• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sumber pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai analisis kerawanan pangan rumah tangga miskin di Kelurahan Belawan II.

2. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

3. Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rawan Pangan

Rawan pangan adalah kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya (Dewan Ketahanan Pangan Nasional, 2005). Suatu daerah dikatakan rawan pangan dapat diukur dengan banyaknya jumlah rumah tangga prasejahtera yang relatif masih banyak karena alasan ekonomi, status gizi masyarakatnya yang ditunjukkan oleh status gizi balitanya, ketersediaan pangan daerah dan kerentanan pangan.

Rawan pangan atau food insecurity merupakan fenomena kebalikan ketahanan pangan atau food security. Kalau digunakan konsep Food and Agriclture Organization of the United nation (FAO) dan UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan, maka kondisi rawan pangan dapat mengandung komponen sebagai berikut:

1. Individu atau rumah tangga masyarakat tidak memiliki akses ekonomi (penghasilan tidak memadai atau harga pangan tak terjangkau) untuk memperoleh pangan yang cukup baik kuantitas ataupun kualitas.

2. Individu atau rumah tangga masyarakat tidak memiliki akses secara fisik untuk mendapatkan pangan yang cukup baik kuantitas ataupun kualitas.

3. Pangan bagi individu atau rumah tangga tidak mencukupi untuk kehidupan yang normal, sehat dan produktif.

Universitas Sumatera Utara

Secara teoritis dikenal dua bentuk kerawanan pangan (food insecurity) tingkat rumah tangga yaitu kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan akut.

Kerawanan pangan kronis adalah kerawanan pangan yang terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan gersang.

Sementara kerawanan pangan akut adalah kerawanan pangan yang terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan (Suryana, 2003).

Ketahanan pangan mencakup tiga dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food

availability), (b) akses/distribusi pangan (access to sufficient food), dan (c) pemanfaatan/ konsumsi pangan (utilization of food, which is related to cultural

practices). Namun ketiga dimensi tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability of food stock). Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga dimensi tersebut.

2.1.1 Ketersediaan Pangan

Peningkatan jumlah penduduk yang semakin besar tentu menjadi isu utama dalam masalah pangan. Pertambahan jumlah penduduk berimplikasi luas terhadap terhadap peningkatan kebutuhan pangan, terutama produksi beberapa komoditas yang masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ketersediaan pangan sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah hal yang sangat penting.

Ketersediaan pangan di suatu daerah atau negara ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaman produksi pangan, tingkat kerusakan, dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor pangan.

Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk terhadap pangan.

Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin tersedianya pangan di tingkat rumah tangga, karena tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Oleh karena itu, dalam konsep ketahanan pangan mengamanakan tersedianya pangan yang dapat dijangkau sampai tingkat perseorangan. Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan berpotensi terjadinya kerawanan pangan dan memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Akses Pangan

Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah/pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman dan bantuan pangan.

Akses pangan dikategorikan menjadi 3 aspek, yaitu : (1) Akses fisik yang terdiri dari ketersediaan pangan pokok, persentase jalan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, dan persentase desa yang tidak mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar > 3 km. (2) Akses ekonomi meliputi persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, persentase pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. (3) Akses sosial meliputi persentase penduduk yang tidak tamat pendidikan dasar.

Ketersediaan pangan harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai

jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Suryana, 2003). Sedangkan akses pangan adalah kemampuan semua rumah tangga

dan individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya. Akses pangan meliputi akses ekonomi, fisik, dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja, dan harga.

Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan (Hanani, 2009).

Teori konsumsi Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money menjelaskan adanya hubungan antara pendapatan yang diterima saat ini (pendapatan disposable) dengan konsumsi yang dilakukan

saat ini juga. Dengan kata lain pendapatan yang dimiliki dalam suatu waktu tertentu akan mempengaruhi konsumsi yang dilakukan oleh manusia dalam waktu itu juga.

Apabila pendapatan meningkat maka konsumsi yang dilakukan juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya (Pujoharso, 2013). Perbedaan tingkat pendapatan akan mengakibatkan perbedaan pola distribusi pendapatan termasuk pola konsumsi rumah tangga. Dalam kondisi terbatas (pendapatan kecil), maka seseorang akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan dan sebagian besar pendapatan tersebut dibelanjakan untuk konsumsi makanan. Semakin rendah pangsa pengeluaran pangan, berarti tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik (Ariani, 2007).

Pengeluaran rumah tangga terbagi dalam pengeluaran pangan dan non pangan.

Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga atau masyarakat. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, rumah tangga tersebut semakin rawan pangan. Pangsa pengeluaran pangan mengukur ketahanan pangan dari aspek ekonomi. Secara lebih detail, Jonsson dan Toole (1991) dalam Purwaningsih (2010), rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan ≥ 60% dapat dikategorikan rawan pangan dan sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan ≤ 60% dikategorikan tahan pangan.

Aksesibilitas yang terbatas akan berakibat pada kesulitan untuk mencukupi pangan yang bermutu dan bergizi, sehingga akan menghambat kesinambungan ketahanan pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan juga harus menekankan status gizi yang baik. Selain itu, ketahanan pangan lokal juga harus dikembangkan dan diselaraskan

Universitas Sumatera Utara

dengan perkembangan modernisasi agar lebih mudah pencapaiannya (Galih dan Wibowo, 2012).

2.1.3 Pemanfaatan Pangan

Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga serta kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh).

Pemanfaatan pangan juga meliputi kecukupan energi per kapita/hari, kecukupan protein per kapita/hari, dan penganekaragaman pangan.

Tingkat konsumsi pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizi. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi yaitu dari pengukuran kecukupan konsumsi energi dan protein. Konsumsi energi dan protein tersebut mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X (WNPG) tahun 2012, yaitu kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan sebesar 2.150 kkal/kapita/hari dan kecukupan konsumsi protein adalah sebesar 57 gram/kapita/hari.

Upaya diversifikasi konsumsi pangan perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sebagai bahan pangan pokok utama masih cukup besar.

Pengembangan tanaman pengganti beras perlu dikembangkan. Konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat dapat disubstitusi dengan karbohidrat lain yang biasa dikonsumsi masyakarat berdasarkan kearifan lokal antara lain jagung, sagu, ubi jalar, ubi kayu, talas, pisang, labu kuning, dan sukun. Perubahan pola makan terkait

erat dengan latar belakang sosial budaya, pengetahuan individu tentang pangan dan pendapatan keluarga.

Konsumsi pangan sangat penting diperhatikan karena secara langsung dapat menentukan status gizi. Mengenai mutu dan gizi pangan yang dikonsumsi akan berdampak pada pembentukan kualitas sumber daya manusia di suatu negara.

Peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangan. Apabila pendapatan meningkat, maka pola konsumsi pangan akan lebih beragam dan umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi.

2.2 Pola Pangan Harapan

Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Baliwati, 2010).

Tabel 2.1 Standar Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional

No. Kelompok Pangan Skor PPH

6. Kacang-kacangan 10,0

7. Gula 2,5

8. Sayur dan Buah 30,0

9. Lain-lain 0,0

Jumlah 100

Sumber: Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara, 2018

Universitas Sumatera Utara

Pola Pangan Harapan (PPH) pertama kali diperkenalkan oleh FAO RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertanian RI melalui workshop yang diselenggarakan Departemen Pertanian bekerjasama dengan FAO.

Tujuan utama menyusumi PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan, yang terdiri dari kombinasi keanekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai citarasa.

Pola pangan harapan adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energinya terhadap total energi yang mampu mencakupi kebutuhan konsumsi pangan dan gizi penduduk baik dari jumlah, kualitas, maupun keragamannya dan mempertimbangkan segi-segi sosial, ekonomis, budaya, dan cita rasa. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu suatu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Semakin tinggi skor pangan semakin baik komposisi dan gizinya.

Manfaat PPH adalah untuk penilaian situasi dan perencanaan konsumsi dan penyediaan pangan di suatu wilayah atau daerah. PPH dalam aspek penilaian situasi konsumsi pangan dijadikan sebagai basis untuk menentukan seberapa panjang pola konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah dengan pola konsumsi yang dianjurkan.

Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) telah disepakati pada tingkat nasional berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) tahun 2012 sebagai acuan dalam pembangunan pangan dan gizi. Angka Kecukupan Energi (AKE) di tingkat konsumsi sebesar 2.150 kkal/kap/hari, dan 2.400 kkal/kap/hari di tingkat ketersediaan. Sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) di tingkat

konsumsi adalah sebesar 52 gram/kap/hari dan 57 gram/kap/hari di tingkat ketersediaan.

Widyakarya Nasional Pagan dan Gizi tahun 2012 yang menggunakan bobot (rating) FAO (2000) yang terus disempurnakan sehingga menjadi Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2020 disepakati bahwa skor mutu pangan yang ideal untuk hidup sehat bagi penduduk Indonesia adalah 100. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) tahun 2012, susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional bagi penduduk Indonesia dijelaskan dalam tabel dibawah ini, yaitu sebagai berikut.

Tabel 2.2 Susunan Pola Pangan Harapan Nasional No. Kelompok

Sumber: Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara, 2018

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah (Hikmat, 2004).

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi

Universitas Sumatera Utara

kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi indikator penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita di bawah garis kemiskinan.

Kemiskinan menurut Suryawati (2005) terbagi atas 4 bagian, yaitu : (1) Kemiskinan absolut, yaitu terjadinya ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan pokok minimumnya seperti pangan, sandang, kesehatan, tempat tinggal, dan pendidikan. (2) Kemiskinan relatif, yaitu adanya pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan antar golongan masyarakat/ antar wilayah. (3). Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang

membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan.

(4). Kemiskinan struktural, merupakan kemiskinan yang ditengarai oleh kondisi struktur/tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Penyebab kemiskinan struktural adalah kebijakan sosial yang tidak berpihak kepada masyarakat.

Masalah kemiskinan berhubungan erat dengan kerawanan pangan yang ditinjau dalam dua dimensi :

a) Kedalaman dengan kategori ringan, sedang, dan berat; serta

b) Jangka waktu/periode kejadian dengan kategori kronis untuk jangka panjang dan transien untuk jangka pendek/fluktuasi.

Ketidakmampuan suatu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pokok dipengaruhi oleh pendapatan yang relatif terbatas. Hal ini dapat mengakibatkan ketersediaan pangan tidak mencukupi standar gizi, relatif rendahnya kesehatan sehingga rentan terhadap serangan penyakit, permukiman yang tidak layak huni, dan taraf pendidikan yang rendah.

2.3.2 Teori Permintaan

Permintaan terhadap barang dan jasa adalah kuantitas barang atau jasa yang orang bersedia untuk membelinya pada berbagai tingkat harga dalam suatu periode tertentu. Dengan kata lain, orang bersedia untuk membeli untuk memberi penekanan konsumsi yang dipengaruhi oleh tingkat harga. Maksud dari kata bersedia disini adalah konsumen memiliki keinginan untuk membeli suatu barang atau jasa dan sekaligus memiliki kemampuan yaitu uang atau pendapatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu barang (Hanafie, 2010) : a. Harga barang itu sendiri (Ht)

Kuantitas yang diminta akan menurun ketika harganya meningkat dan kuantitas yang diminta meningkat ketika harganya menurun, dengan kata lain kuantitas yang diminta berhubungan negatif dengan harga.

b. Pendapatan (C)

Ketika pendapatan rendah maka uang yang dibelanjakan akan lebih sedikit. Jika permintaan terhadap barang berkurang ketika pendapatan berkurang, barang tersebut disebut sebagai barang normal (normal good). Apabila sebaliknya maka barang tersebut adalah barang inferior (inferior good).

Universitas Sumatera Utara

c. Harga barang lain yang berkaitan (Hs)

Apabila penurunan harga barang satu menurunkan permintaan barang yang lain, maka disebut barang substitusi. Jika penurunan harga suatu barang meningkatkan permintaan barang lainnya, maka disebut barang komplemen.

d. Selera (S)

Penentu paling jelas terhadap permintaan adalah selera.

e. Ekspektasi (O)

Ekspektasi atau perkiraan mengenai masa mendatang dapat mempengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa saat ini.

f. Jumlah penduduk (P)

Semakin besar jumlah penduduk disuatu daerah, semakin banyak permintaan terhadap suatu produk didaerah tersebut.

Adanya faktor-faktor tersebut akan terjadi suatu penjelasan secara matematis yang dinyatakan dalam fungsi permintaan.

Qd = F (Ht, C, Hs, S, O, P) Qd = Jumlah Permintaan

Berdasarkan ciri hubungan antara permintaan dan harga dapat dibuat grafik kurva permintaan. Adapun bentuk kurva permintaan adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kurva Permintaan

Dimana : P = Harga

Q = Jumlah yang diminta D = Permintaan

A = Permintaan yang terbentuk dari pertemuan P1 dan Q1 B = Permintaan yang terbentuk dari pertemuan P2 dan Q2

Kurva permintaan pasar diperoleh dari penjumlahan berbagai jumlah barang yang mau dibeli oleh sekian banyak konsumen pada masyarakat dengan harga tertentu. Hukum permintaan (The Law of demand) adalah semakin rendah harga suatu barang, maka semakin banyak permintaan terhadap barang tersebut.

Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit permintaan terhadap barang tersebut, ceteris paribus. Pengertian ceteris paribus ini adalah menganggap hal-hal lain tetap tidak berubah atau konstan. Jika satu dari hal-hal lain yang dimaksud berubah, maka hukum permintaan tidak berlaku.

Universitas Sumatera Utara

Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh permintaan terhadap suatu komoditas. Permintaan terhadap barang pangan dipengaruhi tingkat harga, pendapatan, harga barang lain, ekspektasi dan preferensi rumah tangga. Preferensi rumah tangga dalam hal pangan dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga, seperti jumlah anggota keluarga, kebiaaan, norma-norma budaya, serta selera rasa.

2.3.3 Teori Konsumsi

Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara konsumsi dan pendapatan. Lebih lanjut Keynes mengatakan bahwa ada pengeluaran konsumsi minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat (outonomous consumption) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan bertambahnya penghasilan (Waluyo, 2002).

Adapun fungsi konsumsi tersebut adalah sebagai berikut:

C = a + By Keterangan:

C = Konsumsi a = Konstanta

b = Perubahan konsumsi per unit Y = Pendapatan

Konsumsi itu merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan.

Penghasilan keluarga atau uang masuk sebagian besar dibelanjakan lagi, untuk membeli yang diperlukan untuk hidup. Konsumsi tidak hanya mengenai makanan,

tetapi mencakup pemakaian barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup (Gilarso, 2004).

Teori konsumsi menurut Ernest Engel (1821-1896) menyatakan hubungan antara pendapatan dan pengeluaran pangan rumah tangga. Engel mengatakan bahwa semakin miskin sebuah keluaraga, maka semakin besar proporsi pendapatan yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Terjadinya penurunan pendapatan akan menurunkan pendapatan yang dibelanjakan untuk non pangan.

Hukum Engel menjelaskan bahwa pendapatan seseorang sangat menentukan ketahanan pangannya. Menurut Engel, pangsa pengeluaran pangan rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga yang sejahtera. Dengan kata lain, pengeluaran pangan rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat.

2.4 Penelitian Terdahulu

Menurut hasil penelitian Slamet dan Wulandari (2016) yang berjudul Analisis Pola Konsumsi dan Tingkat Kerawanan Pangan Petani Lahan Kering di Kabupaten Gunungkidul (Studi Kasus di Desa Giritirto, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul), dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat kerawanan pangan; dan hubungan luas lahan, pendapatan dan tingkat pendidikan terhadap tingkat kerawanan pangan. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan memberikan penjelasan dari statistik data (percentage, mean, data range, frequency distribution, cross tabulation) dan untuk mengukur tingkat kerawanan pangan dengan menggunakan rumus perbandingan antara jumlah penduduk miskin yang mengkonsumsi pangan dengan angka kecukupan gizi sebesar 2.100 kalori.

Universitas Sumatera Utara

Hasil analisis penelitian ini adalah bahwa rata-rata konsumsi kalori harian individu adalah sebesar 1274,25 kalori, dan termasuk dalam kategori penduduk sangat rawan pangan. Kalori tersebut sebagian besar diperoleh dari konsumsi beras, jagung dan tempe, sehingga hal tersebut menjadi pola konsumsi harian. Tingkat pendapatan petani, luas lahan pertanian dan tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan dengan tingkat kerawanan pangan.

Menurut Hasil Penelitian Ramadhani (2019) dengan Judul Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kota Medan, tujuan penelitian untuk mengetahui ketersediaan pangan rumah tangga, akses pangan rumah tangga, dan pemanfaatan pangan serta tingkat kerawanan pangan rumah tangga di Kota Medan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif berdasarkan acuan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara. Hasil menunjukkan bahwa Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketersediaan pangan rumah tangga di Kota Medan tergolong dalam pangan tersedia, akses pangan yang dapat dijangkau oleh rumah tangga di Kota Medan, dan rumah tangga di Kota Medan tergolong dalam rumah tangga tahan pangan atau tidak rawan pangan.

Menurut hasil penelitian Amalia (2014) yang berjudul Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Delima Kabupaten Pidie, dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kecamatan Delima Kabupaten Pidie. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survey dengan menggunakan kuisioner dan wawancara. Metode analisis yang digunakan yaitu dengan mengukur indeks ketahanan pangan. Hasil analisis penelitian ini adalah menunjukkan bahwa

indeks ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kecamatan Delima Kabupaten Pidie adalah 53,6% yang termasuk ke dalam kategori kurang tahan pangan.

2.5 Kerangka Pemikiran

Penelitian dilakukan di Kelurahan Belawan II Kecamatan Medan Belawan Kota Medan, dengan responden rumah tangga miskin. Indikator rumah tangga miskin dalam penelitian ini merupakan rumah tangga yang terdaftar dalam Program Keluarga Harapan (PKH)

Konsumsi pangan suatu rumah tangga tersebut akan menggambarkan tingkat kerawanan dan ketahanan pangan rumah tangga. Ketersediaan pangan dalam rumah tangga menjadi salah satu faktor dalam konsumsi pangan suatu rumah tangga.

Begitu juga dengan akses dalam kegiatan konsumsinya, jarak untuk mengakses ketersediaan pangan dan pengeluran untuk pangan tersebut juga berpengaruh dalam pola konsumsi pangan rumah tangga. Jenis pangan yang dikonsumsi juga mempengaruhi dalam keberagaman pangan rumah tangga tersebut dan menunjukkan nilai kecukupan energi dan protein pada rumah tangga tersebut.

Dengan menganalisis pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kelurahan Belawan II, maka dari hasil pola konsumsi pangan tersebut akan diperoleh tingkat skor pola pangan rumah tangga di Kelurahan Belawan II. Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka pemikiran dapat dilihat dalam skema berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran Keterangan:

: Menyatakan Hubungan

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, penelitian sebelumnya dan sesuai dengan identifikasi masalah yang ada, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:

1. Rumah tangga miskin di Kelurahan Belawan II tergolong dalam pangan yang

1. Rumah tangga miskin di Kelurahan Belawan II tergolong dalam pangan yang

Dokumen terkait