• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI (BERDASARKAN KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI (BERDASARKAN KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh gelar sarjana pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh:

SANTI NIM: 10533 6736 11

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vii

mengantarkannya ke gerbang kesuksesan hidup adalah keberaniannya mengambil satu langkah, apa

pun itu.

Lalu satu langkah lagi selanjutnya. Dan selanjutnya.

Dan selanjutnya.

~ Antoine De Saint-Exupery

Bukan hidup kalau tidak ada masalah, bukanlah sukses kalau tidak melalui rintangan, bukanlah menang kalau tidak dengan pertarungan, bukanlah lulus kalau tidak ada ujian dan bukanlah berhasil kalau tidak berusaha.

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.

Kupersembahkan karya sederhana ini sebagai bukti kebaktian dan kecintaanku kepada:

Ayahanda dan ibunda yang telah mendoakan dan membimbing aku dengan kasih sayangnya mewujudkan

harapan menjadi kenyataan

Suamiku tercinta yang senantiasa mendukungku dan Saudara-saudaraku yang telah menjadi motivator

kesuksesanku

Sahabatku Yang telah menyertai hari-hariku dan mengantarku menuju kesuksesan

(7)

viii

This research aimed to describe the genetic structuralism in the novel Saman by Ayu Utami. The methodology of this research was descriptive qualitative method.

This research formed descriptive qualitative that described and conveyed the data objectively. Describing the genetic structuralism in the novel Saman as research object. The sources of the data was the novel Saman. Published by Gramedia at 2012 in Jakarta. In collecting the data, the researcher; (1) identifiying the content of Novel Saman by Ayu Utami. (2) Classifiying data that included in genetic structuralism from novel Saman. (3) Analysing the data that include as genetic structuralism (the main figure existence, the social culture and politic condition of the author and the whole opinion of the author in novel Saman). The research focused which analyzed narratively was the genetic structuralism from extrinsic side of the novel such as main figure, the the social culture and politic condition of the author and the whole opinion of the author in novel Saman).

The findings of this reseach was the genetic structuralism which included in novel Saman by AyuUtami,such as; the existence of figure namely Wisanggeni/Saman appeared in conflict, not only external conflict but also the internal conflict or his psychology conflict.The social culture is everything that been getting by the people from their intellectuality as social being which covers knowledge, belief, morality, law, custom and habbits. An author is the part of social class, so through this class she makes bounding with the social changing.

Keywords: Genetic structuralism,Novel.

(8)

ix

Tiada kata yang paling afdal penulis persembahkan kecuali rasa puji dan syukur kehadirat Allah swt., yang telah memberikan nikmat berupa kesempatan, kesehatan, ketabahan, petunjuk dan kekuatan iman sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Salam dan salawat tak lupa kita hantarkan kepada Nabi Besar Muhammad saw beserta keluarganya dan para Sahabatnya yang tetap Istiqamah di jalan Allah.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan Program Studi pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.

Adapun judul Skripsi ini adalah Strukturalisme Genetik dalam NovelSamanKarya Ayu Utami.Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan tantangan. Akan tetapi, semua itu dapat teratasi berkat petunjuk dari Allah swt. serta kerja keras dan rasa percaya diri dari penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima dengan ikhlas segala koreksi dan masukan-masukan guna penyempurnaan tulisan ini agar kelak dapat bermanfaat.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang turut serta memberikan bantuan baik berupa materi maupun moral, khususnya kepada: kedua orang tua tercinta, AyahandaH. Buding

(9)

x

keluarga.Pembimbing I Prof. Dr. Anshari, M. Hum. dan Pembimbing II Dr. Sitti.

SuwadahRimang, M. Hum. yang telah meluangkan waktu untuk mencurahkan segenap perhatian, arahan, dorongan dan semangat serta pandangan-pandangan dengan penuh rasa kesabaran sehingga dapat membuka wawasan berpikir yang sangat berarti bagi penulis sejak penyusunan skripsi hingga skripsi ini selesai.

Dr. IrwanAkib, M. Pd.,RektorUniversitasMuhammadiyah Makassar.Dr.

AndiSukriSyamsuri, M.

Hum.,DekanFakultasKeguruandanIlmuPendidikanUniversitasMuhammadiyah Makassar.Dr. Munirah, M. Pd.,KetuaprodiPendidikanBahasadanSastra

IndonesiadanSyekhAdiwijayaLatief, S. Pd., M.

Pd.,SekretarisprodiPendidikanBahasadanSastra Indonesia.Bapak dan Ibu dosen Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membagikan ilmunya kepada penulis selama ini.

Serta sahabat-sahabatseperjuanganku; YufiNurdiantini, Sarli Malinda, Sarianayanti, Rahmatangdanteman-temanangkatan 2011 khususnyakelas BprodiPendidikanBahasadanSastra Indonesia. Terimakasihatasdoa, motivasi, dukungansertamasukan-masukannyasehinggaskripsiiniterselesaikan. Semoga kalian semuatetapmenjadisahabatku yang selaluada di dalamsukamaupundukameskipunkelakwaktuakanmemisahkankitakarenacitadanci nta yang haruskitacapai.

(10)

xi

penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam tulisan ini dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, Agustus 2015

Penulis

(11)

viii

Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Ansari dan Sitti Suwadah Rimang.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif yaitu memaparkan dan menyampaikan data secara objektif. Mendeskripsikan strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami sebagai objek penelitian. Sumber data adalah novel Saman karya Ayu Utami. Diterbitkan oleh Gramedia tahun 2012 di Jakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (1) Mengidentifikasi isi novel Saman karya Ayu Utami. (2) Mengklasifikasi data yang termasuk dalam lingkup strukturalisme genetik yang terdapat dalam novel Saman. (3) Menganalisisis data yang termasuk strukturalisme genetik yakni (eksistensi tokoh utama, lingkungan social budaya pengarang, lingkungan social budaya dan politik novel Saman serta pandangan dunia pengarang dalam novel Saman). Adapun fokus penelitian yang akan dianalisis secara naratif adalah strukturalisme genetik dari segi ekstrinsik novel yakni eksistensi tokoh utama, lingkungan sosial budaya pengarang, lingkungan sosial budaya dan politik novel Saman serta pandangan dunia pengarang dalam novel Saman.

Hasil penelitian ini adalah strukturalisme genetik yang terkandung dalam novel Saman karya Ayu Utami antara lain Eksistensi tokoh Wisanggeni/Saman terlihat dalam konflik yang dialami, bukan hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi. sosial budaya adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai makhluk sosial. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas.

Kata Kunci: Strukturalisme genetik dan novel.

(12)

ix

Tiada kata yang paling afdal penulis persembahkan kecuali rasa puji dan syukur kehadirat Allah swt., yang telah memberikan nikmat berupa kesempatan, kesehatan, ketabahan, petunjuk dan kekuatan iman sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Salam dan salawat tak lupa kita hantarkan kepada Nabi Besar Muhammad saw beserta keluarganya dan para Sahabatnya yang tetap Istiqamah di jalan Allah.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan Program Studi pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.

Adapun judul Skripsi ini adalah Strukturalisme Genetik dalam Novel Saman Karya Ayu Utami. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan tantangan. Akan tetapi, semua itu dapat teratasi berkat petunjuk dari Allah swt. serta kerja keras dan rasa percaya diri dari penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis menerima dengan ikhlas segala koreksi dan masukan- masukan guna penyempurnaan tulisan ini agar kelak dapat bermanfaat.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang turut serta memberikan bantuan baik berupa materi

maupun moral, khususnya kepada: kedua orang tua tercinta, Ayahanda

(13)

x

keluarga. Pembimbing I Prof. Dr. Anshari, M. Hum. dan Pembimbing II Dr. Sitti.

Suwadah Rimang, M. Hum. yang telah meluangkan waktu untuk mencurahkan segenap perhatian, arahan, dorongan dan semangat serta pandangan-pandangan dengan penuh rasa kesabaran sehingga dapat membuka wawasan berpikir yang sangat berarti bagi penulis sejak penyusunan skripsi hingga skripsi ini selesai.

Dr. Irwan Akib, M. Pd., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dr. Munirah, M. Pd., Ketua prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Syekh Adiwijaya Latief, S.

Pd., M. Pd., Sekretaris prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bapak dan Ibu dosen Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membagikan ilmunya kepada penulis selama ini.

Serta sahabat-sahabat seperjuanganku; Yufi Nurdiantini, Sarli Malinda, Sarianayanti, Rahmatang dan teman-teman angkatan 2011 khususnya kelas B prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Terima kasih atas doa, motivasi, dukungan serta masukan-masukannya sehingga skripsi ini terselesaikan. Semoga kalian semua tetap menjadi sahabatku yang selalu ada di dalam suka maupun duka meskipun kelak waktu akan memisahkan kita karena cita dan cinta yang harus kita capai.

(14)

xi

penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam tulisan ini dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, Agustus 2015

Penulis

(15)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

SURAT PERJANJIAN ... vi

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Hasil Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Hasil Penelitian yang Relevan ... 8

2. Hakikat Karya Sastra... 10

3. Pengertian Novel ... 15

4. Unsur-unsur yang Membangun Novel ... 20

(16)

xiii

5. Sosiologi Sastra ... 27

6. Strukturalisme Genetik... 33

B. Kerangka Pikir ... 45

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Desain Penelitian ... 47

B. Definisi Fokus ... 47

C. Data dan Sumber Data ... 49

D. Teknik Pengumpulan Data ... 49

F. Teknik Analisis Data... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 51

B. Pembahasan ... 86

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 89

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(17)

1 A. Latar Belakang

Karya sastra adalah hasil renungan, imajinatif, pengungkapan gagasan, ide dan pikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Karya sastra merupakan kegiatan kreatif, imajinatif dan artistik. Sastra merupakan bagian dari kebudayaan.

Bila dikaji kebudayaan, tidak dapat dilihat sebagai suatu yang statis yang tidak pernah berubah, tetapi merupakan yang dinamis yang selalu berubah. Karya adalah suatu hasil cipta atau hasil buatan seseorang. Sedangkan sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. (Wellek dan Warren, 2013: 3).

Sastra menyajikan tentang kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Suatu karya sastra berbeda-beda tingkat pencapaiannya dengan karya sastra lain sebagai karya seni, begitu juga dengan kebenaran yang diungkapakan dan kepentingannya pada kehidupan masyarakat. Karya sastra lahir sebagai perpaduan antara hasil renungan, pikiran dan perasaan seorang pengarang.

Keadaan karya sastra yang disajikan seseorang pengarang di tengah-tengah masyarakat menjadi suatu yang sangat diharapkan karena merupakan suatu cermin kehidupan yang memantulkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya, pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya mencipta suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih

(18)

merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi, dan rekaman budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri, dan masyarakat.

Karya sastra itu ditampilkan dalam bentuk puisi, prosa, dan prosa liris.

Dalam bentuk karya sastra prosa muncul dalam bentuk cerpen, novel, biografi, dan otobiografi. Jadi salah satu bentuk karya sastra berupa prosa adalah novel.

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mampu memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan kemanusiaan dan kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang seringkali kita dengar bahwa novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikologi- the novelist can teach you more about human nature than the psychologist (Wellek,

1993:34). Para novelis menampilkan pengajarannya melalui berbagai tema dan amanat dalam novelnya, tema kemanusiaan, sosial, cinta kasih, ketuhanan, dan sebagainya.

Di samping itu, faktor pribadi masing-masing pengarang. Tema yang sama digarap oleh dua orang pengarang berbeda pada suatu kurun waktu yang sama, di suatu negara yang sama, akan menghasilkan karya sastra yang berbeda (Budi Darma, 1999:54). Misalnya tema cinta, cinta itu universal, cinta ada di segala zaman dan di segala tempat, karya sastra yang bertema cinta baik dalam bentuk puisi, cerpen, novel, drama selalu lahir dari para sastrawa. Sastra dalam perkembangan memiliki banyak fungsi yang dapat dijadikan bahan pembelajaran, baik terhadap anak-anak remaja, maupun bagi orang tua.

Fungsi sastra harus sesuai dengan sifatnya yakni menyenangkan dan bermanfaat. Kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak mencari

(19)

keuntungan, juga memberikan manfaat keseriusan. Keseriusan yang menyenangkan, estetis dan keseriusan persepsi. Berarti, karya sastra tidak hanya memberikan hiburan kepada peminatnya tetapi juga tidak melupakan keseriusan pembuatnya.

Harjana (dalam Satriani, 2013: 3) memaparkan bahwa kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan yang berperan penting dalam kehidupan manusia yang diwarnai dengan segala rupa nilai sejarah dan kehidupan sosial sedikitnya tercermin dalam karya sastra elemen masyarakat yang dapat memberikan ide dan pandangan dalam kehidupan sehari-harinya sebagai makhluk hidup.

Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran- kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapapun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa karya sastra memunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Kehidupan sastra di tengah peradaban manusia merupakan salah satu realitas sosial budaya.

Eksistensi sastra adalah sesuatu yang kongkrit dalam perwujudan atau mekanisme antartokoh sebagai fenomena, sastra adalah cermin yang mendukung

(20)

proses kehidupan dan kemanusiaan. Kenyataan ini sebenarnya telah terjadi di dalam fungsi sastra itu sendiri, sastra di samping sebagai hiburan yang bermanfaat dan menyenangkan, ia berfungsi pula menyikap rahasia terhadap manusia, memberikan makna terhadap eksistensi manusia dan membuka jalan kepada kebenaran.

Pada dasarnya, suatu karya sastra dapat diteliti dan dikaji berdasarkan dua unsur yang mendasar. Unsur tersebut meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam, seperti tema, alur, penokohan, gaya bahasa, setting dan sudut pandang. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar, seperti masalah sosial, kejiwaan, sejarah, agama dan sebagainya. (Kasmawati, 2013: 3).

Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta. Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap

“kebangkitan” pengarang wanita dalam khazanah sastra di Tanah Air.

Kemenangan Ayu Utami tidak saja telah memberi kepercayaan diri kepada

(21)

pengarang wanita lain untuk menerbitkan karya-karya mereka, tetapi secara substansif telah mendeskontruksi jarak yang tadinya terbentang antara pengarang dengan pembacanya.

Peneliti memandang dari judul novel Saman karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di

bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an). Novel Saman merupakan gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang

terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit.

Akan tetapi, masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang- wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani, penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.

Pada masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang memunculkan wajah rasis.

Berdasarkan dari uraian tersebut penulis mengangkat judul analisis strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.

(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah deskripsi strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Beberapa manfaat secara teoretis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

a. Sebagai referensi teoretis pada kajian penelitian tentang sastra khususnya novel.

b. Sebagai bahan rujukan peneliti lain untuk mengadakan penelitian terhadap novel dengan permasalahan yang lebih luas.

2. Manfaat Praktis

Beberapa manfaat secara praktis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

a. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai sastra, serta untuk memperoleh pengalaman menganalisis Struktururalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.

(23)

b. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca serta meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan pada penikmat sastra dan masyarakat pada umumnya.

c. Penelit lanjut, penelitian ini sebagai langkah awal untuk memotivasi pembaca maupun peneliti agar menghasilkan penelitian baru yang dapat bermanfaat bagi orang lain, dan juga bagi peneliti.

(24)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang membahas tentang analisis strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Namun, ada beberapa penelitian yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi.

Penelitian mengenai strukturalisme pernah dilakukan oleh Neni Sri Yuningsi (2010) yang berjudul Analisis Strukturalisme Novel Yang Kedua Karya Riawani Elyta. Dalam penelitiannya Neni Sri Yuningsi menyimpulkan bahwa novel merupakan sebuah cerita kehidupan yang membuat para pembaca menemukan sisi menarik dari ide pokok novel tersebut. Maka dalam menganalisis novel tentu kita harus membaca novel tersebut secara teliti serta memahami dan mencari tokoh, alur, latar dan yang lainnya.

Penelitian mengenai strukturalisme genetik pernah juga dilakukan oleh Mariyani (2011) yang berjudul Analisis Strukturalisme Genetik dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 Karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam penelitiannya,

Mariyani menyimpulkan bahwa Secara parsial, novel Ketika Cinta Bertasbih memiliki struktur intrinsik yang lengkap. Struktur tersebut meliputi tema, alur, penokohan/perwatakan, latar, amanat, sudut pandang, dan gaya bahasa.

Dari analisis secara keseluruhan terhadap novel Ketika Cinta Bertasbih dapat

(25)

dikemukakan bahwa novel ini merupakan salah satu novel yang bermutu karena pengarang mampu mengungkapkan tema dalam alur yang baik. Kemudian diperkuat dengan latar, penokohan / perwatakan yang cocok dengan tema cerita.

Penggunaan sudut pandang orang ketiga dan style yang variatif menjadikan cerita lebih hidup sehingga amanat yang ingin disampaikan dapat terwujud.

Pandangan sosial kelompok pengarang novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy adalah novel yang muncul tahun 2007. Oleh karena itu, isi novel ini sangat dipengaruhi oleh pandangan sosial kelompok pengarang yang tergabung di dalamnya yaitu: (1) Kehidupan yang islami, (2) pembangun jiwa, (3) bersifat modern, (4) bahasa percakapan dimasukkan di antara baca tulisan, (5) terdapat analisis jiwa, (6) cerita tentang zaman sekarang, (7) memiliki pandangan hidup yang baru. Analisis strukturalisme genetik novel Ketika Cinta Bertasbih juga mengangkat latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, karakteristik ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat Mesir sangat berpengaruh terhadap kekhasan karya Habiburrahman El Shirazy.

Adapun persamaan dari penelitian Yuningsi (2010) dan Mariyani (2011) dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis aspek srukturalisme genetik sedangkan perbedaannya terletak pada unsur yang dikaji yakni Mariyani menganilisis strukturalisme genetik dari segi intrinsik dan ekstrinsik novel, Yuningsi menganalisis strukturalisme genetik dari segi peranan novel dalam kehidupan pembaca sedangkan peneliti menganalisis lingkungan sosial budaya

(26)

pengarang, lingkungan sosial, budaya, dan politik novel Saman serta bagaimana pandangan dunia pengarang dalam novel Saman.

2. Hakikat Karya Sastra

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (dalam Purba, 2010: 2), kata sastra dituliskan sebagai (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). (2) kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lainnya memiliki ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan di dalam isi dan ungkapannya; ragam sastra yang dikenal umum ialah roman atau novel, cerita pendek, drama, epik dan lirik. (3) kitab suci; kitab (ilmu pengetahuan). (4) pustaka; kitab primbon (berisi ramalan).

(5) tulisan atau huruf.

Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang universal. Namun, adalah suatu fenomena pula bahwa gejala yang universal itu tidak mendapat konsep universal pula. Kriteria kesastraan yang ada dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria kesastraan yang ada pada masyarakat lain. Teeuw dkk. (dalam Jabrohim, 2012:

12).

Sastra mempunyai dua watak, yaitu watak universal dan watak lokal (Budi Darma,1999:54). Dikatakan universal dilihat dari dari temanya, karena, dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun ditulis pada hakekatnya sama, yaitu seputar cinta kasih, kebahagiaan, ketidakadilan dan lain-lain, hal-hal itulah yang

(27)

selalu menguasai tema sastra, dimana pun, kapan pun, dan oleh siapapun.

Dikatakan bersifat lokal karena, meskipun berwatak universal tetapi ciri-ciri lokal, waktu (zaman) pasti ada di dalamnya seperti yang kita kenal dalam periodisasi sastra (sastra lama dan modern). Sastra satu negara dengan sastra negara lain meskipun temanya sama pasti berbeda, sastra suatu bangsa disuatu masa atau kurun waktu yang sama, di negara yang sama, akan menghasilkan karya sastra yang berbeda.

Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Gramedia, Jakarta, Jan van Luxemburg, Mieke Bal, William G. Weststeijn (dalam Purba, 2010: 3) menuliskan ciri-ciri tentang sastra sebagai berikut:

a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.

b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada suatu yang lain. Sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri.

c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan koherensi.

d. Sastra menghidangkan sebuah antithesis antara hal-hal yang bertentangan.

e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya yang ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi.

Andre Lafevere (dalam Rimang, 2011: 2) berpandangan bahwa karya sastra (termasuk fiksi) merupakan deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi individual dan sosial kemasyarakatan sekaligus. Karena itu, pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan tidaklah sekadar menghadirkan dan

(28)

memotret begitu saja, melainkan secara substansial menyarankan bagaimana proses kreasi kreatif pengarang dalam mengekspresikan gagasan-gagasan keindahannya.

Di bawah ini dipaparkan pengertian sastra menurut para ahli (dalam Hasan, 2013) yaitu:

a. Menurut Mursal sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).

b. Menurut Semi sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

c. Menurut Panuti Sudjiman sastra adalah karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

d. Menurut Plato sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan.

e. Menurut Taum sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain.

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. Yosef ( Rimang, 2011:2) mengatakan bahwa secara konseptual sastra merupakan pola pengaturan

(29)

hubungan antara gejala-gejala yang diamati, karena itu, teori hakikatnya berisi ilmu pengetahuan dari satu titik pandang tertentu.

Kehadiran suatu karya tentu untuk dinikmati oleh pembaca dan untuk menikmati karya sastra secara sungguh-sungguh diperlukan seperangkat pengetahuan yang cukup, penikmat karya sastra pun bersifat dangkal dan sepintas.

Penikmat karya sastra dijumpai aneka ragam, baik ragam bentuk, ragam isi, maupun ragam bahasa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ragam karya sastra ini akan membentuk penikmat dalam memahami sebuah karya sastra dalam berbagai bentuk dan variasinya. Dengan karya sastra juga seseorang dapat menambah pengetahuannya tentang pola kehidupan manusia.

Sastra adalah persoalan wilayah kategori sastra atau tingkatan-tingkatan kualitas sastra. Escapirt (dalam Anwar, 2010: 240) menyebutkan istilah sastra rendahan (sous-litterature), sastra rendah (infra-litterature), sastra marginal (literature marginale) selain sastra yang dianggap berbobot atau kanon. Bagi Escarpit, masuknya sebuah buku karya sastra yang dianggap berbobot dan kanon atau rendahan tidak ditentukan oleh kualitas abstrak penulis, karya, atau penerbitnya, melainkan pada tipe pertukaran literer yang menyangkut tema, gagasan ataupun bentuk. Persoalan sosiologis tentang kategori sastra akan melahirkan “kesenjangan estetis” antara “buku sastra apa yang sedang dibaca”

dengan “ buku sastra apa yang seharusnya dibaca”.

Sastra adalah suatu karya sastra seni yang muncul dari imajinasi atau rekaan para sastrawan. Kehidupan di dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap penulisnya, latar belakang pendidikan, keyakinan,

(30)

dan sebagainya. Sedangkan di dalam karya sastra terkandung suatu kebenaran yang terbentuk keyakinan dan karya sastra kebenaran seperti terbukti dalam kehidupan sehari-hari.

Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang pangjang mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang kehidupan.

Melalui karya sastra, seorang menyampaikan pandangannya tentang kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, mengapresiasi karya sastra berarti kita berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra tersebut.

Sastra merupakan wajah kehidupan sosial. Dunia sosial selalu melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Maka pembaca pun memiliki kode sosial dan historis ketika membaca karya sastra. Bayangan kehidupan sosial masa lalu sering diinternalisasikan ke dalam hidup yang sedang dijalani. Bahkan ada pembaca dan kritikus merelevansikan sastra dengan dunia sosial sekelilingnya.

(Endraswara, 2013: 150).

Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sastra hidup karena ada kehidupan. Sastra merupakan guru efektif bagi penelusuran kehidupan sosial.

Keserakahan hidup dapat disaring lewat sastra. Pandangan Burke (dalam Endraswara, 2013: 126) kiranya dapat menguatkan pemahaman sastra sebagai wahana kehidupan. Tentu saja, yang dimaksud kehidupan, tidak sekadar

(31)

kehidupan lahiriah, melainkan yang paling penting adalah kebutuhan batiniah.

Sastra akan menjadi wahana pembangun batin, ikut menata kehidupan dan memperjuangkan suasana sosial.

Sastra adalah usaha memperlihatkan makna kehidupan, sedangkan kepuasan sastra adalah menjadikan makna itu bisa dimengerti. Dihubungkan dengan makna itu bisa dimengerti. Dihubungkan dengan makna kehidupan pada tingkat imajinasi sastrawan adalah dialog antara dunianya dan realita. Suatu cerita biasanya dituangkan dalam bentuk roman atau novel dan cerita pendek. Bentuk- bentuk karya sastra inilah yang paling populer dan paling banyak dibaca orang.

Tetapi dalam perkembangan karya sastra kemudian dilahirkan dalam bentuk- bentuk campuran antara dua bentuk tersebut. Ada novel yang lebih pendek disebut novelet atau novel pendek. Baik novel maupun cerita pendek sebenarnya memunyai pola bentuk yang hampir sama.

3. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan

jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian. Tarigan (dalam Purba, 2010: 62).

Novel merupakan suatu bentuk karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan ide atau gagasan pengarang (Adhar, 1997:9). Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan jalan hidup baru baginya (Wellek dan Austin, 1990: 182-183).

(32)

Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk pengertian novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris (novel) dan yang inilah kemudian masuk ke Indonesia dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dan bentuk prosa”. Abrams (dalam Aziz, 2011: 11).

Secara istilah, novel sebagai salah satu jenis karya sastra dapat didefinisikan sebagai pemakaian bahasa yang indah yang menimbulkan rasa seni pada pembaca, seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo (1984:3) sebagai berikut:

“Novel (sastra) adalah ungkapan pribadi manusia merupakan pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.

Novel adalah suatu jenis karya sastra yang berbentuk naratif dan berkesinambungan ditandai oleh adanya aksi dan reaksi antar tokoh, khususnya antara antagonis dan protagonis seperti diungkapkan oleh Semi (1988:6).

“Fiksi (novel) merupakan salah satu bentuk narasi yang mempunyai sifat bercerita : yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinan tentangnya. Oleh karena itu ciri utama yang membedakan antara narasi (termasuk fiksi atau novel) dengan deskripsi adalah aksi, tindak tanduk atau pelaku”. Clara Reeve (dalam Wellek, 1993:282).

(33)

Dewasa ini, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (dalam bahasa inggris novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang dari segi formalitas bentuk, namun juga tidak terlalu pendek. Nurgiyantoro (dalam Purba, 2010: 62).

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia.

Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Tetapi tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Novel adalah karya sastra yang melukiskan atau mengetengahkan kehidupan secara keseluruhan dalam bentuk cerita yang menampilkan tokoh-tokoh serta latar (setting) yang dijalin dalam rangkaian peristiwa.

Jadi, dari pendapat di atas dapat dijabarkan bahwa novel berisi tentang cerita kehidupan yang diciptakan fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu yang nyata. Nyata yang dimaksudkan bukanlah hal yang merujuk pada fakta yang sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang dapat diterima secara logis hubungan antara sesuatu peristiwa dengan peristiwa lain

(34)

dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk memberikan informasi kepada peminat sastra. Novel juga diartikan sebagi karangan prosa yang pangjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Depdikbud, 1993: 694).

Sebuah novel memiliki beberapa ciri yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mengetahui apakah novel atau bukan. Ciri-ciri novel adalah:

a. Jumlah kata lebih dari 35.000 buah;

b. Jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan buat membaca novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit;

c. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman;

d. Novel bergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku;

e. Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek dan emosi;

f. Skala novel luas;

g. Seleksi pada novel lebih luas;

h. Kelajuan pada novel kurang cepat;

i. Unsur-unsur kepadatan dan intensitas dalam novel kurang diutamakan.

Dari tahun ke tahun, novel Indonesia mengalami perkembangan pesat.

Novel dibagi atas tiga jenis, yaitu novel percintaan, novel petualangan dan novel fantasi.

a. Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria seimbang, bahkan kadang-kadang peranan wanta lebih dominan pelakunya.

(35)

b. Novel petualangan hanya didominasi oleh kaum pria, karena tokoh di dalamnya pria dengan sendirinya melibatkan banyak masalah lelaki yang tidak ada hubungannya dengan wanita.

c. Novel fantasi bercerita tentang hal yang tidak logis yang tidak sesuai dengan keadaan dalam hidup manusia. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep dan gagasan sastrawan hanya dapat jelas kalau diutarakan bentuk cerita fantastik, artinya menyalami hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.

Penggolongan di atas merupakan penggolongan yang umum. Secara khusus Muchtar Lubis (dalam Tarigan 2011: 168) membagi novel atas beberapa bagian seperti :

a. Novel psikologis, perhatian tidak ditujukan pada avontur lahir maupun rohani, terjadi lebih diutamakan pemeriksaan seluruhnya dari pikiran para pelaku;

b. Novel detektif kecuali dipergunakan untuk meragukan pikiran pembaca, menunjukkan jalan cerita. Untuk membongkar rahasia kejahatan, tentu dibutuhkan bukti agar dapat menangkap si pembunuh.

c. Novel sosial atau pendidikan, pelaku pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat sebagai pendukung jalan cerita.

d. Novel kolektif tidak hanya membawa cerita lebih mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas, keseluruhan mencampur adukkan pandangan antologis dan sosiologis.

e. Novel sejarah hanya sekadar kenangan indah buat dokumen, mengisahkan kepahlawanan seorang gadis yang keluarganya menjadi korban revolusi.

(36)

f. Novel keluarga pengalaman batin dijejali pembaca tentang kegelisahan sosial, kegelisahan batin maupun kegelisahan rumah tangga.

4. Unsur- Unsur yang Membangun Novel

Unsur-unsur, struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis, yaitu struktur dalam dan luar. Struktur dalam juga disebut struktur intrinsik, struktur dari luar juga disebut struktur ekstrinsik. Pada gilirannya analisis pun tidak bisa dilepaskan dari kedua aspek tersebut. Analisis aspek pertama memeroleh perhatian sejak ditemukannya teori formal yang kemudian dilanjutkan dengan strukturalisme dengan berbagai variannya. Karya sastra dianggap sebagai entitas dengan struktur yang otonom, mandiri, bahkan dianggap sebagai memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self-regulation) di samping kesatuan intrinsik dan prosedur tranformasi. Piaget (dalam Ratna, 2011: 13).

Karya sastra atau novel dibangun dari beberapa unsur, seperti tema, plot, latar, karakter/penokohan, titik pengisah dan gaya bahasa. Ketujuh unsur tersebut dapat dibedakan, tetapi sukar dipisahkan. Artinya, dalam sebuah novel ketujuh unsur ini dapat ditemukan namun tidak berdiri sendiri. Pemunculan dalam cerita ada yang bersama, namun mungkin ada salah satu di antaranya mendapat perhatian khusus dari pengarang.

a. Unsur Intrinsik

Unsur Intrinsik ini terdiri dari : 1) Tema

Tema ialah inti atau landasan utama pengembangan suatu cerita. Hal yang sedang diungkapkan oleh pengarang dalam ceritanya. Tema dapat bersumber pada

(37)

pengalaman pengarang, pengamatan pada lingkungan, permasalahan kehidupan dan sebagainya.

Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Aminuddin (dalam Siswanto, 2013:

146).

Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan. Dalam cerita rekaan tema berfungsi memberi kontribusi bagi elemen cerita rekaan yang lain, seperti alur, tokoh dan latar. Pengarang menyusun alur, menciptakan tokoh dan yang berlakuan dalam latar tertentu, sebenarnya merupakan tanggapannya terhadap tema yang telah dipilih dan yang akan selalu mengarahkannya.

2) Setting/Latar

Latar cerita adalah gambaran tentang waktu, tempat dan suasana yang digunakan dalam suatu cerita. Latar merupakan sarana memperkuat serta menghidupkan jalan cerita. Unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung disebut latar (setting).

(38)

Leo Hamalian dan Frederick R. Karell (dalam Siswanto, 2013: 135) menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu masalah tertentu. Kenney (dalam Siswanto, 2013: 136) mengungkapkan cakupan latar cerita dalam cerita fiksi yang meliputi penggambaran lokasi geografis, pemandangan, perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, emosional para tokoh.

Abrams (dalam Aziz, 2011:42) mendeskripsikan latar menjadi tiga kategori, yaitu: latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat adalah hal- hal yang berkaitan dengan masalah geografis, tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu adalah berkaitan dengan masalah- masalah hid=storis, waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar sosial adalah hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita.

3) Sudut Pandang

Stanton (dalam Aziz, 2011: 48) mengartikan sudut pandang sebagai posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Secara garis besar penyajian sudut pandang ada dua yakni, insider atau pengarang ikut mengambil peran dalam cerita, dan outside atau pengarang berdiri sebagai orang yang berada

(39)

di luar cerita. Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.

Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.

b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.

c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.

Pembagian sudut pandang memiliki variasi, kendati demikian pada hakikatnya sama saja dengan sudut pandang yang dirumuskan oleh Stanton, yaitu membagi ke dalam empat tipe, seperti berikut ini:

a) First person-cental, atau sudut pandang orang pertama sentral atau dikenal juga sebagai akuan-sertaan, dalam cerita itu tokoh sentralnya adalah pengarang yang secara langsung terlibat di dalam cerita.

b) First-person-peripheral, atau sudut pandang orang pertama sebagai pembantu atau disebut sebagai akuan-taksertaan, adalah sudut pandang di mana tokoh

(40)

„aku‟nya hanya menjadi pembantu yang mengantarkan tokoh lain yang lebih penting.

c) Third-person-omniscient, atau sudut pandang orang ketiga maha tahu atau disebut juga diaan-mahatahu, yaitu pengarang berada di luar cerita, menjadi seorang pengamat yang mahatahu, bahkan berdialog langsung dengan pembacanya.

d) Third-person-limited, atau sudut pandang orang ketiga terbatas atau disebut juga diaan-terbatas, pengarang memergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya, ia hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita.

4) Alur (Plot)

Alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkain cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2013). Alur dapat disebut juga rangkaian atau tahapan serta pengembangan cerita. Dari mana pengarang memulai cerita mengembangkan dan mengakhirinya. Alur terdiri atas alur maju, alur mundur (flash back), alur melingkar dan alur campuran.

Secara garis besar, struktur alur cerita rekaan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, tengah dan akhir. Namun urutan itu tidak selamanya seperti itu, setiap pengarang dapat secara bebas memulainya. Bagian awal sebuah cerita rekaan, biasanya mengandung dua hal penting, yakni pemaparan (exposition), dan ketidakmantapan (instability). Pada bagian tengah, terdapat konflik (conflict), komplikasi, perumitan, penggawatan (complication) dan klimaks (climax). Pada

(41)

bagian akhir kisah terdiri dari segala sesuatu yang berawal dari klimaks menuju kepemecahan masalah yang disebut denouement atau peleraian.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar plot yang kita bangun tidak saja menjadi menarik, tetapi sesuai juga dengan logika cerita, dan tidak melebar ke mana-mana sehingga kehilangan fokus cerita. Dalam buku How to Analyze Fiction, Kenny (dalam Aziz, 2011: 37) mengemukakan kaidah-kaidah pemlotan meliputi masalah plausibilitas (plausibility), adanya unsur rasa ingin tahu (suspense), kejutan (suprise) dan kesatupaduan (unity).

5) Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Dan watak tokoh, yaitu penggambaran karakter serta perilaku tokoh-tokoh cerita. Tokoh utama disebut dengan tokoh protagonis dan lawannya adalah tokoh antagonis. Penokohan ialah cara pengarang menggambarkan para tokoh di dalam cerita. Penokohan terdiri atas tokoh cerita, yaitu orang-orang yang terlibat secara langsung sebagai pemeran sekaligus penggerak cerita dan orang-orang yang hanya disertakan dalam cerita.

Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Aminuddin (dalam Siswanto 2013: 130). Tokoh protagonis adalah tokoh yang wataknya disukai pembacanya. Biasanya watak tokoh semacam ini adalah watak yang baik dan positif. Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembacanya. Tokoh ini biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negatif.

6) Amanat

(42)

Amanat cerita adalah pesan moral atau nasihat yang disampaikan oleh pengarang melalui cerita yang dikarangnya. Pesan atau nasihat disampaikan pengarang dengan cara tersurat yakni dijelaskan pengarang langsung atau melalui dialog tokohnya, dan secara tersirat atau tersembunyi sehingga pembaca baru akan dapat menangkap pesan setelah membaca keseluruhan isi cerita.

7) Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah bagaimana pengarang menguraikan ceritanya. Ada yang menggunakan bahasa yang lugas, ada yang berbicara dengan bahasa pergaulan atau bahasa sehari-hari, dan sebagainya. Gaya erat hubungannya dengan nada cerita, gaya merupakan cara pemakaian bahasa spesifik dari seorang pengarang. Gaya merupakan sarana yang dipergunakan pengarang dalam mancapai tujuan, yakni nada cerita.

b. Unsur Ekstrinsik

Secara leksikal kata ekstrinsik berasal dari luar, tidak termasuk dalam intinya. Akan tetapi dalam karya sastra hal-hal yang berada di luar karya sastra secara tidak langsung dapat memengaruhi bangunan atau organisme karya sastra itu. Faktor ekstrinsik cukup berpengaruh/bahkan untuk karya pengarang tertentu cukup menentukan terhadap totalitas karya sastra yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik dengan demikian, sebuah cerita rekaan tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.

Wellek & Werren (dalam Aziz, 2011: 63) menggolongkan unsur ektrinsik:

biografi pengarang menyangkut historisnya, keyakinan, idiologi, agama, pendidikan, karier dan sebagainya; psikologi pengarang yang menyangkut proses

(43)

kreatifnya; dan masyarakat menyangkut sosial-ekonomi, budaya-politik dan sebagainya.

5. Sosiologi Sastra

a. Hakikat Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra yaitu sosio/socius berarti masyarakat, dan kata log/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat. Ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sedangkan sastra berasal dari akar sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti saran. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Maka, sosiologi sastra adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan. Ratna (dalam Musyaropah, 2011: 20).

Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari sastra dalam hubungannya dengan masyarakat sosial. Kenyataan sosial mencakup pengertian konteks dan pembaca (produksi dan resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek- aspek sosial dalam teks sastra). Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan yang sudah ditafsirkan, yaitu kenyataan sebagai kontruksi sosial.

Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleski, sebagai cermin, juga dengan cara refraksi, sebagai jalan belok. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan yang sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. Dengan demikian sosiologi sastra adalah konsep cermin

(44)

(mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai minesis (tiruan) masyarakat.

Endraswara (dalam Musyaropah, 2011: 22). Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai ilusi atau khayalan dari kenyataan. Tentu saja sastra tidak akan semata- mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekadar kopi kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Sastra bukanlah sebuah tengkorak, yang layak dikubur. Sastra juga bukan fosil, yang hanya perlu dimusiumkan, dipandang-pandang, melainkan memuat manfaat yang luar biasa. Sastra memiliki ruh yang berguna. Bersama-sama sosiologi, sastra diungkap agar semakin jelas kebermanfaatannya. Mungkin sekali, sastra akan membangun moralitas sosial, agar manusia semakin berjiwa sosial. Untuk menggali manfaat sosial, diperlukan sosiologi sastra. Menurut Hutomo (dalam Endraswara, 2013: 1) sosiologi sastra adalah memandang karya sastra sebagai produk sosial budaya, dan bukan hasil dari estetik semata. Nada historis memang penting dalam studi sosiologi sastra, untuk menangkap kebermanfaatan sastra dari sebuah periode.

Baik buruknya pemahaman sastra, bergantung bagaimana memanfaatkan pragmatika sosiologi dan sastra secara proporsional. Aspek pragmatik sastra amat luas, bergantung peneliti sedalam apa menafsirkannya. Asumsi bahwa sastra akan memilki aspek pragmatik, yaitu memperkaya kehidupan sosial, tidak dapat dipungkiri lagi. Sastra dan sosiologi selalu hidup berdampingan. Namun demikan, memang jarang ahli sosiologi yang mau memanfaatkan sastra untuk memperkaya studinya. Padahal, ahli sastra telah banyak menggunakan pilar-pilar sosiologi.

(45)

Yang jelas, di tengah meriahnya keadaan masyarakat, akan menjadi objek menarik bagi sastrawan.

Endraswara (dalam Musyaropah, 2011: 23) sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui 3 perspektif, yaitu:

1) Perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan dan dijelaskan makna sosialnya.

2) Perspektif biografis yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life histori seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Perspektif ini hanya diperuntukkan bagi pengarang yang masih hidup dan mudah dijangkau.

3) Perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

b. Teori Pendekatan Sosiologi Sastra 1) Teori Sastra Marxix

Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxixsme. Kritukus-kritikus Marxix biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khususnya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Kehidupan agama, intelektual dan kebudayaan setiap zaman termasuk seni dan kesusastraan merupakan ideologi-ideologi dan suprastruktur- suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan

(46)

akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam zamannya. Abrams (dalam Woellandhary, 2013).

Bagi Marx (dalam Woellandhary, 2013), sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut.

2) Teori George Lukacs: Sastra sebagai Cermin

George Lukacs adalah seorang kritikus Marxix terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman. Lukacs mempergunakan istilah

“cermin” sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah “proses yang hidup”. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif. Selden (dalam Woellandhary, 2013).

Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi- imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk

(47)

dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi, sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.

3). Sastra dan Marxisme: Karl Marx, Frederick Engels, Georgi Plekanov, Georg Lukacs

Hubungan antara sastra dengan masyarakat, berkembang di kalangan para pemikiran Marxis. Marxisme adalah aliran pemikiran yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Frederick Engels, dalam buku mereka yang berjudul The German Ideology. Menurut keduanya produksi ide, konsep, dan kesadaran pertama kalinya

secara langsung tidak dapat dipisahkan dengan hubungan material antarmanusia, bahasa kehidupan nyata. Dalam pandangan Marxisme karya sastra dianggap sebagai salah satu bentuk superstuktur masyarakat, yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan infrastuktur (basis material) yang mendasarinya.

Secara spesifik, para pemikir marxis memiliki pandangan yang berbeda- beda dalam memandang karya sastra dalam hubungannya dengan kekuatan materialnya. Marx (dalam Wiyatmi, 2013) menganggap sastra, sebagaimana politik, ideologi dan agama adalah wilayah superstruktur, keberadaannya bertumpu pada basis ekonomi (infrastruktur). Sastra haruslah berpijak dari realitas sosio historis. Realitas sosio historis tersebut ditandai oleh perjuangan kelas, maka sastra harus diletakkan dalam kerangka perjuangan kelas proletar dalam rangka menghilangkan kelas.

Pendapat tersebut selanjutnya didukung oleh Tolstoy (dalam Wiyatmi, 2013) yang menyatakan bahwa doktrin seni untuk seni harus dihancurkan karena seni harus merupakan monitor dan propaganda proses sosial. Sastra harus menjadi

(48)

bagian dari perjuangan kaum proletar, harus menjadi sekrup kecil dalam mekanisme sosial demokratik.

Apa yang dikemukakan oleh Marx dan Tolstoy agak berbeda dengan Engels (dalam Wiyatmi, 2013) yang menganggap sastra adalah cermin pemantul proses sosial, tetapi hubungan isi sastra (dan filsafat) lebih kaya dan samar-samar dibandingkan dengan isi politik dan ekonomi. Namun demikian, menurutnya, tendensi politik penulis dalam sastra, harus disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si penulis, semakin bermutulah karya yang ditulisnya. Isi novel (muatan ideologis) harus muncul secara wajar dalam situasi dan peristiwa yang ada di dalamnya. Setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representasif dalam karyanya, sebab realism meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula. Sastra haruslah tetap menunjukkan keartistikannya, tidak semata- mata alat perjuangan kelas.

Apa yang dikemukakan oleh Engels, sejalan dengan pandangan Plekanov (pendiri partai emansipasi buruh di Rusia) yang mengatakan bahwa dalam sastra, gagasan yang mengandung muatan ideologis harus dinyatakan secara figuratif, sesuai dengan kenyataan yang melingkunginya. Seni adalah cermin kehidupan sosial, tetapi memiliki insting estetik yang sama sekali nonsosial dan tak terikat pada kondisi sosial tertentu.

Lukacs memandang sastra memang terikat pada kelas, tetapi sastra besar tidak mungkin lahir dari dominasi borjuis. Para penulis yang menggabungkan diri dengan kaum borjuis hanya mampu mencerminkan keruntuhan kelas.

(49)

Menurutnya, sastra sama sekali bukan merupakan suatu objek kultural yang pasif, tetapi merupakan bagian dari perjuangan untuk melenyapkan akibat-akibat buruk dari pembagian kerja sosial yang luas. Bagi Lukacs, pujangga besar adalah yang mampu menciptakan tipe-tipe manusia yang abadi, yang merupakan kriteria sesungguhnya dari pencapaian sastra.

6. Strukturalisme Genetik

Pencetus pendekatan strukuralime genetik adalah Lucien Goldmann, seorang ahli sastra Prancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Bukan seperti pendekatan Marxisme yang cenderung positivistik dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap berpijak pada strukturalisme karena ia menggunakan prinsip struktural yang dinafikan oleh pendekatan marxisme, hanya saja, kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo. et al, 2002:60).

Goldmann (dalam Teeuw, 2003: 126:127) menyebut metode kritik sastranya strukturalisme genetik. Ia memakai istilah strukturalisme karena lebih tertarik pada struktur kategori yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang tertarik pada isinya. Genetik, karena ia sangat tertarik untuk memahami bagaimana struktur mental tersebut diproduksi secara historis. Dengan kata lain, Goldmann memusatkan perhatian pada hubungan antara suatu visi dunia dengan kondisi-kondisi historis yang memunculkannya. Kemudian, atas dasar analisis visi pandangan dunia pengarang dapat membandingkannya dengan data dan analisis

(50)

sosial masyarakat. Untuk menopang teorinya tersebut, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik.

Strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan pandangan pengarang. Pandangan pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar belakang kehidupan pengarang (Faruk 1999:12 -13). Orang yang dianggap sebagai peletak dasar mazhab genetik adalah Hippolyte Taine (Sapardi Djoko Damono dalam Zaenudin Fananie 2000:116). Taine mencoba menelaah sastra dari sudut pandang sosiologis. Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan Umar Junus (dalam Zaenudin Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut kemudian dikembangkan oleh Lucien Goldmann dengan teorinya yang dikenal dengan Strukturalisme genetik (Zaenudin Fananie 2000:117). Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Strukturalisme-Genetik Goldmann adalah penelitian sosiologi sastra (Umar Junus 1988:20).

Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Zaenudin Fananie 2000:117).

(51)

Atar Semi (1987:7) berpendapat bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang subjektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain, kita melihat gambaran tentaang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pemberdayaannya. Sementara, sastra itu sendiri pada dasarnya berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Meskipun sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1995: 84), meskipun sastra dianggap cerminan keadaan masyarakat, pengertian tersebut masih sangat kabur. Oleh karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Namun demikian, Grebstein (dalam Sapardi Djoko Damono 1978: 4) mengatakan bahwa meskipun sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.

(52)

Yakob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra adalah produk masyarakat, berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional dari masyarakat. Konteks sosial novel merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejalagejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 2001:61).

Damono (dalam Faruk 1999 (a) :4-5) menemukan tiga macam pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dalam kaitannya dalam masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping memengaruhi isi karya sastranya. Yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah:

1) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,

2) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi,

3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang terutama mendapat perhatian adalah:

1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya itu ditulis,

2) sejauh mana sifat pribadi pengarang memengaruhi gambaran masyarakat

yang ingin disampaikannya,

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan feminisme berusaha merombak cara pandang kita terhadap dunia dan berbagai aspek kehidupan (Nugroho, 2011:62). Fenomena semacam itu kemudian memunculkan

Sebagaimana yang dikemukakan oleh (Uno, 2013:3) bahwa motivasi merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Motivasi berguna untuk menjelaskan berbagai

Latar sosialnya meliputi tasyakuran dan pernikahan, (3) nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel Tentang Kamu karya Tere Liye adalah (a) hubungan manusia dengan

Hal ini yang melatarbelakangi peneliti memilih topik analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan menggunakan kajian sosiologi sastra dengan penerapan

Karya sastra merupakan gambaran tentang pengalaman hidup manusia, yang menceritakan tentang kehidupan keluarga dan proses pencapaian cita-cita yang terkadang tidak

Oleh karena itu, tiga unsur nilai religiusitas yang menjadi pedoman manusia dalam hidup bersosial tidak hanya dapat dilakukan dalam kehidupan masyarakat saja

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan: (1) struktur teks novel Pasung Jiwa; (2) struktur sosial; (3) fakta kemanusiaan; (4) pandangan dunia pengarang; (5)

Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah