• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Profil Pondok Pesantren Al- Qur’an Cijantung Ciamis

KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan

A. Manajemen Perubahan 1. Pengertian Manajemen

Secara etimologis, manjemen berasala dari bahasa inggris “to manage”

yang berarti mengatur, mengurus, atau mengelola. Ada juga yang mengatakan kata manajemen berasala dari bahasa Italia “manegg (iare)” yang bersumber dari perkataan latin “manus” yang berarti “tangan”. Secara harfiah maneg (iare) berarti menangani atau melatih kuda, sementara secara maknawiah berarti memimpin, membimbing atau mengatur (Mulyono, 2009:16).

Kata manajemen juga bersal dari kata dabbara (mengatur) sesuai dengan firman Allah SWT surat As-Sajadah: 5 berbunyi: “Dia mengatur segala

urusan dari langit ke bumi, kemudian urusan itu naik kepada-Nya dalam satu

hari yang lamanya adalah ribuan tahun menurut perhitunganmu”.

Menurut Glosarium Prenitce Hall untuk manajemen dan pemasaran, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian pekerjaan anggota organisasi untuk mencapai sasaran organisasi yang sudah ditetapkan (Benyamin Molan, 2002:92).

Adapun pengertian manajemen menurut ahli dari dunia barat seperti menurut George R. Terry yang dikutip (Mulyono, 2009:16) yaitu manajemen merupakan sebuah proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, penggiatan dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaaatan sumber daya manusia dan sumber daya lain.

memudahkan pekerjaan organisasi. Uang, sebagai modal untuk melakukan pekerjaan organisasi. Metode, sebagai pedoman dalam melakukan pekerjaan organisasi. Barang, sebagai bahan baku untuk melakukan pekerjaan organisasi.

Dari unsur-unsur tersebut dalam mencapai tujuan organisasi maka di perlukan manajemen (perencanaan, pengorganisasian, tindakan, dan pengawasan) sehingga tujuan tercapai secara efektif dan efisien.

Pada dasarnya manajemen terdapat peroses perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakkan (actuating), dan pengawasan (controlling) dalam mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut sesuai dengan proses yanga ada dalam pelaksanaan kegiatan manajemen organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Perencanaan (planning) menyebabkan dipilihnya arah tindakan (rencana-rencana) yang mengarahkan sumber-sumber daya manusia serta alam sesuatu organisasi untuk masa yang akan datang. Rencana-rencana tersebut, memberikan petunjuk batas-batas seseorang dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan aktivitas yang dirancangkan (Winardi, 2010:7).

Perencanaan merupakan hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan oraganisasi. Hal tersebut, menentukan tercapai atau tidaknya tujuan sebuah organisasi. Dalam perencanaan terdapat alternatif-alternatif tindakan yang dilakukan setelah mempelajari kondisi yang pernah dihadapi sebelumnya agar arah yang diputuskan tepat pada sasaran.

Pengorganisasian (organizing) mengkombinasikan berbagai sumber daya manusia dan alam menjadi suatu keseluruhan yang berarti. Dalam pengorganisasi adanya pembagian tugas di masing-masing komponen sehingga membuat semua komponen organisasi bekerja secara sitematis (Winardi, 2010:7). Semua kegiatan yang berbeda dari tiap-tiap komponen akan menentukan gerakan secara kolektif dengan langkah yang sama dalam mencapai satu tujuan organisasi.

Penggerakkan (actuating) mencakup motivasi, kepemimpinan, komunikasi, pelatihan, dan bentuk-bentuk pengaruh pribadi lainnya. Fungsi tersebut juga dianggap sebagai tindakan menginisiasi dan mengarahkan pekerjaan yang perlu dilakukan di dalam sebuah organisasi (Winardi, 2010:8).

Sehingga dalam penggerakan terdapat kaitan antara fungsi-fungsi manajemen lainnya mulai dari perencanaan-pengorganisasi dan pengawasan yang menentukan tujuan organisatoris tercapai sesuai yang diinginkan. Adanya penggerakan tersebut pun tidak terlepas dari kepekaan seorang manajer diorganisasi.

Jadi, fungsi-fungsi manajemen apabila di implementasikan dengan baik dalam kegiatan-kegiatan organisasi dari mulai perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Akan berfungsi sebagai landasan dalam pengelolaan kegiatan organisasi dengan efekti.

2. Pengertian Perubahan

Menurut Winardi (2008:1) perubahan adalah beralihnya keadaan sebelumnya (the before condition) menjadi keadaan setelahnya (the after condition). Perubahan dari segi waktu ada yang bersifat evolusi dan revolusi. Kemudian perubahan bisa dilihat dari bentuk, sikap, pemikiran, dan bahkan keterampilan.

Dengan demikian, dapat didefinisikan manajemen perubahan adalah suatu proses secara sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumberdaya yang diperlukan untuk memengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dari dampak proses tersebut (Wibowo, 2011:241). Adapun manajemen perubahan menurut peneliti adalah suatu proses secara sistematis yang dilakukan oleh agen perubahan organisasi dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya untuk merubah ketermapilan, sikap orang yang akan terkena dampak proses tersebut.

Perubahan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa usia organisasi tidak akan bertahan lama. Perubahan bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan jaman, kemajuan teknologi dan dibidang pelayanan kesehatan adalah peningkatan kesadaran pasen akan pelayanan yang berkualitas.

Perubahan adalah sebuah kepastian yang akan terjadi pada semua elemen kehidupan. Perubahan juga telah dijelaskan sesuai dengan penjelasan dalam potongan QS. Ar-Ra’d ayat 11:

“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan”. Dalam artian lebih jelas dijelaskan dalam tafsir Jalalain “Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka”.

Dalam proses perubahan kita mengenal, sebuah istilah penting yakni seorang agen perubahan (a change agent). Seorang agen perubahan yaitu seorang atau kelompok yang bertanggung jawab untuk mengubah pola prilaku yang ada pada orang tertentu atau sistem sosial tertentu. Dalam hal berbicara tentang perubahan, perlu kita bedakan konsep perubahan yang direncanakan dan perubahan yang tidak direncanakan (Winardi, 2008:3).

dilakukan empat fase tindakan, yaitu sebagai berikut: 1) Fase eksplorasi

Dalam tahap ini organisasi menggali dan memutuskan apakah ingin membuat perubahan secara spesifik dalam operasi, dan jika demikian, harus mempunyai komitmen terhadap sumber daya untuk merencanakan perubahan.

2) Fase perencanaan

Proses perubahan menyangkut pengumpulan informasi dengan maksud menciptakan diagnosis yang tepat tentang masalahnya, menciptakan tujuan perubahan dan mendesain tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut.

3) Fase tindakan

Pada tahap ini organisasi mengimplementasi perubahan yang ditarik dari perencanaan. Proses perubahan menyangkut desain untuk menggerakan organisasi dari current state (keadaan sekarang) ke future state (keadaan yang akan datang) yang diharapkan, dan termasuk menciptkan pengaturan yang tepat untuk mengelola proses perubahan, mendapat dukungan untuk dilakukan dan evaluasi kegiatan sehingga penyesuaian dan perbaikan dapat dilakukan.

4) Fase integrasi

Tahap ini dimulai begitu perubahan telah dengan sukses diimplementasikan. Hal ini berkaitan dengan mengonsolidasi dan menstabilisasi perubahan sehingga keadaan normal kembali dengan menerapkan budaya baru.

Dilihat dari subtansi perubahan dapat dibedakan menjadi empat yaitu: 1) Perubahan Struktural

Struktur adalah bagian penting dalam sebuah organisasi. Organisasi akan berjalan bagaimana struktur yang dibuatnya. Karena organisasi di dalamnya terdapat banyak orang yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga dalam mencapai tujuan tersebut dapat tercapai dengan efektif dan efesien diperlukan struktur organisasi.

Struktur organisasi didefinisikan sebagai tugas-tugas yang secara formal di bagi-bagi, dikelompokan, dan dikordinasi. Agen perubahan dapat mengubah satu atau lebih desain suatu organisasi. Misalnya, tanggung Jawab departemen dapat digabung, lapisan vertikal dihilangkan, dan rentan kendali dilebarkan untuk membuat organisasi lebih datar dan kurang birokratis. Lebih banyak aturan dan prosedur dapat dilaksanakan untuk meningkatkan pambakuan (standarisasi). Suatu peningkatan

Mengubah struktur yaitu perubahan yang mencakup hubungan wewenang, mekanisme koordinasi, rentang kendali, rancang ulang pekerjaan dan hierarki.

2) Perubahan Teknologi

Kita ketahuai dalam manajemen terdapat empat gabungan unsur yang saling berkaitan diantaranya orang, metode, mesin/teknologi, dan modal. Dalam memanajemn organisasi sudah tentu seorang manajer/agen perubahan akan berinteraksi langsung dengan unsur-unsur tersebut.

Kebanyakan dari studi yang dini dalam menajemen dan prilaku organisasi menangani upaya-upaya yang diarahkan pada perubahan teknologi. Pada abad ke-19 sampai dengan ke-20, misalnya, manajemen ilmiah mengupayakan pelaksanaan perubahan yang didasarkan pada studi waktu dan gerakan yang akan meningkatkan efesiensi produksi (Veithzal & Mulyadi, 2012:403).

Maka, perubahan teknologi yaitu perubahan yang menyangkut antara lain studi waktu dan gerak untuk meningkatkan efesiensi penggunaan peralatan atau metode baru, otomatisasi, dan komputerisasi.

3) Perubahan Penataan Fisik

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dari unsur manajemen adanya peruban pada teknologi. Teknologi disini harus difahami secara luas mungkin bisa disebut dengan sarana prasarana. Penataan fisik ini akan menunjang akan kinerja dari para karyawan dan berjalannya sebuah organisasi.

Dalam penataan fisik ini yang berkaitan dengan sarana dan prasrana harus mempertimbangkan tuntutan kerja, persyaratan interaksi formal, dan kebutuhan sosial ketika mengambil keputusan mengenai konfigurasi ruang, desain interior, penempatan peralatan, dan yang serupa (Veithzal & Mulyadi, 2012:404).

Penataan fisik ini tidak akan sendirinya memberikan dampak besar pada kinerja individu dan organisasi apabila tidak dilakukan perubahan pula pada perilaku sumber daya manusianya.

Jadi, prubahan penataan fisik yaitu perubahan yang menyangkut tata letak ruang kerja, kuantitas dan tipe lampu penerangan, tingkat kebisingan, kebersihan area kerja, desain interior seperti dekorasi dan tata warna ruangan.

4) Perubahan Orang-orang

Sejalan dengan perubahan struktural, teknologi, dan penataan fisik, perubahan yang paling inti adalah membantu individu dan kelompok

yang sudah tertanam pada diri, pengalaman, pendidikan yang salah, dan kepribadian. Sehingga dalam penerapan peruabahan seringkali banyak penolakan.

Ada enam cara penanggulangan penolakan terhadap perubahan, yaitu 1) Pendidikan dan komunikasi, 2) Partisipasi dan keterlibatan, 3) Kemudahan dan dukungan, 4) Negosiasi dan persetujuan, 5) Manipulasi dan bekerja sama, 6) Paksaan eksplisit dan implisit (Veithzal & Mulyadi, 2012: 405-406).

Maka, perubahan orang-orang/ sumber daya manusia yaitu perubahan yang diarahkan untuk modifikasi terhadap sikap, prilaku, keahlian, yang diusahakan melalui training dan prosedur seleksi (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007:28).

Menurut Kurt Lewin seoarang ahli psikologi sosial berkaitan dengan perubahan organisasi terdapat tiga tahapan proses yaitu pencairan (unfreezing), perubahan (changing), dan pembekuan (refreezing). Tiga tahapan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

Menurut Robert Kreitner & Angelo Kinicki, (2014:274) pencairan dari tahapan ini, yaitu menciptakan motivasi untuk berubah. Dalam melakukannya, para individu dimotivasi untuk mengubah perilaku dan sikap lama sesuai yang diharapkan oleh pengurus organisasi. Para pengurus mempengaruhi anggota organisasi dengan membuktikan data-data pasti berdasarkan level efektivitas, efesiensi, dan kepuasan konsumen sehingga perlunya perubahan.

Perubahan merupakan tahapan dimana peruabahan organisasi terjadi. Perubahan ini dilakukan untuk meningkatkan beberapa proses, prosedur, hasil, dan layanan sesuai keinginan pengurus organisasi. Perubahan ini disesuaikan dengan hal-hal yang mendorong perubahan tersebut (Robert Kreitner & Angelo Kinicki, (2014:275). Sehingga perubahan akan tercapai secara efektif.

Tujuan dari tahapan pembekuan adalah untuk mendukung dan memperkuat perubahan. Perubahan didukung dengan membantu anggota organisasi untuk mengintegrasikan perilaku yang diubah ke dalam kebiasaan dalam melaksanakan sesuatu atau tugas (Robert Kreitner & Angelo Kinicki, (2014:275). Sehingga kebiasaan tersebut menjadi sebuah budaya organisasi baru dalam mencapai tujuan organisasi.

Berdasarkan kajian teori yang duraikan fokus teori yang digunakan yaitu pada kajian manajemen kepememimpinan dalam perubahan, sehingga penelitian dapat didukung dengan teori ini.

Lingkungan eksternal organisasi cenderung merupakan kekuatan yang mendorong untuk terjadinya perubahan. Di sisi lain, bagi organisasi secara internal merasakan adanya kebutuhan akan perubahan (Wibowo, 2011:81).

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan dari eksternal organisasi antara lain politik, sosial, ekonomi, agama, pendidiakan, teknologi, ilmu pengetahuan, ideology, pertahanan dan keamanan, serta kompetisi global (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007:22).

Terdapat empat faktor yang menjadi pendorong bagi kebutuhan akan perubahan menurut Kreitner dan Kinicki, yaitu sebagai berikut:

a. Kemajuan Teknologi Terus Meningkat

Sebagai akibat perubahan teknologi yang terus meningkat, penyusutan teknologi menjadi semakin meningkat pula. Organisasi tidak dapat mengabaikan perkembanagan yang menguntungkan pesaingnya. Perkembangan baru akan meningkatkan perubahan keterampilan, pekerjaan, struktur, dan seringkali juga buadaya. Dengan demikian sumber daya manusia harus selalu mengikuti perkembangan teknologi supaya tidak ketinggalan.

b. Perubahan Pasar

Organisasi harus belajar bagaiamana menciptakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan organisasi lain supaya tetap survive dalam dunia luas.

c. Tekanan Sosial dan Politik

Tekanan sosial dan politik terjadi karena adanya perang, adanya nilai-nilai yang harus dipertahankan, maupun tipologi kepemimpinan. Setidaknya organisasi harus mampu beradaptasi dalam kondisi tertentu.

d. Demografis Negara Berubah

Dengan keberagaman unsure demografis yang berubah maka organisasi perlu mengelola keberagaman secara efektif untuk mendapatkan kontribusi dan komitmen maksimum dari anggotanya (Wibowo, 2011:86).

2. Faktor internal

Perubahan juga datang karena didorong faktor internal. Seperti kegiatan pegawai, perubahan visi dan misi, tujuan, perubahan prosedur dan tata kerja, maupun perubahan strategi dan kebijakan pimpinan (Badan

P. Robbins penghambat perubahan berasal dari dua faktor, yaitu faktor penolakan individual dan faktor penolakan dari kelompok/organisasi.

Faktor penolakan individual terhadap perubahan disebabkan adanya kebiasaan, kepastian, faktor-faktor ekonomi, persaan takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui, dan pemerosesan informasi secara selektif (Winardi, 2010:7). Faktor-faktor ini cenderung susah untuk diprediksi oleh agen perubahan.

Faktor penolakan kelompok/organisasi terhadap perubahan ini bersifat konservatif karena mereka secara aktif menentang perubahan. Ada enam faktor penyebab timbulnya penolakan dari kelompok, yaitu inertia structural, fokus perubahan yang terbatas, inertia kelompok, ancaman bagi ekspertis, ancaman hubungan-hubungan kekuasaan yang sudah mapan, ancaman terhadap alokasi sumber-sumber daya yang berlaku (Winardi, 2010:8).

Dalam melakukan perubahan perlunya sebuah analisis terhadap faktor-faktor yang mendorong dan menghambat akan perubahan tersebut. Jadi untuk melakukan perubahan yang baik harus adanya modal dari analisis tersebut.

D. Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Istilah Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Disamping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau (Kementerian Agama RI, 2011-2012:68).

Secara terminologi, K.H. Imam Zarkasih mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kiai sebagai figure sentral, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran Islam di bawah bimbingan kiai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya (Fauzan, 2011:75).

Dengan demikian pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai kekhasan tersendiri, di mana kiai sebagai figure pemimpin, santri sebagai obyek yang dikasih ilmu agama, dan asrama sebagai tempat tinggal para santri.

ilmu agama yang diajarkan oleh Kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

b. Tujuan Umum

Yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar dan melalui ilmu dan amalnya.

Tujuan pondok pesantren pada walnya hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi sekaligus memadukan tiga unsure pendidikan yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan masyarakat sehari-hari (Fauzan, 2011:76).

Adapun tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, menyebarkan agama atau menegakan agama Islam dan kejayaan umat Islam di tengah masyarakat (izzul Islam wal muslim), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia (Sulthon & Khusnurdilo, 2005: 92).

Kebutuhan-kebutuhan akan perubahan pesantren adalah bukti bahwa pondok pesantren mempunyai gagasan besar untuk mengembangkan dirinya sebagai sebuah subsistem pendidikan dan sistem pendidikan nasional (Marjuki, 1999:21). Jadi pondok pesantren harus memiliki indikator yang jelas untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

3. Fungsi Pondok Pesantren

Dari waktu ke waktu fungsi pesantren berjalan secara dinamis, berubah dan berkembang mengikuti dinamika sosial masyarakat global. Pada awalnya lembaga trdisional ini mengembangkan fungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama. Azyumardi Azra menyebut ada tiga fungsi utama pesantren, yaitu 1) transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, 2) pemeliharaan tradisi Islam, dan 3) reproduksi ulama (Marjuki, 1999:90).

Dalam perjalanannya hingga skarang pesantren sudah menyelenggarakan pendidikan formal baik berupa sekolah umum, madrasah, dan perguruan tinggi. Disamping itu, pesantrenn juga menyelenggarakan pendidikan non formal berupa madrasah diniyahn yang mengajarkan bidang ilmu-ilmu agama saja. Pesantren juga telah mengembangkan fungsinya sebagai lembaga solidaritas sosial dengan melayani semua lapisan masyarakat muslim tanpa membedakan sosial ekonomi mereka (Marjuki, 1999:90).

pendidikan nasional sebagai pencetak generasi bangsa yang intelek yang dilandasi nilai-nilai keIslaman dan integritas. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berperan terhadap perubahan dan pembangunan nasional.

4. Manajemen Pondok Pesantren

Manajemen pondok pesantren adalah kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan mengontrol komponen-komponen yang tersedia di pesantren untuk mencapai tujuan pondok pesantren secara efektif dan efisien.

Menurut Mundzier, (2009:86) secara umum pondok pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pesantren salafiyah dan pesantren khalafiyah. Pesantren salafiyah sering disebut sebagai pesantren tradisional atau konvensional, sedangkan pesantren khalafiyah disebut pesantren modern atau kontemporer.

Implementasi manajemen pada pondok pesantren salafiyah (tradisional) cenderung terfokus pada gaya kepemimpinan kiai yang sentaristik, manjemen pembinaan lingkungan, manajemen keuangan, dan manajemen sarana prasarana. Kegiatan manajemen tersebut pun masih tergantung pada dinamika sosial budaya pesantren (Misdah, 2014:453).

Manajemen tersebut, kegiatannya masih terpusat pada keputusan kiai sehingga dalam pelaksanaannya terlihat kaku serta masih kuat keyakinannya terhadap sosok kiai bukan melihat pada sistem yang dibangun dan terlihat pondok pesatren sangat tertutup.

Kemudian untuk implementasi manajemen pada pondok khalafiyah (modern), sejalan dengan berkembangnya penyelenggaraan pendidikan formal di pondok pesantren terdapat beberapa pondok pesantren yang mengalami perkembangan dalam implementasi manajemen, organisasi, dan administrasi pengelolaan keuangan (Sulthon & Khusnurdilo, 2005:14-15). Pondok pesantren yang sudah menerapkan manajemen dalam pencapai tujuan pondok pesantren lebih efektif dan efisien. Begitu juga dalam sistem kerja, adanya pendelegasian kewenangan, serta pembuatan kebijakan dilakukan secara demokratis sehingga sistem yang diterapkan lebih terlihat lebih teratur dan sistematis.

Manajemen yang di terapkan oleh pesantren Gontor Jawa Timur contohnya. Pesantren tersebut dalam pengelolaan komponen-komponen pesantren begitu terbuka, bukan hanya pimpinan pesantren yang menjadi landasan pelaksanaan kegiatan pesantren tetapi juga menghargai sistem yang dibangun secara demokratis. Pesantren Gontor ini bahkan

mengarahkan organisasi kepada tujuan organisasi. Kepemimpinan merupakan ruh yang menjadi pusat sumber gerak organisasi. Dalam memahami Kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang baik dari dari sudut pandang tugas, peran dan tanggung jawabnya, hal tersebut akan difahami tergantung kepada bentuk latar organisasi tersebut.

Menurut Vaithzal, (2012:1) kepemimpinan adalah Usaha yang positif untuk mempengaruhi/mengerahkan orang lain untuk tetap atau lebih bersemangat melakukan tugas atau mengubah tingkahlaku mereka untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.

Berkaitan dengan kepemimpinan pondok pesantren sudah tentu terfokus kepada seorang kiai. Secara umum, format kepemimpinannya sangat fleksibel; tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kiai atau pengasuhnya. Sebagai lembaga pendidikan produksi masyarakat maka kepemimpinan pondok harus mampu membaur dengan seluruh komponen pondok pesantren sehingga tujuan pesantren dapat dicapai melalui pelibatan masyarakat.

Tatapan dari luar bahwa pondok pesantren lekat dengan figur kiai. Kiai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Hal ini erat kaitannya dengan dua faktor berikut. Pertama, kepemimpinan yang sentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola mono-manajemen dan mono-administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi. Kedua, kepemilikan pesantren bersifat individual bukan komunal (Sulthon & Khusnurdilo, 2005:14-15).

Sesuai dengan berbagai sumber, terdapat dua model kepemimpinan di pesantren yaitu kepemimpinan individual dan kepemimpinan kolektif. a. Kepemimpinan Individual

Kiai dalam memipin pesantren secara individual yang merupakan pendiri pesantren sudah otomatis memegang peranan penting pada keberlangsungan hidup pesantren. Semua kegiatan yang berada di pesantren seakan-akan menunggu keputusan dari sang kiai. Tidak adanya pendelegasian wewenang, walaupun ada pergantian pimpinan pesantren pemilihaannya itu sudah mutlak menjadi hak keturunannya.

Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri menjadikan pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar-tidaknya pesantren semacam ini sangat ditentukan oleh kekarismaan kiai

orang yang ada di pesantren menjadi sangat percaya pada kiai. Bahkan sampai ada masyarakat yang ingin mendapat barakah dari seorang kiai, mereka percaya begitu sucinya seorang kiai.

Terdapat kelemahan pada model kepemimpinan individual ini diataranya ketika kiai pesantren tidak menunjukan kualitas keilmuan pribadnya otomatis akan adanya penurunan kepercayaan dari masyarakat, terjunnya kiai di dunia politik akan mengakibatkan ketidak fokusan seorang kiai dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin pesantren, dan apabila kiai ini meninggal serta tidak mempunyai keturunan, tidak adanya sodara dari keluarga yang mempunyai karisma dan memiliki kualitas ilmu keagamaan yang tinggi maka pesantren ini akan mengalami kemunduran bahkan tidak hidup lagi.

b. Kepemimpinan Kolektif

Perspektif kepemimpinan kolektif di pesantren adalah kepemimpinan bersama para masyâyîkh (dewan kiai) dari garis kekerabatan (kinship) dalam suatu organisasi kekiaian di pesantren. Kepemimpinan kolektif ini mendukung terhadap teori kepemimpinan yang relevan di masa modern ini (Atiqullah, 2012:25).

Kepemipinan ini, adanya sebuah kerjasama antara dewan kiai yang terbuka. Adanya pembagian tugas di masing-masing, hal ini sering disebut

Dokumen terkait