• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN DESA MANDIRI MELALUI PARTISIPASI MASYARAKAT DI KECAMATAN PATTALLASSANG KABUPATEN GOWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN DESA MANDIRI MELALUI PARTISIPASI MASYARAKAT DI KECAMATAN PATTALLASSANG KABUPATEN GOWA"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

INDEPENDENT VILLAGE DEVELOPMENT THROUGH

COMMUNITY PARTICIPATION IN PATTALLASSANG

DISTRICT, GOWA REGENCY

Oleh :

FATMAWATI

Nomor Induk Mahasiswa : 105 0311006 15

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(2)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Ilmu Administrasi Publik

Disusun Dan Diajukan Oleh

FATMAWATI

Nomor Induk Mahasiswa : 105 0311006 15

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)
(4)
(5)
(6)

judul “Pembangunan Desa Mandiri Melalui Partisipasi Masyarakat Di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa” ini dapat diselesaikan. Salam serta shalawat atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Tesis ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Magister Administrasi Publik (MAP) pada program pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Selesainya, skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan yang diberikan oleh dosen pembimbing penulis, yakni Ayahanda Dr. H. Lukman Hakim, M.Si selaku pembimbing I dan ayahanda Dr. H. Mappamiring, M.Si selaku pembimbing II. Atas segala perhatian, kepedulian dan ilmunya, maka penulis menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan yang telah diberikan sampai tesis ini selesai.

Penulis menyadari, bahwa penyusunan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Olehnya, melalui kesempatan ini diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada yang terhormat :

1. Ayahanda Dr. H. Abdul Rahman Rahim. SE, MM selaku rektor Universitas Muhammadiyah Makassar

2. Ayahanda Dr. H. Darwis Muhdina, M.Ag selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar

(7)

ayahanda Dr. H. Mappamiring, M.Si selaku pembimbing II.

5. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh staf Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar

6. Pemerintah Kabupaten Gowa khususnya Dinas Pemberdayaan Mayarakat dan Desa serta Pemerintah wilayah Kecamatan Pattallassang

7. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Selatan

8. Teman-teman mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis

9. Kedua orangtua tercinta dan segenap keluarga yang senantiasa memberikan semangat serta bantuan baik materil maupun moril Demi kesempurnaan tesis ini, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan. Akhir kata, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Amin.

Makassar, 10 Oktober 2018

PENULIS

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...11

C. Tujuan Penelitian...11

D. Manfaat Penelitian...12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Dan Konsep...13

1. Konsep Pembangunan Desa...13

2. Konsep Desa Mandiri...20

3. Partisipasi Masyarakat?...28

B. Kerangka Pikir...46

C. Fokus Penelitian?????????????????????..48

D. Deskripsi Fokus Penelitian?????????????????49 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian...50

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian...50

C. Sumber Data...51

D. Teknik Pengumpulan Data...52

E. Teknik Analisis Data...53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian...55

B. Pembangunan Desa Mandiri Di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa...57

C. Partisipasi Masyarakat Dalam Membangun Desa Mandiri Di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa...74

D. Hubungan antara desa mandiri dan partisipasi masyarakat di Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa?????????.89 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan...95

(9)

ABSTRAK

FATMAWATI. Pembangunan Desa Mandiri Melalui Partisipasi

Masyarakat Di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa (dibimbing

oleh Lukman Hakim dan Mappamiring).

Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pembangunan Desa Mandiri Melalui Partisipasi Masyarakat Di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa.

(10)

penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa mandiri di Kecamatan Patallassang Kabupaten Gowa sudah berjalan dengan baik berdasarkan indikator adanya kelembagaan, sumber pendapatan (Anggaran), Sumber daya Manusia dan partisipasi masyarakat. Akan tetapi, harus diperkuat lagi dari segi kelembagaan, terutama kualitas SDM dalam lembaga. Sedangkan, partisipasi masyarakat dalam membangun desa mandiri sudah berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari Partisipasi masyarakat dalam proses perencanan, pelaksanaan program pembangunan, partisipasi dalam menciptakan lapangan kerja, serta dalam meningkatkan kegiatan usaha ekonomi lokal. Aspek yang paling banyak memberi sumbangsi untuk membangun desa adalah pengembangan usaha ekonomi lokal, dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat yang cukup tinggi. Kekurangannya adalah dari semua desa yang diteliti tak satupun desa yang memiliki produk unggulan untuk dikembangkan. Kendala utamanya adalah lebih banyak masyarakat yang bekerja disektor industri dan bekerja di luar kecamatan ketimbang mengembangkan produk agrobisnis.

Kata kunci : Desa Mandiri, Partisipasi Masyarakat

(11)

vii

Based on Law No. 6 of 2014 concern on villages, this study aimed to determine the Independent Village Development Through Community Participation in Pattallassang District, Gowa Regency.

The type of research was descriptive research with qualitative methods. Subjects in the study were the Secretary Gowa Regency Community and Village Empowerment Office, Local Village Facilitators, Head of District. Head of Village and 3 Community Leaders. Data collection techniques in this study were observation, interviews and documentation.

The results of this study concluded that the development of independent village in Patallassang District, Gowa Regency had been running well based on indicators of institutional existence, source of income (dudgeting), human resources and income participation. However, it must be strengthened again in terms of institutions, especially the quality of human resources in it Meanwhile, community participation in developing independent villages run well It can be seen from community participation in the planning process, implementation of development programs, participation in creating job opportunities, and in increasing local economic business activities The most contributing aspect to building villages was the development of local economic enterprises, due to the high level of public awareness. The challenge was none of studied villages had local products. It was due to the people work in the industrial sector and work outside the sub-district rather than developing agribusiness products.

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa, mengembang paradigma dan konsep baru kebijakan tata kelola desa secara nasional. Undang-Undang ini tidak lagi menempatkan Desa sebagai latar belakang Indonesia, tetapi menjadi halaman depan Indonesia. Undang-Undang ini juga mengembangkan prinsip keberagaman, mengedepankan azas rekognisi dan subsidiaritas dalam pengaturan Desa. Lebih daripada itu, Undang-Undang Desa telah mengangkat hak dan kedaulatan Desa yang selama ini terpinggirkan. Semua tertangkap secara eksplisit dengan menyimak ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No.6 Tahun 2014 mengenai Tujuan Pengaturan Desa.

Secara kontras Undang-Undang Desa telah memberikan landasan perspektif dalam pengaturan Desa dibanding Undang-Undang sebelumnya (Undang-Undang No 5 Tahun 1979 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2004) beserta peraturan perundangan turunannya. Perbandingan antara pengaturan Desa pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 dapat disimak dalam tabel 1 di bawah ini. Secara umum Undang-Undang Desa meletakkan Desa dalam posisi selayaknya, yakni sebagai kesatuan masyarakat hukum khas Indonesia yang keberadaannya mendahului negara modern Indonesia. Selain itu juga, pengakuan atas kewenangan berdasarkan hak asal usul dan

(13)

kewenangan lokal berskala Desa yang memberikan keleluasaan bagi Desa untuk menyelenggarakan pembangunan Desa secara Mandiri. Visi Undang-Undang Desa dapat ditangkap pula dari jalan ideologis pemerintah. Seperti tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 yang dikenal dalam Trisakti yakni;

1. Kedaulatan dalam politik

Berdaulat secara politik dapat dipahami bahwa desa memiliki prakarsa dan emansipasi lokal untuk mengatur dan mengurus dirinya. Pada dasarnya, Desa bahkan memiliki tradisi permusyawaratan dimana keterbukaan dan partisipasi menjadi pilar dalam pengambilan keputusan. Pemilihan kepala Desa secara langsung telah menjadi tradisi Desa dalam berdemokrasi.

2. Berdikari dalam ekonomi

Kemandirian ekonomi Desa merupakan aspek penting dalam Undang-Undang Desa. Melalui Undang-Undang Desa, kemandirian ekonomi dirintis melalui pengelolaan aset Desa yang dipayungi oleh kewenangan berdasar hak asal usul dan kewenangan lokal berskala besar.

3. Berkepribadian dalam kebudayaan

Pengakuan terhadap hak asal usul Desa (rekognisi) dalam Undang-Undang Desa memberi jalan bagi perjumpaan kreatif antara tradisi budaya lokal dan inovasi-inovasi baru. Artinya, segala sesuatu yang

(14)

berasal dari luar dikembangkan dengan cara atau tradisi yang berkembang di Desa. Semua itu merupakan fase paling mendasar dalam pembentukan identitas budaya tanpa terpangkas dari dinamika perkembangan dunia kontemporer.

Dukungan dalam mewujudkan visi Undang-Undang Desa adalah sama dengan mengembangkan masyarakat Indonesia yang mandiri dan berkepribadian. Dengan kata lain, pebaruan Desa merupakan keniscayaan yang harus ditempuh melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 beserta peraturan perundangan turunannya. Sebagaimana ditegaskan sebagai tujuan pengturan Desa di pasal 4 huruf i Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 ; memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Desa yaitu pemerintah Desa dan masyarakat Desa menjadi subjek pembangunan atau Desa membangun Indonesia.

Untuk mendukung pelaksanaan manajemen pembangunan daerah, upaya mutlak yang harus dilakukan adalah peningkatan kapasitas aparat pemerintahan daerah serta organisasi civil society agar dapat mengambil peranan yang tepat dalam interaksi demokratis serta proses pembangunan secara komprehensif. Secara lebih spesifik bahwa pembangunan pada era desentralisasi ini harus lebih memiliki dimensi peningkatan sumber daya manusia sehingga dapat memberikan pelayanan yang tepat kepada masyarakat dan mampu mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Untuk itu peran serta masyarakat langsung sangat diperlukan dan perlu terus diperkuat serta diperluas.

(15)

Dengan demikian istilah partisipasi tidak menjadi sekedar retorika semata tetapi diaktualisasikan secara nyata dalam berbagai kegiatan dan pengambilan kebijakan pembangunan. Keberhasilan pemerintahan dalam jangka panjang tidak hanya bergantung pada kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan, tetapi juga atas ketertarikan, keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakatnya. Demokrasi yang sehat tergantung pada bagaimana masyarakat mendapatkan informasi yang baik dan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Kebijakan terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dianggap suatu kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan (right to be consulted). Masih besarnya dominasi pemerintah dalam proses-proses pembuatan kebijakan, perencanaan pembangunan, pengganggaran, penyelenggaraan pelayanan publik serta pengelolaan sumber daya dan aset daerah. Dalam banyak kasus, proses-proses penyelenggaraan pemerintah juga ditandai oleh adanya ‘patron-klien’ antara pemerintah, pejabat, dan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan keputusan dan sumber daya lokal untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Masyarakat hanya dilibatkan pada tahapan paling awal sebagai bentuk pencarian legitimasi, tetapi masih sulit untuk memantau status aspirasi mereka di tingkat berikutnya, termasuk ketika telah menjadi dokumen peraturan daerah, perencanaan

(16)

dan anggaran untuk diimplementasikan. Di sini terbentang hambatan struktural bagi partisipasi masyarakat yang murni (genuine) dan substantif sebagai salah satu tujuan desentralisasi dengan pelaksanaannya. Partisipasi yang dikembangkan baru sebatas partisipasi simbolik (degree of tokenism), bahkan masih ditemukan partisipasi yang bersifat manipulatif sehingga tidak layak disebut sebagai partisipasi.

Dialektika proses pembangunan pedesaan di inisiasi oleh pemerintah desa (Botton Up). Pembangunan dari bawah dengan melibatkan peran serta masyarakat. Partisipasi secara utuh yang melibatkan aktor-aktor pembangunan daerah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasi merupakan “daya dorong” guna mewujudkan sistem manajemen pembangunan daerah yang terpadu menuju peningkatan harkat dan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan pembangunan partisipatif dipandang sebagai sebuah metodologi yang menghantarkan pelaku-pelakunya untuk dapat memahami masalah yang dihadapi, menganalisa akar-akar masalah tersebut, mendesain tindakan-tindakan terpilih dan memberikan kerangka untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. Pada praktiknya, konsep perencanaan pembangunan partisipatif dilatarbelakangi oleh peran dan fungsi daerah otonom yang harus menentukan sendiri strategi perencanaan daerahnya. Karenanya pertimbangan-pertimbangan kebutuhan kapasitas, keragaman pelaku dalam pelaksanaan proses perencanaan di tingkat daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah menjadi sangat penting.

(17)

Strategi perencanaan tersebut mengadopsi prinsip pemerintahan yang baik seperti pembuatan keputusan yang demokratis, partisipasi, transparansi dan sistem pertanggungjawaban dan mencoba menyerapkannya pada kondisi lokal. Ini berarti bahwa perlu dicari pola yang tepat untuk memberikan kesempatan positif kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses mengidentifikasi, membahas, menyampaikan persepsi, kebutuhan dan tujuan-tujuan bagi pembangunan. Proses yang partisipatif untuk menentukan tujuan pembangunan daerah jangka menengah juga berdasarkan anggapan bahwa kelompok-kelompok masyarakat sebagai kelompok identitas menurut profesi, umur, gender, dan sejenisnya yang mempunyai kepentingan bersama yang perlu dicerminkan dalam kebijakan daerah. Tentunya perencanaan pembangunan ini juga berpijak pada bagaimana proses perencanaan pembangunan daerah sejalan dengan standar-standar serta persyaratan teknis perencanaan.

Strategi yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan untuk membangun desa yang mandiri melalui dengan melibatkan partisipasi masyarakat, merupakan upaya untuk mewujudkan good governance di skala pemerintahan dan masyarakat Kabupaten Gowa secara universal. Pembangunan desa mandiri merupakan sebuah cita-cita karena kemandirian desa adalah tolak ukur keberhasilan dari Undang-Undang Desa yang memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat desa. Akan tetapi, pembangunan desa mandiri juga

(18)

merupakan sebuah permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Agar pembangunan desa yang dicita-citakan dapat berlanjut sesuai harapan.

Permasalahan di dalam pembangunan perdesaan adalah dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Dijelaskan pada bagian ketiga bahwa dalam pembangunan desa harus mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotong royongan guna mewujudkan pengarustamaan perdamaian dan keadilan sosial.

Dewasa ini dalam membangun desa, harus lebih mengedepankan pada partisipasi masyarakat. Partisipasi Masyarakat merupakan hal yang tak kalah penting dalam sebuah pembangunan. Masyarakat adalah komponen utama yang harus dilibatkan dalam pembangunan. Kebutuhan kepentingan dan harapan masyarakat menjadi arah setiap kebijakan. Pemberian kesempatan bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi merupakan salah satu komponen untuk mencapai pembangunan yang intensif, oleh sebab itu tanpa dukungan dan partisipasi penduduk maka pembangunan tidak akan berhasil. Seperti kondisi yang terjadi di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa. Partisipasi masyarakat

(19)

sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan secara bersama. Akan tetapi, pada kondisi yang sebenarnya terjadi, masyarakat di desa tersebut masih kurang ikut turut serta dalam mengikuti kegiatan pembangunan desa. Dari 8 jumlah desa yang ada, beberapa desa masih terlihat kurang dari segi partisipasi masyarakatnya dalam proses pembangunan desa seperti di Desa Pattallassang, Desa Sunggumanai dan Desa Borong Pa’la’la.

Contohnya, dalam pelaksanaan program unggulan pemerintah Kabupaten Gowa yakni program sabtu bersih dan jumat Ibadah. Masyarakat terkesan memiliki banyak alasan untuk tidak ikut serta dalam pelaksanaan kerja bakti bersama masyarakat pada setiap hari sabtu pagi atau sekedar hadir sebagai peserta jumat ibadah yang dilakukan sebulan dua kali. Tentu keadaan ini sangatlah tidak menguntungkan karena masyarakat di desa tersebut banyak yang bertolak belakang antara keinginan dan keikutsertaan masyarakat secara aplikatif. Masyarakat sebenarnya menginginkan yang terbaik untuk desanya, akan tetapi alasan untuk ikut serta salam pembangunan masih kurang. Jika dilihat dari jumlahnya hanya sebagian kecil masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam melakukan pembangunan bersama itupun hanya keluarga dari perangkat desa dan masyarakat yang memiliki pemikiran gotong royong saja yang turut langsung membangun. Kondisi seperti itu menjadi masalah dan hambat untuk pembangunan desa guna mensejahterakan masyarakat seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.

(20)

Tingkat kesadaran dari seluruh komponen masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap gerak pembangunan memang dapat dikatakan relatif karena setiap perencanaan yang ada untuk melaksanakan pembangunan, maka masyarakat dengan tidak sendirinya berpartisipasi aktif tetapi selalu melalui paksaan ataupun panggilan langsung dari aparatur pemerintah desa.

Disisi lain, masih rendahnya tingkat pelayanan, prasarana dan sarana perdesaan dan rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketerampilan rendah (low skilled), serta lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat. Contohnya dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang sering dilakukan dalam musyawarah tingkat desa. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tetapi juga dimulai dari tahap perencanaan bahkan pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan Kurangnya kesadaran masyarakat, disertai pemahaman yang rendah dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah pula. Sekalipun terdapat beberapa masyarakat yang mengikuti proses tersebut, kehadiran mereka dalam proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) atau Musyawarah Desa (Mudes) lainnya hanyalah sebatas sebagai penonton yang datang dan menyaksikan pemaparan pemerintah Desa itu sendiri. Dalam proses-proses musyawarah seperti ini, masyarakat dinilai

(21)

memiliki ketidakpedulian, dikarenakan asumsi bahwa proses pengambilan keputusan, merupakan tugas pemerintah desa, bukan tugas masyarakat. Sehingga masyarakat tidak perlu terlalu banyak ikut campur dalam musyawarah tersebut.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kurangnya tingkat partisispasi masyarakat di Kecamatan Pattallassang adalah, karena pada umumnya masyarakat Di Kecamatan Pattallassang memiliki mata pencaharian sebagai petani, dengan bertani mereka merasa kebutuhan masih belum mencukupi dan ada juga yang beberapa mengharuskan mereka agar bekerja di luar desa. Seperti warga yang tidak sempat berpartisipasi karena masih banyak warga yang jika mereka tidak bekerja dalam beberapa hari, maka mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan sandang pangan mereka. Dan karena yang lain belum mempunyai wilayah garapannya sendiri mengharuskan mereka untuk keluar daerah untuk menggarap ladang orang lain.

Melihat kondisi tersebut, dapat diketahui bahwa partisipasi dengan melibatkan peran serta masyarakat yang ada di kecamatan/desa yang bersangkutan, dinilai belum cukup efektif. Sebab implementasinya belum merata ke seluruh desa yang ada. Terkhusus di kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa, partisipati masyarakat di nilai belum cukup untuk mendukung pembangunan desa mandiri. Hal ini terjadi karena pemerintah yang belum mampu mendorong masyarakat untuk berartisipasi secara efektif dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga pada proses

(22)

evaluasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, Dengan mengamati kondisi desa yang ada di Kecamatan Pattallassang seperti tertulis diatas maka penulis ingin mengkaji lebih dalam untuk melakukan penelitian dengan judul ‘’Pembangunan Desa Mandiri melalui Partisispasi Masyarakat Di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa”. Semoga dengan melakukan penelitian bisa memberikan gambaran permasalahan dengan jelas tentang keadaan desa, serta dapat memberikan solusi penyelesaiaannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah;

1. Bagaimanakah pembangunan desa mandiri di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa?

2. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam membangun desa mandiri di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui :

1. Pembangunan desa mandiri di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

2. Partisipasi masyarakat dalam membangun desa mandiri di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

(23)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis, untuk pengembangan ilmu pengetahuan srta memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu administrasi negara yang berkaitan dengan kajian dalam bidang manajemen publik. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai tinjauan awal untuk melakuan penelitian serupa dimasa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis, dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan di Kabupaten Gowa, khususnya di Kecamatan Pattallassang. Terutama mengenai strategi dan manajemen publik.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Dan Konsep

1. Konsep Pembangunan Desa

Istilah pembangunan juga menunjukan hasil proses pembangunan itu sendiri. Secara etimologi, pembangunan berasal dari kata bangun, di awalan “pe“ dan akhiran “an“, guna menunjukan perihal orang membangun, atau perihal bagaimana pekerjaan membangun itu dilaksanakan. Kata bangun setidak-tidaknya mengandung tiga arti. bangun dalam arti sadar atau siuman. Kedua, berarti bentuk. Ketiga, bangun berarti kata kerja, membangun berarti mendirikan. Dilihat dari segi ini, konsep, pembangunan meliputi ketiga arti tersebut. Konsep itu menunjukan pembangunan sebagai :

a) Masukan, kesadaran kondisi mutlak bagi berhasilnya perjuangan bangsa.

b) Proses, yaitu membangun atau mendirikan berbagai kebutuhan bardasarkan nasional.

c) Keluaran, yaitu berbagai bentuk bangun sebagai hasil perjuangan, baik fisik maupun non fisik (Taliziduhu Ndraha, 1987:1-2).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 dijelaskan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang

(25)

diakui dan dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sangat jelas desa adalah daerah hukum yang harus memenuhi norma-norma suatu daerah yang mempunyai wilayah sendiri yang sah dan berhak untuk mengatur pemerintahannya sendiri.

Siagian (2005:108) menjelaskan bahwa pembangunan desa adalah keseluruhan proses rangkaian usaha-usaha yang dilakukan dalam lingkungan desa dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa serta memperbesar kesejahteraan dalam desa. Pembangunan desa dengan berbagai masalahnya merupakan pembangunan yang berlangsung menyentuh kepentingan bersama. Dengan demikian desa merupakan titik sentral dari pembangunan nasional Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan desa tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja, tetapi harus melalui koordinasi dengan pihak lain baik dengan pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan.

Dalam merealisasikan pembangunan desa agar sesuai dengan apa yang diharapkan perlu memperhatikan beberapa pendekatan dengan ciri-ciri khusus yang sekaligus merupakan identitas pembangunan desa itu sendiri, yaitu :

1) Komprehensif multi sektoral yang meliputi berbagai aspek, baik kesejahteraan maupun aspek keamanan dengan mekanisme dan

(26)

sistem pelaksanaan yang terpadu antar berbagai kegiatan pemerintah dan masyarakat.

2) Perpaduan sasaran sektoral dengan regional dengan kebutuhan essensial kegiatan masyarakat.

3) Pemerataan dan penyebarluasan pembangunan keseluruhan pedesaan termasuk desa-desa di wilayah kelurahan.

4) Satu kesatuan pola dengan pembangunan nasional dan regional dan daerah pedesaan dan daerah perkotaan serta antara daerah pengembangan wilayah sedang dan kecil.

5) Menggerakkan partisipasi, prakarsa dan swadaya gotong royong masyarakat serta mendinamisir unsur-unsur kepribadian dengan teknologi tepat waktu.

Pembangunan desa merupakan bagian dari pembangunan nasional. Oleh karena itu, pembangunan desa ini memiliki arti dan peranan yang penting dalam mencapai tujuan nasional, karena desa beserta masyarakatnya merupakan basis dan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Kartasasmita (2001:66) mengatakan bahwa hakekat pembangunan nasional adalah manusia itu sendiri yang merupakan titik pusat dari segala upaya pembangunan dan yang akan dibangun adalah kemampuan dan kekuatannya sebagai pelaksana dan yang akan dibangun adalah kemampuan dan kekuatannya sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan. Pada hakekatnya pembangunan desa dilakukan oleh

(27)

masyarakat bersama-sama pemerintah terutama dalam memberikan bimbingan, pengarahan, bantuan pembinaan, dan pengawasan agar dapat ditingkatkan kemampuan masyarakat dalam usaha menaikan taraf hidup dan kesejahteraannya. Pembangunan desa dilakukan dalam rangka menyeimbangkan peran antara pemerintah dengan masyarakat. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan prasarana-prasarana, sedangkan selebihnya disandarkan kepada kemampuan masyarakat itu sendiri. Proses pembangunan desa merupakan mekanisme dari keinginan masyarakat yang dipadukan dengan masyarakat. Perpaduan tersebutlah yang akan menentukan keberhasilan pembangunan yang diinginkan. Pembangunan desa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dengan dukungan Pemerintah dalam memberikan bimbingan, bantuan, pembinaan, dan pengawasan. Adapun tujuan pembangunan desa adalah ;

1. Meningkatkan pelayanan dalam hal pertanahan serta memproses masalah-masalah pertanahan dalam batas-batas kewenangan Kabupaten.

2. Pemantapan pengelolaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menciptakan lingkungan kehidupan yang efisien, efektif dan berkelanjutan

3. Peningkatan kualitas pemukiman yang aman, nyaman dan sehat. 4. Meningkatnya prasarana wilayah pada daerah tertinggal, terpencil

(28)

5. Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan di daerah dan wilayah.

6. Meningkatkan ekonomi wilayah untuk kesejahteraan masyarakat serta menanggulangi kesenjangan antar wilayah.

7. Pembangunan Perdesaan.

Akan tetapi sasaran yang paling pokok yang ingin dicapai dalam Pengembangan Desa adalah:

1. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. 2. Meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur di kawasan

permukiman di perdesaan.

3. Meningkatnya akses, kontrol dan partisipasi seluruh elemen masyarakat.

Pembangunan merupakan proses kegiatan untuk meningkatkan keberdayaan dalam meraih masa depan yang lebih baik. Pengertian ini meliputi upaya untuk memperbaiki keberdayaan masyarakat, bahkan sejalan dengan era otonomi, makna dari konsep hendaknya lebih diperluas menjadi peningkatan keberdayaan serta penyertaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Oleh karenanya bahwa dalam pelaksanaannya harus dilakukan strategi yang memandang masyarakat bukan hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek pembangunan yang mampu menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses pembangunan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Hal ini sesuai dengan arah

(29)

kebijakan pembangunan yang lebih diprioritaskan kepada pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat atau peningkatan pendapatan masyarakat desa dan menegakkan citra pemerintah daerah dalam pembangunan. Kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2010-2014 diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya produktif

untuk pengembangan usaha seperti lahan, prasarana sosial ekonomi, permodalan, informasi, teknologi dan inovasi, serta akses masyarakat ke pelayanan publik dan pasar.

2. Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, dan penguatan kelembagaan serta modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerjasama untuk memperkuat posisi tawar.

3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan memenuhi hak-hak dasar.

4. Terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non pemerintah.

Pembangunan desa itu harus meliputi berbagai aspek kehidupan dan penghidupan artinya harus melibatkan semua komponen yaitu dari pihak masyarakat dan pemerintah, dan harus langsung secara terus menerus demi tercapainya kebutuhan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Konseptualisasi pembangunan pedesaan dimulai

(30)

dari proses penyusunan perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan desa sebagaimana disusun secara berjangka yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Tabel 1.1

(31)

Sumber : Ichary Soekirno., Komite Perencanaan, 2015, “Spirit

Perencanaan Pembangunan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 & Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014”

Perencanaan pembangunan desa merupakan proses yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan, salah satu kunci dari keberhasilan tujuan pembangunan adalah sejauh mana perencanaan pembangunan dilakukan. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa sudah seharusnya dan menjadi prasyarat penerimaan dana desa, maka desa harus membuat perencanaan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), dan merupakan penjabaran Visi Misi Kepala desa dengan partisipasi masyarakat. Proses penyusunan RPJM Desa diharapkan menghasilkan sebuah dokumen perencanaan yang benar-benar berkualitas dan terukur. RPJMDesa yang baik tidak hanya mampu mengakomodasikan aspirasi atau partisipasi masyarakat tetapi memiliki bobot yang memadai, tingkat adaptasi tinggi terhadap perubahan dan dapat diimplementasikan secara optimal.

2. Konsep Desa Mandiri

Desa secara universal adalah sebuah aglomerasi (pengumpulan atau pemusatan) permukiman di area perdesaan (prural). Sementara untuk mandiri, pengertiannya adalah dapat berdiri sendiri tanpa tergantung dari pihak lain. Jadi yang dimaksud dengan desa mandiri adalah desa yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa tergantung dari bantuan

(32)

pemerintah. Beberapa faktor yang akan mempengaruhi suatu desa menuju desa mandiri adalah : potensi sumber daya manusia, potensi sumber daya alam, potensi pembeli (pasar) serta kelembagaan dan budaya lokalnya. Konsep desa mandiri adalah pola pengembangan pedesaan berbasis konsep terintegrasi mulai dari subsistem input, subsistem produksi primer, subsistem pengolahan hasil, subsistem pemasaran, dan subsistem layanan dukungan (supporting system). Pengembangan yang akan dilakukan pada desa mandiri adalah : Pengembangan potensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup di desa; Pengembangan kemandirian berusaha dan kewirausahaan di desa; Pengembangan kualitas SDM dan penguatan kelembagaan masyarakat desa; serta Pengembangan jejaring dan kemitraan. Desa yang akan menuju desa mandiri harus melihat beberapa hal dibawah ini :

1. Mempunyai potensi sumber daya alam, 2. Mempunyai potensi sumber daya manusia,

3. Mempunyai potensi prasarana dan sarana yang besar,

4. Mempunyai spesifikasi produk yang menonjol didasarkan pada tipologi desa,

5. Mampu memenuhi kebutuhan di dalam desa dan sebagian yang dapat dijual keluar desa,

6. Terdapat peran serta dan kesadaran masyarakat yang besar dalam mengoptimalkan potensi desa,

(33)

8. Besarnya tingkat pemberdayaan wanita di dalam kegiatan sosial ekonomi,

9. Banyaknya jumlah dan jenis kelembagaan,

10. Adanya tokoh penggerak/inovator dan eligimatizer yang memiliki peranan besar dalam masyarakat, dan

11. Tingginya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup. Manfaat dari desa yang telah mandiri adalah : Berkembangnya potensi desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diwilayahnya melalui penciptaan lapangan kerja, Meningkatnya kegiatan usaha ekonomi dan budaya berbasis kearifan lokal di desa, Meningkatnya kemandirian desa dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, serta Menurunnya disparitas pembangunan wilayah antara desa dengan kota. Alangkah Indahnya apabila di negara Republik Indonesia ini desa-desanya dapat mandiri, tentunya negara kita akan semakin maju dan kuat, masyarakatnya sejahtera serta sumberdaya alamnya dapat terjaga dengan bijaksana. Dalam pidato ilmiahnya, Madrie, (1988) dikutip dalam Dumasari (2014;26) menyatakan : “Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan untuk dapat mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja, maka sangatlah penting meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan” Secara koseptual. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan warga atau keterlibatan warga masyarakat dalam proses pembangunan, ikut memanfaatkan hasil

(34)

pembangunan, ikut mendapatkan keuntungan dari proses pembangunan, baik pembangunan yang dilakukan oleh komunitas, organisasi atau pembangunan yang dilakukan pemerintah. Kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa merupakan suatu hal yang sangat penting. Kemadirian berarti mengedepankan kemampuan diri desa sebagai subjek dari penyelenggara pemerintahan dan pembangunan desa. Kemandirian desa sangat penting dilihat dari aspek filosofis, historis, dan strategis. Sedangkan Selener (1997) dikutip dalam Pratikno (2006;75) membedakan empat macam kategori partisipasi :

1. Domestikasi : Kekuasaan dan kontrol terhadap kegiatan tertentu

ada di tangan perencana, kepala desa, camat, atau pemerintah yang diraih dengan menggunakan teknik partisipasi semu untuk melakukan manipulasi kegiatan yang menurut anggapan pihak luar penting dan bukannya memberdayakan partisipannya atau masyarakatnya sendiri

2. Bantuan : Kekuasaan dan kontrol tetap ada di tangan pihak luar

(elit). Para anggota kelompok yang berpartisipasi menerima informasi, nasihat, dan bantuan. Para partisipan diperlakukan sebagai objek pasif yang tidak mampu mengambil peranannya dalam proses kegiatan. Mereka sekedar diberi informasi kegiatan , tetapi tidak mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan dan kontrol.

(35)

3. Kooperasi : Melibatkan masyarakat dalam bekerjasama dengan

pihak luar untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat atau partisipan. Keputusan diambil melalui dialog antara partisipan dan 25 pemimpin. Partisipan juga aktif dalam pelaksanaan. Kekuasaan dan kontrol dipegang bersama selama berlangsungnya kegiatan, yang secara ideal berlangsung dari “bawah ke atas”.

4. Pemberdayaan : Pendekatan agar masyarakat memegang

kekuasaan dan kontrol terhadap program, atau kelembagaan berikut pengambilan keputusan dan kegiatan administrasi. Partisipasi diraih melalui hati nurani, demokratisasi, solidaritas dan kepemimpinan. Partisipasi untuk pemberdayaan biasanya bercirikan terjadinya proses mandiri dalam perubahan tatanan sosial dan politik

Terkait desentralisasi, dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa otonomi menuntut adanya kemandirian, atau kemandirian merupakan prasyarat adanya otonomi. Konsep otonomi pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif menurut prakarsa sendiri. Dalam perspektif ini maka kebebasan dalam pengambilan keputusan dengan prakarsa sendiri suatu yang niscaya.

(36)

Oleh karena itu, kemandirian daerah suatu hal yang penting, tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Kemandirian daerah berarti ketergantungan daerah pada pusat. Sedangkan yang dinamakan desa ialah suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri Kartohadikoesoemo, (1984) dikutip Suharto, (2016;111). Desa dapat dimaknai sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal-usul dan asas desentralisasi. Sebagai sebuah istilah politik dan hukum kata sendiri (self governing) Juga dimaknai secara longgar sebagai kemandirian. Desa harus dipahami sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum, bukan sekedar dipahami sebagai wilayah administratif semata.

Secara historis desa adalah daerah otonom yang paling tua (Kartohadikoesoemo, 1984) sebagaimana dikutip (Suharto, 2016;112). Kewenangan dan kewajiban desa untuk menjalankan hak otonominya itu sangat banyak. Kecuali beberapa pembatasan yang ditetapkan dalam peraturan kekuasaan pusat dan daerah lebih atas, maka desa itu memegang hak otonomi penuh. Kekuasaannya tidak saja berisi perintah dalam arti sempit (bestuur), tetapi juga pemerintahan yang lebih luas (regering). Sebab desa juga berkuasa atas pengadilan, perundang-undangan, kepolisian dan pertahanan. Kewenangan dan

(37)

kewajiban itu diatur oleh hukum adat beserta hukum acaranya yang dibuat sebagian tidak tertulis. Sebelum terbentuk negara, urusan-urusan yang dikelola oleh desa telah berjalan secara turun temurun sebagai norma-norma atau telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa atau dikenal sebagai hukum adat. Dengan demikian otonomi desa tingkat materi dan cara mengerjakannya sangat sederhana jika dilihat dari kacamata pemerintah modern. Pengintegrasian desa ke dalam wilayah negara, mengakibatkan hilangnya otonomi desa. Pemerintahan dan sumber daya alam diambil alih oleh negara. Keberadaan desa sebagai wilyah yang mandiri berakhir seiring dengan adanya supradesa.

Dari sisi kebijakan strategis, kemandirian desa adalah kunci bagi kemandirian daerah dalam jangka panjang. Sehingga membangun kemandirian desa secara bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama ini. Jika desa selamanya marginal dan tergantung, maka justru akan menjadi beban pemerintah daerah dan pusat. Kemandirian desa merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat desa. Otonomi desa hendak memulihkan basis penghidupan masyarakat desa dan secara sosiologis hendak memperkuat desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri. Kemandirian merupakan kekuatan atau prakondisi yang memungkinkan proses peningkatan kualitas

(38)

penyelenggaraan pemerintah desa, pengembangan desa, pengembangan prakarsa dan potensi lokal, pelayanan publik dan kualitas hidup masyarakat desa secara berkelanjutan.

Dalam konteks pembangunan, kemandirian harus dijadikan tolak ukur keberhasilan, yakni apakah rakyat atau masyarakat menjadi lebih mandiri atau justru semakin bergantung. Perwujudan kemandirian tidak muncul tiba-tiba, tetapi berlangsung bertahap. Perkembangan kemandirian dapat di susun berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Pada tahap pertama akan diciptakan otonomi desa yang lebih dipahami sebagai kemandirian fungsional atau menjalankan fungsi-fungsi, bukan kemerdekaan dalam relasi kekuasaan pemerintahan. Beranjak dari proses conditioning di tahap pertama ini, upaya otonomi desa dilanjutkan kearah tahap pematangan (tahap kedua). Dalam hal ini pemerintahan desa diharapkan mampu menginisiasi “development-initiative” dan “self financing capacity” yang memadai. Bila tahap ini di capai, maka pemerintahan desa memasuki tahapan kemandirian ekspensional atau kemandirian untuk berinisiatif dan mewujudkan suatu inisiatif pembangunan. Jika kemandirian pada taraf ini telah tercapai, maka dijalankan upaya-upaya ke arah kemandirian tahap ketiga. Pemerintah desa mampu mengekspresikan eksistensi dirinya setelah terbebas dari ketergantungan keuangan dan inisiatif pembangunan sepenuhnya dari kelembagaan pemerintahan supradesa. Dengan

(39)

terbebasnya desa dari kekuasaan supradesa, maka bargaining position pemerintah desa menjadi lebih besar. Pada tahap ini dicapailah kemandirian eksistensian untuk mengatur rumah tangga pemerintahan secara independen dan mampu melakukan negosiasi setara dengan kelembagaan pemerintah supradesa sekalipun. Pada tahap inilah kemandirian dan otonomi pemerintahan desa dapat dicapai secara mandiri dan hakiki.

3. Pastisipasi Masyarakat

Pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan mampu merubah sikap dan perilaku. Pasrtisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu wujud perubahan sikap dan perilaku tersebut. Dalam hal ini, aktivitas lokal adalah media dan sarana bagi masyarakat dalam melaksanakan partisipasinya. Agar proses pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu diusahakan agar ada kesinambungan dan peningkatan yang bersifat komulatif dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal. Dengan demikian pendekatan partisipatif harus dilihat sebagai pendekatan utama dalam strategi pengelolaan sumber daya manusia.

Davis (dalam Ndraha, 1987:37) mengartikan partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosional yang menggerakkan mereka untuk bersama sama mencapai tujuan dan bersama sama bertanggungjawab.

(40)

Sedangkan Nelson (dalam Bryant & White, 1982:206) menyebutkan dua macam yaitu partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron, atau antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah yang diberi nama partisipasi vertikal. Menurut Cohen dan Uphoff, (1977:3) menyatakan bahwa partisipasi dapat merupakan keluaran pembangunan dan juga merupakan masukannya sebab apabila masyarakat yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan suatu proyek di Desanya, maka proyek itu pada hakekatnya bukanlah proyek pembangunan desa. Berbicara tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan, orang akan menemukan rumusan pengertian yang cukup bervariasi, sejalan dengan luasnya lingkup penggunaan konsep tersebut dalam wacana pembangunan. Mikkelsen (1999) dikutip dalam (Soetomo, 2013;473) misalnya menginvestasikan adanya enam tafsiran dan makna yang berbeda tentang partisipasi.

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan dalam menanggapi proyek-proyek pembangunan.

(41)

3. Partisipasi adalah proses yang aktif yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasan untuk melakukan hal itu.

4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Khususnya menyangkut partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan, Conyers (1994) dikutip dalam (Soetomo, 2013;475) mengemukakan adanya 5 cara untuk mewujudkannya. Cara tersebut adalah ; (1) survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, (2) memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melaksanakan tugasnya sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan, (3) perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi, (4) perencanaan melalui pemerinth lokal dan (5) menggunakan strategi pengembangan komunitas. (community development). Apabila mencermati pola pikir yang digunakan dalam menginvestarisasikan cara partisipasi tersebut, maka dapat dipahami bahwa partisipasi dalam perencanaan lebih dimaksudkan dalam rangka memperoleh informasi tentang kondisi dan persoalan yang ada

(42)

dalam masyarakat setempat. Informasi tersebut dapat diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari masyarakat dan merupakan hal yang dianggap penting bagi perumusan perencanaan terlepas dari apakah yang merumuskan perencanaan tersebut masyarakat sendiri atau bukan.

Perencanaan pembangunan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat yang pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach).

Korten dalam Supriatna (2000: 65) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan. Karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu: Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa

(43)

kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Alasan Kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaanya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:

1. Usia

Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.

2. Jenis kelamin

Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur”

(44)

yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik.

3. Pendidikan

Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.

4. Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.

5. Lamanya tinggal

Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung

(45)

lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.

Sedangkan unsur-unsur dasar partisipasi yang juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:

1. Kepercayaan diri masyarakat;

2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat; 3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat;

4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas kekuatan sendiri;

5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui sebagai/menjadi milik masyarakat;

6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau sebagian kecil dari masyarakat; 7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha;

8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan;

9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat.

Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Ada 4 poin yang

(46)

dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu:

1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya;

2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat;

3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi sosial;

4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.

Kriteria utama untuk menentukan adanya partisipasi masyarakat adalah adanya keterlibatan tanpa harus mempersoalkan faktor yang melatar belakangi atau mendorong keterlibatan tersebut. Pastisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Partsisipasi yang dimaksud adalah partisipasi dari seluruh proses pembangunan mulai dari pegambilan keputusan,

(47)

perencanaan program, pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan menikmati hasil.

Sejalan dengan hal tersebut, partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil. (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat diihat dalam proses pengambilan keputusan. Arnsten (1969) dikutip dalam Wicaksono (2010;78) menawarkan suatu teori yang disebut the ladder of participation yaitu suatu gradasi atau pentahapan partisipasi masyarakat. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut.

(48)

Tabel 1.2

Tingkat partisipasi masyarakat menurut tangga partisipasi Arnsten; No Tangga/tingkatan partisipasi Hakekat kesetaraan Tingkatan pembagian kekuasaan

1 Manipulasi (manipulation) Permainan oleh pemerintah

Tidak ada partisispasi 2 Terapi (therapy) Sekedar agar

masyarakat tidak marah/sosialisasi 3 Pemberitahuan (informing) Sekedar

pemberitahuan searah/sosialisasi

Tokenism/sekedar justifikasi agar meng-iyakan 4 Konsultasi (consultation) Masyarakat di

dengar tetapi tidak selalu disepakati sarannya 5 Penentraman (placation) Saran

masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan 6 Kemitraan (partnership) Timbal balik

dinegoisasikan

Tingkat

(49)

7 Pendelegasian kekuasaan (delegated power) Masyarakt diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program) pada masyarakat

8 Kontrol masyarakat Sepenuhnya dikuasai oleh (citizen control) masyarakat

Sumber ; Arnsten (1969) dikutip dalam Wicaksono (2010;78)

Arnsten menyatakan bahwa partisipasi masyarakat identik dengan keuasaan masyarakat (citizen participation is citizen power). Partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat diihat dalam proses pengambilan keputusan. Berikut tingkatan partisipasi masyarakat dalam objek pembangunan.

Tangga pertama, yaitu manipulasi atau penyalahgunaan yaitu mereka memilih dan mendidik sejumlah orang sebagai wakil masyarakat. Fungsinya, ketika mereka mengajukan berbagai program maka para wakil masyarakat ini harus selalu menyetujuinya. Sedangkan masyarakat sama sekali tidak diberitahu tengang hal tersebut. Seran tangga kedua, terapi (perbaikan) tidak termasuk dalam konteks partisipasi yang sesungguhnya. Di dalam hal ini masyarakt terlibat dalam suatu program, akan tetapi sesungguhnya keterlibatan mereka tidak dilandasi oleh dorongan mental, psikologi serta konsekwensi keikutsertaan yang memberikan kontribusi dalam program tersebut. Masyarakat pada posisi ini hanyalah menjadi objek dalam program. Pemerintah hanya sedikit memberitahu kepada

(50)

masyarakat tentang programnya yang sudah disetujui oleh wakil masyarakat dan masyarakat hanya bisa mendengarkan.

Tangga ketiga, pemberi informasi yaitu menginformasikan berbagai program yang akan dan sudah dilaksanakan. Namun hanya dikomunikasikan searah. Masyarakat belum dapat melakukan komunikasi umpan balik secara langsung. Selanjutnya tanga keempat, konsultasi yaitu mereka berdiskusi dengan banyak elemen masyarakat tentang berbagai agenda. Semua saran dan kriktik didengarkan. Tetapi, mereka yang berkuasa memutuskan apakah saran dan kritik diterima atau tidak. Berlanjut ketangga kelima, peredaman kemarahan/penentraman adalah suatu bentuk usaha menampung ide, saran, dan masukan dari masyarakat untuk sekedar meredam keresahan masyarakat. Pemerintah berjanji melakukan berbagai saran dan kritik dari masyarakat, namun tidak dilaksanakan. Tangga ini termasuk dalam kategori tokenism/pertanda. Penyampaian informasi atau pemberitahuan adalah suatu bentuk pendekatan kepada masyarakat agar memperoleh legitimasi masyarakat atas segala program yang dicanangkan. Konsultasi yang disampaikan hanyalah upaya untuk mengundang ketertarikan publik untuk mempertajam legitimasi, bukan secara sungguh-sungguh memperoleh pertimbangan dan mengetahui keberadaan masyarakat.

Pada tangga keenam, terjadilah partisipasi atau kemitraan masyarakat. Pada tahap ini masyarakat telah mendapat tempat dalam suatu program pembangunan. Mereka memperlakukan masyarakat selayaknya rekan

(51)

kerja. Mereka bermitra dalam merancang dan mengimplementasi aneka kebijakan publik. Pada tangga ketujuh, terjadilah pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap program pembangunan. Tangga inilah yang disebut Arnsten sebagai partisipasi atau kekuasaan masyarakat. Masyarakat lebih mendominasi ketimbang pemerintah. Bahkan sampai pada tahap evaluasi kinerja mereka partisipasi masyarakat yang ideal tercipta di level ini.

Perencanaan pembangunan akan tepat mengenai sasaran, terlaksana dengan baik dan bermanfaat hasilnya jika dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Kartasasmita (1996) dikutip dalam Soetomo, (2008:8). pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pandangan ini menunjukkan asas demokrasi dalam konsep pembangunan nasional. Masyarakat perlu dilibatkan secara langsung bukan karena mobilisasi, melainkan sebagai bentuk partisipasi yang dilandasi oleh kesadaran. Dalam proses pembangunan, masyarakat tidak semata-mata diperlakukan sebagai obyek, tetapi lebih sebagai subyek dan aktor atau pelaku.

Hoofsteede dikutip dalam Soetomo, (2008:8).membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan :

1. Partisipasi inisiasi (inisiation participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat.

(52)

2. Partisipasi legitimasi (legitimation participation) adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.

3. Partisipasi eksekusi (execution participation) adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan.

Ada dua hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, Pertama : perlu aspiratif terhadap aspirasi yang disampaikan oleh masyarakatnya, dan perlu sensitif terhadap kebutuhan rakyatnya. Pemerintah perlu mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya serta mau mendengarkan apa kemauannya. Kedua : pemerintah perlu melibatkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain pemerintah perlu menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan hanya sebagai objek pembangunan. Pentingnya keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan sangat ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pendekatan partisipatif masyarakat terdapat pada 4 (empat) pasal Undang-Undang ini yaitu pada Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Sistem perencanaan yang diatur dalam Undang-Undang 25/2004 dan aturan pelaksanaannya menerapkan kombinasi pendekatan antara top-down (atas-bawah) dan bottom-up (bawah-atas), yang lebih menekankan cara-cara aspiratif dan partisipatif.

(53)

Dengan adanya program-program partisipatif memberikan kesempatan secara langsung kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam rencana yang menyangkut kesejahteraan mereka dan secara langsung juga melaksanakan sendiri serta memetik hasil dari program tersebut. Selain uu no. 25 tahun 2004 terdapat peraturan perundang- undangan lain yang menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yakni : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Menurut Siagian (2007:142), bahwa “tugas pembangunan merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat dan bukan tugas pemerintah semata-mata”. Lebih lanjut Siagian (2007:153-154) mengatakan bahwa “pembangunan nasional membutuhkan tahapan. Pentahapan biasanya mengambil bentuk periodisasi. Artinya, pemerintah menentukan skala prioritas pembangunan”.

Keberadaan Desa sebagai ujung tombak pemerintah untuk menghadirkan wajah negara, menjadi sangat penting dan strategis untuk ditangani secara serius. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah dan Desa menjadi tolak ukur utama keberhasilan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tesebut. Keberhasilan itupun ditandai

(54)

dengan sejauh mana tingkat partsipasi masyarakat dalam mewujudkan Desa yang mandiri.

Tabel 1.3

Strategi mendorong tata kelola pemerintahan yang baik

Sumber ; Jurnal Bina Pemerintah Desa Edisi I tahun 2016

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi masyarakat merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung dengan hakikat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian,

(55)

ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan secara masif, yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pembuatan keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai tahap perencanaan bahkan pengambilan keputusan.

Goulet, (1989) dikutip dalam Sirajuddin (2006:13-14) menyebut partisipasi sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Bahasan yang lebih khusus lagi, peran serta masyarakat sesungguhnya merupakan suatu cara untuk membahas incentive material yang mereka butuhkan. Dengan perkataan lain, peran serta masyarakat merupakan insentif moral sebagai “paspor” mereka untuk mempengaruhi lingkup-makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka. Dengan demikian partisipasi membutuhkan pemberdayaan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan (sense

(56)

of powerlessness), tidak percaya diri dan perasan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam kehidupan masyarakat.

· Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat sebagai proses adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan dan kemampuan dalam berpartisipasi. Besarnya jumlah angka kemiskinan penduduk Indonesia yang berdomisili di desa, menjadikan mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan di anggap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kebijakan yang menempatkan masyarakat sebagai obyek saja, bukan subyek pelaku pembangunan.

Partisipasi merupakan proses pemberdayaan kekuatan masyarakat dalam pembangunan dan merupakan salah satu sendi untuk mengukur

Gambar

Gambar 1 : Bagan Kerangka Pikir
Tabel  No.4.1.  Jumlah  penduduk  dan  jenis  kelamin  menurut  Desa di Kecamatan PattallassangTahun 2017

Referensi

Dokumen terkait

Dan tabel 12 diatas dapat diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat desa dalam mengikuti perencanaan pembangunan adalah tingkat partisipasi dengan kategori

Dan tabel 12 diatas dapat diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat desa dalam mengikuti perencanaan pembangunan adalah tingkat partisipasi dengan kategori

Dari penjelasan Kepala Desa Selotong tersebut dapat diketahui bahwa dalam proses perencanaan pembangunan partisipasi masyarakat dihimpun dengan cara menerima aspirasi dan

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, bahwa kepentingan-kepentingan yang tampak dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa di Desa Jambai Makmur Kecamatan Kandis

Didalam menganalisis pelaksanaan musyawarah Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa penulis menggunakan metode ZOPP dalam menentukan dan mengukur parameter dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan fisik di Desa Gumuk tergolong baik, hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang

Dalam setiap proses pembangunan, masyarakat harus dilibatkan secara aktif karena masyarakatlah yang menjadi subjek dalam pembangunan tersebut. Pembangunan di desa akan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perencanaan pembangunan tidak di jalankan dengan baik di Desa Namo Bintang ,, tingkat partisipasi masyarakat dalam