi juga komoditas yang mudah dan cepat busuk seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dengan penerapan warehouse receipt system dan pergudangan yang canggih, petani dapat lebih terjamin pendapatannya. Petani tidak khawatir harga

jual komoditasnya anjlok karena rusak. Dengan lumbung pangan yang modern diharapkan cadangan pangan masyarakat menjadi lebih terjamin.

Dokumen terkait