• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konferensi Ilmiah Nasional

makin demokratis. (M. Khoirul Anwar dan Vina Salviana [ed.], 2006)

Kemudian timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan partisipasi politik? Keith Faults mendefinisikan partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Sehingga dari pengertian ini partisipasi politik merupakan

pengertian yang luas mencakup aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta aktivitas yang berkaitan dengan penolakan atau beroposisi kepada pemerintah. (ibid)

Huntington dan Nelson kemudian menjelaskan bahwa partisipasi politik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi otonom dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi otonom adalah bentuk keterlibatan dalam politik yang didasarkan atas kesadaran warganegara itu sendiri. Sedangkan partisipasi mobilisasi merupakan bentuk keterlibatan

yang disebabkan perintah dari pihak lain, bukan kesadaran sendiri. Bentuk partisipasi mobilisasi misalnya seorang buruh tani menghadiri pemilihan atas suruhan dari para pemilik tanah. Meskipun demikian, bentuk mobilisasi tetap dipandang sebagai bagian dari partisipasi politik karena sulit dibedakan dalam dunia realitas.

Gabriel Almod membantu kita menemukan bentuk- bentuk partisipasi politik yang diambil dari studinya di berbagai negara dan berbagai waktu. Secara umum bentuk partisipasi politik dibedakan menjadi kegiatan politik konvensional dan kegiatan politik non-konvensional. Bentuk kegiatan konvensional

adalah bentuk partisipasi politik yang ‘normal’ dalam demokrasi modern. Bentuk ‘non-

konvensional’ adalah beberapa bentuk yang

mungkin legal (seperti petisi) maupun yang ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 di bawah,

Tabel 1. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

Konvensional Non-Konvensional

- Pemberian Suara (voting) - Diskusi politik

- Kegiatan kampanye

- Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan

- Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administrative

- Pengajuan petisi - Berdemonstrasi - Konfrontasi

- Mogok

- Tindak kekerasan politik terhadap harta

benda (perusakan, pengeboman,

pembakaran)

- Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan) - Perang gerilya dan revolusi

Sumber : Mohtar Mas’oed dan Colin Mc Andrews (ed.), Perbandingan Sistem Politik

Menurut Gabriel A. Almond, dalam Mohtar

Mas’oed dan Colin Mc Andrews, (1978), pemberian

suara (voting) merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling luas tersebar. Dewasa ini pemberian suara terdapat di hampir semua sistem politik, baik yang demokratik maupun otoriter. Pemberian suara merupakan tindakan untuk memperoleh dukungan rakyat terhadap sistem politik dan elite yang berkuasa. Penolakan untuk ikut memberikan suara dapat dianggap sebagai pernyataan protes secara diam-diam.

Meskipun pemberian suara merupakan bentuk aktivitas politik yang paling umum di hampir semua sistem politik, bentuk-bentuk partisipasi juga dijalankan oleh sejumlah kecil warga negara dalam sistem politik otoriter maupun demokratik, dan dalam hampir semua kebudayaan politik. Tanpa memperhatikan kecenderungan ideologis dari suatu masyarakat atau nilai-nilai yang timbul karena

kebudayaan politiknya, kegiatan-kegiatan partisipasi selain pemberian suara biasanya melibatkan biaya yang lebih besar dalam artian waktu, tenaga, dan uang. (ibid)

Dari pemaparan di atas maka bentuk partisipasi politik yang paling mungkin dilakukan oleh elit Muhammadiyah dalam Pemilihan Legislatif di Kabupaten Lombok Timur meliputi,

1. Pemberian Suara dalam Pemilihan

2. Aktif dalam kegiatan kampanye calon anggota legislatif

3. Menjadi pendukung salah satu calon anggota legislatif

4. Menjadi calon anggota legislatif

Berdasarkan fakta dalam tiap pemilihan, pemberian suara sebagaimana di atas seringkali dilakukan oleh warga, termasuk warga persyarikatan maka dalam penyajian data bagian bawah bentuk (1) dan (2) tidak lagi dianalisis lebih lanjut. Hipotesisnya warga

II-6

persyarikatan mayoritas berpendidikan menengah dan tinggi sehingg hampir dipastikan datang ke tempat pemungutan suara untuk melakukan partisipasi dalam pemilihan legislatif.

4.2. Partisipasi Politik Elit Muhammadiyah

4.2.1. Menjadi Calon Anggota Legislatif

Dalam bahasan ini tulisan ini tentang kisah seorang pengurus Pimpinan Cabang Muhammadiyah yang mencalonkan diri dalam Pemilihan Legislatif (pileg) tahun 2014. Alunan cerita dimulai kisah seorang untuk nanti dibandingkan dengan pengalaman dari caleg lain untuk melengkapi data sebagai bahan analisis dalam tulisan ini. Dengan bangunan data seperti ini diharapkan mampu menampilkan kisah yang lebih lengkap dan jelas.

Sebut saja namanya Pur (43 tahun). Keterlibatannya dalam persyarikatan dimulai dari kakek yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang berkedudukan di Yogyakarta. Sang kakek dapat disebut sebagai orang yang membawa pikiran-pikiran Muhammadiyah di sebuah desa yang selama ini dilekatkan dengan Nahdlatul Wathan (NW), organisasi agama terbesar di Lombok. Sosialisasi yang dimulai dari kakek inilah maka ia mulai mengenal Muhamammadiyah meskipun mengaku sampai dewasa kini belum memahami dengan benar jalan pilihan keagamaan Muhammadiyah. Namun dapatlah ia disebut sebagai seorang kader Muhammadiyah yang merupakan hasil pengkaderan keluarga.

Keterlibatannya dalam politik bukanlah sesuatu yang baru tetapi telah berumur panjang. Dimulai dari kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN) di Kabupaten Lombok Timur pada akhir 1998 atau awal 1999 mengikuti pendiriannya di Jakarta. Keterlibatan dengan PAN disebabkan karena jaringan Muhammadiyah yang dilekatkan dengan partai ini. Ketika itu ketua pertama partai di tingkat lokal mengharapkan kesertaan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam partai. Namun tidak semua bersedia dengan berbagai pertimbangan; sudah dekat dengan partai tertentu, fisik yang mulai menurun, dan lain sebagainya. Sebagai salah seorang kader Muhammadiyah maka ia pun terlibat atau dilibatkan dalam pendirian dan pengembangan PAN di Lombok Timur.

Penelitian yang dilakukan Rosyida Prihandini (2014) tentang keterlibatan kader Muhammadiyah dalam Dewan Pimpinan Daerah PAN Kota Surabaya menemukan fakta Keterlibatan kader-kader Muhammadiyah di dalam DPD PAN Surabaya berperan sangat kuat. Mulai dari terbentuknya PAN di Surabaya hingga saat ini kader-kader Muhammadiyah masih dalam posisi yang strategis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara PAN dan Muhammadiyah terjadi hubungan simbiosis mutualisme dimana PAN membutuhkan banyak suara warga Muhammadiyah untuk menarik

perolehan suara dan dapat memenangkan pemilihan legislatif dan sebagai rasa tanggung jawabnya

terhadap Muhammadiyah, PAN memberikan

bantuan dalam bentuk pemberian alokasi dana yayasan yang didirikan oleh Muhammadiyah. Hal serupa ditemukan oleh Panji Lanang Satriadin (2008) mengenai hubungan Kader Muhammadiyah dalam kepengurusan PAN Jawa Timur. Peran kader- kader Muhammadiyah di internal DPW PAN Jawa Timur memiliki porsi yang besar. Sejak proses perintisan partai hingga perjalannya, kader-kader Muhammadiyah Jawa Timur terlibat aktif. Bahkan dalam perjalanan partai selama satu dekade terakhir, mereka berada pada posisi-posisi strategis dan menentukan. Namun faktanya PAN adalah partai

terbuka. Sebagai konsekuensinya, PAN

memposisikan diri di tengah-tengah, dengan sedapat mungkin tidak condong ke satu kelompok. Muhammadiyah secara kultural adalah organisasi keagamaan yang bergerak di bidang sosial. Namun dalam spesifikasi cabang gerakannya, ternyata Muhammadiyah juga memberi porsi tertentu pada dunia politik. Kader Muhammadiyah yang ada posisi strategis di struktur DPW PAN Jawa Timur karena kedekatan historis antara PAN dan Muhammadiyah sejak awal pendirian partai. Hal ini juga karena anggapan PAN bahwa kader-kader Muhammadiyah memiliki potensi dan kapabilitas memadai yang diperlukan untuk menjalankan partai. Dan terbukti selama perjalanan partai inovasi-inovasi, strategi dan sumbangsih nyata untuk pengembangan partai selalu lahir dari kader partai yang berasal dari Muhammadiyah. Permasalahannya kemudian di dalam tubuh PAN sendiri terdapat kelompok

sekuler, yang mencoba mereduksi peran

Muhammadiyah. Konsep partai terbuka yang dimiliki PAN menjadi senjata utama untuk mereduksi sedikit demi sedikit peran kader Muhammadiyah.

Meskipun demikian keterlibatan secara aktif di partai baru pada tahun 2011 ketika ia di tunjuk sebagai Pimpinan Cabang Partai di desa tempatnya tinggal. Inilah keterlibatannya yang pertama sebagai pengurus aktif partai karena pada masa sebelumnya dapatlah disebut sekadar simpatisan belaka. Maka mulai saat itu ia kemudian melakukan kerja-kerja politik sebagaimana kader partai politik yang lain. Kerja politik seperti ini dimudahkan dengan keaktifannya selama ini sebagai seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sehingga banyak pekerjaannya yang dipandang tumpang tindih; kerja sosial sekaligus kerja politik.

Dengan keterlibatannya sebagai pengurus sejak tahun 2011 tersebut maka pada Pileg 2014 namanya menjadi salah satu Calon Anggota Legislatif. Mulai saat itu maka kerja-kerja politik yang dilakukannya makin sering dilakukan. Kerja-kerja sosial yang selama ini sudah rutin dilakukan kemudian bertumpang tindih atau kemudian dimanfaatkan

II-7