• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Beberapa manfaat secara teoretis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

a. Sebagai referensi teoretis pada kajian penelitian tentang sastra khususnya novel.

b. Sebagai bahan rujukan peneliti lain untuk mengadakan penelitian terhadap novel dengan permasalahan yang lebih luas.

2. Manfaat Praktis

Beberapa manfaat secara praktis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

a. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai sastra, serta untuk memperoleh pengalaman menganalisis Struktururalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.

b. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca serta meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan pada penikmat sastra dan masyarakat pada umumnya.

c. Penelit lanjut, penelitian ini sebagai langkah awal untuk memotivasi pembaca maupun peneliti agar menghasilkan penelitian baru yang dapat bermanfaat bagi orang lain, dan juga bagi peneliti.

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang membahas tentang analisis strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Namun, ada beberapa penelitian yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi.

Penelitian mengenai strukturalisme pernah dilakukan oleh Neni Sri Yuningsi (2010) yang berjudul Analisis Strukturalisme Novel Yang Kedua Karya Riawani Elyta. Dalam penelitiannya Neni Sri Yuningsi menyimpulkan bahwa novel merupakan sebuah cerita kehidupan yang membuat para pembaca menemukan sisi menarik dari ide pokok novel tersebut. Maka dalam menganalisis novel tentu kita harus membaca novel tersebut secara teliti serta memahami dan mencari tokoh, alur, latar dan yang lainnya.

Penelitian mengenai strukturalisme genetik pernah juga dilakukan oleh Mariyani (2011) yang berjudul Analisis Strukturalisme Genetik dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 Karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam penelitiannya,

Mariyani menyimpulkan bahwa Secara parsial, novel Ketika Cinta Bertasbih memiliki struktur intrinsik yang lengkap. Struktur tersebut meliputi tema, alur, penokohan/perwatakan, latar, amanat, sudut pandang, dan gaya bahasa.

Dari analisis secara keseluruhan terhadap novel Ketika Cinta Bertasbih dapat

dikemukakan bahwa novel ini merupakan salah satu novel yang bermutu karena pengarang mampu mengungkapkan tema dalam alur yang baik. Kemudian diperkuat dengan latar, penokohan / perwatakan yang cocok dengan tema cerita.

Penggunaan sudut pandang orang ketiga dan style yang variatif menjadikan cerita lebih hidup sehingga amanat yang ingin disampaikan dapat terwujud.

Pandangan sosial kelompok pengarang novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy adalah novel yang muncul tahun 2007. Oleh karena itu, isi novel ini sangat dipengaruhi oleh pandangan sosial kelompok pengarang yang tergabung di dalamnya yaitu: (1) Kehidupan yang islami, (2) pembangun jiwa, (3) bersifat modern, (4) bahasa percakapan dimasukkan di antara baca tulisan, (5) terdapat analisis jiwa, (6) cerita tentang zaman sekarang, (7) memiliki pandangan hidup yang baru. Analisis strukturalisme genetik novel Ketika Cinta Bertasbih juga mengangkat latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, karakteristik ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat Mesir sangat berpengaruh terhadap kekhasan karya Habiburrahman El Shirazy.

Adapun persamaan dari penelitian Yuningsi (2010) dan Mariyani (2011) dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis aspek srukturalisme genetik sedangkan perbedaannya terletak pada unsur yang dikaji yakni Mariyani menganilisis strukturalisme genetik dari segi intrinsik dan ekstrinsik novel, Yuningsi menganalisis strukturalisme genetik dari segi peranan novel dalam kehidupan pembaca sedangkan peneliti menganalisis lingkungan sosial budaya

pengarang, lingkungan sosial, budaya, dan politik novel Saman serta bagaimana pandangan dunia pengarang dalam novel Saman.

2. Hakikat Karya Sastra

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (dalam Purba, 2010: 2), kata sastra dituliskan sebagai (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). (2) kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lainnya memiliki ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan di dalam isi dan ungkapannya; ragam sastra yang dikenal umum ialah roman atau novel, cerita pendek, drama, epik dan lirik. (3) kitab suci; kitab (ilmu pengetahuan). (4) pustaka; kitab primbon (berisi ramalan).

(5) tulisan atau huruf.

Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang universal. Namun, adalah suatu fenomena pula bahwa gejala yang universal itu tidak mendapat konsep universal pula. Kriteria kesastraan yang ada dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria kesastraan yang ada pada masyarakat lain. Teeuw dkk. (dalam Jabrohim, 2012:

12).

Sastra mempunyai dua watak, yaitu watak universal dan watak lokal (Budi Darma,1999:54). Dikatakan universal dilihat dari dari temanya, karena, dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun ditulis pada hakekatnya sama, yaitu seputar cinta kasih, kebahagiaan, ketidakadilan dan lain-lain, hal-hal itulah yang

selalu menguasai tema sastra, dimana pun, kapan pun, dan oleh siapapun.

Dikatakan bersifat lokal karena, meskipun berwatak universal tetapi ciri-ciri lokal, waktu (zaman) pasti ada di dalamnya seperti yang kita kenal dalam periodisasi sastra (sastra lama dan modern). Sastra satu negara dengan sastra negara lain meskipun temanya sama pasti berbeda, sastra suatu bangsa disuatu masa atau kurun waktu yang sama, di negara yang sama, akan menghasilkan karya sastra yang berbeda.

Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Gramedia, Jakarta, Jan van Luxemburg, Mieke Bal, William G. Weststeijn (dalam Purba, 2010: 3) menuliskan ciri-ciri tentang sastra sebagai berikut:

a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.

b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada suatu yang lain. Sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri.

c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan koherensi.

d. Sastra menghidangkan sebuah antithesis antara hal-hal yang bertentangan.

e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya yang ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi.

Andre Lafevere (dalam Rimang, 2011: 2) berpandangan bahwa karya sastra (termasuk fiksi) merupakan deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi individual dan sosial kemasyarakatan sekaligus. Karena itu, pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan tidaklah sekadar menghadirkan dan

memotret begitu saja, melainkan secara substansial menyarankan bagaimana proses kreasi kreatif pengarang dalam mengekspresikan gagasan-gagasan keindahannya.

Di bawah ini dipaparkan pengertian sastra menurut para ahli (dalam Hasan, 2013) yaitu:

a. Menurut Mursal sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).

b. Menurut Semi sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

c. Menurut Panuti Sudjiman sastra adalah karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

d. Menurut Plato sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan.

e. Menurut Taum sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain.

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. Yosef ( Rimang, 2011:2) mengatakan bahwa secara konseptual sastra merupakan pola pengaturan

hubungan antara gejala-gejala yang diamati, karena itu, teori hakikatnya berisi ilmu pengetahuan dari satu titik pandang tertentu.

Kehadiran suatu karya tentu untuk dinikmati oleh pembaca dan untuk menikmati karya sastra secara sungguh-sungguh diperlukan seperangkat pengetahuan yang cukup, penikmat karya sastra pun bersifat dangkal dan sepintas.

Penikmat karya sastra dijumpai aneka ragam, baik ragam bentuk, ragam isi, maupun ragam bahasa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ragam karya sastra ini akan membentuk penikmat dalam memahami sebuah karya sastra dalam berbagai bentuk dan variasinya. Dengan karya sastra juga seseorang dapat menambah pengetahuannya tentang pola kehidupan manusia.

Sastra adalah persoalan wilayah kategori sastra atau tingkatan-tingkatan kualitas sastra. Escapirt (dalam Anwar, 2010: 240) menyebutkan istilah sastra rendahan (sous-litterature), sastra rendah (infra-litterature), sastra marginal (literature marginale) selain sastra yang dianggap berbobot atau kanon. Bagi Escarpit, masuknya sebuah buku karya sastra yang dianggap berbobot dan kanon atau rendahan tidak ditentukan oleh kualitas abstrak penulis, karya, atau penerbitnya, melainkan pada tipe pertukaran literer yang menyangkut tema, gagasan ataupun bentuk. Persoalan sosiologis tentang kategori sastra akan melahirkan “kesenjangan estetis” antara “buku sastra apa yang sedang dibaca”

dengan “ buku sastra apa yang seharusnya dibaca”.

Sastra adalah suatu karya sastra seni yang muncul dari imajinasi atau rekaan para sastrawan. Kehidupan di dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap penulisnya, latar belakang pendidikan, keyakinan,

dan sebagainya. Sedangkan di dalam karya sastra terkandung suatu kebenaran yang terbentuk keyakinan dan karya sastra kebenaran seperti terbukti dalam kehidupan sehari-hari.

Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang pangjang mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang kehidupan.

Melalui karya sastra, seorang menyampaikan pandangannya tentang kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, mengapresiasi karya sastra berarti kita berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra tersebut.

Sastra merupakan wajah kehidupan sosial. Dunia sosial selalu melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Maka pembaca pun memiliki kode sosial dan historis ketika membaca karya sastra. Bayangan kehidupan sosial masa lalu sering diinternalisasikan ke dalam hidup yang sedang dijalani. Bahkan ada pembaca dan kritikus merelevansikan sastra dengan dunia sosial sekelilingnya.

(Endraswara, 2013: 150).

Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sastra hidup karena ada kehidupan. Sastra merupakan guru efektif bagi penelusuran kehidupan sosial.

Keserakahan hidup dapat disaring lewat sastra. Pandangan Burke (dalam Endraswara, 2013: 126) kiranya dapat menguatkan pemahaman sastra sebagai wahana kehidupan. Tentu saja, yang dimaksud kehidupan, tidak sekadar

kehidupan lahiriah, melainkan yang paling penting adalah kebutuhan batiniah.

Sastra akan menjadi wahana pembangun batin, ikut menata kehidupan dan memperjuangkan suasana sosial.

Sastra adalah usaha memperlihatkan makna kehidupan, sedangkan kepuasan sastra adalah menjadikan makna itu bisa dimengerti. Dihubungkan dengan makna itu bisa dimengerti. Dihubungkan dengan makna kehidupan pada tingkat imajinasi sastrawan adalah dialog antara dunianya dan realita. Suatu cerita biasanya dituangkan dalam bentuk roman atau novel dan cerita pendek. Bentuk-bentuk karya sastra inilah yang paling populer dan paling banyak dibaca orang.

Tetapi dalam perkembangan karya sastra kemudian dilahirkan dalam bentuk-bentuk campuran antara dua bentuk-bentuk tersebut. Ada novel yang lebih pendek disebut novelet atau novel pendek. Baik novel maupun cerita pendek sebenarnya memunyai pola bentuk yang hampir sama.

3. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan

jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian. Tarigan (dalam Purba, 2010: 62).

Novel merupakan suatu bentuk karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan ide atau gagasan pengarang (Adhar, 1997:9). Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan jalan hidup baru baginya (Wellek dan Austin, 1990: 182-183).

Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk pengertian novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris (novel) dan yang inilah kemudian masuk ke Indonesia dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dan bentuk prosa”. Abrams (dalam Aziz, 2011: 11).

Secara istilah, novel sebagai salah satu jenis karya sastra dapat didefinisikan sebagai pemakaian bahasa yang indah yang menimbulkan rasa seni pada pembaca, seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo (1984:3) sebagai berikut:

“Novel (sastra) adalah ungkapan pribadi manusia merupakan pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.

Novel adalah suatu jenis karya sastra yang berbentuk naratif dan berkesinambungan ditandai oleh adanya aksi dan reaksi antar tokoh, khususnya antara antagonis dan protagonis seperti diungkapkan oleh Semi (1988:6).

“Fiksi (novel) merupakan salah satu bentuk narasi yang mempunyai sifat bercerita : yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinan tentangnya. Oleh karena itu ciri utama yang membedakan antara narasi (termasuk fiksi atau novel) dengan deskripsi adalah aksi, tindak tanduk atau pelaku”. Clara Reeve (dalam Wellek, 1993:282).

Dewasa ini, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (dalam bahasa inggris novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang dari segi formalitas bentuk, namun juga tidak terlalu pendek. Nurgiyantoro (dalam Purba, 2010: 62).

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia.

Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Tetapi tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Novel adalah karya sastra yang melukiskan atau mengetengahkan kehidupan secara keseluruhan dalam bentuk cerita yang menampilkan tokoh-tokoh serta latar (setting) yang dijalin dalam rangkaian peristiwa.

Jadi, dari pendapat di atas dapat dijabarkan bahwa novel berisi tentang cerita kehidupan yang diciptakan fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu yang nyata. Nyata yang dimaksudkan bukanlah hal yang merujuk pada fakta yang sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang dapat diterima secara logis hubungan antara sesuatu peristiwa dengan peristiwa lain

dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk memberikan informasi kepada peminat sastra. Novel juga diartikan sebagi karangan prosa yang pangjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Depdikbud, 1993: 694).

Sebuah novel memiliki beberapa ciri yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mengetahui apakah novel atau bukan. Ciri-ciri novel adalah:

a. Jumlah kata lebih dari 35.000 buah;

b. Jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan buat membaca novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit;

c. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman;

d. Novel bergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku;

e. Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek dan emosi;

f. Skala novel luas;

g. Seleksi pada novel lebih luas;

h. Kelajuan pada novel kurang cepat;

i. Unsur-unsur kepadatan dan intensitas dalam novel kurang diutamakan.

Dari tahun ke tahun, novel Indonesia mengalami perkembangan pesat.

Novel dibagi atas tiga jenis, yaitu novel percintaan, novel petualangan dan novel fantasi.

a. Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria seimbang, bahkan kadang-kadang peranan wanta lebih dominan pelakunya.

b. Novel petualangan hanya didominasi oleh kaum pria, karena tokoh di dalamnya pria dengan sendirinya melibatkan banyak masalah lelaki yang tidak ada hubungannya dengan wanita.

c. Novel fantasi bercerita tentang hal yang tidak logis yang tidak sesuai dengan keadaan dalam hidup manusia. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep dan gagasan sastrawan hanya dapat jelas kalau diutarakan bentuk cerita fantastik, artinya menyalami hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.

Penggolongan di atas merupakan penggolongan yang umum. Secara khusus Muchtar Lubis (dalam Tarigan 2011: 168) membagi novel atas beberapa bagian seperti :

a. Novel psikologis, perhatian tidak ditujukan pada avontur lahir maupun rohani, terjadi lebih diutamakan pemeriksaan seluruhnya dari pikiran para pelaku;

b. Novel detektif kecuali dipergunakan untuk meragukan pikiran pembaca, menunjukkan jalan cerita. Untuk membongkar rahasia kejahatan, tentu dibutuhkan bukti agar dapat menangkap si pembunuh.

c. Novel sosial atau pendidikan, pelaku pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat sebagai pendukung jalan cerita.

d. Novel kolektif tidak hanya membawa cerita lebih mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas, keseluruhan mencampur adukkan pandangan antologis dan sosiologis.

e. Novel sejarah hanya sekadar kenangan indah buat dokumen, mengisahkan kepahlawanan seorang gadis yang keluarganya menjadi korban revolusi.

f. Novel keluarga pengalaman batin dijejali pembaca tentang kegelisahan sosial, kegelisahan batin maupun kegelisahan rumah tangga.

4. Unsur- Unsur yang Membangun Novel

Unsur-unsur, struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis, yaitu struktur dalam dan luar. Struktur dalam juga disebut struktur intrinsik, struktur dari luar juga disebut struktur ekstrinsik. Pada gilirannya analisis pun tidak bisa dilepaskan dari kedua aspek tersebut. Analisis aspek pertama memeroleh perhatian sejak ditemukannya teori formal yang kemudian dilanjutkan dengan strukturalisme dengan berbagai variannya. Karya sastra dianggap sebagai entitas dengan struktur yang otonom, mandiri, bahkan dianggap sebagai memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self-regulation) di samping kesatuan intrinsik dan prosedur tranformasi. Piaget (dalam Ratna, 2011: 13).

Karya sastra atau novel dibangun dari beberapa unsur, seperti tema, plot, latar, karakter/penokohan, titik pengisah dan gaya bahasa. Ketujuh unsur tersebut dapat dibedakan, tetapi sukar dipisahkan. Artinya, dalam sebuah novel ketujuh unsur ini dapat ditemukan namun tidak berdiri sendiri. Pemunculan dalam cerita ada yang bersama, namun mungkin ada salah satu di antaranya mendapat perhatian khusus dari pengarang.

a. Unsur Intrinsik

Unsur Intrinsik ini terdiri dari : 1) Tema

Tema ialah inti atau landasan utama pengembangan suatu cerita. Hal yang sedang diungkapkan oleh pengarang dalam ceritanya. Tema dapat bersumber pada

pengalaman pengarang, pengamatan pada lingkungan, permasalahan kehidupan dan sebagainya.

Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Aminuddin (dalam Siswanto, 2013:

146).

Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan. Dalam cerita rekaan tema berfungsi memberi kontribusi bagi elemen cerita rekaan yang lain, seperti alur, tokoh dan latar. Pengarang menyusun alur, menciptakan tokoh dan yang berlakuan dalam latar tertentu, sebenarnya merupakan tanggapannya terhadap tema yang telah dipilih dan yang akan selalu mengarahkannya.

2) Setting/Latar

Latar cerita adalah gambaran tentang waktu, tempat dan suasana yang digunakan dalam suatu cerita. Latar merupakan sarana memperkuat serta menghidupkan jalan cerita. Unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung disebut latar (setting).

Leo Hamalian dan Frederick R. Karell (dalam Siswanto, 2013: 135) menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu masalah tertentu. Kenney (dalam Siswanto, 2013: 136) mengungkapkan cakupan latar cerita dalam cerita fiksi yang meliputi penggambaran lokasi geografis, pemandangan, perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, emosional para tokoh.

Abrams (dalam Aziz, 2011:42) mendeskripsikan latar menjadi tiga kategori, yaitu: latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah geografis, tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu adalah berkaitan dengan masalah-masalah hid=storis, waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar sosial adalah hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita.

3) Sudut Pandang

Stanton (dalam Aziz, 2011: 48) mengartikan sudut pandang sebagai posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Secara garis besar penyajian sudut pandang ada dua yakni, insider atau pengarang ikut mengambil peran dalam cerita, dan outside atau pengarang berdiri sebagai orang yang berada

di luar cerita. Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.

Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.

b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak

b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak

Dokumen terkait