• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konferensi Ilmiah Nasional

Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka susah untuk diajak berpindah partai pun pada partai yang dikaitkan dengan persyarikatan. Ada pula warga yang mendukung partai lain yang muncul setelah reformasi seperti Partai Keadilan (Sejahtera)/PKS atau Partai Bulan Bintang/PBB. Sehingga sebagai politikus ia berusaha merangkul pemilih dari beragam latar belakang, bukan hanya warga persyarikatan belaka.

Latar belakang sebagai elit Muhammadiyah tidak membuatnya tergoda untuk memanfaatkan fasilitas milik persyarikatan. Meskipun kondisi dan posisi menentukan namun tetap memegang maklumat

persyarikatan untuk menghindarkan

penyalahgunaan fasilitas. Muhammadiyah harus tetap dijaga pada pemihakan salah satu kontestan pemilihan. Pemerintah dan politikus bisa berubah kapan saja tetapi Muhammadiyah harus tetap terjaga untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Dan lintasan sejarah telah membuktikannya.

Keterlibatan kader persyarikatan dalam politik dengan menjadi caleg mendapat dukungan dari

Muhammadiyah. Sebagaimana disampaikan

informan kami sebut saja Zai (50th) sebagai Ketua

Muhammadiyah Kabupaten. Menurut-nya

keterlibatan kader menjadi caleg untuk kemudian berhasil menjadi anggota legislatif akan sangat membantu persyarikatan dalam berhubungan dengan pemerintah (eksekutif) nantinya. Keberadaan mereka dalam pemerintahan akan sangat membantu memperjuangkan kepentingan persyarikatan, atau setidaknya tidak memberikan hambatan bagi perjuangan. Dukungan-dukungan politis tersebut dibutuhkan dalam mensukseskan berbagai program organisasi yang telah disusun sebelumnya.

Meskipun demikian dukungan yang diberikan tidak bisa secara nyata mengingat pilihan Muhammadiyah untuk menghindari politik praktis. Sebagaimana prinsip yang pernah dirumuskan Amien Rais menjadi high poliitcs dan low politics. High politics

adalah politik yang adiluhung, tidak memihak kepentingan tetapi memihak pada kebenaran. Sementara low politics adalah politik yang memihak, memperjuangkan kepentingan yang sempit.

Dukungan yang diberikan persyarikatan kemudian berupa informasi kepada warga tentang adanya kader yang menjadi caleg. Dalam kunjungan- kunjungan yang sering dilakukan pimpinan daerah maka tidak jarang muncul pertanyaan dari warga mengenai sikap politik Muhammadiyah menghadapi pemilihan tertentu. Dengan menganut sikap high politics maka untuk menjawab pertanyaan maka pimpinan persyarikatan tidak bisa menajwab dengan jelas dan tegas. Dalam artian pimpinan tidak memberikan jawaban mendukung atau memberikan rekomendasi kepada salah satu peserta pemilu. Pimpinan hanya memberikan informasi bahwa ada

kader yang menjadi caleg bukan mendukung salah satu dengan jelas.

Dukungan pada kader Muhammadiyah disertai dengan peringatan untuk menjaga netralitas persyarikatan. Maksudnya warga persyarikatan harus mampu menjaga fasilitas Muhammadiyah tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Pun bila digunakan oleh peserta pemilihan yang merupakan kader Muhammadiyah. Fasilitas persyarikatan hanya digunakan untuk kepentingan organisasi dan warga secara keseluruhan bukan kepentingan politik sempit dan tertentu. Fasilitas Muhammadiyah dilarang keras digunakan untuk

kepentingan kampanye atau menyampaikan

dukungan pada salah satu peserta pemilu.

Pengalaman yang terjadi di Bima kemudian menjadi pelajaran penting. Pendirian Partai Amanat Nasional (PAN) di kota tersebut pada awal reformasi kemudian menyebabkan konflik dengan warga

persyarikatan. Kedekatan PAN dengan

persyarikatan kemudian menyebabkan banyak fasilitas Muhammadiyah digunakan untuk rapat- rapat pembentukan partai. Hal ini tentu menyebabkan munculnya kecemburuan dari warga persyarikatan yang berada di partai berbeda. kondisi ini menyebabkan munculnya protes dari warga persyarikatan. (Jurdi, 2004)

4.2.2. Menjadi Pendukung Calon Anggota Legislatif

Keberhasilan menjadi peraih suara dalam Pemilihan Legislatif tidak dapat dilepaskan dari peran mereka yang membantu, dikenal kemudian dengan sebutan

‘Tim Sukses’ dan atau nama lainnya. Bagian ini akan

menceritakan peran seorang Pimpinan Cabang Muhammadiyah menjadi pendukung salah satu calon anggota legislatif. Pada bagian ini akan dikaji mengenai motivasi, cara kerja politik, dan pemanfaatan fasilitas milik Muhammadiyah dalam mensukseskan calon yang didukungnya dalam pemilihan.

Sebut saja nama Abid (45th) merupakan seorang kader Muhammadiyah sejak kecil. Perkenalannya dimulai dari bersekolah di Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah di Kota Kabupaten. Pelajaran dan lingkungan sekolah kemudian menarik minatnya pada persyarikatan dan kemudian mencoba mengenal baik melalui mata pelajaran maupun buku bacaan yang tersedia. Dari situlah kemudian mendorongnya untuk memantapkan diri menjadi anggota atau kader persyarikatan.

Pada Pemilihan Legislatif tahun 2014 ia mendukung salah satu calon yang juga dikenal luas sebagai kader Muham-madiyah. Dukungan ini berasal dari dua sumber. Pertama, perkenalan dalam organisasi

otonom Muhammadiyah yaitu Pemuda

Muhammadiyah tingkat kabupaten (Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah). Interaksi selama bebe-rapa tahun kemudian menselasaraskan pikiran- pikirannya terutama dalam usaha memperluas dan

II-10

mengembangkan Persyarikatan Muhammadiyah. Dasar inilah yang kemudian mendorongnya memutuskan membantu dalam pemilihan.

Kedua, kedekatan dalam Organisasi Non- Pemerintah (Ornop/LSM) selama beberapa tahun belakang. Kerja sosial yang dilakukan bersama untuk memberdayakan masyarakat kemudian menyebabkan kedekatan profesi dan emosional di antara ia dan calon yang didukung. Usaha membantu dalam pemberian suara kemudian diharapkan akan mensukseskan kerja sosial yang selama ini mereka telah lakukan. Kerja sosial membutuhkan dukungan politik. terutama berkaitan dengan politik kebijakan dan politik anggaran yang berusaha membantu pemberdayaan masyarakat.

Dengan demikian ada dua motivasi yang mendorong untuk menjadi tim sukses calon dalam pemilihan. Kedekatan sebagai kader persyarikatan diharapkan nanti bila calon berhasil lolos maka akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan organisasi. Semakin banyak kader dalam lembaga pengambil keputusan maka akan sangat membantu pengembangan organisasi. Karena dalam demokrasi keputusan diambil melalui suara terbanyak maka penting untuk memperbanyak kader dalam lembaga pemerintah, termasuk legislatif. Bagaimana pun kemajuan organisasi ditentukan posisinya terhadap pemerintah. Bukan berarti persyarikatan menjadi patronase negara tetapi setidaknya menghindari kebijakan politik yang menghambat perkembangan persyarikatan.

Selain kedekatan sebagai kader persyarikatan, dukungan juga disebabkan kedekatan profesi sebagai aktivis Ornop. Program pemberdayaan masyarakat yang dihajatkan organisasi kemudian membutuhkan pemihakan politik kebijakan dan politik anggaran dari negara. Memang Ornop kemudian memiliki penyandang dana tetap dari swasta tapi dukungan dari negara adalah sesuatu yang penting. Terlebih dalam kasus Indonesia, termasuk di Lombok Timur, ketika masyarakat masih menganggap aparat negara sebagai priyayi sehingga memudahkan dalam pengorganisasian masyarakat. Masih banyak stigma kepada mereka

yang disebut aktivis sebagai ‘penjual kemiskinan’

sehingga selalu ada kecurigaan dalam kerja sosial yang dilaksanakan. Dukungan dari aparat negara, dalam hal ini anggota legislatif, dipandang akan memudahkan untuk mensukeskan kerja-kerja sosial yang telah direncanakan.

Adapun kerja-kerja politik yang dilakukan untuk menarik simpati tidak banyak berbeda dengan yang dilakukan oleh calon anggota lain. Karena selama ini kerja sosial yang mereka lakukan berkaitan dengan dunia pertanian maka program ini kemudian dilanjutkan. Targetnya adalah pemilih yang berasal dari profesi petani. Dengan itu maka kerja sosial yang dilakukan dengan memberikan bantuan kepada petani, yaitu berupa bibit dan pengolah tanah

(traktor). Harapannya tentu saja mereka yang diberikan bantuan akan menukarnya dengan memberikan suara dalam pemilihan nantinya. Bantuan tersebut sesungguhnya berasal dari pemerintah (daerah). Calon dan tim hanya memberikan bantuan akses pada petani untuk mendapatkan bantuan tersebut. Sebagaimana banyak dipahami sesungguhnya ada banyak bantuan dan program pemerintah untuk membantu masyarakat dari berbagai profesi tetapi yang menjadi masalah adalah aksesnya. Inilah yang coba dijembatani oleh calon dan timnya dengan memberikan akses pada petani untuk mendapatkan bantuan. Dan kemudian setelah dicoba melakukan komunikasi ternyata jalinan akses ini berhasil dengan indikator petani mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Ini mengingatkan pada konsep ‘pork barrel’

(gentong babi) dalam dunia politik belahan barat. Dimaksudkan di sini seorang legislator kemudian kembali ke pemilihnya dengan memberikan bantuan yang dibutuhkan. Bantuan ini berasal dari anggaran pemerintah yang kemudian diklaim sebagai hasil perjuangan dari legislator. Pemberian ini kemudian digunakan untuk memelihara dukungan dari pemilihnya.

Di Indonesia kerja politik ini kemudian dikenal

dengan istilah ‘Dana Aspirasi’. Legislator, baik

tingkat pusat maupun daerah, kemudian berusaha untuk meminta dana dari anggaran pemerintah untuk digelontorkan pada pemilih di daerah tertentu. Bentuk bantuan yang diberikan secara umum misalnya mengenai perbaikan jalan lingkungan, bantuan usaha kecil, kendaraan operasional bagi karang taruna, dan sebagainya. Tujuannya sebagaimana di atas untuk memelihara dukungan dan atau sebagai ucapan terima kasih atas suara mereka dalam pemilihan yang lalu. Meskipun demikian di Indonesia praktek ini kemudian

dikonotasikan negatif karena dianggap

menyelewengkan uang negara dan tidak memihak pada pemilih kebanyakan.

Kerja politik yang dilakukan oleh calon dan tim kemudian mengingatkan pada konsep Political Marketing yang menggejala di Indonesia sejak tahun 2000-an. Pendekatan ini mengembangkan model perilaku memilih berdasarkan domain yang terkait dengan marketing. Dalam mengembangkan model perilaku memilih Newman dan Sheth, sebagaimana dikutip Nursal (2004), menggunakan sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti pemilih, komunikasi dari mulut ke mulut, dan media massa. Ada tujuh domain yang menentukan perilaku pemilih, yaitu isu dan kebijakan politik; citra sosial; perasaan emosional; citra kandidat; peristiwa mutakhir; peristiwa personal; dan faktor-faktor epistemik.

Dengan penjelasan tersebut di atas sesungguhnya ada dua segmen pemilih yang berusaha dirangkul. Pertama, mereka yang berprofesi sebagai petani

II-11