• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Temuan Data Dan Hasil Penelitian

A. Makna Simbolik Tradisi Palang Pintu

Palang pintu dalam pernikahan adat Betawi telah masuk ke dalam daftar resmi UNESCO (United Nation Educational, Scientfic and Cultur Organization) sebagai warisan budaya Indonesia pada tahun 2015 (Jenny Sista Siregar dan Sri Irtawirdjajanti,2018: 519). Berbeda dengan pantun dan pencak silat yang masuk ke dalam catatan non-resmi UNESCO. Palang Pintu dalam tradisi pernkahan Betawi juga menampilkan pantun dan pencak silat. Palang pintu yang hadir dalam pernikahan Betawi menunjukan dua arti dimana silat bermakna bahwa sebagai laki-laki yang ingin menikah harus bisa menjaga istri dan anak-anaknya karena laki-laki dalam rumah tangga berkedudukan sebagai kepala keluarga yang dimana harus melindungi keluarganya dari segala ancaman bahaya. Jadi, pengantin laki-laki di representasikan oleh seseorang laki - laki yang harus bisa silat atau bela diri.

Pada sejarahnya, palang Pintu merupakan tradisi yang diwariskan dari generasi sebelumnya kepada generasi penerus. Awal tradisi Palang Pintu tidak tertulis, melainkan hanya cerita turun-temurun dari generasi terdahulu. Hal ini dijelaskan oleh Zahrudin Ali Al Batawi dalam bukunya yang berjudul 1500 Pantun Betawi mengatakan bahwa salah satu bagian dari serangkaian acara prosesi pernikahan adat Betawi yang lebih dikenal dengan istilah Palang Pintu merupakan campuran beberapa seni budaya seperti silat, pantun, dialek Betawi dan humor (Al Batawi, 2012). Berdasarkan data menemukan bahwa tradisi kesenian palang pintu memiliki beberapa tahapan dan kelengkapan didalamnya.

48

Dengan demikian, beberapa tahapan dan kelengkapan merupakan suatu simbol atau menghasilkan simbol-simbol didalmnya sebagai bentuk interaksi sosial.

Menurut Bachtiar (2013), meski dalam sejarah belum ada catatan secara pasti terkait dengan tradisi palang pintu ini dimulai, namun tokoh Betawi si Pitung ( 1874 – 1903 ) sudah menjalani tradisi Palang Pintu ini saat memperistri aisyah, putri jawara berjuluk Macan Kemayoran, yaitu Murtadho. Konon, pada saat itu Si Pitung berhasil mendudukkan perlawanan Murtadho yang menjadi Jawara atau palang pintu dalam pernikahan putrinya tersebut hingga akhirnya mempersunting Aisyah. Pada umumnya dalam pernikahan adat Betawi dimulainya acara dilakukanlah saling adu seni beladiri antara pihak laki – laki dan dengan pihak perempuan melalui jawara yang ditunjuk oleh masing – masing pihak keluarga, yang dimana tujuannya untuk menghalangi pihak atau pengantin laki – laki agar memperhatikan norma adat, selain itu pengantin laki – laki harus dapat atau mampu menguasai bela diri dan ilmu agama dalam menjaga keluarganya kelak.

Hal tersebut diperkuat oleh informasi dari Bpk. H.

Bukhori sebagai berikut:

“digambarkan pada satu tradisi besan dan besanan itukan biasanya pihak laki – laki nih besan kepada pihak perempuan untuk mana kala itu mempertemukan antara pengantin laki – laki dengan pengantin perempuan untuk nantinya disandingkan dipelaminan nantinyakan. Nah itu sebelum dia masuk kesitu biasanya ada palang pintu gitukan. Palang pintu itu manjadi satu syarat pihak pengantin laki – laki ini untuk bisa meminang atau bisa menikahi atau mengawinkan gadis dari pada desa tersebut jadi itu merupakan salah satu prasyarat itu dulu. Jadi disimbolkan bahwa dia sudah bisa menaklukkan jawara atau jagoan dikampung itu. Makannya itu merupakan simbol laki – laki bahwa calonnya itu bahwa secara lahiriyah,

49

secara fisik sudah bisa melindungi istrinya dari kan jaman dulu itukan banyak orang jahat ya artinya banyak rampok, banyak juga yang merebut istri orang dizaman si Pitung itukan jadi apa namanya. Nah begitu orang betawi menikahi perempuan dan dia diyakini bahwa udah bisa jaga keamanan, keamanan istrinya. Keluarganya karena beladirinya juga mampu dia itu dalam hal tadi maen pukul atau silat.”

Berdasarkan temuan data informan diatas, secara jelas dapat dijelaskan bahwa tradisi palang pintu bahwa didalam Budaya Betawi merupakan anak laki – laki khususnya mempelai laki-laki sudah siap dan mampu menjaga dirinya dan keluarganya kelak sehingga tercipta rasa aman didalam keluarganya. Selain itu juga merupakan bukti bahwa mempelai laki-laki bisa menyelesaikan syarat yang diberikan oleh mempelai perempuan dan sebagai penyampaian nilai moral bahwa untuk mendapatkan perempuan pilihannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Kemudian, disetiap tahapan palang pintu memiliki makna simboliknya. Makna simbolik tersebut tidak semata – mata hadir melaikan bentuk penyampaian nilai moral yang terkandung, yang kemudian disampaikan melalui simbol – simbol agar maksud dan tujuan dari respresentasi nya dipahami oleh individu lain.

Menurut Laksmi ( 2017: 124 ) Dalam kehidupan sosial, manusia menggunakan simbol untuk mempresentasikan maksud mereka, demikian juga sebaliknya. Dalam teori atau paham Interaksi Simbolik Blumer menunjuk pada

“komunikasi” atau “simbol-simbol” sebagai kunci untuk memahami kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang didalamnya tentu saja terjadi interaksi.Interaksi terbentuk secara simbolik baik melalui bahasa, objek sosial,

50

lambang-lambang, dan berbagai pandangan. Dengan demikian, manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Oleh karenanya, interaksi dijembatani oleh penggunaan simbol, penafsiran, dan penemuan makna tindakan orang lain.

Jika ditarik dalam tradisi kesenian palang pintu, di dalamnya juga memiliki tahapan dan kelengkapan mengenai palang pintu dan hal tersebut memiliki makna. Blumer mengatakan dalam premisnya pada bagian kedua, menjelaskan mengenai makna – makna tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial yang dilakukan secara terus – menerus dan terjadi berulang – ulang dalam suatu masyarakat. Bahwa makna muncul dalam diri seseorang dengan adanya interaksi dengan orang lain, walaupun makna muncul dari pemikiran masing – masing individu, tetapi hal itu tidak ada atau muncul begitu saja, melainkan melalui proses pengamatan kepada individu lain yang sudah lebih dahulu mengetahui tentang makna tersebut. Adapun makna dari tahapan dan kelengkapan palang pintu mengacu kepada sebuah buku yang ditulis oleh Bachtiar (2013) seorang budayawan Betawi sebagai berikut:

1. Rebana ketimpring memiliki fungsi untuk mengarak pengantin dengan maksud pengantin laki – laki sedang menuju pengantin perempuan dan juga di dalam pembacaan maulid sebagai bentuk pembacaan doa untuk keselamatan semua yang hadir.

2. Kembang Kelape mewakili wujud pohon kelapa yang seutuhnya dengan melambangkan bahwa pohon kelapa adalah tanaman yang serba guna

51

manfaatnya. Semua bagian dari pohon kelapa mempunyai kegunaan.

Dari batang, akar, buah, daun, lidi, dan lainya yang semuanya mempunyai kegunaan. Kembang kelape tersebut seebagai simbol yang diharapkan pengantin seperti pohon kelapa yang banyak manfaat bagi keluarga, masyarakat maupun nusa dan bangsa, begitu juga diharapkan mempunyai kegunaan bagi dunia dan akhirat.

3. Petasan memiliki simbol sebagai alat informasi atau pengabaran bagi para tetangga bahwa akan dilaksanakannya pernikahan, karena petasan merupakan simbol untuk mengabarkan masyarakat atau tetangga sekitar yang jarak rumahnya berjauhan maka digunakanlah petasan agar datang.

4. Sirih Dare memiliki simbol lambang cinta kasih suami kepada istrinya, karena di dalamnya terdapat uang, yang dimana sirih dare simbol sebagai persembahan pengantin laki – lai kepada pengantin perempuannya sebagai lambang cinta kasih suami kepada istrinnya.

5. Pantun memiliki simbol sebagai menghormati antar sesama, menanamkan kesopanan sekaligus mejadi ajang pencapaian maksud dan tujuan, dengan kata lain pantun merupakan bentuk komunikasi para perwakilan juru bicara pengantin.

6. Sikeh memiliki simbol bisa mengaji dan taat agama, yang dimana pengantin laki – laki diharapkan mengerti agama agar kelak dapat menuntun keluarganya menjadi sakinah, mawadah dan warahmah.

52

7. Silat memiliki simbol keberanian dan tanggung jawab dalam melindungi keluarganya dari gangguan atau ancaman yang tidak diinginkan.

8. Roti buaya memiliki simbol kesetiaan dan kesabaran masing – masing pasangan agar setia satu sama lain.

Berdasarkan tahapan dan kelengkapan diatas bahwa Tradisi palang pintu merupakan bentuk penyampaian nilai, sikap dan pandangan hidup masyarakat Betawi dalam menjalankan kehidupan tentang dunia yang disampaikan nya melalui simbol – simbol baik secara verbal dan nonverbal dari generasi ke generasi. Unsur Islam sangat kental dikarenakan islam dengan segala sistem keyakinan, nilai – nilai dan kaidah telah memberi pengaruh yang amat kuat pada budaya Betawi. Jadi tradisi Palang Pintu merupakan salah satu cara pandangan hidup masyarakat Betawi yang mengandung nilai agama karena masyarakat Betawi mayoritas beragama Islam maka sangat erat dengan kegiatan mengaji atau pembacaan al – quran dan lebih lanjut nilai moral dan nilai sosial yang terlihat dalam tahap adu pantun dan adu pukul pada proses palang pintu yang dimana memiliki makna bahwa untuk menghalangi pihak atau pengantin laki – laki agar memperhatikan norma adat, selain itu pengantin laki – laki harus dapat atau mampu menguasai bela diri dan ilmu agama dalam menjaga keluarganya kelak.

Jelas bahwasannya tradisi palang pintu tersebut merupakan bentuk interaksi simbolik atau penyampaian maksud melalui simbol – simbol didalamnya, bahwa manusia saling menerjemahkan, memaknai serta

53

mendefinisikan tindakannya, bukan hanya reaksi dari tindakan seseorang terhadap orang lain dan tanggapan seseorang yang tidak dibuat secara langsung atas tindakan itu, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan. Jadi setiap tindakan atau tahap dalam tradisi palang pintu memiliki maksud dan tujuan atau fungsinya sendiri bagi individu yang menjalankan dan individu lain.

Seperti paham Interaksi Simbolik Blumer menunjuk pada interaksi sosial antar masyarakat didalamnya dijelaskan prinsip tercapainya interaksionisme simbolik Dalam ( Blummer, 1969; Manis dan Meltzer, 1978; A. Rose, 1962;

snow, 2011 ) meliputi;

1. Manusia tidaklah sama halnya seperti binatang, mereka diberkati kapasitas untuk berfikir. Jika dikaitkan dengan tradisi palang pintu jelas bahwa diciptakannya tahapan dan simbol – simbol merupakan hasil dari ide atau hasil fikiran masyarakat Betawi dimana zaman dahulu untuk menikahkan anak perempuanya calon suaminya harus dilihat kemampuan bela diri dan mengaji.

Hal tersebut diperkuat oleh informasi dari Sdr. Mubarok:

“ Makna yang ada diprosesi adat palang pintu kaya pengantin lelaki itu kalo ingin menikah dengan perempuan syaratnya itu kan yang tadi dibilang harus bisa berantem ngalahin jagoan perempuan dan harus bisa ngaji yang dimaksudkan makna dari palang pintu betawi yang seakan – akan mengajarkan untuk pihak laki laki. Bahasanya gini “nih kalo dibetawi kalo lu mau nikahin anak orang lu kudu bisa jago beladiri yang fungsinya nih buat ngejagain bini lu, lu buat ngejagain anak – anak lu”

kalo sikehnya gini biar lu bisa jadi ngajarin keluarganya buat ngaji. Kan jadi bapak rumah tangga terus kalo kaga bisa ngaji tuh keluarga ngaji ama siapa, sebenernya pesan aja sih yaa pesan moral buat yang hadir disitu khususnya pengantennya”

54

2. Kapasitas berfikir tersebut dibentuk oleh interaksi sosial, yang artinya bahwa interaksi sosial merupakan pembentuk dari kapasitas berfikir dari manusia. Jadi dengan demikian, masyarakat mampu atau paham dari setiap makna yang terkandung berdasarkan kapasitas masyarakat berfikir bahwasannya kenapa pengantin laki – kaki diharuskan bisa silat dan mengaji agar kelak dapat membawa keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.

Selain itu, Orang – orang yang bisa mengubah makna dan simbol untuk mereka bertindak dan berinteraksi sesuai dengan situasinya. Dalam hal ini menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang melakukan interaksi dapat mengubah simbol maupun makna yang sudah mereka sepakati terlebih dahulu untuk memaknai tindakan dan interaksi mereka sesuai dengan situasi. Maka saat ini banyaknya pembaharuan atau modifikasi tradisi palang pintu menjadi suatau hiburan dalam pernikahan yang dimana tetap memiliki makna sesuai dengan tradisi awal. Hal tersebut karena mereka atau masyarakat dapat mengubah makna dan simbol mereka karena kemampuan mereka dalam berinteraksi, mereka bisa memilih tindakan mana yang lebih menguntungkan untuk mereka.

Hal tersebut diperkuat dari salah satu informan seperti Bpk H. Eddy (pendiri Sanggar Manggar Kelape), beliau menuturkan sebagai berikut :

“Seni didalam prosesi pernikahan yaa berbicara tentang palang pintu itu merupakan sebagian dari seni karena

55

didalamnya memakai silat, memakai pantun, memakai pakaian sadariah, memakai pangsi”.

Hingga kini pelaksanaan tradisi palang pintu masih banyak dalam pernikahan masyarakat Betawi. Namun seiring berkembangnya zaman, tradisi palang pintu tidak hanya digunakan untuk acara pernikahan saja melainkan dapat digunakan untuk acara lainnya seperti tetapi dalam penyambutan orang – orang penting bahkan juga dalam kegiatan peresmian gedung, menyambut hari perayaan ulang tahun DKI Jakarta, hal ini sesuai dengan pernyataan menurut informan Sdr. Mubarok ( Sekretaris Sanggar Manggar Kelape ), sebagai berikut :

“jadi gini kita itu setiap tahun sebenernya sama seperti yang tertera di proposal yang mempunyai maksud dan tujuan seperti sosialisasi seni budaya tradisional Betawi, strategi mempertahankan dan melestarikan seni budaya tradisional Betawi dan Nasional, dan yang terpenting untuk merayakan Hut Kota Jakarta ke 492. hampir dan agak bingung si yak arena kita berpatokannya itu sebelum puasa seminggu gitu.

Yang namanya bulan itukan muter ya dulu itu kita menyambut sebelum tanggal 22 juni lahirnya kota Jakarta itu kita bikin festival palang pintu akan tetapikan berjalannya waktu itukan puasa entah dijuni jadi kita adakan di mei jadi kita sebelum puasa seminggu kita ngadain tapi secara pastinya emang gapasti. Intinya kalo ditanya pasti kita jawab diadakan sebelum bulan puasa itu udah pasti patokannya sebelum ramadhan.”

Dapat disimpulkan dari pernyataan informan bahwa tradisi palang pintu di era modern seperti sekarang tidak hanya digunakan sebagai bagian dari acara pernikahan adat Betawi melainkan dapat digunakan untuk acara-acara besar lainnya, seperti perayaan ulang tahun DKI Jakarta yang dikemas dalam Festival Palang Pintu Kemang, penyambutan tamu penting atau pejabat Negara serta peresmian gedung. Tradisi kesenian palang pintu tetap

56

hadir dan berkembang walaupun dengan kemasan yang berbeda, yang dimana zaman modern ini mengancam melunturkan tradisi budaya lokal yang di saingkan dengan budaya Internasional. Maka dari itu untuk mengikuti perkembangan zaman dilakukan rekacipta tradisi oleh agen – agen atau penggiat seni untuk menampilkan suatu pelestarian budaya.

Dokumen terkait