2. ANTIBIOTIK LAIN
7.7 Mahasiswa mengetahui tentang penyakit HIV/AIDS Definisi
AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Mansjoer, 2010).
Etiologi
HIV Human Immunodeficiency Virus dulu disebut virus limfotrofik sel T tipe III (HTLV-III)
HIV suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus (Mansjoer, 2010).
Epidemiologi
Sekitar36,1 juta orang terinfeksi oleh HIV/AIDS pada akhir tahun 2000. Dari 36,1 juta kasus, 16,4 juta adalah perempuan dan 60000 adalah
anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Infeksi HIV telah menyebabkan kematian sekitar 21,8 juta orang. Belahan dunia yang paling parah terjangkit HIV/AIDS adalah Afrika sub-sahara, daerah lain yang mengkhawatirkan adalah Asia Selatan dan Asia Tenggara (Djuanda, 2007).
Cara penularan Hubungan seksual Melalui darah
a) Transfusi darah yang mengandung HIV b) Tertusuk jarum yang mengandung HIV c) Terpapar mukosa yang mengandung HIV Transmisi dari ibu ke anak
a) Selama kehamilan b) Saat persalinan c) Melalui ASI (Djuanda, 2007)
Patofisiologi
HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan reseptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya yang diserang adalah sel T (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T cell) (Djuanda, 2007).
Setelah berikatan dengan reseptor, virus berfusi dengan sel dan kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim reverse transcriptase. Proses sampai tahap ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi. Proses ini dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus (Djuanda, 2007).
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup (a life long infection) (Djuanda, 2007).
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina (Djuanda, 2007).
Virus dibawa oleh antigen presenting cells(APC) ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat di deteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7- 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan di hubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik (Djuanda, 2007).
Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit cd8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan ‘steady-state‘ beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selam beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu (Djuanda, 2007).
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level ‘steady state’. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus (Djuanda, 2007).
Manifestasi klinis Gejala mayor:
BB menurun > 10 % dalam satu bulan Diare kronik > satu bulan
Demam berkepanjangan > satu bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi Demensia atau ensefalopati HIV
Gejala minor:
Batuk menetap > satu bulan Dermatitis generalisata yang gatal Herpes zooster berulang
Candidiasis orofaring
Herpes simplex kronis progresif Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita (Mansjoer, 2010).
Penegakkan diagnosis 1) Anamnesis
Past conditions mengindikasikan tanda infeksi HIV, misalnya: zooster, vaginal candidiasis, leukoplakia.
Past oppotunistic and associated conditions cryptococcal meningitis, TB,pneumocystis cranii pneumonia.
Current conditionsand symptoms demam, keringat malam, sakit kepala, diare, lymphadenopathy.
Social history riwayat pengobatan, penggunaan jarum suntik, riwayat hubungan seksual, riwayat penyakit cardiovascular pada keluarga.
Previous immunisations (Djuanda, 2007)
2) Pemeriksaan fisik
BB, temperatur, oropharynx, limfenodi, pemeriksaanthorax, pemeriksaan abdominal, genitalia, pemeriksaannervous system Tuberculin test
Pap smear untuk wanita STD screening
(Djuanda, 2007) 3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dalam menentukan diagnosis infeksi HIV dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara langsung dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan rapid test, Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan western blot. Sesuai dengan pedoman nasional,diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan rapid test yangberbeda atau 2 jenis pemeriksaan rapid test yang berbeda dan 1 pemeriksaanELISA (Djuanda, 2007).
Pada pemeriksaan ELISA, hasil test ini positif bila antibodi dalam serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin. Pada minggu 23 masa sakit telah diperoleh basil positif, yang lama-lama akan menjadi negatif oleh karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam tubuh .interpretasi pemeriksaan ELISA adalah pada fase pre AIDS basil masih negatif, fase AIDS basil telah positif. Hasil yang semula positif menjadi negatif, menunjukkan prognosis yang tidak baik (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan western bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan infeksi HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test ini. Hasil test yang positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa
yang terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi terhadap komponen tertentu virus (Djuanda, 2007).
Berdasarkan kriteria WHO,serum dianggap positif antibodi HIV-1 bila 2 envelope pita glikoprotein terlihat pada garis. Serum yang tidak menunjukkan pita-pita tetapi tidak termasuk 2 envelope pita glikoprotein disebut indeterminate. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum dinyatakan negatif. Bila hanya dijumpai 1 pita saja yaitu p24, dapat diartikan hasilnya fase positif atau fase dini AIDS atau infeksi HIV-1 (Djuanda, 2007).
Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung beberapa minggu disebut antibody negative window period. Pada awal infeksi, antibodi terhadap glikoprotein envelope termasuk gp41 muncul dan menetap seumur hidup. Sebaliknya antibodi antigen inti (p24) yang muncul pada infeksi awal, jumlahnya menurun pada infeksi lanjut. Pada infeksi HIV yang menetap, titer antigen p24 meningkat, dan ini menunjukkan prognosis yang buruk. Penurunan cepat dan konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang buruk(Djuanda, 2007).
Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif (Djuanda, 2007).
1) Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalahHighly Active Antiretroviral Therapy (HAART), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratoris (Djuanda, 2007).
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnoss AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml (Djuanda, 2007).
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor rt ini terdiri dari inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI) (Djuanda, 2007).
Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan
menghambat enzim reversetranskriptase selama proses transkripsi RNA virus pada DNA hospes. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan berikatan langsung dengan enzim reversetranskriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain abacavir (ABC), zidovudine (AZT), emtricitabine (FTC), didanosine (DDI), lamivudine (3TC) dan stavudine (D4T), tenofovir. Obat yang termasuk NNRTI antara lain efavirenz (EFV) nevirapine (NVP), delavirdine (Djuanda, 2007).
Protese inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain ritonavir (RTV), atazanavir (ATV), fos-amprenavir (FPV), indinavir (IDV), lopinavir (LPV) and saquinavir (SQV) (Djuanda, 2007).
Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi lini pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau D4T. Didanosine (DDI) merupakan analog adenosine direkomendasikan untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik efv atau nvp dapat dipilih untuk dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini pertama dapat juga dengan mengkombinasikan
3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh (Djuanda, 2007).
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4+ dan atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ (Djuanda, 2007).
Selain itu terjadinya toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai (Djuanda, 2007).
Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome atau IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah art dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik (Djuanda, 2007).
Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi.Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua obat lini pertama dengan rejimen lini kedua. Rejimen lini kedua pengganti harus terdiri dari obat yang kuat untuk melawan galur/strain virus. Terapi lini kedua yang direkomendasikan WHO terdiri dari kombinasi 2 regimen obat golongan NRTI dengan regimen obat
golongan pi dosis rendah. Ritonavir merupakan pilihan utama golongan pi dalam terapi lini kedua. Golongan NRTI yang menjadi pilihan untuk terapi lini kedua adalah ddi atau tdf. Penambahan golongan NNRTI dapat digunakan apabila pada terapi lini pertama menggunakan 3 obat golongan NRTI (Djuanda, 2007).
2) Terapi infeksi opportunistik
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita (Djuanda, 2007).
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi m tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi.alasan terpenting mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis, terutama akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama serta bisa terjadi pada semua stadium dengan berbagai manifestasi (Djuanda, 2007).
Pneumocystis carinii (P. Cranii) diklasifikasikan sebagai jamur. P. cranii merupakan penyebab pneumocystis carinii pneumonia (PCP) yang merupakan infeksi oportunistik tersering pada infeksi HIV/AIDS.lebih dari separuh (70-80%) penderita AIDS mendapatkan paling sedikit satu episode PCP pada perjalanan klinis penyakitnya, denganmortalitas berkisar antara 10-40% (Djuanda, 2007).
Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau
berat, penderita harus di rawat di rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika peroral untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmhg atau gradien arterial-alveolar > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis (Djuanda, 2007).
Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin ditambah primakuin, atovaquone atau trimetrexateditambah leucovorin(Djuanda, 2007).
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan data world health organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi m. Tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya imunosupresi yang terjadi (Djuanda, 2007).
Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBc-HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka kekambuhan pada penderita yang menerima obat anti tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan (Djuanda, 2007).
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim
liver sitokrom p450 yang memetabolisme pi dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar pi dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar pi dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat (Djuanda, 2007).
Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan (Djuanda, 2007).
Sarkoma kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang disebabkan oleh cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital, limfoma terutama neoplasma sel limfosit b; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS(Djuanda, 2007).
Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan(Djuanda, 2007).
Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit tipe a atau b yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas icu. Perawatan dilakukan di unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat dikurangi(Djuanda, 2007).
Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena bahan/sampah penderita(Djuanda, 2007).
Prognosis
Selama 10 tahun setelah infeksi HIV 50% penderita mengalami AIDS. Bila tidak ditangani dengan segera prognosis AIDS buruk karena HIV menginfeksi sistem imun terutama sel CD4 dan akan menimbulkan destruksi hal tersebut (Djuanda, 2007).