• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Konsep Desa Mandiri

Desa secara universal adalah sebuah aglomerasi (pengumpulan atau pemusatan) permukiman di area perdesaan (prural). Sementara untuk mandiri, pengertiannya adalah dapat berdiri sendiri tanpa tergantung dari pihak lain. Jadi yang dimaksud dengan desa mandiri adalah desa yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa tergantung dari bantuan

pemerintah. Beberapa faktor yang akan mempengaruhi suatu desa menuju desa mandiri adalah : potensi sumber daya manusia, potensi sumber daya alam, potensi pembeli (pasar) serta kelembagaan dan budaya lokalnya. Konsep desa mandiri adalah pola pengembangan pedesaan berbasis konsep terintegrasi mulai dari subsistem input, subsistem produksi primer, subsistem pengolahan hasil, subsistem pemasaran, dan subsistem layanan dukungan (supporting system). Pengembangan yang akan dilakukan pada desa mandiri adalah : Pengembangan potensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup di desa; Pengembangan kemandirian berusaha dan kewirausahaan di desa; Pengembangan kualitas SDM dan penguatan kelembagaan masyarakat desa; serta Pengembangan jejaring dan kemitraan. Desa yang akan menuju desa mandiri harus melihat beberapa hal dibawah ini :

1. Mempunyai potensi sumber daya alam, 2. Mempunyai potensi sumber daya manusia,

3. Mempunyai potensi prasarana dan sarana yang besar,

4. Mempunyai spesifikasi produk yang menonjol didasarkan pada tipologi desa,

5. Mampu memenuhi kebutuhan di dalam desa dan sebagian yang dapat dijual keluar desa,

6. Terdapat peran serta dan kesadaran masyarakat yang besar dalam mengoptimalkan potensi desa,

8. Besarnya tingkat pemberdayaan wanita di dalam kegiatan sosial ekonomi,

9. Banyaknya jumlah dan jenis kelembagaan,

10. Adanya tokoh penggerak/inovator dan eligimatizer yang memiliki peranan besar dalam masyarakat, dan

11. Tingginya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup. Manfaat dari desa yang telah mandiri adalah : Berkembangnya potensi desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diwilayahnya melalui penciptaan lapangan kerja, Meningkatnya kegiatan usaha ekonomi dan budaya berbasis kearifan lokal di desa, Meningkatnya kemandirian desa dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, serta Menurunnya disparitas pembangunan wilayah antara desa dengan kota. Alangkah Indahnya apabila di negara Republik Indonesia ini desa-desanya dapat mandiri, tentunya negara kita akan semakin maju dan kuat, masyarakatnya sejahtera serta sumberdaya alamnya dapat terjaga dengan bijaksana. Dalam pidato ilmiahnya, Madrie, (1988) dikutip dalam Dumasari (2014;26) menyatakan : “Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan untuk dapat mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja, maka sangatlah penting meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan” Secara koseptual. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan warga atau keterlibatan warga masyarakat dalam proses pembangunan, ikut memanfaatkan hasil

pembangunan, ikut mendapatkan keuntungan dari proses pembangunan, baik pembangunan yang dilakukan oleh komunitas, organisasi atau pembangunan yang dilakukan pemerintah. Kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa merupakan suatu hal yang sangat penting. Kemadirian berarti mengedepankan kemampuan diri desa sebagai subjek dari penyelenggara pemerintahan dan pembangunan desa. Kemandirian desa sangat penting dilihat dari aspek filosofis, historis, dan strategis. Sedangkan Selener (1997) dikutip dalam Pratikno (2006;75) membedakan empat macam kategori partisipasi :

1. Domestikasi : Kekuasaan dan kontrol terhadap kegiatan tertentu ada di tangan perencana, kepala desa, camat, atau pemerintah yang diraih dengan menggunakan teknik partisipasi semu untuk melakukan manipulasi kegiatan yang menurut anggapan pihak luar penting dan bukannya memberdayakan partisipannya atau masyarakatnya sendiri

2. Bantuan : Kekuasaan dan kontrol tetap ada di tangan pihak luar (elit). Para anggota kelompok yang berpartisipasi menerima informasi, nasihat, dan bantuan. Para partisipan diperlakukan sebagai objek pasif yang tidak mampu mengambil peranannya dalam proses kegiatan. Mereka sekedar diberi informasi kegiatan , tetapi tidak mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan dan kontrol.

3. Kooperasi : Melibatkan masyarakat dalam bekerjasama dengan pihak luar untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat atau partisipan. Keputusan diambil melalui dialog antara partisipan dan 25 pemimpin. Partisipan juga aktif dalam pelaksanaan. Kekuasaan dan kontrol dipegang bersama selama berlangsungnya kegiatan, yang secara ideal berlangsung dari “bawah ke atas”.

4. Pemberdayaan : Pendekatan agar masyarakat memegang kekuasaan dan kontrol terhadap program, atau kelembagaan berikut pengambilan keputusan dan kegiatan administrasi. Partisipasi diraih melalui hati nurani, demokratisasi, solidaritas dan kepemimpinan. Partisipasi untuk pemberdayaan biasanya bercirikan terjadinya proses mandiri dalam perubahan tatanan sosial dan politik

Terkait desentralisasi, dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa otonomi menuntut adanya kemandirian, atau kemandirian merupakan prasyarat adanya otonomi. Konsep otonomi pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif menurut prakarsa sendiri. Dalam perspektif ini maka kebebasan dalam pengambilan keputusan dengan prakarsa sendiri suatu yang niscaya.

Oleh karena itu, kemandirian daerah suatu hal yang penting, tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Kemandirian daerah berarti ketergantungan daerah pada pusat. Sedangkan yang dinamakan desa ialah suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri Kartohadikoesoemo, (1984) dikutip Suharto, (2016;111). Desa dapat dimaknai sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal-usul dan asas desentralisasi. Sebagai sebuah istilah politik dan hukum kata sendiri (self governing) Juga dimaknai secara longgar sebagai kemandirian. Desa harus dipahami sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum, bukan sekedar dipahami sebagai wilayah administratif semata.

Secara historis desa adalah daerah otonom yang paling tua (Kartohadikoesoemo, 1984) sebagaimana dikutip (Suharto, 2016;112). Kewenangan dan kewajiban desa untuk menjalankan hak otonominya itu sangat banyak. Kecuali beberapa pembatasan yang ditetapkan dalam peraturan kekuasaan pusat dan daerah lebih atas, maka desa itu memegang hak otonomi penuh. Kekuasaannya tidak saja berisi perintah dalam arti sempit (bestuur), tetapi juga pemerintahan yang lebih luas (regering). Sebab desa juga berkuasa atas pengadilan, perundang-undangan, kepolisian dan pertahanan. Kewenangan dan

kewajiban itu diatur oleh hukum adat beserta hukum acaranya yang dibuat sebagian tidak tertulis. Sebelum terbentuk negara, urusan-urusan yang dikelola oleh desa telah berjalan secara turun temurun sebagai norma-norma atau telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa atau dikenal sebagai hukum adat. Dengan demikian otonomi desa tingkat materi dan cara mengerjakannya sangat sederhana jika dilihat dari kacamata pemerintah modern. Pengintegrasian desa ke dalam wilayah negara, mengakibatkan hilangnya otonomi desa. Pemerintahan dan sumber daya alam diambil alih oleh negara. Keberadaan desa sebagai wilyah yang mandiri berakhir seiring dengan adanya supradesa.

Dari sisi kebijakan strategis, kemandirian desa adalah kunci bagi kemandirian daerah dalam jangka panjang. Sehingga membangun kemandirian desa secara bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama ini. Jika desa selamanya marginal dan tergantung, maka justru akan menjadi beban pemerintah daerah dan pusat. Kemandirian desa merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat desa. Otonomi desa hendak memulihkan basis penghidupan masyarakat desa dan secara sosiologis hendak memperkuat desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri. Kemandirian merupakan kekuatan atau prakondisi yang memungkinkan proses peningkatan kualitas

penyelenggaraan pemerintah desa, pengembangan desa, pengembangan prakarsa dan potensi lokal, pelayanan publik dan kualitas hidup masyarakat desa secara berkelanjutan.

Dalam konteks pembangunan, kemandirian harus dijadikan tolak ukur keberhasilan, yakni apakah rakyat atau masyarakat menjadi lebih mandiri atau justru semakin bergantung. Perwujudan kemandirian tidak muncul tiba-tiba, tetapi berlangsung bertahap. Perkembangan kemandirian dapat di susun berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Pada tahap pertama akan diciptakan otonomi desa yang lebih dipahami sebagai kemandirian fungsional atau menjalankan fungsi-fungsi, bukan kemerdekaan dalam relasi kekuasaan pemerintahan. Beranjak dari proses conditioning di tahap pertama ini, upaya otonomi desa dilanjutkan kearah tahap pematangan (tahap kedua). Dalam hal ini pemerintahan desa diharapkan mampu menginisiasi “development-initiative” dan “self financing capacity” yang memadai. Bila tahap ini di capai, maka pemerintahan desa memasuki tahapan kemandirian ekspensional atau kemandirian untuk berinisiatif dan mewujudkan suatu inisiatif pembangunan. Jika kemandirian pada taraf ini telah tercapai, maka dijalankan upaya-upaya ke arah kemandirian tahap ketiga. Pemerintah desa mampu mengekspresikan eksistensi dirinya setelah terbebas dari ketergantungan keuangan dan inisiatif pembangunan sepenuhnya dari kelembagaan pemerintahan supradesa. Dengan

terbebasnya desa dari kekuasaan supradesa, maka bargaining position pemerintah desa menjadi lebih besar. Pada tahap ini dicapailah kemandirian eksistensian untuk mengatur rumah tangga pemerintahan secara independen dan mampu melakukan negosiasi setara dengan kelembagaan pemerintah supradesa sekalipun. Pada tahap inilah kemandirian dan otonomi pemerintahan desa dapat dicapai secara mandiri dan hakiki.

3. Pastisipasi Masyarakat

Pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan mampu merubah sikap dan perilaku. Pasrtisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu wujud perubahan sikap dan perilaku tersebut. Dalam hal ini, aktivitas lokal adalah media dan sarana bagi masyarakat dalam melaksanakan partisipasinya. Agar proses pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu diusahakan agar ada kesinambungan dan peningkatan yang bersifat komulatif dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal. Dengan demikian pendekatan partisipatif harus dilihat sebagai pendekatan utama dalam strategi pengelolaan sumber daya manusia.

Davis (dalam Ndraha, 1987:37) mengartikan partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosional yang menggerakkan mereka untuk bersama sama mencapai tujuan dan bersama sama bertanggungjawab.

Sedangkan Nelson (dalam Bryant & White, 1982:206) menyebutkan dua macam yaitu partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron, atau antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah yang diberi nama partisipasi vertikal. Menurut Cohen dan Uphoff, (1977:3) menyatakan bahwa partisipasi dapat merupakan keluaran pembangunan dan juga merupakan masukannya sebab apabila masyarakat yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan suatu proyek di Desanya, maka proyek itu pada hakekatnya bukanlah proyek pembangunan desa. Berbicara tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan, orang akan menemukan rumusan pengertian yang cukup bervariasi, sejalan dengan luasnya lingkup penggunaan konsep tersebut dalam wacana pembangunan. Mikkelsen (1999) dikutip dalam (Soetomo, 2013;473) misalnya menginvestasikan adanya enam tafsiran dan makna yang berbeda tentang partisipasi.

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan dalam menanggapi proyek-proyek pembangunan.

3. Partisipasi adalah proses yang aktif yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasan untuk melakukan hal itu.

4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Khususnya menyangkut partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan, Conyers (1994) dikutip dalam (Soetomo, 2013;475) mengemukakan adanya 5 cara untuk mewujudkannya. Cara tersebut adalah ; (1) survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, (2) memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melaksanakan tugasnya sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan, (3) perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi, (4) perencanaan melalui pemerinth lokal dan (5) menggunakan strategi pengembangan komunitas. (community development). Apabila mencermati pola pikir yang digunakan dalam menginvestarisasikan cara partisipasi tersebut, maka dapat dipahami bahwa partisipasi dalam perencanaan lebih dimaksudkan dalam rangka memperoleh informasi tentang kondisi dan persoalan yang ada

dalam masyarakat setempat. Informasi tersebut dapat diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari masyarakat dan merupakan hal yang dianggap penting bagi perumusan perencanaan terlepas dari apakah yang merumuskan perencanaan tersebut masyarakat sendiri atau bukan.

Perencanaan pembangunan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat yang pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach).

Korten dalam Supriatna (2000: 65) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan. Karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu: Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa

kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Alasan Kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaanya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:

1. Usia

Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.

2. Jenis kelamin

Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur”

yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik.

3. Pendidikan

Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.

4. Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.

5. Lamanya tinggal

Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung

lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.

Sedangkan unsur-unsur dasar partisipasi yang juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:

1. Kepercayaan diri masyarakat;

2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat; 3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat;

4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas kekuatan sendiri;

5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui sebagai/menjadi milik masyarakat;

6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau sebagian kecil dari masyarakat; 7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha;

8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan;

9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat.

Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Ada 4 poin yang

dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu:

1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya;

2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat;

3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi sosial;

4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.

Kriteria utama untuk menentukan adanya partisipasi masyarakat adalah adanya keterlibatan tanpa harus mempersoalkan faktor yang melatar belakangi atau mendorong keterlibatan tersebut. Pastisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Partsisipasi yang dimaksud adalah partisipasi dari seluruh proses pembangunan mulai dari pegambilan keputusan,

perencanaan program, pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan menikmati hasil.

Sejalan dengan hal tersebut, partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil. (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat diihat dalam proses pengambilan keputusan. Arnsten (1969) dikutip dalam Wicaksono (2010;78) menawarkan suatu teori yang disebut the ladder of participation yaitu suatu gradasi atau pentahapan partisipasi masyarakat. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut.

Tabel 1.2

Tingkat partisipasi masyarakat menurut tangga partisipasi Arnsten; No Tangga/tingkatan partisipasi Hakekat kesetaraan Tingkatan pembagian kekuasaan

1 Manipulasi (manipulation) Permainan oleh pemerintah

Tidak ada partisispasi 2 Terapi (therapy) Sekedar agar

masyarakat tidak marah/sosialisasi 3 Pemberitahuan (informing) Sekedar

pemberitahuan searah/sosialisasi

Tokenism/sekedar justifikasi agar meng-iyakan 4 Konsultasi (consultation) Masyarakat di

dengar tetapi tidak selalu disepakati sarannya 5 Penentraman (placation) Saran

masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan 6 Kemitraan (partnership) Timbal balik

dinegoisasikan

Tingkat

7 Pendelegasian kekuasaan (delegated power) Masyarakt diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program) pada masyarakat

8 Kontrol masyarakat Sepenuhnya dikuasai oleh (citizen control) masyarakat

Sumber ; Arnsten (1969) dikutip dalam Wicaksono (2010;78)

Arnsten menyatakan bahwa partisipasi masyarakat identik dengan keuasaan masyarakat (citizen participation is citizen power). Partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat diihat dalam proses pengambilan keputusan. Berikut tingkatan partisipasi masyarakat dalam objek pembangunan.

Tangga pertama, yaitu manipulasi atau penyalahgunaan yaitu mereka memilih dan mendidik sejumlah orang sebagai wakil masyarakat. Fungsinya, ketika mereka mengajukan berbagai program maka para wakil masyarakat ini harus selalu menyetujuinya. Sedangkan masyarakat sama sekali tidak diberitahu tengang hal tersebut. Seran tangga kedua, terapi (perbaikan) tidak termasuk dalam konteks partisipasi yang sesungguhnya. Di dalam hal ini masyarakt terlibat dalam suatu program, akan tetapi sesungguhnya keterlibatan mereka tidak dilandasi oleh dorongan mental, psikologi serta konsekwensi keikutsertaan yang memberikan kontribusi dalam program tersebut. Masyarakat pada posisi ini hanyalah menjadi objek dalam program. Pemerintah hanya sedikit memberitahu kepada

masyarakat tentang programnya yang sudah disetujui oleh wakil masyarakat dan masyarakat hanya bisa mendengarkan.

Tangga ketiga, pemberi informasi yaitu menginformasikan berbagai program yang akan dan sudah dilaksanakan. Namun hanya dikomunikasikan searah. Masyarakat belum dapat melakukan komunikasi umpan balik secara langsung. Selanjutnya tanga keempat, konsultasi yaitu mereka berdiskusi dengan banyak elemen masyarakat tentang berbagai agenda. Semua saran dan kriktik didengarkan. Tetapi, mereka yang berkuasa memutuskan apakah saran dan kritik diterima atau tidak. Berlanjut ketangga kelima, peredaman kemarahan/penentraman adalah suatu bentuk usaha menampung ide, saran, dan masukan dari masyarakat untuk sekedar meredam keresahan masyarakat. Pemerintah berjanji melakukan berbagai saran dan kritik dari masyarakat, namun tidak dilaksanakan. Tangga ini termasuk dalam kategori tokenism/pertanda. Penyampaian informasi atau pemberitahuan adalah suatu bentuk pendekatan kepada masyarakat agar memperoleh legitimasi masyarakat atas segala program yang dicanangkan. Konsultasi yang disampaikan hanyalah upaya untuk mengundang ketertarikan publik untuk mempertajam legitimasi, bukan secara sungguh-sungguh memperoleh pertimbangan dan mengetahui keberadaan masyarakat.

Pada tangga keenam, terjadilah partisipasi atau kemitraan masyarakat. Pada tahap ini masyarakat telah mendapat tempat dalam suatu program pembangunan. Mereka memperlakukan masyarakat selayaknya rekan

kerja. Mereka bermitra dalam merancang dan mengimplementasi aneka kebijakan publik. Pada tangga ketujuh, terjadilah pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap program pembangunan. Tangga inilah yang disebut Arnsten sebagai partisipasi atau kekuasaan masyarakat. Masyarakat lebih mendominasi ketimbang pemerintah. Bahkan sampai pada tahap evaluasi kinerja mereka partisipasi masyarakat yang ideal tercipta di level ini.

Perencanaan pembangunan akan tepat mengenai sasaran, terlaksana dengan baik dan bermanfaat hasilnya jika dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Kartasasmita (1996) dikutip dalam Soetomo, (2008:8). pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh

Dokumen terkait