• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu sebagai berikut:

1. Data primer diperoleh dari novel Saman karya Ayu Utami yang merupakan objek kajian dalam penelitian ini. Penulis membaca secara cermat dan berulang-ulang sehingga menemukan kalimat yang mengandung Srukturalisme genetik. Kemudian Penulis mengklasifikasikan data yang termasuk unsur-unsur Srukturalisme genetik berdasarkan acuan yang telah ditetapkan.

2. Data sekunder berupa pendapat atau komentar dari kritikus tentang karya sastra dalam buku-buku sastra yang berkaitan dengan penelitian ini.

E. Teknik Analisis Data

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka selanjutnya penulis menganalisis data tersebut dengan memerhatikan aspek Srukturalisme genetik yang dijadikan sebagai acuan penelitian, meliputi:

1. Mengidentifikasi isi novel Saman karya Ayu Utami.

2. Mengkalisifikasi data yang diperoleh berupa Srukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.

3. Menganalisis data yang diperoleh berupa Srukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.

4. Mendeskripsikan aspek-aspek social-budaya pengarang, aspek social, budaya, dan politik novel yang terkandung dalam novel Saman karya Ayu Utami.

5. Mengadakan pemerikasaan keabsahan data berdasarkan aspek l yang dianalisis sebagai hasil penelitian.

6. Apabila hasil penelitian sudah dianggap sesuai, maka hasil tersebut sebagai hasil akhir.

51 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan secara rinci hasil penelitian terhadap novel Saman karya Ayu Utami, dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif.

Hasil penelitian ini akan dikemukakan beberapa data yang diperoleh sebagai bukti hasil penelitian. Data yang akan disajikan pada bagian ini adalah data yang memuat aspek-aspek strukturalisme genetik sebagai salah satu unsur pembentuk novel tersebut. Berdasarkan pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis novel Ayu Utami maka diharapkan dapat mengungkapkan aspek secara terperinci dan jelas.

Aspek Strukturalisme genetik yang dimaksud yaitu eksistensi tokoh utama, bagaimana lingkungan sosial budaya pengarang, lingkungan sosial , budaya, dan politik novel Saman, serta pandangan dunia pengarang dalam novel Saman. Untuk lebih jelasnya diperhatikan berikut ini:

1. Eksistensi Tokoh Utama

Dalam dunia pewayangan purwa, Wisanggeni adalah putra Arjuna dengan bidadari dari Kahyangan Jonggringsaloka. Sedari lahir, ia di bawa ke kahyangan untuk di tempa di kawah Candradimuka oleh Sang Hyang Wenang. Setelah dewasa, turun ke bumi dan kembali kepada keluarganya, yaitu Pandawa. Ia tidak dapat menyaksikan atau turut berperang dalam Bharatayuda sebab sudah dimatikan dahulu oleh Sri Kresna.

Dalam versi Ayu Utami, Wisanggeni adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah teologi di Driyakarya. Setelah tamat, acara sakramen presbiterat dan pembacaan kaul dan pelantikan dilaksanakan.

Sejak saat itu orang-orang memanggil dia Frater Wisanggeni atau Romo Wisanggeni. Tugas untuk melayani umat di manapun dan kapanpun telah siap diemban Wis. Namun dalam hati kecil Wis, dia sangat berharap ditempatkan di pedalaman Perabumulih. Dia merasa banyak yang bisa dikerjakan di sana, sebab dia adalah lulusan Institut Pertanian dan mayoritas penduduk Prabumilih yang bekerja di perkebunan karet. Jadi, Wisanggeni beranggapan bahwa kemampuannya di bidang pertanian dapat diterapkan di area perkebunan tersebut.

Bagi Wis, Perabumulih bukan tempat asing. Masa kecilnya pernah merasakan di Perabumulih karena Bapaknya pernah bekerja dinas sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia cabang Perabumulih. Di sana juga dia mendapatkan pengalaman yang aneh, suatu pengalaman yang tidak pernah ia ceritakan bahkan pada Ayahnya sendiri. Pengalaman tentang roh-roh yang ada disekitarnya. Yang dianggap Wis adalah roh-roh adiknya yang telah lama tiada.

Dari alasan itu mengapa Wis ingin sekali ditugaskan ke Perabulih tempat di mana ia mempunyai ikatan yang sangat erat sejak kecil. Kesempatan untuk ditugaskan ke Perabumulih akhirnya datang dan dikabulkan oleh Keuskupan.

Setelah sepuluh tahun akhirnya Wis datang lagi ke Perabumulih walau menurut Wis sendiri tempat itu tak banyak berubah. Perasaan tentang adik-adiknya yang telah lama tiada membuka kembali akan kenangan tentang masa lalunya. Perasaan pahit di mana Ibunya yang dikasihinya yang juga mengasihinya

telah lama meninggal bercampur dengan rasa keingintahuan selama ini tentang Perabumulih selama sepuluh tahun yang telah ditinggalkannya.

Setelah beberapa hari dan beberapa minggu dengan kegelisahan dan kesedihan, apa yang tak pernah dia saksikan. Keterbelakangan dan kemiskinan penduduk membuat Wis bertekad untuk mengabdikan hidupnya dengan orang-orang di desa transmigran Sei Kumbang yang berjarak tujuh puluh kilometer dari Perabumulih.

Di Sei Kumbang, Wis memutuskan untuk membantu meringankan penderitaan gadis yang dianggap gila. Sikap rasa peduli dan keibaan terhadap orang-orang di Sei Kumbang ini, akhirnya dia meminta izin dari pastor kepala Perabumulih agar direstui untuk membantu penduduk Sei Kumbang dan dia berjanji akan membagi tugas antara kepastoran parokial dan membantu penduduk di perkebunan karet.

Saman/Wisanggeni adalah sosok yang selalu gelisah melihat sesuatu yang dia dianggap tidak wajar. Jiwa sosialnya akan tergerak dan ikut membantu jika dirasa itu sangat mengusik hatinya. Ketika dia untuk pertama kali melihat kondisi penduduk dusun Sei Kumbang dia sangat merasakan betapa keterbelakangan serta kemiskinan sehingga untuk membeli beras saja tidak mampu sangat mengganngu jiwanya untuk turut membantu.

Setiap malam Wis selalu memikirkan dan gelisah serta selalu bergelut dengan batinnya sendiri. Lalu pada suatu saat ia memberanikan diri untuk berbicara kepada pastor kepala Pater Westenberg mengajukan diri agar ia diberi ijin untuk membantu warga di Sei Kumbang. Karena keterlibatan Wis terhadap

Warga Sei Kumbang Wis sering meninggalkan tugas parokialnya. Merasa mendapat teguran dari pastor kepala Wis meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dialami dan yang ia kerjakan. Bahwa dia tidak bisa melihat keterbelakangan dan kemiskinan penduduk sedangkan dia sendiri hanya bisa tidur diranjang empuk dan menikmati masakan, sementara di luar sana ada banyak penduduk dusun yang hanya untuk membeli beras saja tak mampu. Itulah yang menjadikan konflik batin Wis . Konflik batin tokoh utama ( Saman) Nampak pada kutipan di bawah ini:

“Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia bisa diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon agar diberi kesempatan itu” (Saman, 2002: 84).

Dari petikan di atas betapa Wis ingin sekali ingin membantu warga dusun Sei kumbang dengan cara mengajukan beberapa proposalnya agar dapat dana untuk membantu meringankan warga Sei Kumbang. Keinginan Wis pun akhirnya dikabulkan oleh pastor kepala. Dari sinilah, Wis semakin terlibat bukan hanya membantu warga tetapi juga terlibat dalam konflik-konflik yang dialami oleh penduduk.

Setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Wis kemudian ditangkap. Dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara Wis mengalami siksaan dan tekanan yang luar biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan oleh aparat yang dituduh telah mengahasut penduduk. Tuduhan-tuduhan politis dan SARA bahwa dia seorang komunis yang berkedok rohaniawan dilayangkan

pada Wis. Mau tidak mau akibat sikasaan akhirnya Wis mengaku dan membuat karangan tentang dirinya. Bahwa memang benar tuduhan-tudahan yang dialamatkan pada dia semua itu. Penyiksaan Wis terdapat pada kutipan berikut ini:

“Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang interrogáis, didudukan atau dibarkan berdiri, sementara ia mendiga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanza selalu ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau Cuma menggunakan kepalan dan tendangan.” (Saman, 2002: 106).

“Rasa sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang ceritayang sebelumnya tak pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang menyenangkan orang-orang itu: saya sesungguhnya adalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, mereka menyebutnya republik pisang atau republik bananas, ia mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk mewartakannya.” (Saman, 2002: 107).

Konflik demi konflik mulai dari kekejaman aparat yang membakar dusun, siksaan fisik yang ia terima hingga perasaan keingintahuan kabar dari orang-orang dusun yang membakar kantor polisi dan pabrik dan nasib Upi gadis gila yang ia rawat, tak tertolong ketika dusun dibakar membuat Wis menanyakan tentang Tuhan. Dalam kondisi inilah Wis mengalami konflik batin akan keberadaan Tuhan yang selama ini dia percaya. Konflik batin Wis Nampak pada kutipan di bawah ini :

“Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada.

Kristus tidak menebusnya sebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi yang mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan tinggi.” (Saman, 2002:105).

“Abang (Wis) pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan abang berkali-kali, pemuda itu memegang lengannya sebelum pergi. Tapi Wis diam saja.

Ia hanya berpikir. Tidak Anson. Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi……….”. (Saman, 2002:115)

Dari kutipan dan pemaparan di atas, konflik yang dialami Wis bukan hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal, dia adalah seseorang yang pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis. Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang tertindas.

“Hirarki gereja hanya mendengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagiian orang mengira dia sudah mati ketika disekap di pabrik..

Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan Kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas dibenaknya.” ( Saman, 2002: 117).

2. Lingkungan Sosial Ayu Utami

Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia.

Ia mengaku sejak kecil memang suka bahasa terutama bahasa yang aneh-aneh, eksotis. Bagi Ayu Utami dunia tulis menulis bukan hal yang baru. Sebelum menjadi penulis novel, ia pernah menjadi wartawan di majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan pers. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan ikut

membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi. Baginya, menulis novel merupakan cara untuk mengeksplorasikan bahasa Indonesia, bahasa yang masih muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan.

Ayu Utami merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Sutaryo dan Suhartinah yang berasal dari Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami bekerja sebagai jaksa, ia cukup ketat dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan bertanggung jawab. Dalam hal ini ia sangat perhitungan terhadap anak-anaknya.

Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia akan meminta imbalan yang seimbang dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah, sebagai ibu Ayu Utami yang dulu pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah SMP adalah orang yang mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-anaknya bukanlah suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami bisa kecewa sekali melihat anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah sebaliknya ia selalu siap menghibur jika anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh orang tua Ayu Utami yang seperti inilah yang membuat Ayu Utami bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami menghabiskan masa kecil di Bogor hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan SMP di Jakarta, dan SMU di Tarakanita Jakarta.

Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang tua yaitu dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya meremehkan orang dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Baginya, membaca buku bisa mempengaruhi hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal

membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu untuk membaca Alkitab. Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut Katolik yang mengagumi buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab adalah buku satu-satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa.

Alasannya, Alkitab ditulis oleh orang banyak dengan gaya masing-masing. Ada yang bebentuk puisi, buku, dan surat menyurat. Wajarlah kalau dalam novel Saman, terdapat petikan-petikan ayat Alkitab.

Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis beberapa cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota. Namun, bukan berarti cita-cita Ayu Utami sejak kecil memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami mempunyai bakat melukis. Ia sering memperoleh order melukis dari teman atau keluarganya. Bahkan impian banyak pelukis pernah menghampirinya, yakni tawaran dari pembimbing melukisnya untuk mengadakan pameran tunggal. Itulah sebabnya, setelah lulus dari SMU Ayu Utami ingin melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu ditentang orang tua. Sebagai pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak ingin memberatkan orang tuanya, selain lebih murah dibandingkan dengan kuliah di luar negeri, selain itu juga semua kakaknya kuliah di UI.

Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah.

Kuliah ia jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada kuliah. Akan tetapi hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa tidak ada gunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung

soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah sambil bekerja yang dilakukan Ayu Utami juga mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya hal itu tidak bisa diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis Ayu Utami yang membuat ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang pernah ia jalani. Bahkan Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R.

Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan berkembang. Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti pendidikan di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya dipecat dari majalah Forum. Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah D&R, karena namanya sudah masuk black list, tidak boleh lagi tercantum disusunan redaksional media massa manapun. Di majalah ini ia hanya menjadi kontributor. Saat itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk menjadi wartawan secara terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak keluarga sangat menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk menjadi aktivis niat utamnya adalah menjadi wartawan professional.

Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1993-1994, Ayu Utami mengikuti arus menjadi aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers Sewaktu menjadi aktivis, kedudukannya lebih sebagai kurir atau penghubung. Ia tersentuh sekali melihat teman-teman yang terlibat secara langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI).

Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian menghindar dari kejaran polisi.

Biasanya ia bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan, seperti mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan penampilannya ia bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga dengan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami cukup bersih dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak pernah tercium oleh pihak aparat.

Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan berbagai kalangan yang dapat memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel Saman, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis moneter.

Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya, ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salah novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu

bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara terbuka.

Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah. Ayu Utami bukannya menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk merenungkan kembali isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi.

Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita yang sangat realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi kekasihnya dan bergantung kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya memang harus berakhir, ia pun bisa melupakannya sama sekali. Inilah yang membuatnya tidak mengenal istilah patah hati dalam hidupnya. Sebab ia bisa berteman baik dengan mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta. Soal laki-laki, secara fisik Ayu Utami suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak.

Entah kenapa seperti itu, sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal laki-laki ia suka yang military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik dengan laki-laki yang bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas teman ia senang sekali, tetapi bukan untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki yang military look kemungkinan arena citra laki-laki ganteng yang pertama kali ia

lihat adalah Pierre Tendean, orang yang dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-orang sebaya Ayu Utami, doktrin mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat. Proses pembentukannya sepertinya didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti itu. Jadi, meskipun ketika beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci sekali dengan tentara, tetapi soal laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang bergaya militer.

Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam buku Si Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun kita selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau tidak menikah perempuan akan diejek sebagai perawan tua, dan sebagainya. Yang pada akhirnya, membuat si perempuan menjadi berada di bawah tekanan. Ia ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan seks di luar pernikahan. Dalam hal ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita memang munafik. Mereka menganggap seolah-olah kalau sudah menikah itu segala sesuatu menjadi beres. Padahal, banyak sekali orang yang sudah menikah tetapi masih melakukan hubungan seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.

Dokumen terkait